The Show of Gantari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Piece How's Moving Castle Theme menjadi piece pembukaan storytelling Novel Gantari. Reyko menekan tuts pianonya dengan syahdu, begitu juga dengan Khirani yang mulai menggesek bow-nya. Dua nada mereka selaras irama berkawin dengan indah.

Layar di belakang mereka menampilkan teduhnya suasana di sebuah pedesaan, anak-anak kecil berlarian di tengah-tengah sawah kemudian berganti menjadi air terjun yang indah, pegunungan hingga bayangan seorang perempuan tampak. Khirani dan Reyko menjeda permainan.

Kini giliran Bhanu yang masuk.

"Burung-burung itu mengabarkan, Puan. Ada gadis yang tak bernama berdiri mengindahkan pemandangan. Aku tak percaya, tetapi semua pujangga cinta berlarian mendekatimu. Hanya aku yang masih berdiri di atas batu.

Selendang sutramu menjadikanku mundur. Kamu bukan berasal dari sini, kamu dari khayangan yang tak mungkin bisa aku jumpai. Namun, paras bidadarimu membuat bunga cemburu. Aku hanyalah pujangga sumbang yang tak layak berkata cinta, tetapi indahmu memantikkan keberanianku.

Puan, siapakah sebutanmu?

Musik kembali masuk, Piece Canon in D menjadi piece berikutnya. Layar pun berganti menjadi gemerlap kota, menampilkan sebuah jalanan raya di sudut kota Jogja.

Ubud selalu memberi kenangan yang tak mudah untuk dilupakan, Ubud seperti punya magis yang membuat pujangga sumbang sepertiku berani membayangkan, akan hadir Puan yang kutemui di bukit itu.

Ternyata Ubud memang magis, senyuman indahmu kembali aku tangkap dalam netra. Kini jauh lebih dekat dari sebelumnya.

"Aku Tari, Antari Shirina."

Puan, jika engkau tahu, saat kau menyebut namamu, seperti retak jantungku tak berdaya untuk menahan gejolak hebat dalam dada. Gemetar nadi ini tak kuasa bergembira.

"Aku Ganta, Ganta Aji."

Jika ini mimpi, aku berharap mati sekarang. Aku ingin terus menutup mata hanya karena melihat kau mengulurkan tangan, Puan. Bukannya tak sadar, aku sadar betul aku menaruh hati padamu. Aku berharap lebih untuk bisa mengenalmu. Puan, apakah aku pantas?

Semua penonton sunyi menikmati, alunan lembut gesekan violin dan tekanan tuts piano membuat semua orang terbawa masuk pada pertemuan Ganta dan Tari di sudut kota Ubud.

"Sebelum usia tiga puluh, aku ingin mengunjungi tujuh negara. Aku tidak mau menjadi manusia yang hanya terpasak pada satu sudut bumi saja. Aku ingin menari, berlari, terbang dan jatuh di beberapa kota di atas bumi ini. Ganta, kamu mau menemaniku?"

"Tari, Ubud adalah duniaku. Pasakku terlalu tajam di sini, kakiku tak bisa beranjak."

"Bisa, Ganta. Kamu lihat matahari?"

"Hm."

"Meskipun pasaknya tajam menggantung di langit, dia mampu mengelilingi bumi. Ganta, aku ingin seperti matahari yang mampu berkeliling bumi, menyinari bumi dan menghangatkan pasak-pasak yang dingin."

"Kalau aku tidak bisa, kamu akan meninggalkanku?"

"Jarak memang bisa membuat kita jauh, tetapi sinar mentari membuat kita dekat. Selama mentari tak terbelah, aku yakin kita masih di bumi yang sama."

Puan, kalimatmu melumpuhkanku. Kamu adalah gadis terhormat, dicintai keluarga raja, apalah aku hanya seorang pemandu pelipur hari yang hanya berpanas-panasan dan kehujanan, tanpa rambu-rambu. Walau begitu, Puan. Aku sungguh jatuh cinta padamu, pada keindahan tutur bahasamu, keluwesanmu, kecerdasanmu, tentu pula pada senyum manismu.

Layar perlahan bergeser sebuah bayangan hitam, kemudian muncul siluet dua tangan yang saling menggenggam perlahan memisah. Bersamaan dengan itu Piece Vivaldi's Winter masuk. Temponya yang lebih cepat dan dramatis menggambarkan kegelisahan para penonton.

Bhanu berdiri dari kursinya.

Puan, maafkan aku. Puan, aku hanya seorang pendosa yang pengecut. Maafkan aku tak bisa memperjuangan bunga semi dalam ikatan hati kita. Aku lepas dengan ikhlas dan merelakan dirimu dipinang Pangeran Negeri seberang, aku tak berdaya, Puan. Aku tak mampu apa-apa.

"Ganta, ayo lari bersamaku!"

"Maafkan, aku, Tari. Ibuku menggantung restu untuk perempuan lain."

Puan, aku pengecut. Aku tak pantas untukmu.

Maafkan aku harus mengucap janji pada sang dewa atas nama perempuan lain. Aku memilih menancapkan pasakku dalam-dalam pada embusan takdir bersama puan lain, Adisri.

Maafkan, aku, Istriku Adisri. Ragaku engkau miliki, nyatanya jiwaku berlarian gelisah tersesat tak bisa pulang pada satu nama, pada satu cinta. Debur jantungku bergelora tak bisa menyentuhmu, mataku memanas mengasihanimu, hatiku terluka melihatmu. Pilu aku menjadikanmu istri tak bersuami. Maafkan, aku, adinda Adisri. Separuh hatiku terkoyak karena kabar Tari melarikan diri dari negeri.

"Pergi, pergilah mengejarnya, suamiku. Temukan jiwamu yang tersesat, temukan separuh hatimu, berbahagialah dengannya. Namun, seperti tali yang terjalin pada ikatan, tolong lepaskan aku secara terhormat."

Bhanu berdiri, pandangannya menyapu ke seluruh penonton yang menatapnya dengan hanyut. Perlahan alunan berganti piece, denting-denting piano dari Chopin Noctuner Op. 9 No. 2 terdengar sementara bow violin menggantung di udara. Bhanu mengeluarkan sesuatu dari balik coatnya.

Seketika semua penonton langsung memekik terkejut, sedikit heboh. Sebuah buku catatan harian bersampul kecokelatan yang usang, ada tali yang mengikatnya. Layar di belakang panggung menyorotinya, tampak semua penonton berteriak, tak lagi biasa saja, tetapi sungguh heboh menenggelamkan dentingan piano Reyko.

Ternyata rumor itu benar, kisah Gantari terinpirasi dari kisah nyata seseorang.

Perlahan bow violin kembali terdengar, menyatu dengan dentingan piano dari piece Spring Waltz milik Chopin. Sebuah piece yang syahdu dan menilik haru dalam sanubari.

Puan, kutemukan catatanmu. Kutemukan isyaratmu, tanda-tanda kakimu berlari ke mana. Puan, aku putuskan untuk menyusulmu. Entah kita akan bertemu di mana, aku berharap kita masih di ikatan yang sama, yakni cinta.

Layar panggung berganti menjadi sebuah pemandangan bangunan megah Taj Mahal. Nada pun perlahan berganti, alunan dari lagu Kal Hoo Na Hoo mengalun lembut.

Puan, aku berada di India. Katamu, negara pertama yang ingin kau kunjungi adalah negara ini. Kau ingin melihat bangunan berserajarah bukti cinta seorang raja pada istrinya. Aku datang, Puan. Sebagai bukti cintaku padamu.

Puan, aku menemukan jejakmu. Sudahkah kita lebih dekat?

Bhanu menjatuhkan lututnya, layar berganti menjadi gersang padang pasir yang panas. Musikmu berubah cepat, nada khas timur tengah mengalun, pilu.

"Tari!"

Sungguh, aku akan mati di sini. Aku tersesat dalam debu gunung yang nyaris menenggelamkan netraku. Aku sekarat, Puan. Maafkan, jika mungkin negara ini menjadi negara terakhir aku mencari jejakmu.

"Ganta!"

Aku membuka mata, terlihat bayangan samarmu di pelupuk. Puan, apakah itu kamu? Apakah aku sedang di alam baka, menyaksikan imajinasi indah bertemu denganmu?

Bhanu berdiri, memutar tubuhnya. Membelakangi penonton, ia sempat melirik Khirani yang sedang hanyut dalam gesekan biolanya. Pemuda itu merasa lega dan sedikit tenang, ia pun kembali fokus melanjutkan cerita.

Kadang kematian belum cukup menebus dosa, justru kematian adalah awal dari dosa yang tak bisa ditebus. Aku berdosa telah menyakiti dua hati, aku berdosa melepasmu pergi. Aku tersesat dan sekarat dalam gelapnya malam di padang pasir yang dingin.

Andai kau tahu, Puan. Jika bukan karena mimpi bertemu denganmu, mungkin dosaku tak pernah bisa kutebus. Namun, jika aku tak datang ke sini, aku tak pernah pula menemukan jejakmu.

Kamu sekarang jauh, Puan. Kota Swiss. Namun, aku akan tetap datang.

Bhanu berjalan ke arah kursinya, duduk kembali menyilangkan lutut, menuangkan botol sampanye dan mengelucurkan minuman khas Swiss itu ke dalam gelas, jemari Bhanu luwes menggoyangkan gelas tersebut, diiringi alunan River Flows In You terdengar, layar pun berubah menjadi pegunungan di Swiss.

Pemuda itu meneguk sampanye di ujung bibir. Kemudian kembali membuka buku catatan milik Tari.

"Swiss selalu menyedot perhatianku, Ganta. Pegunungannya seperti negeri dongeng, bangunannya seperti dalam mimpiku. Swiss akan menjadi kota ke-tigaku. Swiss yang sejuk dan penuh dengan ketenangan. Aku akan menari di antara pegunungan."

Puan, aku di sini. Memandang resah di antara pegunungan, mencari jejak tarianmu di sini. Rinduku sungguh meronta meminta penawar, melucuti batin hingga mencekik rasanya mengingat kau kembali jauh dariku.

Seperti porselen yang pecah, aku jumut satu per satu lalu aku rekatkan. Meyakinkan diri bahwa kau juga begitu. Hancur, tetapi kembali utuh untuk bangkit.

Aku hanya menemukan jejakmu di sini, di antara bebatuan di dekat danau. Iya, benar, itu di antara dua pegunungan yang menenangkan.

Ada jeda yang menciptakan sunyi, semua penonton turut senyap. Lampu panggung tiba-tiba mati, perlahan muncul pemandangan Landmark di Kota Sofia yang tengah badai. Petir dan guntur terdengar bersahut-sahutan, Vivaldi Winter Wind mengalun. Sorot lampu jatuh pada Khirani dan Reyko.

Perasaan tegang merembet bersamaan dengan piano dan violin mengawinkan piece dengan sempurna. Jemari Reyko menari-nari kesetanan di atas tuts, sedangkan Khiani memejam menciptakan danau melodi yang dalam, mencoba meraup semua fokus penonton untuk masuk ke dalam danau tersebut.

Di tengah itu sorot lampu jatuh perlahan ke Bhanu yang kembali menekuk lutut di atas panggung, pemuda itu tampak menangis memegang dada. Melempar buku catatan Tari dan menyemburatkan semua lembar-lembar penuh coretan memenuhi panggung.

Puan! Teriak Bhanu di tengah hentak melodi piano dan violin.

Aku bersumpah dalam kehancuran kenyataan menyaksikan kau bersanding dalam teduh atap bersama pria lain. Kota yang kamu sebut sebagai kota impian mengadu cinta, nyatanya kau toreh dengan luka.

Jejakmu kini menyakitiku! Pilu batinku kedinginan dalam rindu yang menyakitkan, mati dalam kesunyian, hancur berkeping menerima kenyataan kau buka lembaran baru bersama pujangga lain.

Kujatuhkan kehormatan keluargaku demi mengejarmu, kubunuh istriku dengan keputusanku menyusulmu, kumatikan hatiku untuk puan-puan yang lebih baik darimu. Baraku tak akan pernah padam sebelum bertemu denganmu, lihatlah dengan netramu, Puan. Aku datang membawa cinta yang kau lukai.

Tidak! Puan, itu bukan salahmu.

Aku yang terlambat datang. Aku yang melepasmu dulu, aku yang membuatmu pergi, aku yang salah. Aku yang berdosa, Puan. Akan aku terima garis takdir ini, aku bawa pulang dengan pilu yang malu.

Namun, aku akan tuntaskan.... Perjalanan ini sampai negara terakhir. Meninggalkan jejak berkepanjangan untuk bukti bahwa aku pernah gila bertaruh semua demi kamu, Antari Shirina.

Musik terus berlanjut, meski layar berganti menjadi sebuah kota di Venesia.

"Venesia..." ucap Bhanu dan jatuhlah air mata Khirani mendengar negara itu disebut.

Kota yang pernah menjadi impiannya meraih mimpi, kota yang hanya tinggal kenangan meski kakinya tak pernah melangkah di sana. Bhanu menyadari Khirani terlalu tenggelam dalam danau melodinya, nadanya berlari cepat mendahului nada Reyko.

Seperti ada emosi yang menggelora, Khirani terhanyut dalam rasa sakit yang tak berkesudahan. Bhanu melirik Khirani, gadis itu kembali kesetanan persis seperti yang pernah Bhanu saksikan waktu itu di atas atap bekas gedung ayah Khirani.

Bhanu berjalan ke arah Khirani, menyentuh pundak gadis itu, Khirani terpantik dan membuka kelopak mata. Pelupuknya basah, menatap netra Bhanu yang sendu. Pemuda itu mengulas senyum, meraih bow Khirani. Kini, tinggal nada Reyko yang mengalun.

Puan, aku bertemu dengan seorang gadis yang cantik.

Bhanu menarik lembut tangan Khirani untuk turun dari altarnya, meski bingung, Khirani memahami isyarat Bhanu yang mengajaknya masuk ke dalam alur.

Aku habiskan empat tahun di kota ini bersamanya.

Di luar naskah, Bhanu mengajak Khirani berdansa. Reyko mengambil langkah inisiatif mengubah nadanya menjadi piece Mariage D'Amor. Penonton histeris bertepuk tangan meriah.

Dengan lembut Bhanu memegang pinggang Khirani dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya memegang violin Khirani. Mereka mengayun bersama sebisa mungkin mengikuti nada. Tangan kiri Khirani memegang bow, sesekali tangan kanannya menyentuh pundak Bhanu.

Tatapan Bhanu mengunci netra Khirani, pemuda itu tersenyum sembari terus mengayunkan kaki. Khirani turut tersenyum di balik penutup wajahnya. Dalam satu tangga nada, Khirani memutar tubuhnya. Mereka seperti pedansa ulung yang sedang memadu kasih di bawah sinar sorotan lampu panggung.

Puan, aku jatuh cinta padanya. Duniaku adalah miliknya.

Bhanu memutar kembali tubuh Khirani, kemudian perlahan mengantarkan Khirani ke tempat semula untuk melanjutkan narasi selanjutnya.

Aku bawa dia ke kota terakhir, Puan. Istanbul. Kota yang katamu akan menjadi kota romantis batin dan cintamu pada Sang Mahakarya, kota yang akan meninggalkan jejak kenangan yang ingin kau bawa sampai embusan napas terakhir. Aku berada di sini sekarang, Puan. Menuntaskan janjiku untuk mengikuti jejakmu sampai akhir.

Layar berganti menjadi Selat Bosphorus, nada pun beralih menjadi How's  Moving Castle Theme. Khirani kembali bisa fokus dan menggesek bownya mengikuti nada Reyko. Bhanu berjalan mendekati penonton, menebar senyuman ke seluruh penonton, melambai, memejam mengikuti alunan mengajak penonton untuk masuk ke narasi. Lalu ia kembali ke podium.

Aku berencana akan melamar seorang gadis yang kubawa, Puan.

Bhanu memejam sebentar, kemudian melantunkan sebuah lagu Je Te Laisserai Des Mots dari Patrick Watson yang menceritakan tentang seseorang yang sedang kasmaran. Sesekali Bhanu melirik Khirani yang juga menatapnya dengan senyuman yang tersembunyi.

Setelah lagu usai, melodi Winter dari Vivaldi kembali mengalun. Air muka Bhanu yang kasmaran berubah menjadi tegang, seolah ia sendiri yang menjadi Ganta dalam narasinya. Memendam kerinduang, sesak, kesakitam kenyataan saat mengetahui bahwa orang yang ia kira telah meninggalkannya ternyata terbaring tak berdaya membohonginya, satu hari setelah Ganta melamar kekasihnya yang baru.

Bhanu gelisah menyapu pandangan ke seluruh gedung, seperti mencari sesuatu yang berharga. Ia berjalan resah ke sana, ke mari. Hingga akhirnya lututnya jatuh di tengah-tengah panggung, pemuda itu menundukkan kepala dan menangis.

Khirani mengangkat bow, Reyko juga mengangkat jemarinya dari tuts. Panggung senyap dan sunyi menyisakan deru napas tangis dari Bhanu. Semua penonton tampak tegang, menunggu momen-momen paling menyakitkan dalam naskah Gantari saat Ganta bertemu dengan Tari di waktu yang salah.

"Ganta Aji?" Pengisi suara Tari terdengar dari balik panggung.

Bhanu mengangkat wajahnya. Mata pemuda itu basah dengan air mata.

"Tari?"

Puan, apa ini? Kenapa wajahmu pucat sekali? Tari, Antari Sayangku. Mengapa engkau membohongiku?

"Aku ingin membohongimu sampai akhir, Ganta. Kiranya Tuhan tak mengizinkan, maaf jika kamu bertemu denganku dalam keadaan seperti ini. Aku tak menuntutmu untuk pulang padaku, aku memintamu untuk terus melanjutkan hidup. Buah cinta dari Tuhan ini sudah ada sejak hari pertama aku dengar kamu menyusulku, aku memutuskan untuk meninggalkan jejak palsu di Kota Sofia agar kau berhenti mencariku."

Sudah kubilang, Puan. Kamu adalah bagian dari jiwaku, bagian dari hatiku, kenapa engaku terus lari dan ingin menghilang dariku? Aku seolah mayat hidup yang tak bisa mencintai puan lain sebesar aku mencintaimu. Setelah kau bohongiku dengan begitu jahatnya, sekarang kau pergi di hari pertama kita bertemu kembali setelah bertahun-tahun.

"Aku bahagia, kamu adalah pria yang senantiasa menjadi sejarah panjang kisah cintaku. Akan aku ceritakan pada Tuhan untuk memberimu belas kasih atas cinta yang kau berikan untukku. Puzzelku telah lengkap, membungkus semua kenangan dalam jiwa yang damai. Ganta. Aku harus pergi. Cakrawala sudah menghitam, aku harus... memejam. Kutunggu kamu di ujung esok yang senantiasa indah nan abadi."

Piece Nocturner In C Sharp mengalun menyayat hati.

Badai sudah jiwaku tergoncang menyaksikan kematian Puan di pangkuan. Merintih kalbu ini meminta Puan untuk kembali pulang. Langit sedang cerah, Puan, jangan usai di dunia, tolong buka netramu untuk bersua. Kita jalin cinta yang pernah terputus dan mati. Kita rayu Tuhan untuk kembali mempersatukan, matahari dengan cahayanya.

Lampu panggung meredup, sorotan jatuh pada Bhanu yang kini berdiri dengan memejam menghayati. Layar panggung berubah menjadi menampilkan surat usang pemilik asli dari tokoh Tari untuk Ganta sebelum wafat di atas kapal di tengah Selat Bosphorus, Turki.

Sesuai dugaan, trimbun menjerit. Suasana duka memenuhi seluruh gedung di tengah sayup-sayup gesekan bow dan alunan piano. Sorot lampu jatuh pada tiga orang di panggung, semua tampak meresapi jatuh pada danau melodi menyayat hati.

"Puan..." suara bariton terdengar dari balik panggung, trimbun kembali histeris. Gesekan dan alunan piano terhenti, ada jeda beberapa detik kemudian seseorang yang diduga Ganta asli itu melanjutkan kalimatnya, "Aku merindukanmu, Cahaya matahariku. Puan Antari Shirina."

Piece River Flow in You kembali mengalun, bersamaan dengan itu lampu panggung kembali bercahaya tanda pertunjukan telah usai. Semua penonton masih hanyut dalam narasi dan melodi, ada yang bertepuk tangan meriah, ada yang sambil terisak, mengusap air mata, menangis tertawa.

Bhanu membungkukkan punggungnya beberapa detik sambil mengusap air mata yang mencuat, kemudian kembali menegakkan tubuh sembari mengedarkan pandangan ke seluruh trimbun, menikmati momen paling melegakan dan memuaskan hati bagi seorang penulis yang karyanya dinikmati sepenuh hati.

Ayah, lihat. Mataharimu tak pernah kehilangan cahayanya. Berkatmu, Kapten Arya Brajasena. Berkatmu.

***

Khirani, you did it! Congratulation!
Give her your love, guys 🤍💜

Terima kasih kepada teman-teman yang sudah menemani masa berat Khirani, hingga akhirnya Khirani bisa kembali berdiri di atas panggung. 

Terima kasih atas semua dukungannya. Untuk teman-teman yang sedang dalam masa berat, bismillah, semangat untuk bangkit, ya! Ada hal besar di depan sana, tetap bernapas, ya. Selama kamu masih bernapas, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Hug and Kiss love untuk manusia-manusia hebat yang dipukul terpaksa untuk menjadi dewasa. You great! Kamu luar biasa hebat. Jangan pernah menyerah, istirahat boleh, tetapi tetap maju, ya, jangan menyerah. 

Sampai jumpa Hari Jumat. 

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro