The Real Reason

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bhanu kembali mengecek pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Khirani setengah jam yang lalu, tidak ada keterangan dibaca oleh perempuan itu.

Bhanu menoleh ke arah gedung yayasan tempat wawancara Khirani, satu persatu orang keluar dari sana. Orang yang mengenakan seragam yang sama dengan Khirani, batik dan bawahan hitam. Sudah pasti mereka juga baru saja tes wawancara.

Bhanu mencoba menghubungi melalui panggilan, tetapi tidak ada jawaban. Berulang kali Bhanu mencoba terus menghubungi, tetap tidak ada jawaban.

Perasaan Bhanu mulai tidak enak, pria itu memutar kemudi kemudian melaju menuju gedung yayasan. Setelah memarkirkan mobilnya, Bhanu keluar mengenakan topi hitam.

Ke sana kemari pandangan Bhanu mencari keberadaan Khirani sembari terus mencoba menghubunginya.

"Kamu di mana sih, Khi?" gerutu Bhanu setelah panggilannya sekali lagi tidak dijawab oleh Khirani.

Bhanu inisiatif masuk gedung yayasan, berdiri di lobi masih berusaha mencari Khirani. Namun, lobi tampak kosong hanya ada beberapa orang saja sedang duduk di ruang tunggu.

"Mbak, peserta beasiswa Kon Sidney?"

Seseorang itu mengangguk, "Iya, Mas, kenapa?"

"Wawancaranya sudah selesai, ya?"

"Sudah setengah jam yang lalu. Kenapa, Mas? Masnya telat, ya?"

Bhanu menggeleng, "Oh, nggak, saya cari istri saya."

"Ooh, sudah pulang semua, kok, Mas. Saya peserta terakhir. Tadi di ruang wawancaranya juga udah kosong, nggak ada siapa-siapa."

Perasaan Bhanu semakin tidak enak, pikirannya ke mana-mana takut Khirani kenapa-kenapa. Bisa jadi Khirani pingsan di kamar mandi dan tidak ada yang tahu. Kekhwatiran merembet menjadi rasa takut.

"Tadi Mbak lihat orang ini, nggak?" Bhanu memperlihatkan wallpaper ponselnya kepada orang tadi. "Namanya, Khirani, Mbak. Khirani Gantari."

"Khirani?" sahut seseorang di belakang Bhanu.

Bhanu menoleh.

"Anda kenal Khirani?" tanya orang itu.

"Anda mengenalnya?" tanya balik Bhanu.

"Dia teman saya, teman sekolah."

Bhanu tidak pernah melihat perempuan berambut keriting itu, tidak juga mendengar Khirani pernah bercerita bahwa ia memiliki kenalan seorang teman seperti perempuan itu.

"Oh, ya?" Bhanu menatap tidak percaya.

"Anda siapanya Khirani?"

"Suaminya," lugas Bhanu menjawab.

"Suami?" Spontan perempuan itu terkejut. "Khirani sudah menikah?"

Bhanu mengangguk, "Anda tahu di mana dia sekarang? Saya tidak bisa menghubunginya. Terakhir  mengabari  kalau di gedung ini, tes wawancara."

Air muka perempuan itu perlahan berubah dari raut terkejut berangsur menjadi cemas. Seolah menyimpan satu kejadian yang baru saja dilewati.

"Benar Anda temannya?"

Perempuan itu mengangguk, tetapi seperti mengangguk ragu.

"Apa yang terjadi? Bilang apa yang barusan terjadi di antara kalian?" cecar Bhanu dengan nada dan tatapan dingin.

Setahu Bhanu, Khirani tidak punya teman. Semua temannya mendukung cancel culture, sepakat mengenyahkan Khirani dari Musica Art School karena skandal pembunuhan ayahnya, ditambah lagi atas pengaduan Khirani yang menyebabkan Garu dikeluarkan dari sekolah.

Pada detik ini Bhanu bisa menebak telah terjadi sesuatu di antara Khirani dan perempuan di depannya ini yang membuat istrinya kini menghilang tidak ada kabar.

Greta menghela napas panjang, tatapan dingin pria di depannya semakin membuat Greta menciut. Benaknya mengilas balik beberapa waktu lalu saat melihat Khirani untuk kali pertama setelah tiga tahun tidak pernah berhadapan dengan perempuan itu. 

Gemetar tangan Greta menatap sahabat yang dulu pernah sedekat nadi, sangat asing dan jauh. Greta menyadari bahwa hubungan mereka menjadi sejauh ini karenanya. Tiga tahun yang lalu Greta hanyalah gadis 18 tahun yang polos, takut, dan terkekang strict parents, apa pun yang dikatakan orang tuanya telak harus ia turuti, termasuk memutus persahabatan dengan Khirani. 

"Nama saya Khirani Gantari, 22 tahun, violinis."

Sepanjang wawancara, Greta bungkam dan tidak banyak bertanya. Hatinya terluka melihat sahabat yang dulu berlatih bersama, bermain dan berbagi cerita bersama duduk berhadapan dengannya sebagai calon penerima beasiswa sekolah musik yang dinaungi yayasan milik keluarganya.  

Sementara Khirani tak goyah dengan keberadaan Greta yang penampilannya tidak banyak berubah, gadis itu masih mempertahankan rambut keritingnya, masih suka mengenakan jepit rambut kupu-kupu. Nyaris tidak ada perbedaan melihat Greta di sini dengan Greta saat meninggalkan Khirani dulu.

Hanya satu pertanyaan yang diberikan Greta kepada Khirani. 

"Apa yang membuatmu mau melangkah hari ini untuk melakukan wawancara?"

"Bhanu," jawab spontan Khirani, "Jisaka Bhanu."

"Siapa itu?" Pewawancara lain menyahuti. 

"Seorang prajurit yang pernah tenggelam dunia dan mimpinya, tetapi berhasil sembuh dan kembali ke laut. Darinya saya bisa melihat bahwa mimpi yang padam masih bisa dihidupkan, jalan yang terjal masih bisa dilewati, benteng yang tinggi masih bisa dilompati. Dia orang yang menyeret saya dari gelapnya dunia dan memberi saya dunianya yang berwarna."

Wawancara berlangsung tidak lama karena Khirani dengan lugas mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara. Perempuan itu seperti tidak terganggu sama sekali dengan tatapan Greta yang buram akan bulir air mata. 

Beberapa langkah setelah keluar dari ruang wawancara, Greta menyusul langkahnya. 

"Khi?" Gadis itu menahan Khirani di depan lift. 

"Maaf, bertemu dengan pewawancara di luar ruangan tidak diperbolehkan. Saya permisi." Khirani menekan tombol lift, mencoba menghindari Greta. 

Ingatan Khirani masih membekas di benaknya, bagaimana tatapan dan kalimat Greta tiga tahun lalu melukai persahabatan yang sudah bertahun-tahun mereka bangun. Tidak ada dendam, sudah tidak ada kebencian, bahkan Khirani sudah memaafkan, hanya saja tidak mudah untuk menerima orang lama di hatinya kembali. Apalagi orang itu cukup menyakitinya di masa lalu. 

"Khi, bisa kita bicara sebentar aja?"

Khirani bergeming, mencoba tidak peduli dengan permintaan Greta. 

"Apa yang terjadi di masa lalu bukan sepenuhnya keinginanku, aku mencarimu ke mana-mana selama ini, Khi."

Ada gradasi bulir air mata yang mencoba dipertahankan tanpa dibiarkan lolos mengalir di pipi Khirani. Ia menatap angka lift yang terus bergulir dan berharap pintu itu akan segera terbuka.  

"Khi." Greta menangis, meraih tangan Khirani. "Maafin aku ..."

Khirani menepis tangan Greta pelan, "Sorry, ya, Ta. Aku bukan Khirani yang dulu."

Tergugu Greta menatap tatapan dingin dari orang yang dulu pernah membantunya meraih mimpi. Berkat usaha Khirani yang setiap hari memberi semangat Greta, mengajari gadis itu pada not-not yang susah, yang memberi gambaran indahnya menjadi seorang bintang panggung, hingga akhirnya Greta mengisi daftar siswa yang lolos ke universitas musik paling bergengsi di Vienna. 

"Dan tolong penilaian interviewku hari ini aku harap sama sekali tidak ada pengaruh darimu. Kalau bisa, kamu coret saja aku dari daftar yang lolos seleksi."

"Khi, aku-"

Ponsel Khirani bergetar, menyela kalimat Greta. Melihat nomer itu membuat wajah dingin Khirani berubah menjadi panik. 

"Halo?" Tak lama setelah mengangkat telepon itu, mata Khirani melotot. Terlihat panik, berusaha untuk menekan-nekan tombol lift agar cepat sampai. 

"Khi, ada apa?"

Khirani tidak menghiraukan pertanyaan Greta, ia berusaha untuk menekan-nekan tombol lift. Terlihat tidak sabar, Khirani memutar langkahnya mencari tangga darurat.

"Khi!" panggilan Greta terabaikan, seperti ada sesuatu yang membuatnya panik dan buru-buru untuk pergi ke tempat si penelepon. 

Mendengar Greta mengatakan hal serupa dengan apa yang terjadi dengan Khirani kepada Bhanu, membuat pria itu langsung  memutar langkah keluar dari lobi gedung dan berlari menuju mobilnya. 

Tidak ada yang membuat panik Khirani sampai harus menuruni lantai empat lantai selain kabar dari rumah sakit. Ke sanalah detik ini Bhanu melajukan mobilnya kencang. 

*** 

Sedetik setelah membanting pintu mobil di parkiran rumah sakit, Bhanu berlari menuju lantai di mana Diandra dirawat. Pikirannya sudah ke mana-mana, tidak mau sampai hal buruk terjadi. Pantas kalau Khirani tidak bisa dihubungi, karena mungkin ada kabar dari rumah sakit. Hal itu yang kini kian membuat pikiran Bhanu tidak keruan. 

Bahkan kakinya tidak sabar untuk menunggu pintu lift terbuka, pria itu lebih memilih menanjaki anak tangga menuju lantai lima rumah sakit. Ponselnya bergetar di tengah-tengah Bhanu mengerahkan tenaga menaiki puluhan anak tangga. 

"Iya, Bu?" Bhanu mengangkat teleponnya, sambil terus menaiki tangga. 

"Kamu di mana, Le?" 

"Di rumah sakit."

"Oh, udah di rumah sakit? Ya, udah, ibu sama adik-adikmu sekarang ke sana."

Deg! Bhanu mendadak berhenti melangkah, sedegub jantungnya seolah menghilang. Pikirannya tidak bisa diajak untuk berpusat pada kabar positif, mendengar  suara ibunya yang sama paniknya membuat Bhanu kehilangan fokus untuk sesaat. 

"Ibu langsung berangkat ini, Le!" 

"Bu, sebenarnya kenap—"

Sambungan telepon terputus secara sepihak oleh Nawang yang terdengar terburu-buru. Jantung Bhanu semakin berdetak kencang, ia harus segera menemui istrinya. Jika memang hal buruk terjadi, Bhanu tidak mau Khirani bersedih sendirian saat ini. 

Kaki pria itu melangkah kembali, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Hingga pintu lantai lima dibuka, ia berlari menyusuri lorong menuju kamar perawatan Diandra. 

Tepat pada saat itu, Bhanu berpapasan dengan beberapa perawat mendorong brankar yang mengangkut seorang pasien. Langkah Bhanu mati di tempat, gemetar tangannya melihat pasien itu ditutup selimut seluruh tubuhnya. 

"Diandra ..." 

Brankar itu lewat begitu saja di depan tubuh Bhanu yang mematung. Baru saja bahagia memeluk sang istri, kini kesedihan kembali menyelimuti, pikir Bhanu. Demi menunjang perawatan Diandra, Khirani harus babak belur di tangan renternir keji. Bukan adik kandung Bhanu, sudah pasti  sama-sama merasa terpukul.

Pecah tangis seseorang merebut fokus Bhanu, tubuhnya yang mematung spontan sadar. Masih dengan napas naik turun tidak beraturan, Bhanu buru-buru melangkah kembali untuk menemui Khirani. 

Semakin dekat dengan ruangan perawatan Diandra, semakin keras suara tangis Khirani terdengar. Bhanu langsung mendorong pintu, berdiri tertegun dengan degub jantung berdebar.

Detik itu Bhanu melihat istrinya menangis terisak-isak, napas Bhanu tercekat terhenti beberapa detik menyaksikan Khirani memeluk seseorang yang sudah sadar dari komanya. 

*** 

Hanya ingin menginfokan bahwa Gantari: The Song of Dream tinggal kurang lebih 10 part lagi. Sebelumnya, terima kasih sudah menunggu dan mengikuti cerita ini, aku benar-benar sangat berterima kasih, i love you guyss ... 

Selamat menjalankan ibadah puasa, ya bagi yang menjalankan.

See you next part!

With Love, Diana Febi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro