bagian 4.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Uang mana uang?" Nata sedikit menunduk, tangannya menengadah, jemarinya bergerak-gerak, memasang seringai tipis dalam posisi seperti sedang memalak saat melihat Arjuna. Ujung sepatu depannya terhentak-hentak beberapa kali seperti orang songong. Saat Arjuna hanya melihatnya datar, Nata langsung menegakkan tubuh dan memukul lengan Arjuna. "Kemarin lo bilang pengin traktir gue. Berterima kasih juga, kek, gue udah ngebela lo mati-matian depan Bu Dewi!"

"Makasih," kata Arjuna singkat. "Lo pergi sendiri minjem ke Bu kantin. Nanti gue bayarin."

"ASYIIIK!" Nata bersorak gembira sambil mengayunkan sikunya ke belakang.

Nata yang kemarin berhadapan dengan Bu Dewi, guru BK SMA Tabula Rasa, mewakili Arjuna yang seharusnya ada di sana. Nata yang menjelaskan bahwa awal dari pertengkaran itu adalah perseteruan antara Nata dan Tomi. Nata juga menjelaskan bahwa Tomi mulai memukul Arjuna hanya karena Arjuna berusaha menghentikan pertengkaran itu dan Arjuna membela diri. Maka dari itu, Bu Dewi memberi keringanan kepada Arjuna dengan hukuman kecil karena Arjuna tak pernah membuat keributan sebelumnya. Berbeda dengan Tomi yang biangnya keributan di sekolah itu, maka Bu Dewi tak kaget lagi dengan kelakuannya dan memberinya sanksi berupa skors.

Arjuna berjalan keluar dari kelas tanpa mengajak Nata. Nata langsung membelalak. "Lo mau ke mana?" teriak Nata, mengejar Arjuna sembari berlari kecil di koridor yang lumayan ramai.

"Perpus," balas Arjuna.

Nata mengerem larinya saat tak sengaja melihat Clara berjalan agak jauh di depan Arjuna. "Ecie, ecie, ecie."

"Berisik, Nat."

Arjuna tahu Nata sedang mengisenginya karena Clara, tetapi Arjuna sama sekali bukan ingin ke perpustakaan karena mengikuti Clara.

"Prikitiew. Ehm. Mangat, Pak Bos!" teriak Nata yang sudah jauh di belakang.

Arjuna menggeleng-geleng dan menyipitkan mata tak habis pikir. Dia menahan pintu perpustakaan yang baru saja ingin ditutup oleh Clara. Clara melangkah mundur dan tersenyum kecil memandangnya. Sementara Arjuna hanya melihat sekilas, lalu melangkah ke rak buku kelas XI.

***

Tujuan Clara awalnya hanya ingin mengembalikan buku pinjaman dan cepat-cepat ke kantin, tetapi niatnya berubah karena melihat Arjuna masih ada di perpustakaan itu juga.

Clara ada di balik rak yang memisahkannya dengan Arjuna. Clara menarik satu buku sebagai alasan agar dia berlama-lama di sana. Pada celah antarbuku yang semakin terbuka, dia melihat Arjuna sedang bersandar di dinding sembari membuka lembaran sebuah buku yang sedang dia baca.

Clara mundur salah tingkah. Tanpa sadar dia menggulung buku di tangannya saat melangkah pelan-pelan menghampiri Arjuna. Ini jauh dari perintah otaknya. Kakinya terus melangkah hingga berhenti tak jauh dari Arjuna.

"Em..., hai," sapa Clara sedikit ragu dan berusaha tersenyum saat Arjuna sama sekali tak peka dengan kehadirannya. "Lo suka belajar geografi, ya? Kirain lo ke sini buat nyari buku tentang Matematika."

Arjuna baru menoleh kepadanya tanpa bicara.

"Hai, Arjuna," sapa Clara, tersenyum ceria.

"Oh, hai...," sapa Arjuna balik, lalu menutup buku. "Clara," lanjut Arjuna, membuat senyum malu-malu Clara terbit sempurna.

Secuek apa pun Arjuna, rupanya cowok itu tahu namanya.

"Hai." Clara semakin mendekat. Senyum tak lepas dari wajahnya. Diulurkannya tangannya dengan ramah. "Kita belum kenalan, ya? Nama gue Clara."

Arjuna membalas uluran tangan itu dengan singkat. "Arjuna."

Clara merapatkan bibir. Arjuna terkesan cuek, meski begitu Clara tetap berusaha untuk mengenal Arjuna lebih jauh. Sudah sejak dulu Clara ingin dekat dengan Arjuna, tetapi bidang pelajaran keahlian mereka berbeda dan Clara tak bisa dipertemukan dengan Arjuna dalam tim yang sama dalam perlombaan. Mereka juga tak pernah dipertemukan dalam kelas yang sama.

Mereka tak pernah saling menyapa sebelumnya. Sekarang saja Arjuna tak mengatakan apa pun. Benar-benar cuek dan tipe yang sangat serius, tetapi Clara tidak ingin usahanya berakhir sia-sia di sini. Dia sudah sangat berani sampai kepada tahap mendekati cowok yang dia sukai secara langsung.

Arjuna yang baru saja ingin membuka kembali bukunya tiba-tiba berhenti karena sebuah ponsel yang diarahkan Clara kepadanya.

Clara tersenyum agak canggung kepada Arjuna. "Kita ... boleh tukeran nomor, kan?"

"Boleh." Arjuna diam sesaat. "Banget."

***

SMA Cendei D'Graham adalah sekolah khusus laki-laki yang memberi beberapa kebebasan kepada siswa-siswanya. Salah satunya adalah masalah rambut. Terhitung banyak siswa di sekolah itu yang memilih untuk memanjangkan rambut mereka melebihi batas aturan panjang rambut sekolah-sekolah lain.

Salah satu siswa berambut gondrong adalah Jovan. Rambut kecokelatannya sejajar bahu yang selalu dia ikat. Cowok dengan warna iris mata berbeda dan memiliki darah campuran.

Ada sebuah kelompok terdiri dari tujuh orang dari sekolah itu yang dijuluki oleh yang siswa-siswa lain sebagai 7 D'Graham. Mereka tak punya nama geng yang dibuat oleh tujuh orang itu sendiri. Julukan 7 D'Graham awalnya diucapkan oleh seorang siswa ketika melihat Jovan dan yang lain memimpin sebuah pertarungan antar sekolah, lalu julukan itu mulai menyebar hingga menjadi ciri khas mereka setiap kali bersama.

7 D'Graham bersantai dalam ruangan kosong yang mereka jadikan sebagai tempat perkumpulan. Jovan duduk di atas meja dan menginjakkan kedua kakinya di atas bangku. Januar bersandar di dinding paling belakang. Victor memainkan gitarnya pelan dan bernyanyi dalam hati. Kevin membuat berbagai bentuk dari karet gelang merah di jemari. Reza sedang serius mengerjakan tugas siswa sekolah lain untuk diuangkan. Satria duduk diam memperhatikan Kafi yang sejak tadi bolak-balik dari luar ruangan.

"Gue bosen lihat lo nggak bisa diem." Jovan menyatukan jemarinya dan menatap Kafi yang menghentikan langkah tak jauh di depannya. "Gue dari tadi nyuruh lo buat diem. Kita lanjut bahas tantangan dari Otomanabu. Ini penting banget daripada ngelihat lo bolak-balik kayak uler."

Kafi berdecak dan mengacak rambut belakangnya. "Gue mau ngomong penting dari tadi, tapi gue takut lo pada kecewa."

"Apa?" tanya Jovan heran. "Nggak usah berbelat-belit."

"Sebenarnya...." Kafi memelankan suara, berdecak, lalu menghela napas panjang. "Gue ngajak satu orang asing buat gabung bareng kita."

Semua pasang mata di ruangan itu fokus memandang Kafi dan menghentikan aktivitas mereka karena terkejut, kecuali Reza yang tetap tenang menjawab soal juga Jovan yang terlihat tetap tenang memandang Kafi yang gelisah.

"Ya, gue tahu ini salah." Kafi merentangkan tangan, lalu menjatuhkannya ke sisi tubuh. "Gue juga udah pada nebak lo semua bakalan marah, tapi orang yang gue temuin seratus persen gue yakin dia itu bakalan bermanfaat banget kalau gabung bareng kita. Dia jago berantem."

Kafi tak mengatakan apa pun lagi sehingga Jovan mau tak mau bicara. "Jago berantem?"

"Ya, jago berantem!" Kafi mengatakannya penuh semangat. "Gue yang lihat secara langsung di depan mata gue. Lebih jago dari Satria!"

Satria mendengkus.

"Kalau jago berantem emang harus gabung sama kita-kita?" Jovan memalingkan wajah dan menggigit pipi dalam. "Habis ketimpuk apa pala lo? Mau gue timpuk lagi biar pikiran lo bisa beneran dikit?"

"Dari D'Graham, kan?" tanya Victor, menengahi.

"Bukan...." Balasan Kafi membuat Jovan melihatnya marah. Kafi menyengir kaku. "Gue nggak tahu dia dari sekolah mana. Dia nggak mau jawab. Itu nggak perlu juga, kan? Nggak penting. Selama dia bukan dari sekolah musuh. Kalau dia dari Adi Bakti mana mungkin dia ngebantai delapan anak dari Adi Bakti sekaligus sampai kocar-kacir? Kita lihat kemampuannya. Van, lo tahu sendiri insting gue nggak pernah salah dalam menilai kemampuan orang lain."

Jovan turun dari meja. Dia berjalan menuju pintu yang tidak tertutup rapat setelah melihat ada seseorang yang berdiri di depan pintu itu entah sejak kapan. Dibukanya pintu itu kasar dan sosok cowok berjaket hitam muncul di depan pintu memandangnya dengan wajah datar.

Tigris.

Kafi buru-buru menghampiri dua orang itu dan berhenti di tengah-tengah mereka. Kedua tangan Kafi terangkat naik dan raut wajahnya panik melihat Jovan sedang dilingkupi amarah.

"Gue salah. Gue salah. Gue ngaku salah." Kafi menggaruk kepalanya. "Gimana kalau kita bicarain baik-baik di dalam? Jangan sampai di sini ketahuan orang lain."

Jovan menyingkir tanpa mengatakan apa pun. Tigris memasuki ruangan itu dan memandang sekeliling. Tigris menjadi perhatian yang lain. Tak ada yang berniat bicara karena kehadirannya. Reza bahkan hanya melirik sekilas karena penasaran akan sosoknya, tetapi setelah melihat dia langsung berdecih. Apa pun itu Reza tak senang dengan kehadiran orang lain dalam gengnya. Apalagi jika bukan dari sekolah yang sama.

Pintu ditutup. Langkah sepatu Tigris yang pelan menguasai suara dalam ruangan itu. Sejak tadi dia mengamati sekeliling dan juga enam D'Graham yang duduk di tempat mereka masing-masing.

Tigris menghentikan pandangannya kepada Jovan. "Kata Kafi, gue bisa masuk dalam kelompok kalian asal berguna. Kalian bertujuh pengin buat rencana untuk hal-hal yang ekstrem, ya?" Tigris melangkah dan berhenti di hadapan Jovan pada jarak yang lumayan dekat. "Buat seru-seruan?"

Jovan menggigit pipi dalamnya. Diliriknya Kafi yang langsung membelakanginya. Jovan kembali memandang Tigris. "Lo dari sekolah mana?"

"Itu nggak penting," balas Tigris cepat.

Jovan menunjuk pintu ruangan dengan gerakan kepala. "Kalau nggak mau jawab, lo bisa pergi sekarang dari sini."

"Jangan, dong!" seru Kafi tiba-tiba.

"Kaf!" teriak Kevin sambil tertawa. "Lo suka sama Tigris? Nggak mau banget kehilangan."

"Pala lo." Kafi berdecak. "Gue sengaja ngajak dia karena seru aja ada orang lain yang gabung bareng kita selain dari SMA Cendei."

"Gue pengangguran." Sesaat setelah Tigris bicara semua pasang mata kembali fokus kepadanya, penasaran. "Lebih tepatnya nggak pernah sekolah. Jadi, apa gue bisa gabung bareng kalian?"

Jovan memalingkan wajah dan mendengkus. Kafi memandang Jovan harap-harap cemas. Jovan berdecak sambil memandang Tigris terpaksa. "Ada tantangan balap mobil dari SMA Otomanabu. Sedangkan kami nggak punya mobil, kecuali Victor karena dia dari orang berada dan sekarang dia nggak boleh pakai mobilnya karena habis buat kesalahan. Nyewa? Kayaknya nggak bakalan. Gue dan yang lain butuh mesin yang bagus buat balapan itu."

Reza melepaskan pulpennya dan menyandarkan punggung ke bangku. Ditatapnya Jovan sambil mengernyit. "Ngapain lo ceritain semuanya ke dia?"

"Apa lo punya rencana yang tepat?" tanya Jovan tanpa peduli perkataan Reza.

"Apa kalian udah sempet mikirin rencana kalian?" tanya Tigris balik. "Jawab aja."

"Udah," jawab Jovan singkat.

"Kata Kafi, kalian itu kelompok siswa yang suka banget ngelakuin hal-hal memacu adrenalin, ya." Tigris berjalan ke papan tulis dan mengambil spidol di meja sementara Jovan memandang Kafi, memberi tatapan seolah berkata 'apa aja yang udah lo bocorin ke orang ini?' Kafi selalu memberi respons yang sama. Bergerak gelisah karena agak khawatir dengan pilihan yang telah dia buat, yaitu membawa Tigris ikut campur dalam kelompok mereka sementara Tigris sendiri entah asal-usulnya dari mana dan siapa dia sebenarnya.

Hanya karena Tigris terlihat keren, Kafi sangat ingin berteman dengan Tigris.

"Kaf, apa aja kemampuan temen-temen lo?" Tigris berdiri membelakangi semua orang dan menghadap white board. "Khususnya rencana-rencana mereka untuk nyari mobil buat balapan."

Kafi memandang Jovan sebentar seperti sedang meminta persetujuan. Jovan menggerakkan kepalanya, mengangguk.

"Jovan yang ngomong dari tadi bareng lo. Dia yang berpengaruh besar dalam membuat kelompok ini dan sekarang masih mikirin cara tepat buat tantangan dari Otomanabu. Reza yang duduk di belakang sambil merhatiin lo."

Meski Kafi membicarakan tentang Reza dan menunjuknya, Tigris masih tetap membelakangi Reza.

"Dia itu pintar. Juara umum seangkatan dari SD. Attitude asli 0 besar. Di depan guru gampang cari muka. Sering banget ngebobol ruang penyimpanan berkas ujian dan ngerjain soal-soal. Semua soal yang udah dia kerjain dia jual jawabannya ke anak lain, tapi ada beberapa jawaban yang dia buat salah biar dia yang tetep dapat nilai 100 di semua mata pelajaran. Satu jawaban mahal banget. Jagonya dalam perencanaan, tapi masalah kali ini dia nggak punya rencana lain selain nyuri mobil di jalan. Eum, yah, ngebegal lah istilahnya.

"Victor. Lo bisa lihat yang rambutnya paling pendek kayak rambut tentara dan megang gitar. Suka main gitar dan lumayan jago nyanyi." Kafi langsung mendapat lemparan bulatan kertas dari Victor. "Iya, iya. Ralat. Victor itu jago banget nyanyi."

Victor langsung senyum penuh kebanggaan.

"Dia dimasukin ke kelompok ini karena anak orang kaya." Senyum Victor hilang mendengar kalimat Kafi. "Hehe, bercanda. Maksud gue karena emang udah temenan sama Jovan dari kelas X. Rencana dia adalah diem-diem bawa mobilnya pergi dari rumah," lanjut Kafi. "Tapi itu berisiko, sih. Mengingat ayahnya tegas. Kalau ketahuan gue dan yang lain juga bakalan terancam."

"Satria. Paling diem tuh di sana kayak patung. Jago berantem, tapi jagoan lo sih. Dia banyak membantu kalau udah urusan baku hantam sama orang-orang yang nyari masalah. Dia suka banget ngerusakin barang secara nggak sengaja. Kasar banget orangnya. Saran dia dalam tantangan ini adalah nggak usah ikut balapan. Udah pasti gue dan yang lain nggak setuju. Nggak ikut balapan itu berarti nyerah sebelum bertanding. Anti banget.

"Nah, ada Kevin. Dia nggak bisa ngapa-ngapain selain ngerusuh." Kafi mendengar nama hewan keluar dari mulut Kevin. "Dan terakhir, Januar. Suka banget kalau ada hubungannya sama komputer. Dia kepikiran buat nyuri mobil sekalian ke gudangnya dengan keahlian yang dia punya, tapi Jovan nggak setuju karena itu berisiko banget secerdas apa pun rencana yang bakalan kami buat. Lagian, mau nyari di perusahaan? Nggak mungkin bisa."

"Mungkin." Tigris membuka tutup spidol setelah mengecek spidol itu bukan spidol permanen. Dia bicara tanpa mau berbalik. "Januar, lo pernah manfaatin kartu kredit palsu nggak?"

Januar diam. Tak ingin memandang semua sahabatnya. Bagaimana menebak setepat itu?

"Ditanya, tuh." Jovan memandang Januar heran.

"Ya, iya." Januar menghela napas. "Jadi, selama ini gue emang nyuri dengan cara bobol kartu kredit orang lain. Gue nggak kaya dan gue nggak jadi pencopet seperti dugaan kalian sejak awal." Ditatapnya enam sahabatnya satu per satu.

"Wah." Reza mengalihkan perhatiannya sambil menggeleng-geleng. "Jujur aja dari awal kali. Takut banget kita-kita manfaatin lo?"

"Diem lo, Za!" seru Jovan. Reza memang sangat suka menyentuhkan api di minyak tanah. Jovan memandang Tigris dan benar-benar tertarik dengan sosok asing itu yang belum jelas asal-usulnya. "Apa rencana lo?"

"Bentar. Gimana lo bisa langsung nebak soal kartu kredit?" tanya Januar heran.

"Kalau gue bilang jawabannya nggak memungkinkan juga." Jawaban Tigris hanya menambah kernyitan di dahi Januar. "Apa gue bisa memulai saran rencana ini?"

"Iya. Abaiin aja kalau ada yang tiba-tiba ngomong." Jovan bersedekap dan bersandar di dinding. Pandangannya tak lepas dari setiap coretan di papan tulis yang Tigris buat.

"Van, harusnya lo nggak perlu ngasih kesempatan buat orang asing!" seru Reza. Jovan diam tak menggubris. Seperti saran Jovan, Tigris tetap melanjutkan rencananya tanpa peduli dengan omongan Reza.

Reza satu dari dua orang yang tak menerima kehadiran Tigris karena Jovan juga tak menginginkan kehadiran orang asing dalam geng yang telah dia buat. Satria yang paling biasa saja. Ada tidaknya Tigris di dalam geng itu tak berpengaruh baginya. Kevin, Victor, dan Januar menurut kepada apa pun pilihan Jovan. Kafi lah satu-satunya yang mengharapkan Tigris. Satu-satunya geng itu yang sangat antusias dengan rencana-rencana gila yang telah dan akan mereka lakukan ke depannya.

Tigris berhenti menulis setelah meninggalkan sebuah titik hitam di ujung gambar terakhirnya.

Gambar: kartu kredit, rumah, perusahaan, dan mobil.

"Dengan bantuan Januar, dapatin uang untuk bangun rumah yang jauh dari perkotaan dan keramaian." Tigris membuat garis di antara gambar kartu dan rumah. "Rumah itu bakalan dijadiin markas. Tempat buat modif body mobil yang udah dicuri dari perusahaan ini karena nggak mungkin berkeliaran dengan mobil hasil curian dengan body yang masih sama." Tigris melingkari tulisan perusahaan. "Butuh berapa mobil?"

"Satu," kata Jovan.

"Dua. Buat jaga-jaga." Tigris memandang Jovan yang sedang menaikkan satu alisnya. "Kalau bisa dua kenapa harus satu? Karena Victor punya mobil, dia jadi salah satu yang bakalan kendarain mobil itu keluar dari perusahaan ini."

Victor memandang sahabat-sahabatnya sambil menunjuk diri sendiri. "Kok gue?" tanyanya tanpa suara.

"Ada yang bisa lagi selain Victor?" tanya Tigris.

Jovan memandang Satria. "Dia."

"Satria," kata Tigris. Satria refleks menoleh. "Lo akan ikut menyelinap ke perusahaan bareng Victor dan gue."

Reza menaikkan alis dan menggeleng-geleng. "Udah percaya banget bisa gabung sampai rencana bawa diri segala."

"Januar bagian hilangin jejak. CCTV. Gue bakalan bantuin lo dalam hal ini," tambah Tigris. "Kevin, Kafi, Reza, dan Jovan. Kalian beli alat-alat untuk modifikasi mobil. Jangan sampai ada dua orang yang sama ngelakuin aksi untuk meminimalisir hal yang nggak diinginkan. Di malam yang sama aksi itu berjalan, kalian pantau keadaan jalanan yang biasanya ada polisi di posisi-posisi tertentu. Sendiri. Jalur mobil yang dibawa akan dibuat setelah markas udah ditemuin di tempat yang tepat. Cuma itu."

Jovan terdiam lama memandang gambar-gambar yang dibuat Tigris. Ternyata Tigris sengaja membuat pola itu agar Jovan dan yang lain bisa mengulang kembali rencana Tigris dengan pola-pola yang sudah ada di papan tulis.

"Nggak sekalian beli mobil aja? Daripada buang duit buat beli rumah dan modifikasi mobil hasil curian." Kevin menatap Tigris tak setuju. "Mobil bekas, kek. Nggak perlu ada kriminal...."

"Nggak akan memacu adrenalin, kan?" tanya Tigris sambil tersenyum penuh arti. Jovan mengamati. "Pengin dapat mesin yang bagus secara instan dalam waktu dekat, kan? Gimana kalau ternyata mobil yang gue sasar milyaran? Seperti kata kalian. Kalian dibentuk untuk ngelakuin hal-hal yang out of the box dari remaja kebanyakan."

"Lo emang bener." Jovan menegakkan punggung dan berjalan ke tengah ruangan. "Tapi, rencana lo nggak bakalan berjalan lancar untuk nyuri mobil di perusahaannya langsung. Pencuri mobil di jalanan aja bisa gampang banget ditemuin pelakunya dan lo berencana nyuri mobil di perusahaan?"

"Itu karena mereka punya rencana yang nggak mereka pikir matang-matang sebelum bertindak." Tigris memandang Januar. "Jangan pernah ninggalin jejak sekecil apa pun itu."

Januar mengernyit heran melihat Tigris memandangnya.

"Perusahaan incaran gue adalah perusahaan yang sering gue masuki. Jejak apa pun yang nggak sengaja tertinggal di sana akan gue beresin sesegera mungkin," kata Tigris. "Hari yang sama sebelum aksi yang kita lakuin di malam hari, gue bakalan mantau keadaan perusahaan itu."

"Gue nggak setuju. Pokoknya enggak. Ini udah di luar nalar. Ngebegal aja gue takut apalagi ini?" Kevin menggerakkan tangannya yang terbuka. "Kalau ada tawuran gue yang paling maju. Itu masih normal. Ini?"

Jovan mendekati Tigris dan mengulurkan tangan. "Lo diterima."

Reza membelalak. "Gue nggak setuju."

Namun, Jovan tak peduli apa pun. Tatapannya dingin saat melihat Tigris. Dia juga tidak setuju, tetapi rencana Tigris sangat menarik baginya.

Apa yang terjadi jika rencana itu benar-benar berjalan bahkan dengan lancar? Apa yang terjadi jika rencana itu gagal total?

Mungkin, mereka berakhir dalam penjara.

Tigris membalas singkat uluran tangan Jovan. "Thanks."

"Walaupun lo diterima, bukan berarti gue dan yang lain seneng dengan kehadiran lo. Kita lihat sampai mana rencana lo akan berjalan." Jovan menjauh. "Aturan kelompok ini adalah pertama nggak ada yang boleh pacaran. Cewek terkadang selalu ingin waktu kita diluangin untuk mereka hampir setiap saat. Itu akan mengganggu banget. Kedua, kalau ada satu yang ketahuan polisi karena udah ketahuan ngelanggar hukum sementara yang lain berhasil kabur, maka yang ketahuan itu nggak boleh bocorin apa pun mengenai orang-orang yang bersama mereka. Mau dipaksa oleh polisi untuk menjawab sampai disiksa sekali pun, tetep nggak boleh satu nama keluar dari bibir yang udah ketangkep."

"Tapi nggak harus ada 24 jam untuk satu sama lain, kan?" Tigris berjalan menuju Jovan. "Gue mau pergi. Gue bakalan ke sini besok. Di jam yang sama."

Reza mengepalkan tangan, tetapi tak mampu mengatakan satu kata saking kesalnya.

Tigris berhenti di samping Jovan dan berbisik. "Hati-hati dengan seseorang yang berhadapan dengan lo saat ini." Saat Tigris menjauh, tangannya menepuk pelan lengan Jovan sambil meringis.

Jovan pikir, Tigris sedang menyombongkan diri. Ditatapnya Tigris yang sudah ada dekat pintu. "Nama lo siapa?"

"Phantera Tigris," kata Tigris sebelum keluar dari ruangan itu.

***



thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro