Orang-orang Yang Menyayanginya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tepat pukul empat sore, Khirani sampai di rumah sakit. Satu jam lagi adalah pengumuman tahap akhir beasiswa sekolah musiknya. Ia pamit kepada Bu Nawang untuk melihat pengumuman itu di rumah sakit bersama adiknya.

"Diandra, Kakak dat—ang." Suaranya melandai ketika melihat siapa yang sedang bersama adiknya. Air muka Khirani langsung berubah drastis, tidak ada kebencian hanya saja tidak mau lagi berurusan dengan orang yang kini ditangkap retinanya sedang duduk di samping bed adiknya.

"Khirani?" Orang itu berdiri, melempar senyum menyambut.

"Kak, Kak Greta udah dari tadi nunggu Kakak," sahut Diandra, sama mencetak senyum menyambut Khirani. Diandra tidak tahu jika hubungan Khirani dan Greta sudah lama berakhir. Tentu saja tidak tahu kalau Greta mencampakkan Khirani di saat masa-masa terpuruknya.

"Ngapain kamu ke sini? Bukannya aku udah bilang, kalau kita nggak usah saling ada urusan lagi?"

Senyum Greta meredup, bersamaan dengan senyum Diandra yang juga nyaris menghilang, menatap kakaknya dengan bingung.

"Kak, kok gitu?"

Senyum Greta kembali tercetak, memahami sikap Khirani. "Aku denger adikmu sakit."

"Dia udah lama sakit, dia baru aja sadar dari sakitnya," kata Khirani dengan nada sarkas. Bahkan adik Khirani koma lebih dari satu tahun pun, Greta tidak tahu. Meskipun dulu bukan kehendaknya memperlakukan Khirani sedemikian jahat.

Greta tak bisa menyembunyikan raut menyesalnya, tetapi ia dapat memaklumi jika Khirani bersikap seperti itu. Jika Greta di posisi Khirani pun, mungkin Greta juga melakukan hal yang sama. Sulit untuk memaafkan seorang sahabat yang membuang sahabatnya di masa-masa buruk.

"Aku ke sini juga mau bilang, kalau apa pun hasilnya nanti mengenai beasiswamu tidak ada pengaruhku, Khi. Mereka memberi hasil berdasarkan penampilan dan kemampuanmu. Aku harap kamu tidak marah atau benci apa pun nanti hasilnya. Aku tidak punya pengaruh apa pun."

"Iya," jawab singkat Khirani dengan nada dingin. "Kalau sudah selesai, silakan pergi."

Greta mengangguk, meraih tasnya di meja kemudian menoleh ke Diandra, "Aku pamit dulu, Di. Cepat membaik, ya. Semoga bisa renang lagi."

Khirani membuka pintu, mengusir Greta secara terang-terangan.

Sebelum benar-benar pergi Greta menatap Khirani sekian detik dengan senyuman. Perempuan itu akhirnya meninggalkan ruangan Diandra tanpa mengatakan apa pun lagi. Ia sudah cukup lega melihat kehidupan Khirani telah membaik. Meski rasanya ingin kembali seperti dulu lagi, Greta tahu diri dan membiarkan dirinya menelan rasa sesal itu sendirian.

Sepergi Greta, Diandra ingin menuntut penjelasan mengenai sikap kakaknya pada Greta yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya. Bahkan dulu Greta sering menginap di rumah Khirani, bertukar piyama dan bercerita banyak hal. Ke mana-mana mereka selalu bersama sampai pernah membuat janji untuk terus bersama hingga tua nanti.

Namun, melihat senyum Khirani yang tak ingin menjelaskan apa pun, Diandra dapat memahaminya. Gadis itu merentangkan tangan menyambut kakaknya dalam pelukan.

"Terima kasih sudah bertahan, ya, Kak."

Diandra dapat menangkap hubungan persahabatan itu pasti memburuk saat tragedi menimpa keluarganya. Melihat bagaimana kakaknya bersikap, Diandra bisa mengerti kalau besar kecewa sang kakak kepada mantan sahabatnya itu.

Khirani tersenyum lalu mengecup kening adiknya, "Terima kasih juga karena kamu sudah mau bangun dan kuat sampai detik ini." Lantas ia duduk di kursi dengan senyuman.

"Kak Bhanu udah berangkat?"

Khirani mengangguk.

"Pengumumannya jam berapa?"

"Bentar lagi, jam lima."

"Apa pun hasilnya, kakak hebat sudah sejauh ini, hm? Masih banyak jalan lain untuk meraih mimpi. Aku yang udah nggak mungkin ikut pelatnas ini, masih berharap bisa renang lagi. Mari kita berjuang sama-sama, ya, Kak. Mari bertahan untuk hal-hal kecil yang patut kita syukuri."

"Iya." Khirani mengangguk.

Masih banyak jalan lain untuk meraih mimpi, apa pun hasilnya itu adalah yang terbaik. Bhanu tidak bercanda soal uangnya yang banyak, sebelum berangkat ke rumah sakit Khirani sempat membersihkan kamar suaminya itu dan penasaran dengan laci paling bawah.

Benar ada beberapa rekening, masing-masing rekening ada tulisannya; tabungan masa tua ibu, kuliah Binna, sekolah dan kursus si kembar, tabungan masa tuaku, dana darurat dan yang terakhir rekening bertuliskan tabungan untuk sekolah musik istriku tercinta.

Bhanu sudah menyiapkan itu dengan baik. Saldo masing-masing rekening juga tidak sedikit. Entah bagaimana pria itu mengaturnya, semua terbagi dengan rata sesuai kebutuhan. Mungkin tak hanya dari royalti buku, undangan seminar, royalti merchandise, tetapi juga gajinya selama menjadi tentara cyber dan sumber penghasilan yang tak semua Khirani tahu karena mereka tidak sempat mengobrol tentang itu.

Pukul lima kurang lima menit, Khirani dan Diandra duduk di atas ranjang rumah sakit menatap ponsel menunggu waktu pengumuman. Ada perasaan tegang dan gugup menjelang detik-detik pengumuman.

"Kalau nggak lolos nggak apa-apa, ya, Di?"

"Nggak apa-apa, dong, Kak. Tapi, aku yakin lolos. Pasti lolos."

Khirani menarik napas panjang, kemudian mengembuskan pelan. Mencoba mengatur napasnya agat tidak terlalu gugup. Pasti kalau ada Bhanu detik ini akan sedikit lebih menenangkan. Masih teringat waktu wawancara, rasa tegang dan gugup Khirani menghilang karena tingkah pria itu.

Ah, andai saja... perasaan alami seorang istri yang ditinggal jauh suaminya di waktu-waktu krisis begitu sudah pasti jelas sedihnya.

Tiba-tiba pintu terbuka.

"Kak, udah keluar pengumumannya?" Binna yang masih memakai baju dinasnya masuk dengan napas ngos-ngosan.

"Gimana hasilnya, Kak? Lolos, kan?" Disusul si kembar yang baru saja pulang dari kursus.

Tiga detik kemudian, Bu Nawang yang sedari pagi tadi enggan untuk keluar kamar karena kesedihannya ditinggal putranya dinas muncul dengan senyuman yang lebar. Membawa serenteng kotak makan yang baru saja dimasaknya.

"Gimana, Nduk?"

Khirani yang membeku di tempat dengan sekujur tubuhnya yang merinding terharu. Air mata yang mengalir mewakili perasaan yang mengusai hatinya. Belum selesai dengan rasa haru dengan kedatangan keluarga suaminya memberi dukungan, disusul dengan kedatangan orang-orang kantor penerbitan, Bu Aminah, Mas Endro, Mas Sugik, Rosa dan yang lainnya.

Memang tidak ada orang tua yang seharusnya mendampingi perempuan itu detik ini, tidak ada juga suami yang turut menemani. Namun, kehadiran orang-orang ini mampu melengkapi kekurangan itu. Khirani tergugu menangis terharu.

"Apa pun hasilnya, kami tetap dukung. Percayalah kalau rejeki nggak akan ke mana, ya?" kata Bu Aminah.

"Tenang, kakakku uangnya banyak. Kuras saja tabungannya buat sekolah musik, ya, dia pasti seneng duitnya habis, soalnya nggak habis-habis," seloroh Binna yang disambut tawa semua orang di ruangan itu.

"Kak Khi, meskipun nggak lolos, Kak Khi tetep jadi panutan kita," kata Nana yang diimbuhi anggukan Noni. "Oh, ya, ini ada sesuatu."

"Apa ini?" Khirani meraih sebuah amplop dari tangan Noni.

"Tadi pagi sebelum berangkat, Mas Nu nitip ini sama Noni buat dikasih ke Kak Khi sebelum jam lima sore."

Khirani mengusap air matanya sejenak, kemudian membuka amplop yang berisi surat dari Bhanu. Pria itu selalu bisa membuat dirinya tak merasa ditinggalkan, selalu punya cara untuk membuat sosoknya terasa selalu ada.

Isi surat itu tertulis: Untuk Violinis paling cantik yang pernah aku kenal, kamu hebat sejauh ini, kamu ditakdirkan untuk menjadi musisi yang berbakat. Jika gagal hari ini, kita coba lagi besok, ya. Kalau besok gagal, kita coba lagi di lain hari. Gagal satu dua kali tidak menjadikanmu musisi yang gagal, kamu tetap menjadi violinis paling hebat yang pernah aku kenal. Tetap semangat, Sayang. Apa pun hasilnya, kamu yang terhebat!

p.s: I love you...

Khirani mengusap air matanya, merasa terharu begitu dalam dengan semua hal manis yang didapatkannya hari ini. Perasaan gugup dan takutnya sekejap sirna. Hatinya terasa lebih lapang dan siap menerima apa pun hasilnya.

"Eh, udah jam lima!" pekik Binna. Buru-buru membuka laptop yang ia bawa, meletakkannya di atas ranjang Diandra. Semua orang berkerumun dengan raut-raut memuja doa kepada Sang Pencipta.

Dengan tangan gemetar, Khirani mengetik sandinya untuk masuk ke laman email. Sebelum menekan enter, Khirani menarik napas panjang, memejam sebentar. Tiga tahun yang tidak mudah telah ia lalui penuh tangis dan kesakitan. Mengucap syukur telah sampai pada tahap ini. Bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan untuknya kembali menggengam mimpi.

Sekelibat ingatan Hari Besar, perpisahan dengan orang tuanya, perundungan dan kesakitannya tersiksa di bawah cengkeraman renternir kejam mampir dalam ingatan. Seperti kaset yang merekam ulang, deru sakitnya masih terasa dalam lubuk hatinya. Trauma itu menempel seperti kutukan yang menyakitkan.

Tiba-tiba sentuhan lembut di pucuk kepala Khirani menarik Khirani dari kesakitan itu, ia menoleh dan mendapati Bu Nawang tersenyum memberikannya kekuatan, disusul Diandra yang menggengam erat tangan kiri Khirani.

"Bismillah..." Bu Aminah memejam kuat melambungkan doa, seperti seorang ibu yang mendoakan anaknya, doanya begitu tulus dan penuh penghayatan.

Khirani meyakinkan diri untuk tetap lapang dada menerima segala hasil. Dalam hitungan ketiga yang diucapnya dalam hati, Khirani menekan tombol enter. Muncul laman emailnya, semua orang tegang melebarkan mata ke arah layar laptop.

Khirani mengetuk pesan terbaru dari Sidney Conservatorium of Music yang diterima dua menit yang lalu. Dan muncullah kalimat hasil dari penyaringan peserta beasiswa tersebut.

Dear, Mrs. Gantari Khirani.

Congratulation, you are officially accepted to join the big family of Sidney Conservatorium of Music.

Sorak orang-orang terdekat tak bisa tertahankan, ucap selamat dan haru biru memenuhi ruangan yang pernah menjadi saksi kesakitan Khirani menjalani hidup yang seolah mati. Mimpi yang mustahil kini berwujud nyata, air mata bahagia mengalir deras dari pelupuk yang dulu penuh dengan air mata kepedihan.

Hasil tidak akan pernah menghianati usaha-usaha yang dilakukan dengan tulus dan penuh penerimaan. Wujud dari Tuhan punya Kuasa untuk memutar kembali roda kehidupan bagi manusia-manusia yang mempunyai keinginan untuk mengubah hidupnya.

***

Khirani punya waktu dua bulan untuk mengurus semua dokumen yang diperlukan sebelum menjadi siswa aktif di Kon Sidney. Ia diperbolehkan membawa keluarga, hanya saja karena Diandra masih dalam tahap pemulihan kemungkinan awal tahun Diandra baru menyusul.

Dua Minggu yang penuh dengan rasa khawatir karena Bhanu tidak kunjung mengabari. Tidak ada komunikasi sama sekali, pesannya centang satu dan nomer tidak aktif. Ternyata upaya Bhanu untuk menghubungi di hari pengumuman tidak bisa terwujud, masuk ke Minggu pelatihan yang ketat. Kemungkinan Bhanu tidak mendapat izin untuk menelpon keluarga.

Sampai di Minggu ke-2 di hari yang seharusnya pelatihan ketat telah usai, nomer Bhanu masih tidak aktif. Tentu saja khawatir, apalagi Bu Nawang yang kelimpungan ingin menyusul ke markas. Ibu mana yang tidak khawatir anaknya tidak kabar dari jadwal yang sudah ditentukan.

Hari ini juga bertepatan dengan kepulangan Diandra dari rumah sakit, ia akan rawat jalan dan Bu Aminah yang menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Khirani juga merasa tidak enak jika menampung adiknya di rumah mertua. Akhirnya Khirani setuju untuk menitipkan Diandra di rumah Bu Aminah.

"Selama enam bulan ke depan kamu terapi dengan giat, ya? Kalau udah bisa jalan, udah bisa kayak dulu lagi, kamu nyusul kakak ke Aussie. Kita tinggal di sana bareng."

Diandra mengangguk. "Bu Aminah baik, ya, Kak? Beliau nggak punya keluarga lain, Kak?"

Khirani mendongak ke arah pintu kamar, memastikan tidak ada Bu Aminah di sana.

"Bu Aminah belum pernah menikah. Jadi, beliau sendirian. Kakak juga sempat pernah tinggal di sini sebelum menikah. Beliau memang orang yang baik, seolah menganggap kakak anaknya sendiri."

"Katanya dulu pernah kerja di percetakan ayah, ya?"

"Iya, waktu kakak masih kecil."

"Kak?" Diandra menatap Khirani lekat-lekat.

"Iya, Di?"

"Aku pengin ketemu ayah."

Kalimat itu menggantung di benak Khirani, sang ayah menolak untuk menerima kunjungan. Bagaimana sekarang keadaannya, Khirani tidak pernah tahu. Pernah ada benci dan kerinduan yang bercampur jadi satu, setelah tahu fakta sebenarnya. Jujur, rindu kini menggilas semua rasa benci.

"Sebelum kakak pergi ke Australia, ayo berusaha untuk kembali merangkul ayah, Kak. Mungkin aku nggak bisa saat ini dengan kondisiku, tetapi kakak bisa. Setelah kakak nanti pergi, giliran aku yang akan merangkulnya. Kakak memang sudah punya keluarga baru, tapi kalau aku?"

"Di, keluarga baruku juga keluargamu."

Diandra tersenyum sambil menggeleng, "Tetap saja, Kak. Pada kenyataannya aku hanya punya ayah."

Khirani ingin melontarkan kalimat sanggahan dari pemikiran adiknya itu, tetapi apa yang dikatakannya memang benar. Mungkin Khirani sudah punya pelindung baru, yakni suaminya. Sementara Diandra masih benar-benar sendiri.

Usapan tangan adiknya menggugah perasaan Khirani, perempuan itu akhirnya luluh dan mengiyakan permintaan sang adik.

"Besok kakak coba berkunjung, ya?"

Diandra memeluk Khirani, "Terima kasih, Kak."

Sesuai janji, esoknya Khirani memberanikan diri untuk kembali ke tempat di mana ayahnya ditahan sekarang. Di tengah rasa gugupnya, ia masih mengkhawatirkan Bhanu yang tak kunjung memberi kabar.

Dalam perjalanan ke rutan, Khirani terus mencoba menghubungi nomer suaminya. Namun, hanya operator yang menjawab. Rentetan pesan yang dikirim Khirani juga belum diterima oleh Bhanu, ponsel pria itu tidak aktif.

"Neng, sudah sampai."

Khirani mengalihkan pandangannya pada layar ponsel ke arah luar kaca mobil. Lapas yang ia terakhir kunjungi sebelum menikah untuk meminta restu, tetapi mendapat penolakan dari sang ayah.

"Terima kasih, Pak." Khirani turun dari taksi, kemudian berjalan menuju pintu utama kunjungan.

Tak membawa tangan kosong, ia membawa kue lapis kesukaan sang ayah. Ia juga sudah menyiapkan surat dirinya dan Diandra jikalau sang ayah kembali menolaknya. Khirani sudah menyiapkannya dengan baik.

"Mau berkunjung ke siapa, Mbak?"

"Pak Romi Artanto."

"Baik, mohon diisi ini, ya." Petugas lapas memberikan buku tamu untuk diisi pengunjung lapas.

Sambil mengisi data diri di buku tamu itu, hatinya semakin berdebar, itu artinya ayahnya tidak menolak kunjungan lagi. Khirani semakin gugup, perjumpaan setelah terpisah lebih dari tiga tahun.

"Mohon ditunggu, ya, Mbak. Pak Romi sedang menerima kunjungan lain."

"Oh, ya? Siapa, Pak?"

Belum sempat petugas itu menjawab, mata Khirani lebih dulu menangkap salah satu nama tak asing tertulis di nama pengunjung hari ini untuk ayahnya. Lebih mengejutkan lagi keterangan hubungan dengan napi adalah istri.

Pulpen di tangan Khirani terlepas dari sela jarinya. Ia mengerjap tak percaya dengan nama yang tertulis sebagai istri dari ayahnya, mungkin jika itu nama ibunya Khirani akan menangis terharu. Hanya saja, nama yang tertulis itu bukanlah nama ibunya.

"Khirani?" suara dari pemilik nama itu terdengar dari arah pintu kunjungan.

Khirani menoleh dengan mata mengerjap, terkejut bukan main.

"Bu Aminah?"

Begitu juga dengan Bu Aminah, wanita juga sama terkejutnya dengan kehadiran Khirani yang tidak disangka hari ini berkunjung ke ayahnya. Ada rahasia yang selama ini tenggelam rapi, berusaha sebaik mungkin untuk menutupi sampai waktu yang tepat untuk menjelaskan.

Namun, hari ini telah datang.

"Khi, ibu bisa jelasin."

Khirani mundur perlahan, menatap Bu Aminah dengan perasaan carut marut. Orang yang selama ini bak malaikat baik yang acapkali menolong dirinya, yang kadang Khirani tidak paham mengapa Bu Aminah sebaik itu padanya dan adiknya. Ternyata di balik itu ada hubungan yang membuat Khirani syok pada detik ini.

Khirani tidak mampu berkata apa-apa, ia berjalan mundur dan berlari keluar dari sana. Bu Aminah sempat mengejar, tetapi Khirani lebih dulu mencegat taksi dan pergi dari halaman lapas.

Di dalam taksi, napas Khirani naik turun hebat seperti kehilangan oksigen. Air mata perlahan membasahi pipinya, ia menggigit bibir menahan rasa kecewa dan amarah yang menguasai dada.

Di tengah dirinya seperti tersambar petir di siang bolong, ponselnya berdering. Bak keajaiban datang di waktu yang tepat, Bhanu menelpon.

"Halo, Yang, maaf baru—" kalimat Bhanu terhenti saat mendengar suara tangis Khirani yang pecah. "Aku pulang hari ini, tunggu aku di rumah." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro