PART 4: PERTEMUAN KEMBALI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku benci dan cinta pada sepi dalam satu waktu."

*

"Lo ngapain, sih?" tanya Nata di seberang sana. "Gue dari tadi serius ngomong."

"Lagi berbagi oksigen dengan pohon," balas Malvin malas-malasan tanpa membuka matanya.

Malvin sedang berbaring santai di dahan pohon sambil berteleponan dengan Nata. Dia sengaja mengeraskan suara panggilan agar tak perlu capek memegang ponselnya itu.

"Seriusan lo nggak mau ikut di dua permainan? Banyak yang pengin ada di posisi lo. Sadar." Nata gemas sendiri. "Aish. Emang wajar, sih. Si Tigris suka ngasih posisi yang nggak diharepin sama sekali. Biar makin ribet."

"Gue mau fokus menang, nih." Malvin menyengir. Ucapannya sebenarnya bercanda, tetapi orang-orang di sekitarnya akan selalu merespons serius. "Kalau gue ikut di dua permainan bakalan ribet. Ngurusin hati satu cewek aja seribet itu. Gimana kalau dua? Permainan ini buat anggota belajar jadi playboy, ya?" candanya.

"Apa tadi? Apa? Lo bilang pengin menang? Sean kan udah resmi jadi salah satu pemain GO terbuka. Lo tahu kan siapa target di Game Over terbuka?"

Malvin menguap. "Ngantuk gue."

"Kampret lah gue lagi serius-seriusnya ngebujuk lo. Belegug."

"Oh, target yang namanya Vera itu, kan? Tahu. Kemarin baru tahu."

"Iya, maksud gue itu. Lo lupa kenapa Sean bisa gantiin Ozi? Ya karena ada Vera itu."

"Oh, yang itu baru tahu," balas Malvin santai, membuat Nata di seberang sana meradang. Terdengar bantingan pintu yang keras. Malvin tertawa menikmati.

"Salah apa gue harus berhadapan sama anak setan satu ini, Tuhan." Nata menghela napas. "Pokoknya lo harus ikut di Game Over bayangan. Erlang bilang lo pasti kenal yang namanya Riri!"

Malvin mengerutkan kening. "Riri?" gumamnya sambil mengingat pernah bertemu dengan seorang anak perempuan bernama Riri beberapa tahun yang lalu.

Pertemuan pertama yang berkesan. Malvin tanpa sadar tersenyum miring. Namun, mustahil mereka bertemu lagi di sekolah ini. Sesempit itu kah takdir pertemuannya dengan orang-orang yang sebelumnya pernah dia temui? Kalau iya, Malvin ingin bertemu dengan preman yang pernah membuatnya babak belur saat masih SMP.

"Iya, namanya Riri. Nggak kenal? Mega Elinel. Mega Elinel!" seru Nata girang ketika mengingat nama lengkap Riri.

"Yang namanya Riri banyak."

"Ya, makanya lihat dulu, lah."

"Mager. Mau ngasih gue berapa juta?" tanya Malvin iseng.

"Kampret. Makanya lihat dulu! Erlang bahkan nggak tahu mukanya cuma kenal nama. Di sini cuma lo satu-satunya yang tahu. Ikutan, woi. Kalau gue nggak berhasil ngebujuk lo, bisa-bisa gue beresin markas selama satu bulan! Kenapa gue jadi emosian tiap berhadapan sama lo, sih?"

"Alhamdulillah." Malvin tersenyum lebar mendengar Nata mengumpat di seberang sana.

"Lo yakin mau masa bodo dengan yang namanya Riri ini? Bisa-bisa dia bakalan dioper sana-sini."

"Bukan urusan gue, sih."

"Kampret. Kampret. Kampret." Nata diam lama. Saat tenang, dia kembali bicara. "Nggak mau lihat fotonya dulu? Siapa tahu beneran dia?"

"Boleh," balas Malvin pendek.

"Terima kasih, Tuhan."

Setelah itu, Malvin hanya diam memandang semut di bawah dahan yang berhadapan dengan wajahnya. Tak lama kemudian terdengar seruan Nata. "Barusan gue kirim. Nah, pikirin baik-baik. Ini demi kelangsungan hidup Riri, hidup gue, hidup lo, hidup semua orang."

"Oke, Bos."

Sebuah foto baru saja dikirim oleh Nata. Malvin mengambil ponselnya di saku kemejanya yang menggantung di dahan atasnya, lalu dia mengangkat ponsel itu ke depan wajahnya. Alisnya naik saat foto itu terunduh, semakin memperjelas wajah seorang siswi berambut panjang yang sedang menyipitkan mata karena silau matahari.

"Ini ... beneran dia?" gumamnya.

*

Ini adalah hari pertama dan Riri sudah tidak betah di sekolah. Selama istirahat dia hanya diam di kelas, mempelajari ulang pelajaran Matematika yang langsung diajarkan oleh Bu Tresna di mata pelajaran kedua. Istirahat baru selesai beberapa menit yang lalu. Pelajaran ketiga berlangsung 90 menit. Riri izin kepada guru yang mengajar untuk ke toilet.

Langkahnya pelan tapi pasti saat melewati ruangan demi ruangan. Dia memasuki toilet hanya untuk mencuci wajahnya karena tak bisa menahan kantuk sejak tadi. Beberapa saat dia hanya bersandar di dinding dekat wastafel dan memandang wajahnya yang dingin itu lewat cermin.

Wajar orang-orang selalu menganggapnya sombong. Dia terlahir dengan wajah judes. Meski dulu lebih banyak tersenyum. Apa yang dia alami dua tahun belakangan semakin memperparah persepsi orang-orang yang baru pertama melihatnya. Mungkin, itu juga alasan mengapa tak ada satu pun siswa-siswi di kelas barunya yang mengajaknya berkenalan di hari pertama ini.

Riri melangkah keluar dari toilet. Berjalan tak tentu arah di koridor yang sepi. Langkahnya tiba antara dua gedung. Lorong sempit di antara dua gedung itu menjadi tempat para pentolan sekolah beroperasi.

Erfan Naraya Dewantara, sangat populer di sekolah. Ketua basket yang terkenal playboy. Tak ada yang tahu bahwa selama menjadi siswa di STARA dia selalu memalak dan menindas siswa lain dan membuat korbannya selalu bungkam. Ada dua sahabat yang selalu bersamanya. Arvi, mantan siswa yang pernah dia bully kini menjadi temannya. Sementara Rana adalah siswa yang memang menikmati pelanggaran yang mereka lakukan di sekolah. Memalak siswa lain bukan lah perbuatan yang bisa ditolerir oleh pihak sekolah sehingga Erfan akan selalu menyembunyikan apa yang selama ini dia lakukan. Bagaimana pun caranya.

Erfan mendorong seorang siswa bertubuh cungkring ke dinding dan mulai menindasnya. Rana dan Arvi dengan sigap memegang masing-masing tangan siswa itu yang mulai berontak. Tangan Erfan menggerayangi setiap inci saku celana dan kemeja sekolah milik siswa di depannya. Tangannya berhasil mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu dia berdecak dan menampar uang itu ke wajah siswa yang dia bully.

Erfan mendengkus sebal. "Kapan terakhir kita ketemu? Sebelum libur sekolah, kan? Bukannya gue bilang bawa uang yang banyak. Lo pikir segini cukup buat gue sendirian?"

Riri tak ingin tahu apa-apa. Bahkan dia tak peduli. Hanya saja, apa yang dia lihat setelah itu membuatnya mematung di tempat. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Saat cowok yang tak dikenalinya itu mulai memukul perut siswa bertubuh cungkring yang kedua tangannya masih dipegang oleh dua orang lainnya.

"Fan, ada yang lihat!" seru Rana.

Kepala Riri terasa pening. Dia melangkah mundur saat mata itu melihatnya dengan terkejut. Riri membuang muka dan kembali melangkah untuk pergi dari sana.

"Mau ke mana lo?" tanya Erfan, dia menggeram.

Riri tak peduli apa pun yang dikatakan cowok itu. Namun, bagaimana pun dia berusaha untuk kabur, dia tidak menyadari dengan siapa dia berhadapan. Langkahnya pun belum jauh, sementara sebuah tangan sudah menarik pergelengan tangannya dengan erat.

"Mau kabur ke mana lo?!" bentak Erfan.

Riri menoleh. Ditatapnya wajah itu yang sedang menahan amarah. "Lepas," gumam Riri saat menatap ke lain arah. "Lepasin."

Erfan mendengkus kesal. "Gue nggak mau."

Riri mendongak. Erfan menaikkan satu alisnya, menantang. "Lo pikir lo bisa lari gitu aja setelah apa yang tadi lo lihat?"

Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Riri merinding mendengar sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya.

"Lepasin dia."

Riri terdiam saat mendengar suara cowok lain, lalu sebuah tangan lain muncul dari samping mereka  dan berusaha membuka cengkeraman tangan Erfan dari pergelangan tangan Riri.

"Nah, kan, lepas," kata seseorang, yang baru saja berhasil menjauhkan Erfan dari Riri. Cowok itu sedang menikmati keadaan. Erfan sedang menahan emosi.

Sementara Riri bingung dengan situasi ini. Dia mendongak, menatap cowok itu yang juga sedang menatapnya sambil tersenyum miring. 

"Hai. Kita ketemu lagi, Riri."

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro