PART 9: PERKENALAN PERTAMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Riri dan Aneta berhasil duduk di tempat kosong setelah pencarian tempat yang sedikit memakan waktu.

Mereka sama-sama tak tertarik dengan apa yang sangat hangat dibicarakan siswi-siswi lain. Riri mengenal Aneta saat SMP. Masing-masing di antara mereka punya teman waktu itu dan mereka akrab tak lebih dari teman sekelas. Namun, semenjak masa pengenalan sekolah mereka selalu bersama.

Aneta adalah cewek yang cuek dengan penampilan. Rambutnya selalu terikat ekor kuda tanpa poni dengan seragam yang tak pernah terlihat sudah disetrika. Wajahnya tak tersentuh apa pun termasuk bedak. Bibirnya pucat. Lingkaran hitam di matanya mulai sedikit terlihat di usianya yang baru memasuki remaja.

Terkadang Riri melihat cerminan dirinya sendiri dari Aneta.

Riri ingat, Andra pernah mengatakan bahwa alasan mengapa Riri tak pernah didekati cowok adalah karena Riri sangat tidak menjaga penampilannya.

Kalau memang benar, Riri akan tetap mempertahankan penampilannya sekarang.

Saat makan pun, pembahasan mengenai Game Over lagi-lagi muncul di sekitar mereka. Riri dan Aneta saling pandang ketika mendengar kehebohan di meja sebelah. Riri kemudian menggeleng. Seperti biasa, tanpa kata pun mereka berdua bisa saling memahami apa yang ada di pikiran mereka saat ini.

"Pada bahas hal yang nggak penting banget," kata Aneta di tengah-tengah makannya. "Kayaknya makin heboh gara-gara cowok yang di atas gedung tadi."

"Tahu, ah. Mending makan," balas Riri cuek.

"Kak Malvin tahu namanya! Malvino Adcena, duh, namanya aja ganteng OMG. Ganteng, tapi gesrek. Tipe gue banget!" seru seorang siswi dengan hebohnya.

Riri dan Aneta saling memandang dan tertawa geli.

"Oh, iya. Gue lagi merah, nih." Riri menatap Aneta. "Nanti kita bareng gue tungguin, ya."

"Em. Nggak. Nggak apa." Aneta menggeleng-geleng. "Gue bareng yang lain aja. Lo kalau mau pergi ke mana, kek. Ke perpus? Katanya kepo soal ruang terbuka?"

"Iya, sih."

"IH, ASLI COGAN BANGET ASTAGA." Teriakan di meja sebelah membuat Aneta dan Riri kembali saling pandang dalam keheningan. Riri bahkan sedikit tersentak karena kaget. "JADI, YANG TADI PAKAI SERAGAM PUTIH-PUTIH ITU KAK SEAN? GANTENG BANGET CALON GUE!"

"HALU LO HUUU!" sahut beberapa siswi lain bersamaan.

"Bisa budek gue lama-lama," kata Riri, sambil geleng-geleng kepala.

"Sama," balas Aneta.

***

Riri membuka pintu yang ada di dalam perpustakaan. Di bagian atas pintu terdapat papan yang menggantung dan sebuah tulisan, 'Ruang Terbuka' tercantum di sana. Riri mengintip perlahan. Hanya bagian perpustakaan tanpa AC dan terdapat jendela besar yang terbuka lebar. Jendela itu menampilkan pemandangan taman langsung.

Saat Riri masuk dan memilih duduk di dekat jendela karena ada pencahayaan di sana, dia baru sadar ternyata ada dua orang juga di ruangan itu. Cewek dan cowok yang duduk di pojok ruangan. Riri mulai membuka buku yang dia ambil dari ruangan sebelah, lalu merasa kikuk sendiri mendengar dua orang itu tertawa.

Riri mendengar kursi digeser, lalu dua orang tadi keluar dari ruangan itu. Sesekali Riri memandang taman yang sejuk. Namun, dia salah fokus pada seseorang yang sedang berbaring di dahan pohon.

Cowok yang di atap gedung....

"Kenapa lo santai banget? Kenapa lo ngebuat gue esmosi? Kenapa lo nyebelin? Kenapa gue malah kayak cewek-cewek cerewet gini kalo ngadepin lo, sih?"

Riri diam-diam menatap cowok yang berbaring di dahan pohon itu. Bukan dia yang bicara. Suara itu berasal dari ponselnya yang terdengar keras. Digantung oleh seutas tali yang terikat di dahan atas.

"Udah, deh. Tanya aja Tigris. Kenapa gue harus dua sekaligus? Lagian nggak sabaran. Udah. Gue ngantuk. Pengin tidur."

"Kerjaan lo molor mulu. Ini udah siang, woi! Ketebak banget lo nggak pernah masuk kelas hari ini, kan."

Riri masih memperhatikan cowok itu. Sebuah ponsel yang menggantung di dahan lain kemudian dia sentuh, lalu tak ada suara lagi dari sana.

Cowok itu menoleh. Riri mematung.

Dia turun dari pohon dan berjalan ke arah jendela, semakin membuat Riri terdiam kaku dan wajahnya jadi tegang. Riri menunduk dan mencoba fokus dengan bacaannya, tetapi meski fokus matanya sudah ada di buku tetap saja dia masih bisa melihat cowok berkaos hitam dan celana abu-abu itu.

"Gini." Cowok itu menyandarkan kedua lengannya di bingkai jendela. Dinding dan meja yang merapat ke dinding itu menjadi pemisah jarak di antara mereka.

Riri berusaha tak melihatnya, tetapi gagal. Riri kesal saat refleks menatap cowok itu lagi.

"Tadi ngelihatin gue terus, ya?" Cowok itu tersenyum miring. "Gue nggak nyaman, loh."

Riri dan cowok itu bertatapan, lalu Riri menatap ke lain arah. Hanya beberapa detik dia berpaling, tatapannya kembali terperangkap di mata cowok itu.

"Lo lebih ngebuat gue nggak nyaman...." Riri langsung menunduk. Tak terbiasa bertatapan lama dengan seseorang.

Riri bersungut-sungut dalam hati. Mata cokelat cowok itu semakin terlihat jelas karena cahaya yang meneranginya. Rambut hitamnya yang sedikit lebih panjang dari aturan sekolah malah terlihat cocok tanpa harus menyisirnya dengan rapi.

Sial. Riri memejamkan mata dan menggeleng pelan. Berusaha mengenyahkan cowok itu dari pikirannya.

"Oh, gitu." Cowok itu berbalik membelakangi Riri. "Nih, nggak gue lihatin, deh."

Kenapa gue malah jadi aneh gini, sih, batinnya. Lari, Ri. Pergi. Jangan di sini. Harusnya lo kabur.

Riri mengangkat wajahnya perlahan dan memandang punggung cowok itu. Kenapa dia masih di situ? Riri hanya ingin cowok itu yang pergi.

"Ah, bentar." Cowok itu berbalik menghadapnya dan Riri segera menatap buku. Tiba-tiba ada sebuah tangan terulur di atas buku yang Riri baca. Riri mengarahkan tatapannya kepada cowok itu lagi.

Cowok itu tersenyum. Senyuman berbeda dari senyuman orang-orang yang pernah Riri lihat.

"Malvin. Malvino Adcena. Calon pacar lo."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro