PART 27: COWOK DI RUMAH SAKIT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Riri menutup bukunya dengan keras tepat saat bel berbunyi di seluruh penjuru sekolah. Setelah guru yang mengajar keluar dari kelasnya, dia langsung berdiri dan bangku. Berjalan menuju ruang ekskul teater untuk bertemu dengan Ella. Keluar dari peran itu adalah hal yang tepat. Dia sudah memikirkan semuanya disaat seharusnya dia fokus belajar di kelas.

Tiba di depan ruang teater dia langsung membuka pintu dan masuk dengan percaya diri, tetapi langsung berhenti dan terkejut ketika melihat Javas sedang mengurung Ella dengan lengannya.

Dua muda-mudi itu juga langsung kaget dengan kedatangannya, terutama Ella yang langsung mendorong Javas hingga cowok itu hampir terlempar.

Javas cekikikan. "Yah, hampir ketahuan ngapa-ngapain."

"ARGH MAU GUE CELUPIN KE SUNGAI, HAH?" teriak Ella. "Ri, apa pun yang ada di pikiran lo sekarang buang jauh-jauh. Tadi itu si Javas cuma akting kayak di film yang dia nonton kemarin!"

Riri kikuk. Dia langsung mundur perlahan dan pamit.

"Ada perlu apa ke sini?" tanya Javas. Riri pun berhenti melangkah dan berbalik.

"Itu ... gue bisa ngundurin diri nggak...."

"Nggak bisa!" teriak Javas dan Ella kompak. "Oh, gue lupa, ya? Sanksinya sama loh kalau minta ngundurin diri disaat udah fix perannya apa," tambah Ella.

Membayangkannya saja Riri sudah tak mampu. Dia gelagapan. "Ngg... ta ... tadinya cuma pengin nanya hehe. Kalau gitu ak ... ku pergi. Makasih, Kak!" teriak Riri lalu kabur dari ruangan itu menuju kelasnya kembali dan bertemu Aneta.

***

Riri tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia tak tahu bagaimana caranya agar bisa mengundurkan diri dari peran itu tanpa hambatan dan sepertinya tak ada jalan keluar selain tetap dengan peran itu dan kembali bertemu dengan cowok-cowok itu lagi di atas panggung yang akan ditonton oleh semua warga STARA.

"Ri, minta tolong setrikain baju, dong," kata Arandra berdiri di depan lemari pakaiannya sambil menenteng sebuah baju berenda. "Ini bagus nggak, ya? Gue mau keluar jalan, nih."

"Bareng Kak Orlando?" tanya Riri penasaran.

"Ya iyalah. Siapa lagi pacar gue?" Arandra memutar bola mata dan membuang bajunya ke atas tempat tidur. "Lo belakangan ini aneh banget. Emang kenapa sih sama Orlando?"

Riri merapatkan bibir. Memang Orlando kenapa? Dia bahkan tak tahu apa yang Arandra maksud.

"Gue sampai curiga Orlando ngincar lo. Gila, sih. Udah beberapa kali dia selalu nanya-nanya soal lo sampai gue muak dan curiga banget kalau dia ada apa-apa sama lo." Arandra tertawa dan bersedekap. "Tapi nggak mungkin, kan. Lagian kalau emang dia pengin macarin lo kenapa nggak macarin lo aja?" Arandra memegang bibirnya. Kepalanya bergerak, berpikir. "Tapi dia selalu punya alasan sih tiap kali nanya lo. Dia pengin banget lihat gue cemburu tahu nggak? Argh. Belakangan ini dia selalu nyebelin, tapi akhirnya gue malah senyum-senyum dengan tingkahnya."

Riri memandang Arandra yang tersenyum lama setelah itu. Riri menggeleng dan segera mengambil baju Arandra di tempat tidur.

Keduanya terperanjat. Suara dentuman dari lantai bawah refleks membuat keduanya keluar dari kamar dan mengintip dari atas. Meja ruang tengah berada dalam posisi terbalik. Arshinta sedang berdiri sambil menangis, berteriak dengan suara keras, membentak Om Ben, dan membawa-bawa nama Riri.

"BILANG AJA, PA! BILANG AJA PAPA LEBIH SAYANG SAMA ANAK ITU DIBANDING ANAK KANDUNG PAPA SENDIRI!"

"SHINTA! Sudah berapa kali Papa bilang jangan ungkit hal yang ngebuat Riri nggak nyaman di rumah ini!"

"Bela aja terus. BELA AJA!!! KALAU RIRI HAMIL HASIL TINGKAH GENITNYA KE COWOK-COWOK PASTI PAPA JUGA NGEBELA DIA IYA, KAN!"

Riri langsung lemas dan matanya yang berkaca-kaca. Rasanya hampir saja tubuhnya terjun dari lantai 2. Om Ben terduduk di lantai sambil memegang dadanya. Arandra berteriak memanggil Om Ben dan segera berlari menuruni tangga. Sementara Shinta memanggil papanya dengan suara pelan dan bergetar.

Riri berpegangan pada pagar tangga sambil turun untuk menahan tubuhnya yang terasa semakin tak berdaya.

***

Bunyi dering ponsel dari dalam tas mengagetkan Erfan yang sedang memakai baju di kamar apartemen itu. Seorang perempuan berumur 20 tahun sedang duduk di atas tempat tidur, memandang Erfan dengan tatapan menyelidik. Dia bersedekap curiga.

Entah pacar ke berapa perempuan itu. Erfan sampai tak bisa menghitungnya sama sekali.

"Siapa? Belakangan ini kamu sibuk banget," kata perempuan itu sambil berjalan mengambil ponsel Erfan.

"Curigaan banget, Yang. Paling itu temen cowok." Erfan mengambil tas sekolahnya dan memandang pacarnya itu dalam diam.

Perempuan itu sedang membaca sebuah nama yang membuatnya semakin takut. Dia melempar ponsel Erfan kepada Erfan. "Rana. Cewek, kan?"

Erfan memutar bola mata. Dia menerima panggilan itu dan langsung membesarkan suara si penelepon.

"Halo, Ran. Bicara. Cewek gue pengin denger," kata Erfan di depan ponsel.

"Oh, halo ceweknya Erfan!" teriak Rana, lalu cekikikan. Suara berat itu sudah menjelaskan semuanya. Perempuan itu membuang muka dan menghela napas panjang.

"Kamu belakangan ini curigaan banget sama aku," kata Erfan, lalu menyimpan ponselnya ke tas, di mana masih ada beberapa ponsel di sana yang sedang tidak menyala. Erfan mendekati pacarnya itu dan memeluknya. "Aku mau ke sekolah dulu. Ada latihan teater untuk persiapan pentas sekolah," katanya sedikit berbohong.

Perempuan itu mendorong Erfan pelan. Erfan seolah tak peka dan dia pun berbalik untuk pergi.

"Kamu sesibuk apa, sih, di sekolah? Anggota OSIS nggak sesibuk itu juga kali. Kita putus aja kayaknya. Capek banget, Fan."

Erfan berhenti dan tersenyum kecil. Dia menetralkan raut wajahnya dan kembali menghadap perempuan itu. Waktu yang tepat karena dia sudah bosan dan perempuan itu sudah tidak berguna.

"Oke, aku juga ngerasa gitu," kata Erfan, sedikit tersenyum. Memamerkan senyum penuh bersalah yang hanyalah sandiwara.

"Bisa ngerti aku dikit nggak, sih?" Perempuan itu menangis. "Masa aku terus yang harus ngertiin kamu?"

Erfan terus melangkah hingga keluar dari apartemen itu tanpa peduli dengan tangis perempuan yang selalu dia dengar diakhir hubungan yang dia jalani.

Tiba di parkiran untuk mengambil motor ponselnya kembali berdering. Erfan diam sebentar. Si penelepon dari pihak rumah sakit. Erfan bicara dengan orang itu dalam keadaan setengah gusar. Setelah selesai bicara, Erfan segera menghubungi Rana.

"Tadi kenapa lo nelepon?" tanya Erfan langsung.

"Lo cari cewek tajir, kan? Gue merhatiin satu dari kemarin-kemarin. Adik kelas, tapi."

"Adik kelas? Anak STARA?"

"Ya iya lah. Siapa lagi? Anak orang kaya, tapi kelihatannya gampang banget dibegoin. Belum pernah pacaran jadi gue yakin banget dia nggak pernah ngejalanin hubungan sama cowok matre kayak lo. Sebenarnya dia agak gendut, sih, tapi mukanya lumayan, lah. Ah, lo juga mana peduli soal fisik." Erfan memaki Rana dalam hati, tapi kata-kata Rana memang tak ada yang salah. "Dia tipe-tipe cewek bucin gitu, deh. Kelihatannya."

Erfan sedang berpikir keras. Salah mengambil langkah maka dia akan mampus. "Tapi baru kali ini sama anak SMA sebocah itu."

"Makanya, yang lebih tua dari lo aja gampang lo begoin, gimana yang masih di bawah lo?" tanya Rana, meyakinkan. "Anak orang kaya uang jajannya banyak. Kalau rajin nabung ya bakalan lebih banyak lagi. Lo pasti bisa lah ngira-ngira soal ini."

Erfan naik ke motornya. "Namanya siapa?"

***

Tante Rista tak ada di rumah dan hanya ada tiga remaja perempuan itu mengurus Om Ben yang penyakit jantungnya kambuh. Riri sejak tadi berusaha tak bersuara saat menangis di kursi tunggu lorong itu. Berbeda dengan Arandra dan Shinta yang menangis di pelukan mamanya.

Riri semakin merasa bersalah dan berpikir semua ini karenanya. Belum ada yang menceritakan kepada tante Rista apa yang sebenarnya terjadi. Semua sedang tidak tenang. Sejak tadi Shinta terus-terusan mengucap kata maaf meskipun tante Rista belum tahu secara detail yang sebenarnya terjadi.

"Tante, aku pergi dulu, ya?" Riri pamit sendirian, membiarkan waktu untuk keluarga itu tanpa dirinya.

Hari sudah malam. Riri tak tahu sudah jam berapa. Dia terus berjalan tak tentu arah sambil mengingat-ingat jalan keluar. Dia menyusuri bagian lorong yang agak sepi. Bayangan seseorang dan kepulan asap di udara membuatnya sedikit kaget melihat itu. Dia melangkah sesuai perintah hati, otaknya sama sekali tak menginginkan hal itu.

"Bangs*t. Bangs*t." Pemilik suara yang tak asing itu terus mengumpat. Sesekali kepulan asap itu kembali menyebar. "Sialan."

"Bukannya ... nggak boleh ngerokok di rumah sakit?" Riri merapatkan bibir. Dia tak menyangka seberani ini menegur seseorang.

Cowok itu berbalik memandang Riri dengan tatapan kesal, lalu baik cowok itu maupun Riri sama-sama terkejut setelah memandang satu sama lain.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro