CHAPTER 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salah satu hal tersulit di dunia bagi lelaki adalah menerka isi kepala perempuan. Damar akan menganggukkan kepalanya sejuta kali jika disodori afirmasi seperti ini. Apalagi dengan maraknya jargon 'perempuan selalu benar', kian pelik problem yang mesti dihadapi. Bertingkah 'a' salah, berlaku 'b' tetap keliru, bertindak 'c' disebut jahat. Susah emang, gerutu Damar.

Dua bulan terakhir berlalu dengan tenang. Terlalu tenang bahkan dalam kamus Damar. Terlepas dari sikapnya yang datar, Aluna sangat profesional. Setidaknya di depan Damar. Gadis itu bolak-balik memaparkan analisa sekaligus solusi untuk memperbaiki performance Damar yang kian membaik. Mendampingi setiap latihan, bahkan mulai menaikkan tingkat pembebanan. Jangankan Damar yang menyertakan hati dalam setiap interaksi dengan Aluna, Koh Wawan si pelatih tegas pun mengapresiasi ide-ide cemerlang gadis itu. Bahkan Damar yakin, mungkin Koh Wawan bisa pipis di celana saking senangnya menyaksikan jump smash Damar saat ini. Kok melesat tipis di sisi kiri sparring partner dan mendarat di bagian belakang lapangan. Menggembirakan, karena disertai pukulan dengan kecepatan tiga ratus kilometer perjam. Termasuk pula Damar yang berhasil mendarat dengan kaki mantap. Tak menyisakan sedikitpun raut muka menahan nyeri.

"Bravo!" Koh Wawan memekik. "Emas harus kembali ke tangan kita."

"Congrats, Bro," Igor menepak bahu Damar. "Udah kangen naik podium juara lagi."

"Gue usahain sekuat tenaga, Bro," balas Damar, merangkul bahu Igor. Pecahlah tawa keduanya. Tanda momen yang ditunggu-tunggu sekian lama akhirnya tiba.

"Saya permisi dulu, Koh." Damar menoleh ke sumber suara. "Ada atlet lain yang harus saya tangani."

"Oh, oke ... oke, Katya," Koh Wawan nyaris berdendang. "Terima kasih untuk bantuannya."

"Sama-sama, Koh. Kalau ada kendala, boleh panggil saya lagi. Soalnya kali ini ada yang lebih urgent."

"Tentu." Aluna menganggukkan kepala pada kedua pemuda yang masih berangkulan, kemudian berbalik menjauh saat suara Koh Wawan mengudara lagi,"Katya."

"Ya?"

"Minggu depan, tim akan berangkat ke Korea. Saya sudah masukkan nama kamu sebagai salah satu tim medis yang berangkat."

"Oh?"

-oo0oo-

"Hallo, Mbak? Lagi sibuk nggak?"

"Tumben kamu telpon, Mar. Nggak sibuk, baru kelar gantiin popoknya Tessa. Kenapa?"

Damar sudah mempertimbangkan berbagai pikiran yang berseliweran di benaknya. Membagi masalahnya dengan Igor-yang terakhir kali diketahuinya berjenis kelamin sama-tidak membantu. Maka, Damar menguatkan diri untuk menerima segala bentuk perundungan yang mungkin akan dimuntahkan Belinda-alias Bea, kakaknya semata wayang-saat dirinya mengisahkan sengketa hati yang dialaminya kini.

"Ng ... emang nggak boleh nelpon?"

"Bukan nggak boleh, 'kan Mbak bilang tumben. Jadi kenapa?" Bea sudah mencium ada aroma tak biasa dalam nada suara Damar. Meski tidak terlalu dekat akibat Damar masuk asrama dan komunikasi mereka terbatas, namun ikatan darah di antara mereka tak bisa didustai.

"Mbak jangan ketawa lho, ya." Belum-belum Bea sudah terbahak. "Oke, nggak jadi deh, Mbak."

"Ya ampun, Mar," Bea meredakan tawanya,"siapapun juga bisa ngakak kalo diperingatin duluan kek gitu. Ambekan gitu, kok bisa jadi atlet sih kamu?"

"Oke, aku tau ini gila. Dan Mbak pasti akan ngetawain aku, makanya aku ngomong duluan kayak gitu."

"Astaga, Mar, ya udah. Mbak minta maaf oke, jadi kenapa? Kebanyakan basa-basi kamu."

"Aku mau nanya, Mbak, jangan ketawa." Bea berdehem sebagai jawaban. "Kalo cewek tiba-tiba ngejauhin kita tuh biasanya kenapa, Mbak?"

"Hahahaha...," tawa riang Bea membahana. "Sorry, Mar, sorry kelepasan. Kenapa tadi?"

"Nggak jadi."

"Mar! Kamu ih kayak Tessa, ambekan," jerit Bea di ujung telepon, kemudian terkikik lagi. "Ada cewek yang lagi kamu suka?"

Damar hanya diam, tapi Bea mengerti bahwa adik kesayangannya telah dihinggapi penyakit yang populer di abad dua satu. Menyukai seorang gadis, namun bingung terhadap kelakuannya.

"Ya ... tergantung, Mar. Kalo Mbak sih biasanya ngejauhin karena si cowok punya salah."

"Eh?" Damar terkesiap, matanya sampai berputar di rongganya. Mencoba menggali memorabilia tentang sikapnya terhadap Aluna selama ini. "Ng ... kayaknya, Mbak, kayaknya sih aku nggak ada salah. Kayaknya, tapi." Damar masih menggantung kata, berharap Bea melontarkan beberapa clue. Tapi yang diajak bicara seakan ikut menunggu. "Seingatku, awalnya baik-baik aja. Bisa akrab gitu, Mbak. Dia juga responnya baik, paling nggak dalam kacamataku."

"Lalu?"

"Terus tiba-tiba berubah. Ngejauh gitu deh. Nggak jelas juga."

"Kamu curhatnya nggak jelas banget," gerutu Bea. "Sejak kapan begitu? Atau ada kejadian apa gitu terakhir?"

"Eum ... dua bulanan lebih, dan-" Damar tersentak, ia mulai mengingat apa yang terjadi dua bulan yang lalu. "-aku ingat hari itu dia telat masuk kerja, abis itu kayaknya dia mulai aneh."

"Kerja di mana?"

"Pelatnas, salah satu tim medis. Baru masuk tiga bulanan."

"Woah ... interoffice romance nih ceritanya? Ati-ati lho, Mar, kalo kacau hubungan kalian bisa berimbas sama permainan kamu."

"Belum mulai aja udah kacau, Mbak," rutuk Damar.

"Kudu bisa profesional, lho. Nggak bikin permainan kamu nyungsep 'kan? Maksud Mbak, selama ini kelakuan dia yang tiba-tiba ngejauh gitu nggak bikin kamu kepengaruh gitu?"

"Sebaliknya, malah bagus, Mbak. Cederaku berangsur-angsur membaik, dia yang tangani. Profesional kalo urusan kerjaan. Cuma-"

"Cuma?"

"Ya gitu, awalnya enak, ke sini-sini malah agak jaga jarak."

"Hmm ... kamu yakin?"

"Apanya, Mbak?"

"Nggak ada salah gitu?"

"Eung ... yakin, nggak yakin. Tapi, seingatku nggak, Mbak."

"Kalo gitu, barangkali, ini barangkali ya, dia yang bikin kesalahan sama kamu. Makanya ngejauh."

"Ah, nggak ah." Otomatis Damar menjawab.

"Kan barangkali bilang Mbak. Atau ... bisa juga dia punya masalah yang belum kelar. Makanya jadi beban pikiran."

Damar manggut-manggut,"Masa' gitu, Mbak? Masalah apa sampe ngejauhin diri dari aku?"

"Mana Mbak tau, Mar. Mungkin aja, dia punya pacar?" tebak Bea.

"Nggak, terakhir kutau, dia jomblo. Cuma emang ada temannya yang kayaknya deket banget gitu, Mbak. Bukan deket lagi, naksir."

"Nah, itu kali, Mar, masalahnya."

"Aku kudu tanya nggak, Mbak?"

"Ya tergantung, liat sikon, kalo dia mau terbuka ya silakan. Kalo nggak, ya paling kamu kudu sabar ngasi dia waktu."

"Waktu? Igor juga bilang gitu. Cuma sampe kapan? Sampe nenek-nenek selesai catok rambut?"

"Hahaha ... ya, nggak juga. Pokoknya, kamu carilah waktu yang pas."

"Waktu yang pas itu yang kek gimana?"

"Ye ... mana Mbak tau."

"Lha, kok sarannya gitu. Kan nggak ada tulisan di atas kepalanya, Mbak. Ini waktu yang tepat. Kan nggak ada yang begituan," rutuk Damar.

"Mar, Mar, makanya, pake hati."

"Astaga ... ini udah nggak pake hati lagi, jantung sama otak dipake, Mbak."

"Belum nemu juga waktunya?" Bea tahu Damar menggeleng. "Kalo gitu ya belum, karena hati pasti ngasi isyarat, Mar."

"Ugh ... susah amat main isyarat gini. Kenapa cewek kudu gitu sih, Mbak?" Damar misuh-misuh. "Kan enak kalo ngomong 'aku gini karena blablabla', nggak bikin puyeng."

"Kamu emang nggak nyadar kalo cewek itu nama tengahnya 'bikin puyeng'?"

"Njir!" Damar membiarkan Bea tertawa lepas di ujung sana. Sesekali melirik Igor yang telah pulas di alam mimpinya.

"Emang siapa sih namanya, Mar?" Iseng Bea bertanya.

"Nama apanya?"

"Cewek yang kamu sukalah, masa' nanyain nama tetangga sebelah," gerutu Bea.

Damar terdiam hampir semenit, menimbang seberapa perlunya ia jujur terhadap Bea, "Gimana kalau yang aku suka bener-bener tetangga sebelah."

"Mar?"

"Sebelah rumah Bapak."

"Anjrit!"

-oo0oo-

RevAl: udah ngomong belum teh?😎

LovelyLuna: huks...huks 😥, belum. belum nemu waktu yang pas, bang. dia sibuk latian, gue nggak berani ganggu.

RevAl: ama bang judid?

LovelyLuna: belum juga. kan lo nyuruhnya satu2 😲😲

RevAl: bang judid nggak ngejar lagi? Nggak nyariin ke rumah emang?

LovelyLuna: engga, mungkin dia cape kali. ngadepin gue, hiks 😫😫😶

RevAl: ya udeh, tetehnya nyamannya gimana. Apa perlu kita-kita yang ngomong?👿😈😈

LovelyLuna: e...jangan, nggak useh ye. tunggu bentaran lagi. semoga aja abis turnamen ini bisa agak longgaran. eh ... gue diikutin ke korea lho. aseeeek 😚😚

RevAl: korea doang, udah bosen gue. kapan emang?

LovelyLuna: yah, lo kan deket. bunda jerit-jerit mau ikut, ayah keki 😂😂

RevAl: hahaha...kebayang banget mukanya tante lila. dia kan maniak korea 😅

LovelyLuna: huuh, tuh masih ngebujukin ayah, pergi ke korea bareng gue pake biaya sendiri 😆

RevAl: trus om al ngasi?😏

LovelyLuna: kayaknya engga, makanya bunda ngambek. beli makan di luar mulu deh kita😒

RevAl: hahaha ... nanti bilang aja kalo udah di korea, siapa tau gue lowong, gue samperin

LovelyLuna: yuuu 😘😘

RevAl: tidur sana teh

LovelyLuna: insomnia gue, susah tidur belakangan ini 😑😴

RevAl: makanya kelarin! emang enak?😛😛

LovelyLuna: lo ye ngatain gue. awas aja kalo ketemu😭😭

Aluna meletakkan ponselnya di samping bantal. Sudah dua bulan berlalu dengan ia mengabaikan chat yang masuk. Entah dari Judid yang isinya kurang lebih minta maaf, atau pun Damar yang selalu bertanya apakah ia baik-baik saja. Aluna sendiri bingung, hatinya belum tau mau dibawa ke mana. Dengan Damar ia merasa nyaman dan hidup, tapi Judid sudah terbukti sangat melindungi. Judid selalu ada, bahkan di kondisi terpuruk sekalipun. Sesuatu yang belum tentu diperolehnya dari Damar kelak. Damar termasuk makhluk dengan kesibukan tinggi, belum tentu bisa memenuhi rengekan Aluna jika sewaktu-waktu kumat manja atau memang sedang ada perlu. Kalau mengikuti hati, Aluna akan segera berlari pada Damar, tanpa menoleh lagi. Tapi jaminan ketenangan? Mungkin Judid juaranya.

Kenapa cewek nggak boleh poliandri, Tuhan? batinnya.


Note:

Untuk cerita yang satu ini, jangan ditanya kapan tamatnya ya...Hahaha...

Emang di benak saya, kayaknya yang satu ini agak lambat daripada biasanya.

Terus, apakah melenceng dari perjuangan Damar sebagai atlet Badminton, kemarin ada yang nanya. Sebenarnya engga, cuma kalo saya cerita tentang badminton melulu, maka bakal ngebosenin yang bukan penggemar. Badminton unsur pendukung, keseharian tokoh-tokohnyalah yang utama. Deal with it?

Chapter depan, siapin hati kalian. Hahaha....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro