CHAPTER 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Damar mengerti ada yang tidak beres dengan kelakuan gadis yang tengah menunduk, memasangkan strapping di pergelangan kakinya.

"Princess," panggil Damar.

Yang dipanggil mengangkat muka, kemudian menjawab,"Yak, sudah. Hari ini kita coba berlatih kayak biasa, ya." Lalu berdiri dan menyingkir ke pinggir lapangan. Duduk di kursi tempat tas raket Damar berada.

"Yoyoyo!" Seruan bersemangat disertai tepukan tangan dari Koh Wawan memaksa Damar menyimpan lebih banyak pertanyaan. Selama dua minggu ke belakang, Damar bukannya tak menyadari akan perubahan sikap Aluna. Namun, keberadaan pelatihnya yang mulai kembali ke mode siaga membuat interaksinya jadi terbatas. Di bawah tatapan mata elang Koh Wawan, Damar tak bisa berkutik sama sekali.

Masih diingatnya peristiwa dua minggu lalu ketika gadis itu datang kesiangan. Damar bahkan menggali ingatannya sendiri apa yang terjadi pada malam sebelumnya. Setahunya, ia sama sekali tidak menyebabkan gadis itu begadang hingga memungkinkan Aluna untuk terlambat bangun pada pagi harinya.

"Princess," sapanya. Damar sudah nyengir lebar demi melihat pujaan hatinya. "Kok telat? Mimpiin akunya kebanyakan, ya?"

Tak seperti biasanya, reaksi yang Damar harapkan bahkan tidak muncul. Jangankan mendelik kesal kemudian membalas dengan kata-kata memelas seperti biasanya, Aluna justru mengacuhkan kata-kata Damar. Tidak sekali dua, setiap kata-kata bersayap naga yang dilontarkan Damar hanya dijawab dengan muka tanpa ekspresi.

Damar lebih memilih Aluna merengek agar ia menghentikan godaan rutin yang dilakukannya ketimbang gadis itu hanya mengerjap, lalu kemudian mengabaikannya seolah apa yang diucapkan Damar barusan bukanlah apa-apa. Berbeda jauh dengan reaksi para pecinta badminton berjenis kelamin perempuan di seantero negeri, cukup dengan Damar melontarkan kata 'selamat pagi' di video pendek yang diunggahnya ke media sosialnya, para gadis itu akan memenuhi kolom komentar dengan teriakan bernada sama: baper, geer, kyaa ... kyaa. Intinya, dengan mudah ia menangguk kekaguman dari banyak kaum Hawa.

Keadaan menjadi bertambah buruk ketika Aluna berkata bahwa Damar sudah siap diberi beban latihan yang biasa diterimanya. Koh Wawan berseri-seri, Igor merangkulnya penuh semangat. Hanya Damar yang merasakan bahwa gadis itu sedang menorehkan jarak tak kasat mata di antara mereka.

Jarak fisik mereka tak lebih dari tiga meter, Aluna duduk seraya merekam pergerakan Damar dengan menggunakan handycam, sumber bahan evaluasi katanya. Damar hanya bisa menurut dan mengikuti segala arahan, meski lidahnya sudah gatal ingin meneriaki Aluna. Sampai suatu ketika, Igor yang memang jauh lebih peka menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan keduanya.

"Bro," Igor menepuk bahu Damar yang tengah menyeka keringat setelah berlatih tiga set melawan Koh Wawan.

"Hm ... hm?"

"Lo lagi nggak oke sama kesayangan kita?"

"Kesayangan gue," desis Damar pelan. Igor hanya mengangkat alis, memindai nada tak semangat dalam suara Damar.

"Kenapa?"

Damar menimbang sesaat. Memilih untuk bercerita pada Igor mungkin akan banyak membantunya seandainya ia mengerti penyebabnya. "Entah, Man. Gue juga kagak ngerti."

"Lho, kunaon iki?" Damar nyaris terbahak mendengar Igor yang mencoba berujar dalam bahasa campur-campur. Sama sekali tak sesuai dengan logatnya.

"Gue lupa persisnya. Sekitaran seminggu kemaren, pas lo berangkat ke Taipei, doi telat dateng. Nah, abis itu dia kayak ngejaga jarak ama gue. Gue coba tanya, dia selalu ngindarin. Gue pepetin, doi kabur," keluh Damar.

Igor mengangguk-angguk sok mengerti, beberapa menit kemudian berujar,"Mungkin dia muak kali sama modusan lo!"

Terkesima, Damar mengerjapkan mata atas kesimpulan Igor. "Masa' sih?"

"Ya iyalah, cewek kalo dimodusin gitu-gitu terus ya bosen juga kali. Atau—"

"Atau apa?" sambar Damar cepat.

"Dia ngarep lo ada pergerakan, Boy." Lo kan modusin dia mulu, nah ... nggak ada peningkatan. Dia bosen."

"Masa' sih? Tapi, kalo gitu kenapa justru ngejauh?"

"Meneketehe, Boy. Bukannya kita sepakat kalau kelakuan cewek itu soal yang paling nggak bisa dipahami di dunia."

"Yeee!" Damar menggeplak kepala Igor dengan handuknya. "Kalo emang pen peningkatan, gue halalin sekalian nih."

"Kampret!" maki Igor. "Gue cuma ngasal doang itu tadi. Gercep lo ya? Baru dua nem juga. Bisa turun performance lo, Man. Gue aja belum kepikiran nikah."

Damar mendengus demi melihat lelaki di depannya tersenyum menampakkan barisan gigi putihnya. Igor sudah 28 tahun ini, dan sama sekali tak ada tanda-tanda ingin melepaskan masa lajang. Pasalnya, Damar mengerti kalau Igor adalah manusia bebas, malas terkungkung dalam sebuah hubungan jangka panjang. Belum aja kena batunya lo, Bro. Jatuh cinta terseok-seok kayak gue, batin Damar.

"Jadi, menurut lo gue kudu ngapain nih?"

Igor melarikan pandangan pada Aluna yang masih sibuk menekuri catatan di tangannya. Mengangguk-angguk sendiri, kemudian mengernyitkan dahi. Melakukan gerakan seperti mencoret sesuatu di buku, lalu menuliskan hal yang lain. Aluna mendengak dan menerima lemparan senyum dari Igor. Membalasnya sebentar, kemudian Aluna memilih untuk membenahi barang-barangnya dan berjalan cepat menuju ruangannya. Membuat Damar melongo akan sikap Aluna.

"Kasi dia waktu," ucap Igor pelan. "Bisa 'kan sekali ini aja lo sabar dan nggak grasa grusu?"

"Koh!" Damar tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara familier itu memanggil pelatihnya.

"Ya, Katya? Ada yang bisa saya bantu?"

Aluna berjalan mendekati Koh Wawan yang tengah menyiapkan bola, siap untuk men-drilling Damar dan Igor selepas istirahat sejenak.

"Eum ... tadi udah bilang sama Mas Ronald, saya mau minta izin setengah hari untuk hari ini. Mas Ronald bilang harus ngomong sama Kokoh."

"Mendesak?"

Aluna menghindari mata Damar yang terpaku tajam padanya. Kepalanya bergerak ke samping, ia memilih untuk mengabaikan Damar dan menatap mata Koh Wawan."Urusan keluarga, Koh!"

Koh Wawan, yang terkenal sangat family man, langsung menganggukkan kepala tanda persetujuan begitu mendengar alasan Aluna. Balas mengangguk, Aluna tersenyum kecil. Kemudian menganggukkan kepala sekadarnya pada Damar dan Igor yang berdiri sedikit di belakang Koh Wawan. Ia membalikkan badan, melimbai cepat menuju pintu ke luar. Tanpa menoleh lagi.

"Mar," panggil Koh Wawan demi melihat Damar yang terpaku.

"Ya, Koh?"

"Saya nggak perlu ngulangi latihan mental kamu biar tak gampang terpancing 'kan?" Damar bergeming, matanya menatap Koh Wawan yang mengangkat alis. "Saya minta kamu fokus. Kakimu sembuh, tanpa fokus, sama saja kamu mengabaikan kerja keras gadis itu. Mau kamu seperti itu?"

Damar menggeleng,"Nggak, Koh." Mati kutu. Damar bisa apa?

"Profesional, oke?"

-oo0oo-

"Abang!" Aluna menabrakkan diri pada lelaki yang baru keluar dari pintu kedatangan bandara kota ini. "Sumpah! Gue kangen gila." Matanya berkaca-kaca saat lelaki itu merengkuhkan kedua tangannya. Mendekap seerat mungkin Aluna yang langsung terisak.

"Gue juga kangen," sahut lelaki itu, kemudian melepaskan Aluna yang langsung menyeka air matanya. Sementara lelaki itu membetulkan letak kacamatanya yang miring akibat tubrukan tiba-tiba Aluna. Menyeret koper kecilnya dengan tangan kiri, lelaki itu merangkul bahu Aluna dengan sebelah tangan. Keduanya bertukar kata dan tertawa bersama.

-oo0oo-

Judid menyadari bahwa bibirnya tertarik sedikit ke samping. Tontonan di depannya mampu membuatnya geleng-geleng kepala. Namun, tak urung dia terkekeh pelan. Ervan dan pelanggan setianya sedang cekcok menentukan penyebab mogoknya mobil gadis itu.

"Van?"

"Eh, Mas Yud." Ervan menoleh demi mendengar panggilan. Ingin ia melanjutkan dengan kata 'tumben keluar sarang?' tapi Ervan enggan mencampuri masalah di luar pekerjaan. Sudah dua minggu ini Ervan menyadari bahwa bosnya lebih sering berada di balik meja, hanya turun sesekali jika ada masalah yang tak bisa ditangani mekanik di workshop.

Judid mengulurkan tangan,"Saya Judid, mekanik utama di sini, ada yang bisa kami bantu?"

"Nggak usah baik-baik, Mas," sela Ervan. "Tempo hari nyaris mati ketabrak dia 'kan?"

Gadis itu memajukan bibir mendengar cibiran Ervan,"Gak sengaja, tau."

"Kalau sengaja itu keterlaluan," balas Judid. Kemudian mendapati bahwa bibirnya tersenyum, sesuatu yang belakangan ini susah sekali dilakukannya.

"Tuh! Masnya aja ngerti. Saya kan udah minta maaf waktu itu. Iya kan, Mas?" Gadis kemudian berbalik menatap Ervan. Tak lupa ia mendelikkan mata pada Ervan sebelum melanjutkan bicara,"Jangan-jangan mobil ini kamu sabotase, makanya doyan banget bikin ulah!"

"What the hell." Ervan mengumpat. "Seingat saya, Mbak, yang bawanya kurang ilmu," kilah Ervan. Ingin lidahnya menyemprot tajam, mengatai gadis itu blo'on, tapi sadar bahwa gadis di depannya lebih tua membuat Ervan menahan diri. "Mending nyari supir deh, Mbak, biar si Kuning gak balik-balik mulu."

"Udah berulangkali," desah gadis itu pelan. "Supir nggak ada yang tahan."

"Keliatan emang!"

"Van."

"Bukan, saya itu apa ya ... panikan. Jadi disetirin suka parno, mending bawa sendiri."

"Bagoooos, Mbak," Ervan memutar bola mata. "Hasilnya rem tangan lupa diturunin lah, karburator kemasukan air lah, ini lagi ... bilang mogok, jangan-jangannya bensinnya abis," gerutu Ervan kemudian mendekati mobil kuning kenari.

"Astaga!" Gadis itu menepuk dahinya. Ikut mendekati Ervan yang sudah masuk ke bangku kemudi. Ia berdiri dari kaca penumpang yang sengaja diturunkan Ervan.

"Kapan terakhir kali dibawa ke SPBU, Mbak?" Ervan memasang muka jengkel. Gadis itu bergeming. "Mbak, oi, Mbak!"

"Eh?"

"Makan inget?" Gadis itu melongol mendengar pertanyaan Ervan. "Ini mobil juga mesti dikasi makan, Mbak! Halaah!"

"Lupa, beneran." Cengengesan, gadis itu tiba-tiba mendekati Ervan yang barusan keluar dari balik kemudi. Kemudian tangannya bergerak cepat meraih pipi Ervan, melayangkan cubitan keras dan berkata,"Duuuh ... kamu cute banget sih kalo lagi ngomel, Adik Kecil? Saya gemes." Lalu ia tertawa membahana, mengabaikan Ervan yang keki dan mengusap-usap pipinya.

"Isi dengan cadangan bensin di bengkel, Van," perintah Judid. Ervan mengacungkan jarinya yang membentuk bulatan. Judid membalikkan badan, kemudian ia tersenyum saat mendengar jeritan Ervan.

"Dasar centil!"

Judid menatap Ervan yang lagi-lagi mengusap pipi. Menatap gadis di depannya dengan penuh permusuhan.

"Bukan centil, kalau ke lelaki itu centil. Kamu mah anak kecil," jawab gadis itu luwes.

"Heh! Saya udah tamat SMA."

"Tetep aja! Saya jauh di atas kamu. Weee...." Gadis itu menjulurkan lidah.

"Kemarin aja hampir nangis waktu mau nabrak saya." Judid terperangah, tak menyadari deretan kata yang meluncur begitu saja dari mulutnya.

Terlihat salah tingkah, gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali,"Yang itu saya salahnya fatal, bisa bikin orang tinggal nama, kalau hari ini kan cuma gara-gara lupa," jawabnya pelan sekali, menatap Judid takut-takut.

Judid malah terkekeh melihat reaksi gadis lucu di depannya. "Nama Mbak siapa?"

Gadis itu menyambut uluran tangan Judid, dengan senyum berbinar ia berkata,"Raqina."

Note:

Eyaaa...Noh Judid noh!

Wkwkwkwk....

Suka-suka saya deh ya, kalau mau bayangin yang lain juga bole. Ihihihi.

Ah...mau bikin rame ah..hayoo tebak, siapa lelaki yang memeluk Aluna? Alesan kalian apa jadi bilang si anu si itu. Yang benar pertama kali dan alesannya oke (menurut saya), pulsa 20k menunggu.

SILAKAN TULIS JAWABAN DI INLINE KOMEN INI.

Oia, ada yang di Jogja nggak? Rencana September akhir saya mau ketemuan sama penulis ketjeh lainnya di Jogja. Kali ... ada yang mau menampung kami, hahahaha...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro