bagian 1.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

WARNING:

cerita ini ada beberapa tema yang rata-rata mengarah ke kriminal, jadi harap bisa membedakan baik dan buruknya, ya.

tawuran, penipuan, cracker/hacker, pencurian, balapan liar, bukan lagi kenakalan remaja tapi kriminal
lihat baiknya, buang buruknya, ambil hikmahnya, nikmati hiburannya

GAME OVER CLUB
MISSING CONTROL

Tigris berjalan menyusuri trotoar sembari memakan sepotong roti yang dibelinya dari supermarket tadi. Potongan terakhir masuk ke mulutnya. Tersisa bungkusan bening yang langsung dia buang ke jalan tanpa berpikir dua kali.

Dia berjalan santai meski tahu ada seseorang yang mengincarnya sejak tadi. Cowok berperawakan tinggi itu pun sengaja tidak memesan kendaraan umum untuk pulang ke tempat tinggalnya karena merasa selama beberapa hari ini tangannya tak pernah digunakan untuk memukul.

Tigris haus darah. Bukan darah yang melimpah seperti dalam serial film pembunuhan yang pernah ditontonnya, melainkan darah yang muncul akibat pukulan yang dia berikan kepada orang-orang yang dia anggap perlu untuk dijadikan korban kepuasannya.

Korbannya sudah ada tak jauh di belakang. Juga sedang mengincar entah apa dari Tigris. Pria itu gondrong. Ciri khasnya seperti preman. Celana sobek-sobek, jaket bau pengap, dan mungkin ada sesuatu yang terselip di balik saku jaketnya yang terlihat berat itu. Tigris memancing pria itu ke tempat yang sepi. Sejak tadi Tigris memang mencari tempat yang tepat untuk memberikan pelajaran kepada pria yang dengan berani menguntitnya ke mana-mana.

Tiba di sebuah lorong sepi, Tigris berhenti. Cowok itu bersandar di tembok dinding, mengangkat satu kakinya ke atas beton sembari menyalakan api dari pemantik yang baru saja dia keluarkan dari saku celana. Api kecil itu dia arahkan ke ujung rokok yang terselip di antara bibirnya, menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum akhirnya pandangannya naik memandang preman yang sedang mengamatinya tak jauh darinya berdiri.

"Lo kemanain semua anak buah gue, Bocah?" tanya pria itu dengan sedikit mendesis. Tigris mengamati sekilas. Pria itu bertubuh tinggi, badannya berotot, wajahnya pun sangar. Tigris mulai mendapati cara untuk lebih gampang menghabisinya.

Oh, iya. Tigris lupa. Tadi dia menghajar dua preman lain sebelum akhirnya preman di dekatnya itu mengikutinya ke mana-mana.

"Gue udah nanya baik-baik. Jawab yang bener aja atau lo mau ngerasain kuburan?"

"Oh?" Tigris pura-pura mengingat. "Dua preman yang berusaha ngerebut jaket yang gue pakai karena katanya kelihatan keren? Nggak tahu di mana. Kayaknya udah tertimbun sampah-sampah."

"SIALAN!" Pria itu maju mengarahkan satu pukulan yang segera dihindari Tigris dengan lihai. Tigris memiting lengan pria itu, lalu mendorong dan memaksa tubuh pria itu memasuki got yang lumayan kering.

Di dalam got kecil itu, Tigris menghajar pria yang tak berdaya karena tak bisa berdiri.

***

Buronan pelaku perampokan dan percobaan pembunuhan ditemukan tak sadarkan diri dini hari tadi. Ditemukan beberapa jenis narkoba dan pisau dalam jaket pelaku. Beberapa lebam bekas pukulan di tubuh—

Perkataan pembawa berita terhenti karena remaja laki-laki yang sedang membuka baju itu baru saja memencet tombol merah remote TV.

Cowok itu, Arjuna. Sebentar lagi 17 tahun. Matanya memejam karena kantuk saat membuka pakaiannya dan membuangnya sembarang ke lantai, menyisakan boxer yang dia pakai. Kamar kosannya agak tak terawat karena Arjuna akan membersihkan jika niat. Di kamar itu warna catnya sangat tidak memanjakan mata, beberapa bagian dinding catnya pudar bahkan ada yang rusak karena kualitas rendah, televisi gendut 14 inchi yang siarannya jarang bagus, kamar mandi dalam yang pengap, kasur ukuran 4 yang sudah setahun ini tak pernah dijemur.

Arjuna hidup selama beberapa tahun dalam kosan yang menuntutnya untuk hidup mandiri. Papanya mengirimnya ke tempat itu tanpa Arjuna sadari. Kosan bebas 24 jam khusus untuk putra. Selama di sana, Arjuna melakukan semuanya sendiri yang awalnya sangat tak terbiasa hingga akhirnya dia mulai terbiasa dengan semua itu.

Sudah lama juga Arjuna tak pulang ke rumah. Papanya bahkan tak pernah menghubungi. Ada nilai lebih saat Arjuna tinggal sendirian, yaitu dia tak perlu lagi canggung kepada ibu sambung yang perhatiannya kelewat batas, yang kadang membuat Arjuna risi. Sampai sekarang Arjuna masih belum terbiasa dengan kehadiran orang asing dalam hidupnya.

Termasuk dua adik perempuan yang tak pernah akrab dengannya.

Arjuna buru-buru keluar dari kamar mandi setelah kesadarannya pulih 100%. Cowok itu buru-buru memakai baju. Pintu kosannya digedor dari luar tanpa peduli dengan penghuni lain.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Nata.

"Cepetan! Cepetan, woi!" teriak Nata, kedengaran frustrasi. "Keburu bel masuk gue belum nyalin PR lo!"

"Sabar!" Arjuna memandang dirinya di cermin untuk memakai dasinya sendiri. Mulutnya sibuk mengunyah roti tanpa selai yang menggantung, lalu roti itu jatuh ke lantai memunculkan umpatan pelan dari bibirnya. "Sial...."

"ARJUNA SUMPAH!"

Kesal, Arjuna ikut berteriak. "GUE KELUAR SEJAM LAGI!"

"EH, ANJIR?!"

"Gue capek banget jadi diem aja napa. Roti gue jatuh, nih. Gara-gara lo, kan," kata Arjuna yang suaranya masih terdengar jelas di luar kamar.

"Ngapain aja lo? Lo paling tidur cepet. Lo juga yang telat banget. Lo tidur berapa jam sehari, sih? Heran." Nata mengetok pintu dan tak lama kemudian mendapatkan lemparan timba berbentuk love dan warna pink dari kamar sebelah, cowok kuliahan yang di lehernya terdapat handuk berwarna pink memandangnya dengan delikan mata.

"Berisik! Diem, dong!" teriak cowok itu kepada Nata.

Nata langsung menunduk-nunduk. "Iya, maap, maap, Bang...."

Arjuna terdiam memandang pipinya yang terdapat bekas luka kecil saat cowok itu berada sangat dekat dengan cermin. Dia yang hampir tak pernah memandang wajahnya sendiri di cermin menyadari bahwa wajahnya terluka.

"Kepentok apa gue?" gumamnya, lalu mendapati teriakan nyaring dari Nata di luar sana. "Iya, sabar, sabar!"

Arjuna memakai kacamata dan segera mengambil tasnya. Untung saja jadwal pelajaran rutin dia siapkan sebelum tidur. Cowok itu mengambil sepatu di rak dan kaos kaki baru dalam laci, lalu buru-buru keluar meninggalkan kamarnya yang seperti kapal pecah.

Dia disambut jitakan membabi buta dari Nata. Arjuna cepat menghindar sebelum disiksa lebih jauh lagi. Dia menumpang di motor Nata. Seperti itu sejak mengenal Nata dan mulai berteman dengan Nata. Nata adalah satu-satunya temannya di sekolah.

Arjuna punya banyak tabungan di atmnya. Bahkan saat dia meminta izin untuk membeli motor, papanya tak mengizinkan karena Arjuna belum cukup usia.

Sampai detik ini, Arjuna heran. Kenapa ada banyak uang yang papanya kirim kepadanya. Sementara papanya sendiri tak pernah mengizinkannya untuk membelanjakan uang itu untuk berpoya-poya.

Arjuna anak yang penurut. Maka dia tidak pernah mengambil uang dari tabungan atmnya jika tidak benar-benar butuh. Dia yang membayar biaya bensin motor Nata, biaya perbaikan motor Nata, dan juga sesekali mentraktir Nata di kantin sekolah.

Meski dibuat heran juga karena terkadang jumlah uang di atm itu berkurang, lalu kemudian bertambah sangat banyak di waktu-waktu tertentu.

Padahal, papanya hanya mengirimkan setiap satu bulan sekali.

***

Kepala sekolah baru, Pak Barata, berdiri di podium. Upacara pengibaran bendera sedang berlangsung. Sekarang sudah hampir selesai. SMA Tabula Rasa bertepuk tangan saat seorang siswi berprestasi disebut namanya untuk ke depan.

Di antara banyaknya siswa yang bertepuk tangan dengan semangat, Arjuna kelihatan lemas. Terkadang dia memejamkan mata saat upacara berlangsung karena kantuknya kembali muncul.

Arjuna tersentak merasakan punggungnya dipukul dari belakang.

"Lo dipanggil, noh!" seru Nata, berbisik.

Arjuna membuka mata. "Hem?"

"Lo barusan dipanggil, bego," kata Nata, kembali mendorong-dorong bahu Arjuna. Arjuna melihat sekeliling dan mendapati siswa-siswi lain memandangnya. "Aweuwue, cantik, bat, si Clara! Nanti jangan lupa minta foto lo ke dokumentasi OSIS!"

"Berisik." Arjuna melangkah maju dan jadi perhatian semua yang ada di STARA. Cowok itu sangat rapi. Rambut yang awalnya berantakan kini terlihat rapi karena gampang diatur, dasi abu-abu dan seragam yang mulus, sepatu yang sesuai aturan tata tertib sekolah. Kepala sekolah SMA Tabula Rasa menyambutnya dengan senyum hangat. Arjuna membalasnya sama.

Saat tak sengaja bertatapan dengan siswi berprestasi lain, Arjuna hanya melihat sekilas dan tak sempat membalas senyum manis dan ramah siswi bernama Clara itu.

Arjuna tak menghiraukan Clara begitu saja sampai akhirnya senyum Clara menghilang dan merapatkan bibir karena merasa dicueki.

Kepala sekolah turun ke podium memberikan sebuah medali hasil juara siswa dan siswi kebanggaan STARA.

Arjuna, selalu menjadi peringkat umum pertama sejak semester ganjil kelas X. Beberapa minggu lalu berhasil menjuarai lomba Matematika yang diadakan oleh sebuah Universitas.

Clara, selalu berada tepat di bawah Arjuna sejak semester ganjil kelas X. Beberapa minggu lalu berhasil menjuarai lomba Fisika yang diadakan oleh fakultas yang sama.

Siswa yang bertugas untuk dokumentasi sekolah mengarahkan Clara dan Arjuna untuk berdiri berdampingan sembari memegang medali masing-masing.

Clara tersenyum ceria. Tepat di samping Arjuna yang memandang kamera dengan tatapan seperti orang yang tak punya kehidupan.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro