Tangisan Melodi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf, saya merepotkan Ibu Aminah lagi." Nada suaranya datar tetapi terasa pilu di telinga Aminah.

Perempuan itu menggangguk sambil mengusap punggung Khirani, untuk kesekian kalinya ia memaklumi Khirani untuk mengajukan gajian seminggu lebih awal.

Dari sekian orang yang mengetahui sejarah pedih gadis itu bisa terjebak utang adalah Aminah, ia punya alasan kuat untuk membantunya dan itu bukanlah hal sepele. Tahu dan kenal Khirani sejak gadis itu masih bayi membuat Aminah seperti menjaga anaknya sendiri. Bukan lagi soal empati, tetapi Aminah sudah merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu gadis itu.

"Saya akan bekerja lebih rajin lagi, Bu."

"Kerjalah seperti biasanya, nggak usah memaksakan diri. Saya paham, kok."

Di hari Aminah bisa menemukan Khirani dan adiknya, ia pernah mencoba membantunya. Memberinya tempat tinggal, makanan dan akan membiayai perawatan Diandra, Khirani bisa kembali ke sekolah. Namun, Khirani menolak. Ia tak mau dikasihani, ia tidak mau menjadi beban untuk orang lain apalagi orang itu sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya.

"Saya permisi, terima kasih sekali lagi, Bu."

"Hm, jangan telat makan, ya," ujar Aminah sambil memandangi gadis itu keluar dari ruangannya.

Tersentak kaget saat membuka pintu, Bhanu sudah berdiri di sana. Pemuda itu menyabitkan senyum seperti biasa, matanya membulat seperti anak anjing yang seolah bertemu dengan induknya dan Khirani benci itu. Menggelikan.

"Hola, Khirani..." sapanya sambil melambaikan tangan kanan.

Seperti biasa, Bhanu hanya menjadi angin berbisik yang tak berwujud. Khirani berlalu begitu saja tanpa membalas sapaan pemuda itu. Bhanu memandangi punggung Khirani sampai menghilang di antara anak tangga.

Sedingin dan secuek apa pun Khirani kepadanya, hal itu sama sekali tak menciutkan niatnya untuk mengajak Khirani dalam pertunjukan. Malah ia semakin semangat untuk menyusun strategi agar Khirani mengatakan kesanggupannya untuk berkontribusi dalam pertunjukan.

"Udah kali ngeliatinnya," tegur Aminah di belakang mejanya sambil menata-nata berkas.

Bhanu menutup pintu lalu berjalan ke meja Aminah dengan mesem-mesem, "Rapat kemarin lancar, Bu?"

"Lancar, Alhamdulillah. Kita banyak mendapatkan sponsor. Kayaknya kita nggak harus mengeluarkan banyak dana." Jedanya beberapa detik, ia berdiri ke meja kopi, "kenceng banget di sosial media, masih hangat dibicarakan. Masih trending." Aminah terkekeh.

"Syukur deh, lega rasanya. Saya takut nggak bisa sampai target."

"Kenapa mikirnya bisa takut, sih? Kamu nggak pernah gagal, paling sedikit bukumu terjual lima ribu ekslempar. Pede dong harusnya. Kopi?" tawar Aminah sambil menghidupkan heather setelah menuangkan air minuman kemasan ke dalamnya.

Bhanu menggeleng, "Makasih, Bu, tadi udah ngopi bareng Mas Endro."

"Oh, ya, ada apa menemui saya? Masalah violinis, ya? Gimana, udah nemu?"

Bhanu tertawa kecil, "Saya udah bilang dari awal waktu saya mengusulkan konsep ini pertama kali, violinisnya udah nemu, Bu."

"Yaaa... masalahnya siapa violinis itu?"

"Ada kok, percaya deh, Bu, dia spesial banget." Bhanu tersenyum yakin bahwa apa yang dikatakan itu benar dan tak perlu diragukan lagi.

"Oke, oke. Saya nggak mau nanya lagi, pokoknya itu bagianmu, ya, Mas Bhanu."

"Delapan enam, Bu Aminah." Bhanu memiringkan telapak tangannya di depan kening membentuk hormat, jeda beberapa detik ia berdeham, "saya kesini mau mengajukan permintaan."

"Permintaan? Apa itu?" tanya Aminah sambil menuangkan air panas dalam heather ke dalam gelas kopinya.

"Saya mau mengundang semua penulis yang bernaung di Penerbit Cakrawala." Bhanu berdiri tegak pertanda bahwa permintaannya itu sungguh-sungguh ia harapkan agar Aminah selaku pimpinan redaksi mau mengabulkannya.

"Saya tidak mau penulis Cakrawala yang lain merasa tidak disayang sama penerbit. Saya mau mereka ikut berkontribusi dalam acara. Saya paham betul perasaan mereka yang bukan penulis besar selalu memimpikan apa yang saya dapatkan sekarang. Setidaknya, saya mau mereka ikut merasakan atmosfer semangat literasi di pertunjukan kita nanti."

Aminah urung mengaduk kopinya, ia menatap Bhanu dengan sendu sembari menghela napas panjang. "Like usually, the power of Brajasena. Ia tidak mau bersinar sendirian."

Senyuman Bhanu merekah di bibirnya setelah melihat respons Aminah seperti apa yang ia harapkan, "Tolong kirim undangan yang spesial untuk mereka ya, Bu."

"Like your hope. Kalau dipikir-pikir itu juga masuk dalam strategi marketing, ya. Mereka ikut mengencangkan arus menyambut pertunjukan di sosial media. Wow, saya terkesan sekali dengan permintaanmu, Mas Bhanu. Selalu menguntungkan kedua belah pihak."

"Tapi, saya beneran tulus ingin mengundang mereka. Nggak ada niat lain."

"Iya, iya, percaya. Seratus persen percaya. Saya sudah mengenalmu bertahun-tahun. Terus-terus apa lagi?" Aminah duduk di kursinya sembari mengaduk-aduk kopinya dalam gelas. Ia selalu antusias mendengar masukan dan pendapat penulisnya satu ini.

"Udah itu aja sih, Bu, sementara."

"Nggak ada yang lain?" tanya Aminah dengan mata berkilat-kilat seperti mengharapkan pemuda di depannya itu menanyakan sesuatu di luar masalah pekerjaan.

Bhanu tertawa halus sambil menggeleng, "Nggak ada, Bu."

"Beneran?" tanya Aminah dengan nada memancing.

Terlihat Bhanu memakan umpan di pancingan Aminah, pemuda itu mendadak mesem sambil menata kalimat yang bagus untuk dilontarkan hati-hati kepada Aminah. Mata Aminah semakin berkilat, tidak sabar menunggu. Ia sampai meletakkan gelas dan menelangkupkan tangan di meja.

Bibir Bhanu sudah siap membuka, beberapa detik sebelum akhirnya urung. "Lain kali. Saya permisi dulu." Bhanu menarik tubuhnya untuk berdiri dengan kekehan tawa.

"Ah, Mas Bhanu. Kalau lagi penasaran sama sesuatu itu jangan dipendem terus, nanti jatuhnya kayak bisul. Dibiarin nggak nyaman, dipeletusin juga sakit."

Bhanu hanya tersenyum sambil membuka pintu ruangan Aminah.

***

Sebelum menemui Garu, Khirani menyempatkan mampir di kedai kopi. Ia melihat ada lowongan paruh waktu setiap hari sabtu dan minggu, gajinya memang tidak besar tetapi lumayan menambah nominal untuk membayar utang dan indekos. Ia tidak bisa mengandalkan lagi uang mengamen yang tak tentu.

Misal ia jadi diterima sebagai pelayan di kedai ini, satu minggu non-stop Khirani bekerja. Senin-jumat di kantor, sabtu-minggu di kedai. Belum lagi menjadi tukang cuci piring dan menyebarkan pamflet produk ponsel di perempatan jalan sepulang dari kantor.

Setelah menemui pemilik kedai, ia kembali menjajaki jalanan untuk menuju ruko milik keluarga Garu. Tubuhnya memang lelah, bebannya begitu berat, jika hanya berdiam diri tak melakukan apa pun, hatinya semakin sakit memikirkan semua beban itu. Ia lebih baik menghabiskan waktu dengan bekerja daripada bertemu dengan hari jeda yang akan mengingatkannya pada kepedihan-kepedihan hidup yang dialami sekarang.

"Sesuai janji, ini lunas." Khirani mengulurkan satu amplop putih ke arah Garu.

Sebelum meraih amplop itu, Garu menyesap batang rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asap itu ke arah wajah Khirani. Kepulan asap berbau nikotin itu seperti mencekik indra penciuman gadis itu, ia memilih menahan napas sebentar daripada bereaksi sesuatu yang akan memantik kemarahan Garu.

Garu menyambar amplop itu kemudian menghitungnya sekilas. Selesai menghitung, ia memasukan amplop itu ke saku jaket jinsnya. Garu mendekat ke arah Khirani. Ia menatap gadis itu beberapa detik, matanya tertumbuk pada sorot mata Khirani yang terlihat jelas menahan segala emosi dan kebencian kepada dirinya lalu pemuda itu tersenyum kecut.

"Hari ini pembayaran terakhir keluarga gue ke rumah sakit."

Kontan Khirani mendongak dengan air muka terkejut, "Ma-maksudmu?"

Garu menyesap sisa batang rokoknya kemudian mengempaskan ke tanah, diinjaknya batang rokok itu hingga apinya padam. Garu menyilangkan kedua tangan di dada, berekspresi sok prihatin, sebenarnya tidak sama sekali.

"Keluarga gue udah mutusin buat stop bayarin perawatan adik lo."

Ada sekian kalimat yang ingin Khirani lontarkan, tetapi mulutnya terkunci saking terkejutnya. Dadanya bergemuruh, air mata mencelos cepat mengalir ke dua pipi. Sebuah kenyataan yang tak pernah ia duga, karena selama ini ia sudah berusaha keras untuk mengembalikan uang keluarga Garu. Keluarga Garu satu-satunya bantuan untuk membuat adiknya bertahan meski raga dan batinnya tersiksa. Baginya itu tidak apa-apa dibanding harus menyaksikan kepergiaan sang adik.

Khirani langsung menjatuhkan lutut di tanah, ia menelangkupkan kedua tangannya, memohon dengan ratapan, "Aku mohon jangan. Jangan seperti itu. Please, aku nggak bakal telat-telat lagi," sorot matanya menampakan kebingungan, mencari-cari kalimat yang tepat untuk membuat Garu berubah pikiran. "Aku pasti! Pasti membayar semuanya! Please!" Kepalanya bergeleng dengan air mata yang deras, "jangan berhenti, aku mohooon...."

"Kamu mau naikin bulanan? Oke gapapa, aku nggak apa-apa. Aku pasti membayarnya. Sampai kapan pun, aku pasti melunasinya. Aku ..." terjeda isakan tangisan, "aku bakalan kerja setiap hari, siang malam, aku pasti akan membayar bulanan tepat waktu."

"Ck." Garu berdecak, raut wajahnya menunjukan malas memperpanjang masalah dengan drama tangis-tangisan yang memuakkan. "Lo bulanan segitu aja, sering telat. Gimana gue mau naikin bulanan, Bego!"

Dunia seolah runtuh bagi Khirani, ia tak sanggup kehilangan adiknya. Satu-satunya penguatnya bertahan selama ini. Ia tak punya alasan lain untuk bertahan jika bukan karena Diandra. Dunia memang tak akan berubah saat Diandra membuka mata suatu saat nanti, tetapi ia yakin pasti akan ada harapan walaupun itu sangat kecil. Mereka akan bertahan bersama, melangkah dan bangkit bersama, tidak di sini, tetapi di belahan dunia lain. Khirani yakin itu bisa terwujud.

"Aku mohon beri aku kesempatan," kata Khirani sambil mendongak menatap Garu, "beri aku kesempatan ... Svarga."

Sorot mata Garu terbeliak sebentar ketika mendengar Khirani menyebut nama belakangnya. Ada perasaan yang meletup-letup di dalam dadanya, berdesir hebat seperti lelehan magma yang mengaliri setiap inci hatinya. Keduanya saling beradu pandangan, bersirobok dalam-dalam, ingatan Garu ditarik lima tahun silam, saat ia pertama kali bertemu dengan gadis di depannya itu.

"Gaharu? Seperti nama pohon. Svarga, artinya surga, kan? Gaharu Svarga. Namamu bagus sekali. Svarga. Halo Svarga."

Pak! Tangan kiri Garu melayang tepat di pipi kanan Khirani. "Jalang, Bangsat! Lo pikir bisa ngerayu gue? Nggak bisa, Anjing! Bulan depan keluarga gue cabut surat pembayaran rumah sakit adik lo. Mau adik lo mati, gimana kek, gue nggak peduli. Keluarga gue nggak peduli. Cuih!" Lucuran ludahnya menjadi penutup pintu dari semua permohonan yang Khirani ajukan. Garu menutup rapat pintu itu lantas membuang gemboknya, seolah membiarkan pintu itu tertutup untuk Khirani selamanya.

Bukan sekali dua kali Khirani merasakan tamparan dari telapak tangan Garu, tetapi tamparannya kali ini beda, lebih sakit dari biasanya, rasa itu seolah meremas jantung dan hati. Menyisakan katupan mulut dan deraian mata dalam bisu.

***

Bhanu yang baru keluar dari salah satu restauran itu menangkap bayangan Khirani berjalan di sudut gang. Senyumannya mengembang meski dalam benaknya menerka kenapa gadis itu sangat jauh sekali sampai di sini? Jarak dengan kantor cukup jauh, butuh setengah jam perjalanan kereta.

"Saya duluan, ya." Kalimat itu menjadi pamitnya kepada teman-teman yang ia temui di restauran tersebut. Kaki pemuda itu melangkah panjang menuju arah Khirani menghilang di balik gang.

Dengan napas terengah-engah Bhanu menyapu pandangan ke setiap orang yang memakai hoodie hitam dan sepatu Nike dengan tubuh yang mungil. Ujung matanya menangkap bayangan itu masuk ke dalam gedung tinggi yang terbengkalai. Kaki Bhanu buru-buru berlari ke arah sana, ia memaku sebentar di depan gedung yang ada tulisan 'disita oleh bank'.

Jika diperhatikan dengan saksama, Bhanu pernah ke gedung ini beberapa tahun silam. Saat peluncuran bukunya yang pertama.

"Jaya Percetakan?"

Untuk apa Khirani ke sini? Rasa penasaran yang beradu dengan rasa khawatir pun merembeti hatinya. Bhanu mengayunkan kaki segera masuk ke dalam halaman gedung, berjalan memutar ke arah belakang, di sana ia bertemu dengan tumpukan kardus-kardus berisi kertas semburat berantakan tampak seperti gunungan sampah. Kursi-kursi rusak jungkir balik di antara kardus, mesin cetak buku yang berkarat dan ilalang tinggi menjadi pemandangan yang Bhanu tangkap dengan mata membulat.

Ada sebuah pintu di balik tumpukan itu, pintu dari besi yang tampak dirayapi karat di bagian engsel-engselnya. Pintu itu sedikit terbuka, Bhanu yakin Khirani masuk ke dalam pintu tersebut. Dengan rentetan penerkaan di dalam benaknya, Bhanu berjalan mendekati pintu kemudian perlahan masuk.

Aroma gedung tak berpenghuni, pengap, bau kertas-kertas lama menyambutnya. Apa yang tampak di depan tadi tidak seberapa dengan apa yang terlihat di dalamnya. Mesin-mesin cetak terbengkalai tampak berkarat, tumpukan buku dan kardus berisi kertas-kertas terlihat berdebu, sebagian berserakan di lantai.

Sarang laba-laba menjalar di sudut-sudut gudang. Sebagian jendelanya tertutup kain putih kusam yang dihinggapi debu, ada pula yang pecah. Sepertinya dulu gudang ini adalah bagian tempat produksi mencetak buku.

Suara pintu ditarik dari arah atas memutus kegiatan Bhanu menyapu pemandangan gudang tersebut, wajahnya menengadah dan melihat sebuah tangga. Dengan hati-hati, karena tangga berdebu, Bhanu naik ke lantai atas. Dari situlah ia mendengar sebuah alunan gesekan biola. Satu persatu langkah Bhanu mendekat ke pintu rooftop, secara perlahan.

Melodi dari Chopin Nocturne in C sharp Minor No.20 mengalun indah memenuhi atap gedung, tampak bayangan violinis berdiri di antara embusan angin yang menerpa uraian rambutnya. Tersibak ke sana ke mari seperti menari mengikuti alunan yang keluar dari gesekan bow miliknya. Hamparan gedung-gedung di depan menjadi penonton yang menyaksikan betapa tenggelamnya sang violinis ke dalam danau melodi yang ia ciptakan.

Jemarinya dengan lincah menekan-nekan kunci, tangan kirinya mengayun lembut mempertemukan bulu-bulu busur dengan senar. Tubuhnya bergoyang mengikuti naik turunnya nada, seolah menari bersama melodi-melodinya. Netranya sesekali memejam, menikmati setiap ritme melodi.

Bhanu kembali jatuh pada dimensi lain yang tercipta karena mendengar gesekan biola Khirani. Jiwanya ditarik selembut bow menggesek senar ke beberapa tempat yang pernah ia kunjungi. Hal yang lebih menarik adalah melodi Khirani tak hanya menariknya ke tempat-tempat tersebut, tetapi juga menariknya ke dalam kenangan-kenangan yang sekian lama menjadi hantu di sudut hatinya.

Kenangan-kenangan itu membungkus rasa pilu, patah hati, kehilangan, kesepian yang sunyi. Dan juga, rasa kerinduan yang menyayat hati untuk sang ayah.

Ruang dan waktu seolah membeku, menyisakan Khirani, Bhanu dan gesekan biola.

Bhanu berdiri dengan senyuman hangat, untuk kedua kalinya ia menyaksikan Khirani memainkan biola. Bhanu semakin melebarkan senyum, kali ini gadis itu tak bisa berkilah untuk menolak tawarannya. Bhanu semakin yakin inilah kesempatan menarik tangan Khirani untuk berkontribusi dalam pertunjukan.

Gesekan panjang Khirani sebagai tanda bahwa melodinya telah usai. Kaki kanan Bhanu maju satu langkah, tetapi kaki kirinya urung menyusul saat mendengar gesekan itu kembali mengalun.

Tempo melodi Paganini yang cepat dan lebih pendek kontras sekali dengan melodi Chopin yang sebelumnya Khirani alunankan. Bhanu termangu menatap pertunjukan itu dengan air muka bingung dan tegang. Aura pilu merembet ke hatinya. Perlahan Bhanu melangkah mendekati Khirani yang tampak seperti kesetanan menggesek biolanya.

Khirani seolah tenggelam terlalu jauh ke dalam danau melodi yang ia ciptakan. Gadis itu terpejam, mencuat bulir-bulir bening dari sudut matanya. Seperti bongkahan gunung es yang retak, setiap gesekannya menekan retakan jauh lebih besar, merembet cepat tak terkendalikan.

Jiwanya seolah terlepas dari raga, melayang dengan emosi yang membuncah. Gesekan demi gesekan mewakili setiap pedih dan patah hatinya menjalani kehidupan. Kepalan tangannya menguat, bibirnya bergetar, sebuah pengungkapan protes kepada Sang Khaliq atas penderitaannya yang tak berujung.

Bibir Bhanu menganga sembari terkejap-kejap menyaksikan Khirani yang pilunya menyentuh relung batin. Ia terpaku seperti pasak di tempat, tetapi jiwanya ikut terseret ke dalam danau melodi gadis itu. Angin, senja yang menua, di atas gedung tua, Khirani dan Bhanu saling berhadapan, terperangkap di dimensi gelap yang penuh dengan tangisan melodi.

"Dulu dia gadis yang periang, ramah dan murah senyum. Setiap bertemu dengannya, saya bisa merasakan aura yang positif, atmosfer yang bahagia. Ia bersinar seperti bulan di tengah bintang-bintang. Indah dan menenangkan. Hari di mana ayahnya tertangkap adalah hari pertama hidupnya hancur. Ia diburu media, dicap sebagai anak pembunuh, ia sempat bangkit dan memulai pertunjukan solo. Tetapi pertunjukannya dinodai dengan aksi anarkis, seseorang melempari wajahnya dengan lumpur. Sejak itu ia benci dengan panggung, benci dengan penonton, benci dengan pertunjukan. Dia membenci dunia," tutur Aminah tadi siang saat Bhanu menanyakan tentang gadis itu.

***

Terima kasih sudah membaca cerita ini, ya.

Yang bantu promo di Instagram dan Tiktok, aku follback.

Sampai jumpa hari Rabu, yorobuun....

Lee Jae Wook as Garu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro