bagian 12.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



"Harusnya mereka udah pada datang, kan," kata Kafi setelah melihat jam tangannya untuk yang ke sekian kalinya.

Kevin juga sedang gelisah. Sejak tadi dia mondar-mondir dengan hati cemas. "Kalau mereka gagal dan keciduk, kita berdua ikut keseret, ya?" Cowok itu duduk di sofa mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Kenapa gue baru nyesel sekarang, sih? Andaikan gue punya power buat ngehalang rencana mereka. Lo juga nambah-nambahin masalah! Ngajakin jadi maling. Setan emang."

"Power rangers?" Kafi memakan snack sambil tiduran. "Jovan kan udah bilang kalau ada yang keciduk, yang lainnya nggak boleh ikut-ikutan. Harus dirahasian."

Bibir Kevin tertahan saat ingin bicara karena suara yang berasal dari luar markas mengalihkan perhatiannya. Dia berlari menuruni tangga sesegera mungkin. Kafi yang ikut sadar dengan suara itu ikut turun dengan buru-buru.

Truk yang dibawa Satria bagian belakangnya sudah tepat berada di depan garasi. Kevin dan Kafi membuka garasi yang lebar dan tingginya hampir sama dengan tubuh truk. Setelah garasi terbuka, bagian belakang truk pengangkut juga ikut dibuka oleh Januar dan Jovan dari dalam.

Dua mobil yang masing-masing dibawa Tigris dan Victor dikendarai turun dan langsung memarkirkannya di garasi.

Pintu garasi ditutup. Semua yang ada di dalam sana kecuali Tigris yang masih di dalam mobil tertawa penuh bangga sambil melakukan high five.

"Gue nggak nyangka ini gila banget!" seru Jovan sambil memandang penuh kebanggaan kepada Tigris yang masih diam di mobil.

Kevin memandang takjub mobil berwarna putih dan merah yang sangat mewah. "Gue nggak ikhlas kalau kalian mau ganti body dua mobil itu. Serius."

"Ya, kalau lo mau cepet-cepet di penjara," sahut Kafi.

Truk pengangkut diparkirkan oleh Satria di depan markas. Sementara Reza langsung turun dari sana, membuka pintu garasi dan tanpa pikir panjang memberi pukulan kepada Tigris yang baru saja keluar dari mobil dan tak bisa menghindar sama sekali.

Jovan sampai turun tangan menarik Reza menjauh. Tigris hanya menatap heran tak tahu apa alasan Reza memukulnya.

Kafi dan Kevin saling pandang sama-sama menebak ini akan kacau jika Reza sudah semarah itu. Entah apa yang membuat Reza semarah ini. Biasanya dia tidak menunjukkan kemarahannya secara langsung, tapi bertindak halus dan licik.

Tak ada yang bicara sampai suasana mulai tenang. Satria masuk dan mengunci garasi. Teman-temannya sedang diam berdiri pada posisi masing-masing.

"Kenapa lo nggak ngomong dari awal kalau perusahaan incaran kita itu ternyata di sana?" tanya Reza dengan suara yang mulai normal, tapi terdengar frustrasi. "Gue baru tahu dari Satria."

"Kenapa lo marah banget?" tanya Tigris heran.

Reza duduk di anak tangga terakhir tak bersemangat. "Bokap gue kerja di sana dan itu... bagian keamanan."

"Salah siapa dari awal lo nggak begitu merhatiin rencana-rencana kita?" tanya Jovan tiba-tiba.

Reza yang merasa Jovan lebih membela Tigris yang notabene hanyalah orang baru dalam kelompok mereka langsung memandang Jovan tak percaya. "Lo kenapa nyalahin gue, bangsat?"

Tak ada yang bicara. Atmosfer dalam rumah tua itu terasa menegangkan. Jovan hanya mendengkus.

Reza berdecak memalingkan wajah. "Dia nggak pernah ngomong perusahaan mana." Reza bahkan malas menyebut nama Tigris.

Dia berdiri menghampiri Jovan dan menarik kerah kaosnya. "Lo tiba-tiba jadi seneng banget sama dia karena rencananya berhasil?" Ditunjuknya kepalanya sendiri. "Mikir, dong, sialan. Posisi gue itu ngurus truk bareng Satria. Harusnya dari awal si sialan itu ngomong di perusahaan mana. Jangan cuma menegaskan kalau perusahaan itu risikonya jauh lebih kecil tanpa nyebut nama perusahaannya apa!"

Jovan berdecak. "Lo tetep salah. Sekalipun tugas lo cuma bawa truk, lo tetep harus selalu ikut setidaknya nyimak. Bukan pelajari semuanya di hari H. Miskom, kan?"

Reza mendorong Jovan dengan kekesalan yang tak terkendali lagi. Saking dipenuhi oleh emosi, cowok itu membuka garasi dan mengambil motornya untuk pergi dari markas.

Suasana canggung itu berusaha dicegah oleh Kevin dan Kafi yang sama-sama tepuk tangan tanpa janjian.

"Sebuah drama yang indah," kata Kevin, lalu tertawa. Niatnya untuk membawa yang lain rileks jadi keki ketika yang lain kecuali Kafi memandangnya seolah berkata, 'Nggak tahu situasi banget, sih?' Kevin juga garing.

"Gue bareng Kafi habis maling makanan. Kalian mau?" Kevin berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Tiba di atas sana dia memunculkan diri sambil memegang sebuah snack dan minuman soda. "Kita pesta sampai pagi!"

"Kurang alkohol dan narkoba!" teriak Kafi bercanda yang langsung mendapatkan timpukan botol soda—untung bukan kaca—dari Kevin.

"Heh! Haram, Go!"

Jovan melewati Kafi. "Jangan pernah berpikir konsumsi narkoba atau lo mending jauh-jauh dari sini."

Kafi terkekeh. Kalau Jovan sudah berkata dengan intonasi begitu berarti memang serius.

Jovan menengadahkan tangan ketika Kevin akan melemparkan botol minuman ke bawah. Diterimanya minuman dua kali. Satu ingin dia berikan kepada Tigris. Namun, Tigris sedang membuka garasi. Tak lama kemudian teman barunya itu memakai helm dan menyalakan mesin motor.

"Mau ke mana lo?" Jovan berjalan ke arah Tigris yang tidak mengatakan apa pun.

Tigris keluar dari tempat itu dengan laju motor cepat. Kaca helm riben hitam sedikit mengganggu pandangannya. Dibukanya kaca helm itu tepat saat dia melewati Reza yang sedang bersandar pada motornya yang terparkir di tepi jalan.

Reza yang sudah sejak tadi hanya menenangkan diri di tempat sepi itu langsung berinisiatif untuk mengejar Tigris yang sedang buru-buru.

Reza segera menaiki motornya dan ikut membawa motornya dengan kecepatan tinggi, mengikuti Tigris dan mencari tahu apa pun tentangnya.

Gue bakalan balas dendam. Lihat aja.

***

Lewat pukul 4 subuh, suara dering ponsel Clara terus bergetar di meja belajarnya. Tidurnya lelap dan tak terganggu sama sekali. Ibunya sampai datang ke kamarnya, meninggalkan sejenak pekerjaan yang sudah dia lakukan satu jam lalu. Sudah sejak tadi dia berteriak, tapi Clara benar-benar terlelap.

"Clara, ada telepon dari tadi," kata ibunya sambil menggoyang pelan lengan anaknya itu. Dia pikir mungkin itu sangat penting.

Clara hanya menggumam tak jelas dengan suara khas bangun tidur. Matanya masih tertutup rapat. Ibunya kemudian mengambil ponsel itu di meja ketika berdering kembali. Sebuah nama muncul hingga membuat ibunya mengernyitkan dahi.

Tigris

"Nama laki-laki?" gumamnya agak khawatir. Tak apa jika itu teman. Akan tetapi, jika laki-laki itu adalah pacar? Ibunya tak ingin belajar anaknya teralihkan. Untuk apa menghubungi sesubuh ini? "Halo? Tigris siapa, ya?"

Kelopak mata Clara langsung terbuka mendengar nama itu disebut. Dia langsung berdiri panik mengambil ponselnya dari ibunya dan segera menempelkan ke telinga.

"Ha—halo?"

"Loh? Kamu bangun nggak duduk dulu langsung berdiri nggak baik," omel ibunya dan sedikit memandang curiga.

Clara hanya menyengir. "Ini temen aku, kok, Bu." Clara mendorong pelan punggung ibunya. Dia terpaksa melakukan itu. Jika tidak, maka Clara akan semakin tidak tenang karena bicara serius dengan Tigris.

Setelah ibunya keluar, Clara masih diam berdiri mencerna semuanya.

Ini bukan mimpi.

"Halo?" sapa Clara. Kekesalannya karena perkataan Tigris lewat pesan waktu itu entah kenapa hilang begitu saja.

Tak ada suara yang terdengar. Clara memandang layar ponselnya. Tigris sudah mengakhiri panggilan. Cewek itu langsung mencak-mencak. Setelah itu langsung membelalak kaget.

17 panggilan tak terjawab.

10 pesan baru.

Semuanya dari Tigris.

Clara berbaring lemas di tempat tidurnya dengan ponsel yang tepat di atas wajah. "Bikin kesel banget sih jadi cowok. Dasar cowok aneh!"

Clara membuka pesan dari Tigris agak khawatir dengan isinya.

Tigris

Lo marah?

Gue lagi di jalan ke SMA D'Graham

Gue udah sampai

Tigris sent a photo.

Ke sini. Buka gerbangnya.

Gue mau ketemu sama lo

Clara apa pun kondisinya lo harus bangun

Pokoknya kita harus ketemu sekarang

Sekarang.

"Hah?" Clara kaget membaca setiap ketikan Tigris. "Hah?" gumamnya lagi.

Dua pesan baru kembali masuk. Sebuah kiriman foto bagian atas gerbang dan pesan teks.

Tigris

Gerbangnya nggak terlalu tinggi untuk dipanjat :)

Clara berlari keluar dari rumahnya sampai lupa wajah dan rambutnya yang kusut karena baru bangun tidur.

Dia sampai kelelahan ketika hampir tiba di gerbang sekolah. Dilihatnya sebuah motor yang terparkir tepat di depan gerbang. Clara memperbaiki piyamanya. Lupa dengan bagaimana wajah berantakannya saat ini.

Dengan langkah santai dia berjalan sambil mengumpulkan nyawa yang terasa belum kembali dari mimpi indah tadi. Dipegangnya besi gerbang sambil melirik ke kiri dan kanannya, mencari keberadaan Tigris yang tak terlihat.

Tigris yang tadinya duduk di tembok segera berdiri menghampiri Clara.

Gerbang yang gemboknya masih terkunci membuat mereka terpisahkan oleh gerbang itu. Clara yang sesekali menatap ke lain arah karena kekesalannya kembali mengingat pesan Tigris yang menyuruhnya untuk tidak dihubungi lagi.

Clara menyerah. Dia menghela napas dan memandang Tigris kesal. "Apa? Bukannya lo ngelarang gue hubungi lo lagi? Terus kenapa lo yang tiba-tiba datang ke sini?"

Tanpa sadar Clara jadi cerewet.

"Handphone gue dibajak." Tigris tidak sepenuhnya berbohong.

Handphone itu memang terkadang dibajak oleh seseorang yang ... bukan dia.

"Dibajak?" Clara memandangnya heran. "Hampir dua hari, loh...."

"Itu sekarang nggak penting." Tigris memandang bagian atas gerbang. "Sekarang gimana caranya lo bisa keluar dari gerbang. Gue mau ketemu langsung. Tanpa perantara gerbang kayak gini," tegasnya.

"Sekarang?" tanya Clara ragu.

"Iya. Nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi," balas Tigris sambil tersenyum. "Gue kangen, sih."

Clara mati kutu.

Seorang Arjuna yang terkenal cuek dan muka tembok sekarang sedang tersenyum sambil bilang kangen?

Clara menunduk malu. Terpikirkan sesuatu.

Seseorang yang dikenalnya selama ini cuek, bukan berarti dia akan selamanya menunjukkan sifat dinginnya itu ke semua orang, kan?

Artinya... Clara spesial, pikirnya.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro