Guru Les Si Kembar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Bhanu keluar dari kamarnya dengan rambut setengah basah, memakai t-shirt oblong dan celana training berwarna biru gelap. Hari ini akhir pekan, ia mau menghabiskan hari ini dengan santai di luar pekerjaan. Ia berencana bersepeda di jalan lalu mampir ke salah satu kedai kopi, membawa satu buku karangan terbaru Dee Lestari yang ia beli beberapa hari yang lalu. 

Sebagai seorang penulis, ia harus terus memperbarui diksi dan memperbanyak kosakata dengan satu-satunya cara yakni membaca. Baginya, menulis tanpa membaca itu termasuk golongan orang-orang yang sombong.

Ia meletakan tasnya di meja makan, menghidupkan ponsel untuk memeriksa email yang masuk dari sahabatnya sesama penulis yang saat ini sedang berpetualang ke negeri tirai bambu, mereka sempat bertemu di India beberapa bulan yang lalu. Keributan Si Kembar yang sedang berebut sosis itu tak luput dari perhatiannya.

"Astaga, kamu udah makan dua sosis tadi, Nooon! Michyeosseo[1]?[2]" Nana berteriak memecah konsentrasi sang kakak membaca surat elektroniknya.

"Kurang!"

"Aigoo[3], ada berapa pengemis sih di perut lo?" Nana merebut sosis di garpu kembarannya.

"Nekkoya[4]!" Noni berdiri dari kursinya, mencoba menjangkau sosis di tangan Nana.

"Lo udah makan tadi!"

"Andwae[5], Nanaaaa!"

"Rakus amat lo dah, Non."

"Siniin!"

"Shiro![6]"

"Lo PR matematika kerjaan sendiri ya, gue nggak mau bantu!"

"Lo PR bahasa inggris, hidup sendiri lo ya!"

Bhanu mengorek-orek kupingnya dengan kelingking kiri merasa bising dengan keributan adik kembarnya. Orang kebanyakan bilang, meskipun kembar identik pasti ada yang membedakan. Omongan itu tidak berlaku untuk Nana dan Noni. 

Mereka sama-sama suka memancing keributan satu sama lain. Keduanya suka berteriak, suka usil satu sama lain. Tidak ada yang mau kalah. Mereka adalah definisi kembar identik luar dan dalam.

Nyam. Bhanu mencomot sosis di garpu mereka dan memakannya. Itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan perang di meja makan pagi ini.

"Mas Nuuuuu!" Keduanya memekik secara bersamaan membuat Bhanu langsung menutup telinga.

"Shibal!" lontar Noni kesal yang detik itu langsung ia sesali. Air mukanya yang merah padam berubah menjadi cemas dan ketakutan. "Maaf, Mas, maaf."

Bhanu tersenyum sambil menghela napas, ia mencomot roti yang sudah terselimuti selai cokelat dan kacang di meja. Meski air mukanya terlihat santai, justru hal itu yang malah membuat Noni semakin gusar ketakutan. Bola matanya was-was ke arah dapur, ke tempat sang ibu sedang berdiri memasak sesuatu.

"Lo sih ngapain ngumpat Mas Nu pakai bahasa korea! Sampe ibu tahu, habis riwayat kita, oooh...!"

"Ini juga gara-gara lo, kan, ngambil sosis gue!"

Bhanu memutar bola matanya jengah, cuma pekara sosis mereka gencatan senjata di akhir pekan yang indah ini di meja makan, Bhanu tak kaget juga tak heran hal ini sangat wajar terjadi, apalagi jika sudah formasi lengkap, bukan lagi genjatan senjata tetapi sudah perang dunia.

Ibu pernah marah besar hingga nyaris membuang nasi yang sudah matang ke kotak sampah karena Binna, Noni dan Nana ribut masalah sambal terasi. Untung saja adiknya satu itu berangkat subuh karena ada jadwal kuliah pagi. Entah apa jadinya jika Binna turut melempar granat ke maja makan.

"Mas Nu..." Noni memasang wajah memelas dengan dua tangan menelangkup memohon pengampunan.

"Buuu...!" Bhanu berdiri.

"Mas Nu!" Noni menggelempok d lantai, di kaki sang kakak. Matanya sudah membendung air bening dengan wajah ratapan.

"Mas Nu, maafin Noni ya, maafin kita deh." Nana ikut membantu kembarannya, karena jika kakaknya itu mengadu, hal itu juga pasti berimbas pada dirinya.

Bhanu menatap adik-adiknya secara bergantian, ia memasang wajah kesal dan muak. Sebenarnya dalam hatinya tertawa habis-habisan, memang tidak ada hal yang paling menyenangkan selain membuat adik-adiknya kapok dan meratap seperti itu. Kalau dipikir-pikir, ke-empat saudara itu memang suka usil. Bhanu yang suka menggoda adik-adiknya, Binna yang suka merepotkan Bhanu dan si kembar yang saling mencari gara-gara satu sama lain.

"Opo, Le?" Tahu-tahu Nawang muncul membawa panci kecil berisi sop. "Eh, itu ngapa toh Noni ndeplok di situ, Kalo makan yang anteng!" tegurnya melihat Noni duduk di lantai.

Noni menarik-narik tidak kencang celana kakaknya, berharap sang kakak tidak mengadu masalah mengumpat tadi ke Nawang. Jika Nawang tahu, ia akan berubah menjadi hulk yang bisa melumat habis tubuh Noni. Uang sakunya akan dipangkas, kabel Wi-Fi akan dicabut, dan Noni tidak akan pernah diizinkan untuk mengoleksi perintilan k-pop kecintaannya. 

Belum lagi Noni harus bicara krama alus selama satu bulan di rumah. Itu sudah menjadi peraturan paten keluarga mereka; dilarang ngelamak atau kurang ajar kepada yang lebih tua. Apalagi jika bahasa yang digunakan untuk mengumpat bukan bahasa Indonesia, itu fatal sekali.

"Nggak..." Bhanu tersenyum miring sambil melirik Noni yang bernapas melega sambil perlahan duduk kembali di kursi makannya, "itu... Ibu udah dapet guru les baru buat Nana Noni, belum?"

"Pagi ini Ibu mau nge-interview, udah ibu undang datang ke sini, kok. Ya... semoga aja datang, sih." Nawang duduk di kursinya, bersiap untuk sarapan. "Anak Wedok, habisin sarapannya. Jangan ke mana-mana dulu, temuin calon guru les kalian. Udah mau semester kenaikan ini. Nggak mau tah kayak Mbak Binna bisa jadi dokter?"

Kompak keduanya menggeleng. Kontan membuat Nawang tersentak kaget, urung melahap nasi di sendoknya.

"Lah pengin jadi opo?"

Nana dan Noni saling pandang sambil melempar senyum, "Blackpink in your area-aaah..." dengan kompak keduanya menyanyikan slogan khas salah satu girlband terkenal asal Negeri Ginseng. "Singer!" lanjut Nana menggunakan sendoknya seolah mic, "Dancer!" sambar Noni seraya melenggak-lenggokkan kedua tangannya.

"Wah, apik iku!" Nawang melahap nasinya, "Nana jadi sinden, Noni jadi jathil."

"Buuuu...!" Si kembar kembali memekik protes.

Bhanu nyaris menyemburkan air yang hendak ia teguk di dalam mulut mendengar itu. Tidak salah sih, hanya saja jalurnya berbeda.

"Opo? Ibu dukung kalau mau melestarikan kesenian jawa, seratus persen ibu dukung, gapapa nggak jadi dokter, Mbak Binna aja udah cukup," kata Nawang enteng.

Si kembar cemberut buka main. Bhanu berdiri sambil terbahak, "Bu, pamit mau sepedaan."

"Hm. Pulang beliin tomat sama sayur kangkung,ya, Le."

"Nggeh..." jawabnya, "Cocok itu buat gizi calon pesinden sama calon penari jathil," goda Bhanu.

"Mas Nu...!"

***

Rumah berdesain Jawa klasik dengan sentuhan interior modern itu diamati saksama oleh sepasang mata bening Khirani. Tidak perlu melihat jalan dan nomor rumah lagi untuk memastikan, Khirani yakin ini adalah alamat yang benar. Rumahnya paling beda dari deretan rumah di kompleks tersebut. Sejuk dan asri sekali. 

Gerbang kayu menjulang setengah badan, halamannya tidak terlalu luas tetapi dipenuhi rumput hijau membuatnya tampak sedap dipandang mata, ada pasukan bunga berwarna-warni ditata rapi di dekat teras. Ukiran dan aksen kayu di rumah itu seperti menggambarkan penghuninya berdarah asli Jawa. Auranya vintage dan Khirani langsung jatuh cinta. Harapannya membumbung semoga bisa mengais rezeki di tempat indah ini. Terasa nyaman.

Khirani melangkah perlahan ke halaman rumah itu, kemudian mendekat ke pintu yang sudah terbuka.

"Permi—,"

Seseorang menyembul di pintu membawa gulungan selang air, "O! Nuguseyo?"

"Hm?" Khirani menelan ludah, tidak paham dengan ucapan seseorang di depannya itu.

"Siapa?" seseorang dengan wajah yang sama muncul dari belakang, "O! Annyeong? Cari siapa?"

Napas Khirani melega, ia pikir salah alamat. Khirani tahu gadis di hadapannya itu mengenakan bahasa Korea, tenggorokannya sedikit tercekat karena teringat seseorang berdarah Korea yang ia kenal.

"Saya..."

"Mbak Khirani, ya?" Perempuan paruh baya memakai kacamata hitam muncul dari arah dalam membawa ember.

Khirani menarik sedikit bibirnya untuk tersenyum sambil mengangguk, ramah.

"Masuk, masuk," Nawang mempersilakan Khirani masuk.

"O! Seonsaeng-nim?"[7]sambut Noni sambil meletakkan selang air di sebelah tiang pintu bagian luar, "Saya Noni Kim, ini Nana Jang." Noni melambai-lambaikan tangannya riang, diikuti oleh Nana di sampingnya tersenyum lebar.

"Noni Ayu Wulandari sama Nana Ayu Wulandari, Mbak Khirani. Duh, mereka itu... jangan ngomong korea, tak thutuk loh, ya![8]" seru Nawang dari dalam.

Khirani tersenyum canggung, "Saya Khirani."

"Kajja, kajja, masuk..." kata Noni setengah berbisik sambil menyeret tangan kanan Khirani untuk masuk.

Ketidakmengertian Khirani dengan bahasa yang ia dengar sedikit membingungkan. Namun, kebingunganya itu buyar digantikan dengan cengangan kagum interior rumah mereka yang tampak memukau. Mata Khirani berkilat-kilat menyapu segala sudut ruang tamu. Furniturenya berasal dari kayu jati, sofa, meja, bahkan tali lampu yang menggantung di tengah-tengah ruangan itu terbuat dari kayu yang dihiasi khas ukiran Jawa. Semua itu dipelitur mengkilap, warna cokelatnya tampak bersinar berkawin dengan warna putih tulang di dinding. Teduh rasanya.

Ada foto besar dibingkai kayu terletak di dinding ruang tamu, bersebelahan dengan foto-foto dengan bingkai lebih kecil, membentuk tatanan cantik melengkapi keindahan rumah ini. Tatanan foto keluarga itu mengingatkannya pada foto keluarganya yang entah terbuang di mana. Ia pernah memiliki foto keluarga sebesar itu, ditempel di dinding ruang tamu dan ruang keluarganya. Tunggu dulu, sepertinya aku pernah ketemu pemuda di foto itu?

"Duduk, Mbak Khirani..." kata Nawang lembut, pandangan Khirani langsung beralih kepada Nawang.

"I-iya, Tante." Khirani duduk di sofa, berseberangan dengan Nawang.

"Berasa muda dipanggil Tante, panggil Bu aja, anak saya empat, yang tertua udah mau tiga puluh." Nawang terkekeh.

Khirani mengangguk.

Noni keluar membawa segelas jus jeruk, sedangkan Nana membawa toples berisi Turkiey Delight, oleh-oleh dari kakaknya. Dari pertama melihat Khirani, Nana dan Noni merasa cocok. Rasanya ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengan Khirani, padahal baru kali ini mereka pertama bertemu.

"Ini resume saya, Bu" Khirani mengulurkan map.

Nawang menerimanya dengan senyuman, Nana dan Noni kontan menempel di sisi kanan kiri Nawang ikut mengintip resume tersebut. Khirani menundukan pandangan ke arah meja, ia memilin-milin ujung jaketnya, gelisah. Ukiran di meja itu berhasil mendistraksi kegugupannya. Sebuah ukiran kayu bunga teratai menjalar di bawah telapak krem transparan.

"Hmm..." Nawang bersiap mewawancarai sembari bola matanya naik turun membaca resume milik Khirani, "Jadi, ... kamu belum tamat SMA?"

Khirani mendongak, menelan ludah sebentar lalu menggangguk. Ia sudah menduga pertanyaan itu pasti akan ia dengar. Pedih rasanya mengakui, tetapi memang seperti itu kenyataannya. Ia tidak pernah tamat SMA. Langkahnya terhenti di tahun pertama kelas tiga.

"Hmmm..." Nawang bergumam, air mukanya terlihat menimbang-nimbang. Sebenarnya sedang pura-pura menimbang agar tidak terlalu menyakiti perasaan gadis di depannya itu sebab Khirani tak masuk kriteria untuk menjadi guru les anak-anaknya.

"Nggak tamat SMA kenapa, Kak?" sambar Noni yang langsung mendapat cubitan dari Nawang. Itu masalah pribadi orang lain, tidak pantas menanyakan meski sebenarnya pertanyaan sepele. Nawang hanya khawatir hal itu menyinggung perasaan Khirani meskipun ia juga penasaran.

Tersenyum getir Khirani menjawab, "Mengundurkan diri."

"Ooh... Kenapa mengundurkan diri, Kak?" giliran Nana yang menyambar. Nawang berganti menyubit Nana sekarang. Ia menegur Nana dengan decakan kecil.

Khirani tidak punya kalimat untuk menjawabnya. Ia tidak mau mereka tahu tentang dirinya. Tentang keluarganya, tentang semua kepedihan yang ia alami. Kini ia yakin harus mematahkan harapan untuk mendapatkan pekerjaan ini. Ia tak masuk kualifikasi mereka. Ya, apa yang mau diharapkan dari dirinya yang tak tamat SMA. Sama sekali tidak cocok menjadi guru les.

"Maaf, ya, Mbak Khirani. Mereka ini suka lancang." Nawang merasa tidak enak, "di minum dulu, Mbak."

Khirani mengangguk. Bahkan untuk meraih gelas jus itu ia merasa tampak menyedihkan. Kenapa dunia terasa semakin berduri tajam untuk dirinya. Sama sekali tidak ada masa depan. Tidak ada yang bisa ia andalkan, selain fisiknya.

"O!" pekik Noni melihat kertas dengan logo yang ia kenali tertutup dengan berkas resume lainnya, sepertinya kertas itu belum Nawang lihat. Ia menyembul sedikit dan Noni melihatnya, "Musica Art School?"

"Hah? Mana? Mana?" Nana ikut antusias.

Noni memcabut lembar itu di antara lembar resume. Noni dan Nana tercengang melihat lembaran itu, tangan Noni sampai bergetar. Tertulis, Musica Art School Award: Khirani Gantari as Best Student of the year. 

Tidak hanya satu lembar, ada beberapa lembar dan semua adalah surat penghargaan. Penghargaan kompetisi music, penghargaan olimpiade bahasa asing, olimpiade matematika dan lebih banyak penghargaan yang ia dapatkan dari kompetisi biola.

"Nanaaa..." desis Noni bersamaan dengan desisan Nana, "Noniii..."

"Ibuuu....!" Kompak keduanya memekik dengan bendungan air mata. Mereka akhirnya menemukan alasan mengapa mereka merasa cocok dengan Khirani meski baru pertama kali bertemu.

"Opo? Opo toh?" Nawang kebingungan dengan rengekan si kembar.

"Pokoknya kita mau les kalau Kak Khirani yang ngajar, titik!" ujar Noni mengejutkan Khirani, begitu pula ibunya.

"Pendidikan terakhirnya nggak penting, Bu. Kak Khirani terbukti orang pintar. Dia pandai bahasa inggris, satu-satunya mapel kelemahan Nana. Dia pintar matematika, mapel paling sulit bagi Noni. Dan ..." terjeda helaan napas Nana, ia menangis sekarang.

"Dan dia berbakat musik. Dia pernah jadi siswa di sekolah impian Nana Noni!" sambar Noni, tak kalah histerisnya.

Musica Art School adalah jalan paling dekat dengan mimpi mereka. Kedatangan Khirani bagai malaikat yang menjembatani jalan mereka untuk menuju ke sana. Nana dan Noni memohon dengan kesungguhan hati untuk menerima Khirani sebagai guru les mereka. 

Nawang tidak bisa berbuat apa-apa, ia juga sama terkejutnya mengetahui bahwa Khirani memang anak yang cerdas dan berbakat. Mungkin alasannya mengundurkan diri dari sekolah bergengsi itu karena masalah perekonomian atau yang lain perlahan mengecil menjadi tak berarti. Melihat si kembar memohon dengan tulus, berjanji akan semangat belajar, dan antusias mereka membuat Nawang akhirnya setuju menerima Khirani.

"Yeay!" Nana dan Noni berloncat kegirangan.

"Mbak Khirani bisa memulai les mulai senin depan, ya. Setiap senin sampai jumat, jam lima sore sampai jam delapan. Untuk gajinya satu juta per dua minggu. Mbak Khirani akan menerima gaji setiap dua minggu sekali. Kalau nilai mereka bagus di ujian tengah semester, Mbak Khirani mendapat bonus. Kalau mereka mendapat juara di ujian semester, Mbak Khirani akan saya naikan gajinya."

Khirani menelan ludah, mencoba mencerna kalimat Nawang yang bermedok khas jawa itu. Bukan karena aksennya, tetapi jumlah gaji dan lain-lainnya yang membuat Khirani tak bisa berkata apa-apa. Nilai itu jauh lebih besar dari kerjaannya menjadi cuci piring di restauran atau dari gajinya menjadi pekerja paruh waktu di kedai. Ia bisa membayar indekos juga membayar utang tanpa harus menunda salah satunya. Ia bisa membayar kedua-duanya dalam satu bulan, tanpa harus membanting fisik terlalu berat.

Khirani mengangguk sambil mengerjap. Sungguh rasanya seperti baru saja mendapatkan seteguk air di tengah padang pasir. Sejuk sekali di kerongkongannya. Di dasar hatinya.

"Baik, Bu, terima kasih."

"Yeay! Seonsaeng-nim!" pekik si kembar menghambur ke tubuh Khirani. Khirani tidak siap dengan serangan itu, rasanya canggung sekali.

"Oh, ya, Mbak Khirani. Kira-kira di Musica Art School itu ada jurusan sinden sama jathil nggak, yo?" goda Nawang.

"Buuu...!" Si kembar berteriak protes.

***

[1] Gila ya? (Korea)

[2] Kau mau mati?

[3] Ya ampun

[4] Punyaku!

[5] Nggak boleh

[6] Tidak mau!

[7] Bu Guru

[8] "Ku pukul ya!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro