CHAPTER 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nanti sore nggak usah dijemput, Did."

Aluna mengatakan hal tersebut sambil lalu, sembari melepaskan sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya. Mobil bahkan belum berhenti dengan sempurna.

"Kenapa?"

"Ada temen ngajak pulang bareng, kebetulan searah."

Dahi Judid langsung berkerut tanpa disadarinya,"Temen yang mana, Lun? Perasaan nggak—"

"Ada. Orang pelatnas sini juga. Bye, Did! Ati-ati nyetirnya."

"Cowok?" Judid menahan lengan Aluna yang sibuk mengecek riasan dari cermin yang terselip di sun visor mobilnya. "Apa cewek?"

Aluna memutar bola mata sebagai reaksi atas pertanyaan Judid,"Iya."

"Aluna!"

"Cowok."

Pintu mobil terbuka begitu Aluna menarik handle-nya, lalu turun terburu-buru setelah membereskan semua barang bawaannya. Dan menutup kembali pintunya seraya melambai pelan pada Judid yang masih terpaku di belakang setir, memandangi barang bawaan Aluna yang jelas lebih banyak dari biasanya. Tak ada pilihan lain begitu sosok Aluna menghilang di balik pintu depan, Judid pun melajukan mobilnya ke luar dari gerbang pelatnas.

Searah? Mereka searah?

Judid langsung mengertakkan gigi, seakan baru dihantam kenyataan. Matanya mengerjap, mencoba menghadirkan pikiran positif bahwa mungkin saja Aluna diantar oleh rekan kerjanya yang sudah lumayan berumur. Tapi, mengenal Aluna sejak lama membuat Judid tak bisa mengenyahkan rasa penasarannya. Aluna dan keceriaannya tiap berangkat kerja. Gadis itu dengan lamunan panjangnya di sore hari. Dan, barang bawaan Aluna hari ini entah kenapa mengganggu firasatnya.

Ugh.

Menghentikan mobilnya di sisi kiri jalan sebelum ke luar dari komplek perumahan tempat pelatnas berada, Judid merogoh saku untuk mengeluarkan ponselnya. Lalu mengirimkan pesan singkat pada Aluna.

"Oke, ini hanya karena gue khawatir aja," bisiknya.

-oo0oo-

Suasana makan siang di kantin pelatnas riuh. Setiap mata terpasung pada layar besar yang melekat di dinding. Igor dan Gerry sedang berlaga menghadapi Korea di babak semifinal. Jika kemenangan bisa digenggam, besok hari akan melawan Cina sebagai rival langganan di final.

Damar mengepalkan tangannya kuat, sama sekali lupa akan makanan yang harus disantapnya di depan. Matanya terfokus hampir tanpa berkedip. Di depannya, Aluna mendecakkan lidah melihat Damar yang sedari tadi mengajaknya makan bersama berbalik menganggap Aluna makhluk tak kasat mata.

"Mar," desis Aluna.

Setiap Aluna membuka mulut ingin menyuruh Damar melanjutkan makan siangnya yang tersisa separuh, Damar akan mengacungkan tangannya agar Aluna bungkam. Kesal diperlakukan begitu, Aluna akhirnya berdiri dan meninggalkan Damar yang bahkan tak menyadari bahwa gadis itu telah meninggalkan kantin sambil merutuk pelan. Akhir set kedua, di mana pasangan Indonesia berhasil memaksakan rubber set, baru Damar menyadari bahwa Aluna sudah hilang dari pandangan.

"Lho, ke mana anak ini?" gumam Damar. Kepalanya celingukan memindai keberadaan Aluna.

"Nyariin siapa, Bang?" Adhis, salah satu pemain tunggal putri yang kali ini juga tidak dimainkan di turnamen ini, bertanya.

"Liat Mbak Katya? Fisioterapis baru itu lho. Tadi makan sama gue di sini."

"Oh, gue liat sih tadi ngarah ke luar. Balik ke ruangannya kali, Bang."

"Demi apa, lagi seru gini malah ngilang. Ngendep di ruangan."

"Ya ... beda lah, Bang. Nggak kayak kita yang lupa diri kalo nonton apalagi main."

"Ah ... masa' sih, Dhis? Seru gini kali."

"Iya, nggak semua orang anggep bulu tangkis itu jiwa kek kita. Emangnya Mbak Katya sebelumnya udah BL apa? Engga 'kan?"

Damar menggeleng bingung. Lantas menyadari bahwa selama ini ia hanya mengandalkan ingatan tentang sahabat masa kecilnya, sama sekali belum mengerti hal yang digemari dan dihindari gadis itu. Mengabaikan perasaan ganjil yang menyusup perlahan, Damar kembali lupa ingatan saat Igor melakukan serve untuk memulai set ketiga.

"Hajar, Gor! Gue cium kalo menang!"

-oo0oo-

Damar masih memutar-mutar raketnya saat menemui Aluna yang bersidekap di balik meja kerjanya. Sebelum ke sini, ia mengeluarkan kekesalan yang terpendam di dada akibat kekalahan Igor barusan. Melawan junior yang ketiban sial harus melayani amukan Damar. Beberapa smash dan dropshot yang dilancarkannya sekuat tenaga tanpa harus banyak melompat membuatnya merasa digdaya, mampu menekan habis mental lawannya yang baru menghuni pelatnas seumur jagung. Setelahnya, baru ia berjalan menuju ke ruangan yang akhir-akhir ini rutin disambanginya.

Ekspresi kesal Aluna langsung terpasang di wajahnya begitu kepala Damar menyembul dari pintu.

"Boleh aku masuk?"

"Kalo aku bilang nggak boleh, emangnya kamu mau balik mundur?"

"Nggak."

"Nah! Ngapain nanya?"

Damar berdecak melihat raut wajah Aluna yang ditekuk. "Ngambek ya, Princess?"

"Ngapain nanya?"

"Nggak ngambek berarti?"

"Masih nanya?"

"Antara ngambek dan nggak ngambek berarti?"

"Mar...," desah Aluna, nyaris putus asa menahan tawa. Karena kelakuan Damar yang menyembul dan menarik kepalanya dari balik pintu. Persis seperti kelakuan mereka ketika kecil, bermain cilukba.

"Ngambek kenapa?"

Aluna langsung menahan mode setengah tersenyum, menyipitkan matanya sampai segaris,"Masih perlu nanya?"

Damar mengangguk, matanya menatap Aluna seraya mengerjap beberapa kali. Persis seperti anak kecil yang minta belas kasihan ketika dimarahi.

"Grr ... kamu tadi janjinya apa pas ngajak makan siang bareng?"

"Eum ... mau cerita soal masuk klub bulutangkis perdana dulu," sahut Damar pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia lupa sama sekali akan janjinya yang satu ini begitu melihat partner sejatinya memasuki lapangan.

"Terus nyumpah-nyumpah, ngepal tangan, gebrak meja, teriak-teriak itu sama dengan cerita?" sindir Aluna.

"Kamu kalo lagi nyindir-nyindir begini kenapa jadi imut banget, ya?" ujar Damar, memasang muka polos yang akhirnya memancing Aluna untuk berdiri dan menggeplak punggungnya. "Aw!"

"Nyebelin. Lemes banget sih tuh mulut."

"Badanku ini aset negara, please, hati-hati," ujar Damar hiperbola. Seolah pukulan Aluna tadi menyisakan sakit yang lama.

Aluna memutar bola mata,"Lebay banget, sih."

"Atau mau jadiin aku aset kamu juga, biar puas mukulinnya?"

Langsung Aluna tersedak ludah,"Mar, please, aku jual ke Arab juga kamu nih. Yakin, laku mahal," hardik Aluna sebal.

Damar langsung kicep.

-oo0oo-

Mobil Damar yang berpenumpang dua orang terpaksa berhenti atas instruksi Aluna. Ia pun melepaskan sabuk pengaman dan turun mendekati mobil biru yang terparkir di depan pelatnas. Aluna hapal mati nomor platnya.

"Did?"

"Pulang sekarang?" sahut Judid setelah menurunkan kaca jendela.

"Lho, gue bilang kan tadi nggak usah dijemput, Did."

"Tapi, gue kan udah sms bakal tetap jemput," balas Judid. "Lo nggak baca emang?"

Aluna menggeleng,"Selama di kerjaan, nggak dibolehin main hape. Aduh ... gue jadi nggak enak nih." Aluna menautkan jemarinya, matanya berulangkali berpindah dari kedua mobil yang posisinya berhadapan.

"Ya nggak papa, gue sekalian jalan ini. Yuk, balik."

"Tapi, Did, gue—" Aluna belum lagi menyelesaikan kalimat ketika Damar akhirnya turun dan menghampiri.

"Kenapa, Princess?"

"Ini, gue dijemput," sahut Aluna seraya berdecak.

Apa yang terjadi kemudian mengejutkan Aluna, Judid ikut turun dan memosisikan diri persis di samping Aluna.

"Gue jemput dia," tegas Judid. Memandang Damar dan langsung menyadari bahwa lelaki di hadapannya inilah yang fotonya dilihat Aluna di ponselnya waktu itu.

"Dia sama saya. Saya yang bakal ngantar dia pulang," jawab Damar tak mau kalah.

"Terima kasih. Tapi, itu udah tugas gue."

"Gak masalah. Rumah saya sebelahan rumah dia. Jadi biar dia ikut saya aja," sanggah Damar, mengabaikan kepala Aluna yang berulangkali menoleh ke arah keduanya.

"Lun?"

"Eh?"

"Sebelahan? Atau searah?" Mata Judid menyipit, nyaris segaris.

"Eum ... Oke. Stop!" Aluna mengangkat kedua tangannya. "Did, ini Damar, tetangga sebelah rumah gue. Dan Mar, ini Judid, temen aku dari SMA."

Reaksi yang berbeda keluar kentara dari kedua lelaki. Damar menyunggingkan senyum mendengar kata 'teman' yang disebut Aluna, sedang Judid sebaliknya, menggeram menahan sebal.

"Tapi, tetep aja, gue yang udah minta izin sama bokap lo, Aluna. Dan lo tau gimana bokap lo kalo lo minta antar sembarang orang."

Damar yang tadi tersenyum, langsung terdiam, menyahut dengan nada rendah,"Saya bukan sembarang orang. Saya bahkan kenal Aluna dan keluarganya jauh sebelum Anda bahkan sadar kalau dia ada."

Aluna terpaku mendengar nada suara Damar yang berbeda dari biasanya,"Mar," panggilnya pelan.

"Tapi, gue yang ada di sisi dia selama ini," balas Judid.

Menghela napas, Damar menyadari bahwa hal ini takkan selesai hanya dengan debat mereka berdua,"Mau tetap aku yang anter atau mau ikut dia?" tawar Damar akhirnya, enggan memaksa Aluna. "Aku nggak mau kamu jadi nggak nyaman, Luna."

Aluna memejamkan matanya, menggigit bibir bawahnya tanda ia sendiri bingung harus bagaimana.

"Did, maaf, gue udah janji pulang sama dia," cicit Aluna pelan. "Lo kan paling tau kalo gue nggak bisa ingkarin janji."

Judid yang mengenal Aluna nyaris sepuluh tahun akhirnya merasakan kekalahan untuk pertama kalinya, tapi dengan jemawa ia berucap,"Oke. Ati-ati, kabarin gue kalo nyampe rumah. Senin gue anter lagi?"

Aluna mengangguk kecil, matanya berbinar karena pengertian Judid. Dalam hati Judid menabuh genderang perang, betapa inginnya ia merenggut tangan Aluna dan berlalu dari situ. Sedang Damar terpaku, mendapati keduanya orang di depannya yang sama-sama diam, lalu tersenyum bersamaan.

Jelas mereka bukan hanya 'sekadar' teman, batin Damar, lidahnya tiba-tiba kelu.

-oo0oo-

"Minggu depan aja kita nontonnya, ya," ucap Damar begitu Aluna mendaratkan diri di mobil. Sementara mobil Judid sudah berbalik arah sejak lima menit yang lalu.

"Lho, kenapa?"

"Bener kata temen kamu, aku belum minta izin sama ayahmu, Princess."

"Halah ... Mar, santai kali. Pas pulang aja nanti bilangnya."

Kalo belum denger temen kamu ngoceh itu aku nyantai aja ngajak kamu, Luna. Tapi sekarang beda ceritanya, batin Damar, bisa-bisa aku kalah langkah kalau berlaku bego dan kurang ajar. Ergh!

"Minggu depan, nggak papa ya? Beneran, aku minta izin dulu sama Om dan Tante. Aku janji minggu depan kita jalan. Oke?"

Aluna merengut, merasa sia-sia sudah berganti pakaian dan berdandan lebih dari biasanya.

"Princess, aku bisa aja kayak cowok-cowok yang ngajak kamu jalan tanpa setahu orangtuanya, tapi aku nggak mau ngelakuin itu ke kamu," bujuk Damar pelan. "Minggu depan, kalo ayahmu kasih izin, terserah kamu mau ke mana."

Aluna memutar bola mata, masalahnya ia tak yakin izin akan semudah itu dikantongi Damar. Judid yang bertahun-tahun saja baru dapat izin mengantar jemput Aluna belakangan ini. Apalagi Damar yang batang hidungnya tak kelihatan nyaris lima belas tahun. Aluna yakin, ayahnya takkan semudah itu menganggukkan kepala. Benaknya bahkan sudah memikirkan berbagai macam cara untuk memanipulasi penolakan ayahnya.

Tenggelam dalam lamunan, Aluna tak menyadari bahwa mobil sudah memasuki komplek perumahan tempat mereka tinggal. Matanya mengerjap saat Damar menghentikan mobilnya di depan rumah Aluna.

"Ayahmu ada di rumah?" tanya Damar, mengembalikan kesadaran Aluna sampai tahap maksimal. "Aku mau pamit, tadi nganter anaknya."

"Nggak tau, tapi mobilnya nggak ada. Mungkin masih di rumah sakit."

"Kalo Bunda kamu, ada?"

Aluna menggeleng,"Nggak tau." Damar masih menunggu kata-kata selanjutnya yang terlontar dari bibir Aluna. "Mar, kapan-kapan aja deh ketemu mereka. Aku capek banget."

Damar ingin sekali menyela, tapi melihat raut muka Aluna yang masih ditekuk membuatnya memilih untuk undur diri.

Aluna menghempaskan diri di kasurnya, mencoba meraba rasa tak enak yang menghinggapi dadanya. Paduan rasa kecewa pada keputusan Damar dan rasa bersalah untuk Judid tepatnya.

Getaran dari ponselnya mengganggu lamunannya. Ia menemukan pesan Judid yang isinya menanyakan posisi Aluna. Membalas pesan bahwa ia sudah berada di rumah dan memejamkan matanya. Aluna merasa lelah sekali.

-oo0oo-

Malam harinya, Aluna nyaris sudah menjelajah alam mimpi ketika ponselnya bergetar sekali lagi. Diraihnya benda pipih itu dari nakas. Dengan mata setengah terpejam ia menemukan nomor baru mengirim pesan di kotak masuknya.

Dahulu hanya kenangan dan akan terus hidup dalam ingatan, hingga kini aku mengerti: cinta itu adalah soal bagaimana mencari jalan pulang.

Mata Aluna langsung terbuka, ditekannya tombol panggil menuju nomor tersebut. Merasakan jantungnya yang berdegup kencang, ketika lelaki di seberang sana menyahut dengan tawa riang,"Belum tidur, Princess? Mau latihan lompat balkon lagi nggak kayak dulu? Siapa tau mau lompat ke jendela sini." 

Footnote:

BL: Badminton Lovers, sebutan untuk penggemar bulu tangkis

Note:

Yah...itung-itung nemenin malam senin, ehehe...tadi malam mau upload ujan deres, sinyal ntek. wkwkkw. Alesan.

Menurut kalian siapa yang cocok jadi Judid?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro