Kepulangan Kekasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak sempat menghapus make up, Khirani langsung menuju pelabuhan tempat di mana kapal sang kekasih akan bersandar. Ia mengganti bajunya dengan dress panjang di bawah lutut motif berbunga berwarna biru putih. Sebuket bunga disiapkan untuk menjadi hadiah sambutan.

Satu tahun enam bulan telah berlalu, konflik perbatasan Lebanon sempat membuat Khirani tak tidur hingga berhari-hari karena mengkhawatirkan Bhanu. Begitu juga dengan tenggelamnya kapal selam sempat membuat Khirani meminum obat tidur untuk menenangkan pikirannya.

Menjadi istri seorang prajurit ternyata tidaklah mudah, banyak kekhawatiran yang berujung pada kesedihan tak berkesudahan. Bertanya-tanya setiap waktu, akankah suami pulang dengan raga beserta nyawanya, atau berpulang hanya nama saja.

Pengharapan dan doa seperti dua sahabat yang menemani setiap malam, menjelang tidur, atau saat mata terbuka dari mimpi. Semoga tidak ada ombak yang akan memeluk suami tercinta, semoga tak ada peluru yang singgah di badan sang kekasih, semoga dan semoga lainnya.

Kini pengharapan itu telah usai saat tiba waktunya Bhanu menyelesaikan tugasnya. Enam bulan lebih cepat dari perkiraan dua tahun yang dijanjikan. Ia akan kembali dalam pelukan, pada rengkuhan yang akan membuat lelap semakin nyaman.

"Kak Khi!" panggil Nana yang sudah berdiri di batas penjemputan.

Khirani yang baru datang bersama Binna itu berlari membelah kerumunan keluarga yang juga menjemput prajurit-prajurit mereka. Ada wajah bungah yang tak sabar menanti keluarga yang akan bersandar pada pelabuhan terakhir setelah penantian panjang.

"Gimana acaranya tadi?" tanya Bu Nawang setiba Khirani bersamanya.

"Lancar, Bu," jawab Khirani sambil mengecup punggung tangan mertuanya, "Kapalnya udah datang?"

"Sebentar lagi. Itu sudah kelihatan," tunjuk Bu Nawang pada kapal raksasa berbendera merah putih mendekat ke pelabuhan.

Ada rasa haru yang membuat seluruh tubuh merinding, air matanya jatuh lebih cepat sebelum sang kekasih datang. Khirani menggigit bibir menanti dalam cemas yang berselimut bahagia.

Begitu juga dengan Bu Nawang, hati ibu mana yang tak campur aduk sang putra yang setiap hari dijaga dalam doanya telah usai melaksanakan tugas negara. Semoga pula misi-misinya mencapai titik akhir. Atau jika tidak, Bu Nawang tak mau lagi putranya berlayar kembali. Ia sudah memaafkan atas segala ketidakadilan yang pernah menimpa keluarganya.

Marine Horn terdengar berseru seolah menyampaikan kedatangan kepada barisan keluarga yang berdiri di pelabuhan. Suaranya disambut pula oleh sorak-sorak bahagia para keluarga menyambut kedatangan kapal.

Dan ketika kapal benar-benar sudah bersandar, muncul barisan prajurit mengenakan seragam putih berjalan turun dari kapal. Sorak keluarga menyambut semakin meriah bersamaan dengan drum band menyambut kedatangan prajurit.

Khirani menatap satu persatu setiap wajah prajurit yang mulai baris rapi untuk upacara laporan tugas telah usai. Dari sekian ratus prajurit yang sudah turun dari kapal, mata Khirani tak kunjung menemukan wajah sang kekasih.

"Mas Nu di mana, sih?" Begitu dengan Binna, Nana dan Noni yang juga belum melihat wajah kakaknya.

Sementara Bu Nawang memejamkan mata, merapal doa dengan air matanya yang mengalir deras.

"Kak, kamu lihat nggak?" tanya Binna ke Khirani.

Dijawab gelengan kepala. "Apa terlewat, ya?"

"Kita tunggu bubar upacara, semua wajahnya keliatan sama nggak, sih, karena seragamnya? Semoga kita aja yang terlewat."

Tidak, bagi Khirani semua wajah itu berbeda. Ia yakin bisa menemukan suaminya meski tertutup oleh banyaknya seragam yang serupa. Jantungnya berdetak tak keruan, rasa cemas seolah menindih hati dan pikirannya.

Semua prajurit sudah turun dari kapal, berbaris untuk laporan penutupan tugas. Terik panas seolah tak peduli, beberapa kali Khirani menahan diri untuk tidak menangis. Pikiran buruk mulai meracuni isi kepalanya.

"Mas, kamu di mana?"

Sekitar sepuluh menit, barisan itu dibubarkan. Diperbolehkan untuk bertemu dengan keluarga. Semburat ratusan orang membuat Khirani semakin kesusahan untuk menemukan suaminya.

Terdengar tangis keluarga berpeluk melepas rindu, tetapi Khirani tak jua menemukan sang kekasih. Ia berjalan terus di antara kerumunan, begitu juga dengan Binna dan Nana, sementara Noni menemani ibunya yang tak sanggup berjalan karena sang putra tak juga terlihat.

Langkah Khirani yang penuh cemas dan rasa takut yang mengepung setiap napas, akhirnya mengembuskan lega, ketika matanya menangkap sang kekasih berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

Khirani langsung berlari, begitu juga dengan Bhanu. Mereka saling menemukan, berpeluk melepas rindu dengan tangis bahagia. Tak peduli dengan orang di sekitar, Khirani memeluk erat sang kekasih, seolah dendam rindu telak terbalaskan.

"Hai?" sapa Bhanu dengan tangis haru, mengusap air mata Khirani.

"Aku kira kamu nggak pulang," tangis Khirani menjadi sambil memukul dada Bhanu.

"Hei, aku, kan, udah janji aku pasti pulang. Prajurit tidak pernah mengingkari janjinya, hm?"

"Aku udah mencarimu dari tadi, tapi nggak ketemu." Tangisnya masih terisak.

"Tapi aku sudah menemukanmu sejak kakiku turun dari kapal, kamu terlihat paling cantik dan paling bersinar." Bhanu mengecup kening Khirani, kemudian memeluknya kembali. "Aku pulang, Sayang."

"Terima kasih sudah pulang dengan utuh dan selamat," balas Khirani mengeratkan pelukannya.

Setelah itu mereka mendatangi Bu Nawang, Bhanu mencium kaki sang ibu berterima kasih atas segala doa yang menjaganya selama di medan tugasnya. Kini mereka kembali bersama dengan haru tangis bahagia.

***

Khirani baru saja bangun dari tidurnya. Mendapati sang suami tidak ada di sisi, kemudian ia bangun. Memakai sweater untuk menutupi piyamanya, Khirani berjalan keluar pintu.

Ruang tengah dan ruang tamu sudah gelap, jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Ke mana sang suami di pagi buta ini? Samar-samar ia mendengar cakap-cakap orang di lantai dua. Suara Bhanu dan Bu Nawang.

Perlahan Khirani menaiki tangga dan berdiri di ujung tangga lantai dua. Menangkap Bu Nawang sedang duduk bersama Bhanu di gazebo, tengah mengobrol serius.

"Wis, Le, ibu nggak mau kamu kenapa-napa. Wis cukup, nggak usah dilanjut. Ibu sekarang udah ikhlas, ayahmu juga pasti udah ikhlas."

Bhanu menggeleng, "Nanti Bhanu akan mendatangi Pak Mudipto. Bhanu sudah meminta salah satu teman media untuk menaikan kasus ini. Nama ayah harus bersih, Bu. Sampai mati, Bhanu nggak akan pernah ikhlas."

Bu Nawang menarik napas panjang, tampak gurat cemas dan takut di wajahnya. "Kamu nggak kasihan sama istrimu? Ibu udah nggak mau kamu ngelanjutan misi kamu. Ayo kita hidup damai-damai saja. Biar, biar saja yang jahat tetap berkuasa dan hidup tenang, tapi keadilan akhirat nggak bisa luput darinya."

"Bhanu tidak akan berhenti sampai dia mendapat hukuman atas apa yang telah diperbuat. Kurang selangkah lagi, Bu. Bhanu sudah mau sampai di tujuan misi Bhanu. Tolong, tolong beri restu untuk satu langkah lagi."

Bu Nawang di ujung kebimbangan. Bhanu persis seperti ayahnya yang keras kepala, sudah pasti tidak mungkin bisa menghentikan langkahnya untuk mengungkap kebenaran sampai akhir.

"Bu, kurang satu langkah lagi. Setelah itu, Bhanu akan keluar dari militer. Bhanu akan tetap di rumah bersama keluarga."

"Keluar dari militer?"

Bhanu mengangguk mantap dengan keputusannya yang sudah matang diambil berbulan-bulan silam. Pengungkapan kebenaran atas kasusnya mungkin tidak bisa membuat Bhanu kembali berkarir di militer.

Kehidupan tenang bersama keluarga seperti magnet magis yang menarik Bhanu, bagaimana ia akan menjalani kehidupan dengan keluarga kecilnya lebih diharapkan daripada pangkat bintang di seragamnya.

"Kamu janji kalau sudah ini, kamu keluar dari militer?"

"Janji, Bu."

Nawang mengusap pipi putranya, menatap sedu antara lega dan juga takut.

"Bhanu lebih suka jadi penulis," ujar pria itu dengan kekehan kecil di raut wajahnya getir. "Minta restu untuk satu langkah lagi."

Dengan hati yang berat, Nawang mengangguk memberi restu. Tidak ada ibu yang mau anaknya dalam jalan bahaya, tetapi tekad sang anak tidak main-main.

Di ujung tangga lantai dua, rasa takut dan khawatir merayapi hati Khirani. Ia urung untuk menemui suaminya di gazebo, memilih turun dan masuk kamar, menunggunya di sana.

Sepertinya misi sang suami belum juga tuntas. Khirani melepas sweater dengan perasaan kalut, ada takut yang mengepung dari segala sisi hatinya. Lebih lagi ketika menyadari bahwa sang suami berada di ujung misi, di mana biasanya itu adalah titik paling bahaya dalam menjalankan misi.

"Yang?"

Khirani menoleh ke pintu. Kemelut langsung bersembunyi di wajahnya, berganti senyuman tenang.

"Kebangun, ya?" Bhanu mendekat, kemudian memeluk Khirani yang berdiri di tepi ranjang.

"Mas?"

"Hm?" Bhanu menciumi bahu Khirani, seolah meneguk sumber tenang yang tengah ia butuhkan.

"Aku pengin hamil."

Kalimat itu menghentikan kecupan Bhanu, ia menarik wajahnya dari bahu Khirani dan menatap istrinya dengan senyuman keheranan. Bukan sebuah kalimat yang salah, tetapi terlalu mendadak diucapkan pada suaminya yang baru saja pulang belum genap semalam.

"Tapi kamu belum lulus sekolah. Kamu masih punya karir dan kesempatan yang harus kamu capai." Bhanu menggeleng, "Bukannya aku nggak mau punya anak, tapi aku mau memberi kamu waktu untuk meraih mimpi-mimpimu yang tertunda."

Kemelut hatinya menguap ke permukaan, berubah menjadi genangan air mata. Ada ketakutan yang tak mampu diucapkan, menampakkan diri dalam wujud bulir-bulir bening.

"Aku cuma mau kamu punya alasan untuk selalu kembali ke rumah."

"Hei." Bhanu dapat menangkap raut khawatir di wajah istrinya, "Kamu selalu jadi alasanku untuk selalu ingin kembali ke rumah."

"Mas." Khirani mencengkeram baju Bhanu, menghela napas panjang memberanikan diri untuk mengatakan ketakutannya, "Aku takut kamu hilang."

"Hilang ke mana? Aku nggak ke mana-mana lagi."

"Aku nggak sanggup kalau kamu hilang. Aku nggak mau kehilangan kamu," pecah tangisnya di dada Bhanu.

Sebuah kalimat yang memalu relung batin Bhanu, turut terluka melihat istrinya terisak dalam rasa ketakutan yang pasti menyiksa.

"Aku nggak akan pernah hilang dari kamu," bisik Bhanu yang kemudian mengecup lembut kening sang istri, "Bersabarlah sedikit lagi."

***

Di bawah terik matahari pantai, di sisi angin berbisik memeluk dalam kedamaian. Genggaman tangan semakin dieratkan, seolah ada perekat yang tak bisa memisahkan. Dua tahun yang tak mudah di jalani, bercerita pada embun pagi yang hadirnya tak selalu memuai rindu dalam hati.

Sejak mengiyakan sebuah tawaran ikatan pernikahan, Khirani sudah sadar akan risikonya. Mimpi-mimpinya memang sudah di pelupuk mata, tetapi sang kekasih seolah menjauh dari pandangan. Takut jika di kemudian hari akan benar-benar lenyap dari netra.

Senja menarik puisi dalam benak untuk diungkap melalui tatapan, Bhanu tersenyum menatap wajah sang kekasih yang kini telah kembali bersinar. Meski kecewa rencana liburan ke Bromo harus batal karena Khirani mendapat undangan ke Aussie lebih cepat dari tenggat habis masa liburnya.

"Ikhlas itu ibu," kata Khirani sambil terus berjalan menyusuri bibir pantai dengan menggengam erat tangan Bhanu, "Mencintai itu pilihan dan menikah adalah nasib. Ibu menjalani pilihan dengan mencintai ayahku, dan juga menjalani nasib dengan menikah dengannya. Meski rasa cinta ayah tak seutuhnya menjadi milik ibu."

Khirani menghentikan langkahnya dan menghadap ke Bhanu, "Aku juga menjalani pilihan dan juga nasib menikah sama kamu." Ada jeda senyuman, "tolong, jangan jadikan perpisahan sebagai pilihanmu untukku. Aku lelah memendam rindu yang kerap menyiksa meski kita dalam napas dunia yang sama."

Bhanu turut tersenyum, mengusap pipi Khirani, "Setelah pengajuan mengundurkan diri dan setelah semua prosesnya, aku akan menyusulmu ke Aussie."

"Aku menciptakan piece baru, spesial untuk kamu."

"Oh, ya?"

"Kalau mau mendengarnya, datanglah ke Aussie."

Bhanu mengangguk, "Aku juga punya satu naskah yang kupersembahkan untuk kamu."

"Oh, ya?"

Bhanu mengangguk, "Masih draf, kalau sudah final, aku kirim ke penerbit." Bhanu membelai rambut Khirani, "Semua harus tahu kalau cintaku sebesar itu untuk kamu."

"Apa judulnya?"

"A Piece of Me."

Khirani mengerutkan kening, matanya memancar rasa penasaran. "Filosofi judulnya?"

"Kamu."

"Maksudnya aku?"

"A Piece of Me is you. Bagian dari diriku adalah kamu. Kalau nggak ada kamu, aku kehilangan setengah diriku. Kamu adalah pelengkap serta penyempurna diriku."

Mata Khirani menggenang air mata haru, tersentuh hatinya atas cinta yang luar biasa dari seorang pria yang dulu pernah dianggapnya gila dan penganggu. Pada akhirnya pria itu juga menjadi bagian dari dirinya.

"Menceritakan tentang apa?"

"Tentang kita. Kurang satu chapter."

"Ending?"

Bhanu mengangguk. "Berawal dari kita bertemu di kereta—"

"Kamu ingin bilang ke ratusan ribu penggemarmu kalau istrimu ini pernah mau nyopet?" protes Khirani.

"Kuperhalus, tapi aku yakin banyak di luar sana yang bernasib sama denganmu. Pernah tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup. Kejahatan-kejahatan di luar sana tidak murni kejahatan. Ada di antaranya karena keterpaksaan. Meski tidak dibenarkan."

Khirani yang semula protes, terdiam memahami. Apa yang dikatakan Bhanu memang benar.

"Para pembacaku akan tahu seberapa hebatnya wanita pilihanku, seberapa berbakat dan cantiknya wanita yang kunikahi. Kuceritakan juga hari mendebarkan yang membuatku cemas sehari sebelumnya. Dunia harus tahu ke mana duniaku bermuara, yakni ke kamu. Duniaku berputar dan bermuara hanya tentang kamu."

Khirani menangkap tulus di mata Bhanu, betapa beruntungnya wanita itu mendekatkan pria sebaik Bhanu.

Di lembut angin berbisik, di tengah terik mentari bersinar, Khirani menyambut cinta pada kecupan, memuarakan cinta pada satu titik, menyerahkan diri dalam penyerahan yang manis. Sebuah pengungkapan puisi terima kasih dalam kepala yang diungkap melalui sentuhan dan bening bulir air mata bahagia.

Hingga senja hadir, keduanya kembali menyisir.

"Kamu tahu lagu Sampai Jadi Debu?" tanya Bhanu.

"Banda Neira?"

"Aku selalu mendengarkan itu di kala masa-masa sulit di atas kapal, masa sulit menjalani hari-hari menjadi seorang prajurit, masa sulit merindukanmu sampai napasku tercekat sangat ingin bertemu, masa-masa sulit saat jauh dari kamu."

Bhanu menoleh sejenak.

"Aku ingin bersamamu sampai jadi debu, Khi. Karena itu, setiap kali kesulitan aku berusaha untuk bertahan, karena aku ingin bersamamu sampai jadi debu."

"Sama," balas Khirani dengan tatapan yang persis, "Aku ingin menggesek bow bersamamu di masa-masa tua, menemanimu membuat karya di setiap waktu."

Merekam perjalanan bagaimana mereka akhirnya bisa bersatu pada detik ini, tidak mudah, tentu saja. Hari yang pernah menjadi impian akhirnya terwujud, bergandengan tangan sembari berjalan menikmati debur ombak dan bisikan angin.

"Aku kemarin ngecek saldo tabungan, kenapa masih banyak? Lihat tanganmu."

"Nggak usah body shamming deh atau kugigit kamu, ya." Khirani menatapnya protes, dengan nada ultimatum.

"Jangan hemat-hemat, royaltiku nggak akan berhenti bahkan lebih dari lima tahun ke depan. Apalagi sekarang banyak platform-platform berbayar, satu judul bisa membelikanmu mobil."

"Kasihan Binna yang pusing setiap tahun ke kantor pajak."

Bhanu terkekeh, "Tapi, aku serius. Kamu jangan berhemat, makan apa yang pengin kamu makan. Btw, tanganku terlalu besar untuk memegang sesuatu yang kecil," candanya.

"Maksud kamu?" Khirani melayangkan tabokan, tidak terima dengan komentar suaminya. "Apanya yang kecil?"

"Tangan kamu, Yang. Serius, kamu mikirnya apa?" Pria itu tertawa, mencoba menghindar dari tatapan beruang yang ingin menggigit tangannya.

"Udah dibilang nggak usah body shamming!" Khirani mengejar Bhanu, "Sini kamu!"

Laut seolah memandang dua manusia yang tertawa di antara debur ombak dan angin, saling mengejar, menyemburatkan air, berpelukan, terjatuh ke pasir dan kembali berlari. Waktu seolah membeku, menyisakan waktu hanya untuk mereka memeluk rasa bahagia.

"Nanti kalau kita punya anak bisa kembar nggak, sih?"

"Bisa. Tapi, aku nggak mau."

"Kenapa?"

"Aku nggak mau kamu kesusahan hamil anak kembar, satu aja cukup. Entar dicicil. Jarak tiga atau empat tahun baru punya anak lagi."

Khirani tertawa, "Mending satu kali hamil, dapat dualah."

Bhanu menggeleng, "Aku udah pernah lihat ibu kesusahan hamil Nana Noni, apalagi pas lahiran, nggak tega. Ngurusnya juga repot banget. Satu aja bikin stress, apalagi dua. Pokoknya aku mau nanti kalau kamu hamil jadi calon ibu yang bahagia, nggak pernah baby blues, nggak pernah stress."

Khirani tersenyum menatap Bhanu, "Emang boleh seserakah ini?"

"Apanya yang serakah?"

"Serakah punya suami yang punya semua bahasa cinta. Aku jadi pengin tambah manfaatin kamu," candanya.

Bhanu tersenyum, "Manfaatin aku sesuka hatimu, aku suka dimanfaatin sama kamu."

Khirani mendengus kesal, bisa-bisanya terima saja dimanfaatin. Suaminya itu memang menghabiskan cinta untuk Khirani, seperti putaran rotasi hidupnya semua tentang Khirani. Benar-benar beruntung dinikahi pria seperti Bhanu.

Detik ini Khirani seperti teringat pada kalimat Bhanu yang ditulis di salah satu novelnya.

"Mas?"

"Iya, Sayang?" Bhanu menoleh.

Khirani menghadirkan senyum dan tatapan yang tulus, menatap Bhanu seolah menyertakan segala cintanya pada tatapan itu.

"Kenapa?" Senyum juga hadir di wajah Bhanu.

"Aku ingin waktu ini menjadi sebuah potret yang tak pernah beranjak dan tak pernah berubah. Aku ingin waktu membeku dan berakhir pada coretan ini. Aku ingin detik ini menjadi titik tanpa koma, menjadi petik tanpa tanda. Aku ingin menjadi abadi bersamamu seperti dalam lukisan yang yang tak lekang oleh waktu," ucap Khirani, persis seperti diksi dalam novel Patah Untuk Putih.

"Terima kasih," balas Bhanu sembari mengecup pucuk kepala Khirani.

"Aku mencintaimu."

"Aku lebih mencintaimu," balas Bhanu, kembali memuarakan rasa sayang pada satu kecupan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro