bagian 20.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tigris menghentikan motornya sebentar di depan gerbang rumah yang tinggi untuk turun memencet bel gerbang. Beberapa saat setelah itu, seorang penjaga keluar dari rumah kecil tak jauh dari gerbang. Pria berkaos putih membuka gerbang untuknya dan menyapa Tigris dengan nama Arjuna.

Tigris hanya mengangguk, lalu dia kembali ke motor untuk mengendarainya di sepanjang jalan yang hanya diterangi lampu. Malam itu ada tanda-tanda akan hujan.

Saat Tigris melihat ke parkiran yang mana tak hanya ada satu mobil di sana, Tigris tidak bisa menebak apakah Dirgantara, papa Arjuna, sudah pulang atau tidak. Dia menambah kecepatan motornya sampai tiba di depan rumah dan parkir di depan anak tangga yang jumlahnya tak banyak.

Tigris membuka dua pintu utama dan masuk ke rumah besar itu. Di ruang tengah baru ada kehidupan. Seorang anak perempuan berumur 6 tahun berlari dari kejaran pengasuhnya sambil tertawa.

Tigris mengernyit tidak suka melihat anak kecil nakal. Anak perempuan itu bernama Jasmin. Adik seayah Arjuna. Jasmin yang berlari-lari seperti itu membuat Tigris sangat ingin melemparnya jauh-jauh.

Pengasuh Jasmin menyadari kehadiran Tigris. Perempuan berumur 20 tahunan itu tersenyum kepada Tigris sambil menghampiri Jasmin yang tiba-tiba diam memandang Tigris bingung.

Jasmin memainkan gaun bermotif bunga-bunganya dan memandang Tigris dengan tatapan polos.

Tigris ingat. Arjuna tidak dekat dengan adik-adik perempuannya.

"Yey, Kakak Arjuna pulang," kata pengasuh Jasmin.

"Bapak ada di mana?" tanya Tigris. "Udah pulang?"

"Oh, sepertinya ada di ruang kerja...."

"Tolong panggilin."

Pengasuh itu mengangguk kaku dan memegang tangan Jasmin. Dia berjalan mendekati Tigris yang sedang duduk di sofa untuk beristirahat. Dia tidak menyangka sikap Arjuna langsung seangkuh ini. Padahal pekerja-pekerja di rumah itu beranggapan bahwa dia tak lebih dari remaja pemalu yang senang menyendiri. Padahal anggapan itu muncul ketika mereka melihat Arjuna, bukan Tigris.

"Jasmin main sama Kakak Arjuna dulu, ya?" kata pengasuh Jasmin ketika dia menuntun anak perempuan itu menghampiri Tigris, lalu pengasuh tersebut segera memberitahukan Dirgantara bahwa anak sulungnya pulang.

Ketika Tigris membuka pejaman matanya, sosok yang pertama kali dia lihat di depannya adalah anak kecil yang sedang duduk anteng di sofa seberang, memandangnya dengan sorot malu-malu sambil memainkan ujung dress-nya.

Tigris berdecak, lalu mengalihkan pandangan dari Jasmin. Beberapa saat kemudian dia kembali melirik anak itu yang masih memandangnya.

Jasmin mengerjapkan mata pelan. Dia tak mengerti apa makna pandangan Tigris. Dia tidak tahu bahwa Tigris sedang melayangkan tatapan tidak sukanya kepada anak kecil. Jasmin hanya tahu bahwa kakaknya pulang dan Jasmin sedang malu karena merasa Tigris adalah orang asing. Dia merasa belum pernah bertemu dengan Tigris sebelumnya.

Wajar saja. Ketika Arjuna meninggalkan rumah itu dan memutuskan untuk sendiri di umur yang terbilang masih sangat muda, Jasmin masih berumur 2 tahun.

Anak perempuan muncul dari dalam dapur. Dia berhenti untuk melihat sosok asing yang duduk di sofa. Dia baru sadar bahwa cowok itu adalah Arjuna yang sudah lama tidak pulang. Sambil memeluk mangkuk kaca berisi potongan buah dan yogurt, dia memandang Tigris lama. Dia penasaran. Apalagi ada Jasmin di sana. Terlihat dari kepala Jasmin yang muncul di balik sofa yang menghalangi tubuhnya yang lain.

Namanya Echa. Siswi kelas 7 saat ini yang merupakan anak kedua Dirgantara setelah Arjuna. Echa paham betul, dia dan Jasmin sangat tidak dekat dengan Arjuna meski masih seayah dan pernah tinggal bersama selama bertahun-tahun sampai Arjuna memutuskan untuk pergi.

Echa masih ingat bagaimana saat Arjuna masih ada di rumah ini. Jasmin selalu menangis ketika Arjuna menghindar dan Arjuna memilih untuk mengunci diri di kamar dibanding menemani Jasmin bermain. Arjuna juga selalu menghindari makan bersama dan membawa makanannya ke kamar sampai Mama merasa sedih dengan sikap Arjuna yang terang-terangan masih tidak menerima ibu sambung dalam hidupnya.

Tigris sadar sedang diamati. Pandangannya mengarah ke Echa yang masih berdiri memandangnya dingin.

Tigris bergerak pelan. Alisnya naik tinggi-tinggi. "Ngapain lo ngelihatin gue?"

Echa memalingkan pandangannya dan mengambil langkah cepat untuk masuk ke kamar. Bunyi pintu ditutup dengan keras oleh Echa.

"Kakak lo nyebelin." Tigris melirik Jasmin yang masih terus memandangnya.

"Nyebelin itu apa?" tanya Jasmin.

"Masih polos, ya," gumam Tigris, lalu dia mendekati Jasmin dan berjongkok di hadapan anak itu. Ditatapnya sepasang mata polos yang memandangnya sambil mengerjap antusias. "Kayak lo yang nyebelin. Lo nakal, kan?"

Jasmin menggeleng-geleng. "Jasmin nggak nakal, kok."

Tigris mendengkus. "Mana ada anak nakal ngaku nggak nakal? Lo pasti cengeng, kan? Suka nangis, ya?"

Jasmin menggeleng kencang. "Jasmin nggak suka nangis juga."

Tigris melirik kaki Jasmin. Dia memegang sebelah kaki Jasmin dan mengangkatnya sehingga sekarang tubuh Jasmin terbalik. Tigris sangat tidak manusiawi mengangkat anak sekecil itu tanpa merasa berdosa.

Jasmin kaget. Dengan tubuh terbalik itu, dia berusaha menggapai wajah Tigris tanpa mengatakan apa pun. Tigris tersenyum melihat Jasmin kesusahan.

"Nggak mau nangis beneran, nih?" tanya Tigris. "Nggak bakalan gue turunin, loh."

"ARJUNA! TURUNIN ADIK KAMU!" Dirgantara berlari menuruni tangga bersama pengasuh Jasmin yang berlari dengan panik.

Tigris masih sempat melihat Dirgantara. Dia baru menurunkan Jasmin kembali ke atas sofa dan menyuruhnya duduk manis di atas sana.

Pengasuh Jasmin berhenti di samping Jasmin dan memohon maaf berulang kali kepada Dirgantara karena telah meninggalkan Jasmin lama. "Saya tadi dipanggil Ibu. Jadi, saya lama turunnya. Saya pikir Jasmin akan baik-baik saja bareng Arjuna. Maaf, Pak."

Pengasuh Jasmin bicara seolah-olah telah meninggalkan anak sekecil Jasmin ke tangan seorang penjahat. Faktanya memang hampir mendekati. Tigris adalah pribadi jahat yang ada pada Arjuna.

Seorang yang tak berperikemanusiaan yang benci dengan segala hal menyangkut perempuan.

"Bawa Jasmin pergi dulu." Dirgantara menghampiri Tigris dan menatap anak sulungnya itu tak percaya. Sementara Jasmin tidak mau pergi ketika pengasuhnya berusaha membujuknya untuk ikut bersama.

Tigris sampai memelototi Jasmin dan menggerakkan bibirnya tanpa suara, 'pergi aja. Lo ganggu.' Namun, Jasmin jelas tidak mengerti dan tetap ingin berada di sana bersama papa dan kakaknya.

"Kamu kalau bercanda jangan keterlaluan sama anak kecil. Bahaya," kata Dirgantara sambil berjalan kembali. "Ikut Papa. Tumben kamu pulang. Udah ingat jalan pulang sekarang, ya?"

Tigris tidak mengatakan apa-apa karena tiba-tiba saja Jasmin berlari ke arahnya dan menarik ujung jari Tigris yang bisa Jasmin gapai.

Jasmin mendongak tinggi-tinggi untuk bisa memandang Tigris. Anak itu tersenyum. "Aku mau bareng Kakak."

Dirgantara menoleh ke belakangnya dan memandang dua anaknya yang baru saling bertemu lagi. Pria itu tersenyum memandang Jasmin. "Boleh, dong. Iya, kan, Arjuna?"

Tigris tidak memberikan respons apa pun selain diam.

"Jangan perlakukan adik kamu seperti benda, mengerti?" tanya Dirgantara kepada Tigris karena masih khawatir Tigris berbuat hal aneh lagi.

Tigris mengangguk. Dia berjalan dan Jasmin tak melepaskan jarinya. Pengasuh Jasmin mengikut di belakangnya.

"Aku mau bicara serius. Harusnya nggak ada orang asing," kata Tigris memandang punggung Dirgantara.

"Aku kalau begitu pamit." Pengasuh Jasmin tiba-tiba bicara. Dirgantara menoleh lagi. "Jasmin, ayo sini, Sayang...."

"Nggak mau...," gumam Jasmin pelan. Dia terlihat sedih.

Dirgantara melihat itu dan menghela napas. "Kamu nggak perlu ikut. Biar Jasmin bareng kakaknya."

Jasmin senang, tetapi Tigris justru mengumpat dalam hati. Dia benar-benar benci anak kecil. Apalagi anak kecil itu perempuan.

Dasar monster kecil, batin Tigris ketika memandang Jasmin.

"Sya, kasih tahu yang lain. Makan malam kali ini ada Arjuna. Kasih tahu Ibu juga," kata Dirgantara kepada pengasuh Jasmin.

"Aku lagi buru-buru," kata Tigris cepat. "Harus cepet-cepet balik. Banyak PR sekolah," lanjutnya berbohong. Dirgantara menatapnya dan menghela napas.

Satu yang Dirgantara pikirkan; Arjuna masih belum bisa menerima kehadiran Ibu sambungnya. Itu salah satu alasan Dirgantara membiarkan Arjuna hidup sendirian sejak beberapa tahun lalu.

Dirgantara memimpin jalan menuju halaman rumah. Di samping Tigris, Jasmin berjalan dengan tenang tanpa banyak tingkah seperti bayangan horor Tigris barusan.

Mereka duduk menghadap halaman samping rumah. Di kursi lain Jasmin duduk tenang sambil memainkan asbak bersih di atas meja.

"Kamu datang nggak ngomong dulu. Papa hubungi kamu sejak pagi dan nggak bisa dihubungi." Dirgantara membuka pembicaraan. Tanpa bertanya-tanya bagaimana kabar Tigris selama ini.

Jika Arjuna tak pernah dihubungi dan dikunjungi ke kosannya, maka itu memang faktanya. Tigris yang selama ini berinteraksi dengan Dirgantara baik secara langsung maupun tidak. Ada ponsel lain dan kartu khusus untuk berinteraksi dengan Dirgantara yang sejak dua hari lalu tidak Tigris aktifkan.

Arjuna hanya berpikir bahwa papanya selalu mengirimkan uang bulanan dalam jumlah yang sama tanpa papanya perlu mengonfirmasi kepada Arjuna bahwa dia sudah mengirimkan uang.

Uang yang bertambah yang membuat Arjuna bingung selama ini adalah pemberian Dirgantara karena terkadang Tigris meminta uang untuk keperluannya sendiri. Maka dari itu Arjuna heran dengan uang yang kadang berkurang dan kadang bertambah, tetapi dia tidak berniat untuk mengecek kejanggalan itu ke bank. Arjuna tidak peduli.

"Papa kenapa hubungi aku?" tanya Tigris. Dalam kepalanya mulai menebak-nebak.

"Ada beberapa hal yang nggak Papa sangka-sangka. Apa yang sudah kamu lakukan di sekolah?" Dirgantara memandang anaknya itu bingung. "Bu Dewi cerita kalau hari ini kamu kelihatan beda."

"Apa seseorang harus diem aja kalau ada yang bully?" Tigris sadar pasti Bu Dewi pun menceritakan tentang kejadian di kantin. "Aku pikir dengan menjadi ditakuti, nggak akan ada lagi yang berani mendekat."

"Sejak kapan pikiran kamu sependek ini?" Dirgantara menerawang. "Papa nggak tahu bagaimana pergaulan kamu selama beberapa tahun ini."

"Papa aja yang nggak peduli sama aku, kan," sindir Tigris.

Dirgantara hanya bisa tersenyum. Arjuna tak mengerti bagaimana selama ini Dirgantara khawatir kepadanya. Meskipun dia tahu Arjuna adalah anak yang tidak akan berbuat hal-hal buruk—terbukti dari prestasi-prestasi anak itu selama ini—, tetap saja Dirgantara selalu menanyakan kabar Arjuna dan Dirgantara tak tahu apa pun bahwa selama ini dia berinteraksi dengan pribadi Arjuna yang lain.

Arjuna tak tahu apa pun. Dan tak peduli itu. Arjuna sampai lupa bahwa dia masih memiliki keluarga.

Tigris mengeluarkan koran dari dalam jaket yang sejak tadi tersimpan rapat di sana. "Papa sudah lihat ini? Papa juga sudah pasti tahu tentang video yang tersebar."

Dirgantara melihat halaman koran yang memperlihatkan seseorang yang mirip dengan Arjuna. "Itu salah satu alasan papa hubungi kamu."

Tigris sudah menebak itu. Ada banyak orang di sekitar Dirgantara dan berita yang tersebar itu bukan lah berita kecil.

"Orang-orang sekarang gampang sekali mencocokkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya." Dirgantara sedang membahas berita iseng tentang pelaku pencurian mobil yang katanya mirip dengan siswa dalam rekaman video yang tersebar. "Mana mungkin kamu nyuri. Bukan anak Papa kalau cita-citanya mau jadi pencuri."

Tigris terdiam. Dia sedang memikirkan apakah Dirgantara sedang tulus berbicara atau justru dalam setiap kalimatnya sebenarnya adalah sindiran.

"Polisi masih mencari pelaku-pelakunya. Satu bukti belum cukup. Sepertinya, pencuri-pencuri ini adalah orang-orang terlatih." Dirgantara memandang Tigris yang diam. "Jadi, tujuan kamu ke sini cuma untuk kasih tahu Papa soal hal yang sudah Papa tahu?"

Tigris menggeleng. "Aku harap Papa bisa cari tahu pelakunya tanpa ada keterlibatan media. Sekarang orang-orang sibuk cari tahu tentang aku. Aku sampai nggak tenang atas apa yang nggak aku lakuin."

"Kalau perlu," Tigris menjeda, "buat media percaya kalau pelakunya sudah ditangkap dan bukan pelajar SMA seperti yang dirumorkan."

"Itu... tujuannya untuk apa?"

"Maaf, Pa. Aku kepikiran ini karena udah frustrasi banget." Tigris menunduk. "Aku cuma ingin tenang tanpa dibayangi kesalahan yang nggak aku lakuin. Kalau semua orang yang terlanjur menghubung-hubungkan aku dengan foto pencuri itu tahu kalau pelakunya sudah ditangkap, aku sudah bisa tenang. Karena orang-orang akan tahu fakta kalau bukan aku pencurinya, karena aku masih sekolah. Tanpa media, Papa bisa cari tahu pelaku-pelakunya secara diam-diam, kan?"

Dirgantara mengusap wajahnya, lalu beralih menepuk-nepuk pundak Tigris. "Papa paham maksud kamu...."

"Aku buru-buru pulang." Tigris langsung berdiri. "Ada pekerjaan yang mau aku selesaiin."

"Iya. Hubungi Papa kalau kamu sudah sampai." Dirgantara tidak mengantar Tigris ke depan dan lebih memilih untuk duduk merenung. Jasmin berlari mengejar Tigris sampai pengasuh Jasmin muncul dan menahan anak itu untuk tidak ikut.

Dirgantara sedang memikirkan banyak hal, menghubung-hubungkan hal yang muncul di benaknya. Tentang Arjuna yang tiba-tiba berubah. Bahkan Bu Dewi memberitahukan selain faktor lingkungan sekolah, bisa saja perubahan itu muncul dari dalam keluarga sendiri.

Dia juga pernah mendapatkan laporan dari Bu Dewi bahwa Arjuna membuat tiga siswa babak belur. Tiga lawan satu. Itu menandakan bahwa Arjuna bisa membela dirinya dan sudah pasti dia belajar banyak hal dalam bertarung. Dirgantara tak tahu banyak mengenai Arjuna selama beberapa tahun ini. Dia membiarkan anaknya mencari jalan hidupnya sendiri dan tetap membiayainya sebagai tanggung jawab.

Rupanya dia salah dalam mengambil langkah. Dia membiarkan Arjuna melakukan sesuatu tanpa pantauannya.

Setiap kata yang diucapkan Tigris tadi sedikit menimbulkan kecurigaan di benak Dirgantara. Tigris bicara tidak terdengar frustrasi. Hanya seolah sedang berusaha membujuk Dirgantara untuk mengikuti kata-katanya.

"Halo?" Dirgantara langsung menghubungi orang kepercayaannya. "Tutup kasus pencurian itu untuk sementara. Yah, ya. Saya mau cari tahu sesuatu dulu. Kamu ingat anak saya Arjuna? Ingat sekolahnya di mana, kan? Cari orang untuk ikuti kesehariannya seperti apa."

Dirgantara mengakhiri panggilan itu. Dia jadi curiga memang ada hubungan antara foto mirip Arjuna dengan Arjuna.

Sekarang Dirgantara khawatir dengan kemungkinan terburuk dalam benaknya.

Bagaimana jika memang benar Arjuna ada dalam kasus pencurian mobil itu? Karena sebelum kasus pencurian itu muncul, selama beberapa hari Arjuna datang ke perusahaan.

Itu Tigris, yang datang melihat lokasi untuk rencananya.

***

Dirgantara melepaskan Arjuna karena saat Arjuna meminta untuk ingin hidup mandiri dan tinggal di kosan, Arjuna terlihat sangat meyakinkan. Caranya meyakinkan Dirgantara tidak seperti seorang anak beranjak remaja kebanyakan. Raut wajah tegas, bicara yang seperti orang dewasa, membuat Dirgantara akhirnya mengabulkan permintaan itu.

Dirgantara tak tahu yang meminta untuk hidup mandiri saat itu adalah pribadi Arjuna yang lain; Tigris.

Sementara Arjuna hanya berpikir bahwa papanya yang sengaja mengirimkannya ke kosan.

Tigris tidak bertindak sampai di sana. Dirgantara mengirim Arjuna ke kosan yang lengkap dan CCTV yang terus memantaunya. Hal itu membuat Tigris tidak bebas. Dia pindah ke kosan yang bebas tanpa perlu meminta persetujuan kepada Dirgantara.

Dirgantara jelas marah karena tidak bisa mengawasi anaknya, tetapi dia mengalah dan kembali berpikir bahwa Arjuna bukan lagi bayi yang gampang diculik seperti dulu. Dirgantara terlalu takut kejadian lama terulang lagi, tetapi kemudian dia sadar kejadian lama terjadi karena seseorang yang menyiksa Arjuna masih hidup. Sekarang orang itu sudah tidak ada. Tak perlu ada yang dia takutkan.

Tigris membawa motornya di sepanjang jalan menuju gerbang rumah keluarga Dirgantara yang tinggi itu. Dari jauh dia menyalakan klakson. Pria tadi berlari membuka gerbang untuk Tigris lewati.

Tigris sengaja membiarkan Dirgantara curiga dengan setiap perkataannya. Tigris sengaja membiarkan Dirgantara berpikir bahwa memang Arjuna ada hubungannya dengan kasus itu. Dirgantara juga sadar orang-orang di sekelilingnya mengakui bahwa Arjuna memiliki kepintaran di atas rata-rata. Meski Dirgantara tidak tahu fakta di balik kecerdasan-kecerdasan yang membuat Arjuna terlihat memiliki banyak bakat adalah karena Arjuna tidak sendirian.

Dirgantara tidak mungkin tidak mengenali wajah anaknya sendiri dan kemungkinan besarnya Dirgantara akan menuruti setiap perkataan Tigris tadi.

Karena yang Tigris tahu, Dirgantara sangat menyayangi Arjuna dan akan melindungi anaknya bagaimana pun caranya.

Satu sikap yang tidak ada pada Dirgantara dari dulu kepada Arjuna, yaitu sikap tegas. Dirgantara selalu menuruti kemauan Arjuna karena rasa bersalah atas kejadian 10 tahun silam yang menimpa Arjuna.

Sekarang kemungkinan terburuknya adalah mulai besok mereka pasti akan dipantau oleh Dirgantara.

Mulai hari ini, Tigris akan melaksanakan dampak dari kemungkinan terburuk dari rencananya, yaitu menjalani hari-hari normal yang membosankan.

Tigris mengernyit.

Apa yang dimaksud dengan hari-hari normal remaja kebanyakan?

Satu yang terlintas di benak Tigris saat ini.

Senyuman Clara.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro