Yang Pernah Bersinar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, kalau kita setidaknya menampilkan tujuh lagu untuk-,"

"Piece, bukan lagu. Piece tidak punya lirik, jadi tidak bisa dikatakan sebagai lagu," ralat Khirani untuk kesekian kalinya membenarkan kata Bhanu maupun pianis yang akan menjadi rekannya nanti di pertunjukan.

"Eee..." Bhanu terkekeh sambil melirik Reyko, seorang pianis otodidak yang juga teman Bhanu semasa sekolah. "Iya, piece. Maksud saya piece, setidaknya kita membawakan tujuh piece sesuai dengan latar negara. Jadi, karena saya nggak begitu paham soal piece setiap negara, saya serahkan itu ke kalian yang lebih paham. Nanti kita diskusikan bersama."

Khirani dan Reyko mengangguk hampir bersamaan.

Mereka sedang mengadakan rapat sekaligus latihan hari pertama di gazebo lantai dua rumah Bhanu, sekitar pukul delapan malam seusai Khirani mengajar les si kembar. Bhanu cukup senang dengan keputusan Khirani  mau bergabung di pertunjukan, meski dari tadi gadis itu terlihat datar seperti biasa. Bukan masalah, Bhanu sudah merasa senang.

Khirani mengeluarkan buku dari ranselnya, buku bertuliskan Classic Violin yang terlihat lecek karena mungkin dulu sering dibuka tutup oleh pemiliknya. Buku itu diletakkan di atas meja di depan Bhanu dan Reyko.

"Aku punya beberapa referensi piece. Setidaknya di buku itu aku pernah menulis lebih dari tiga puluh piece dari banyak lagu."

Reyko meraih buku itu kemudian membukanya, ia membulatkan mata ketika melihat isinya, "Wah, mmm... sepertinya aku punya sedikit masalah," ujar Reyko diiringi kekehan sungkan.

"Kenapa, Rey?" tanya Bhanu.

Reyko menunjuk buku Khirani, tepatnya ke susunan nada yang ditulis rapi berjejer tanpa satu pun kalimat, hanya ada not yang tergambar. "Aku nggak bisa baca not balok." Reyko terkekeh, merasa tidak enak. "Aku tahu notah tiap nada, tapi kalau dalam bentuk balok, aku nggak begitu paham."

"Membaca not balok itu materi dasar pemusik," ujar Khirani, "selama ini kamu membacanya dengan pendengaran aja? Kamu bisa menentukan nama nada tanpa melihatnya?"

Mata Reyko mengerjap, terkejut Khirani bisa menebaknya. "Kok tahu?"

Khirani mengangguk-angguk kecil, "Tala mutlak."

"Tala mutlak?" Bhanu membulatkan matanya, "apa itu?"

"Kemampuan orang memainkan nada tanpa melihat rujukan, hanya mengandalkan indra pendengarannya, dia bisa memainkan nada itu kembali tanpa bantuan apa pun. Mozart, Chopin, Bethoveen, mereka juga mempunyai tala mutlak. Charlie Puth, Mariah Carey, juga memiliki fenomena langka itu," tutur Khirani, jelas sekali ia senang membicarakan hal tentang musik.

Tala mutlak hanya dimiliki sedikitnya 0,5% dari populasi, fenomena pendengaran ini diyakini suatu bakat yang sudah ada sejak lahir. Walaupun pada dasarnya setiap orang berpotensi memiliki kemampuan langka ini dengan latihan. 

Selain tala mutlak, ada sinestesia. Sinestesia adalah fenomena neurologis di mana otak menghasilkan persepsi berupa penglihatan, pendengaran, atau sensasi lainnya dari hal-hal yang biasanya tidak menimbulkan respon indra tersebut. Orang yang memiliki sinestesia mungkin melihat huruf C berwarna kuning atau kata 'hitam' terasa pahit di lidah. Dalam hal bermusik, seperti Pharrel William yang memiliki kemampuan melihat suara atau Lorde yang melihat warna dalam notah.

"Kamu benar," ucap Reyko dengan tersenyum getir.

Bhanu menepuk bahu Reyko, "Keren banget, tahu, Rey."

"Bakat hanya bakat, kalau  nggak punya kesempatan untuk mengasah, ya, percuma," ujar Reyko dengans senyuman tipis dalam tatapan keputusasaan, "yok, lanjut. Kita harus pilih piece." Reyko mengalihkan arah pembicaraan.

Khirani dapat menangkap berubahan air muka Reyko, pemuda itu seperti terbelenggu satu tembok tinggi untuk menggapai cita-cita dan karirnya dalam bermusik. Seperti apa yang Khirani alami sekarang. Utang dan tekanan sosial membuat Khirani menyerah meraih mimpinya.

"Mmm... kamu tahu nadanya Fur Elise, nggak? Atau Elvira Madigan? Turkish March?" tanya Khirani.

Reyko menggeleng pelan. Ia hanya bermain musik dari pendengaran tanpa mengetahui nama-nama piece atau lagu yang yang ia dengar. "Aku cuma tahu dodo sol sol lala sol."

"Twinkle twinkle little star?" tebak Khirani.

Reyko mengangguk sambil tersenyum lebar. Dari sekian nada yang ia hapal, hanya ada satu nama nada yang ia tahu. Khirani mengangguk-angguk kecil sambil mencari cara untuk memulai pilihan piece yang akan dipakai di pertunjukan.

"Oke, aku coba mainkan satu piece, ya. Kalau kamu kenal, kamu lanjutin." Khirani mengangkat biolanya, bersiap untuk menggesek bow. Bola matanya menerawang memilih beberapa lagu yang muncul dalam benaknya. Sedangkan Reyko, ia bersiap di depan piano.

Saat satu lagu terlintas dalam memorinya, Khirani langsung menggesek bow. Piece  itu dimulai dari C tigaperempat not 120. Tanpa menunggu lama, jari-jari Reyko menekan tut lalu secara otomatis mengawinkan lagu Fur Elise yang dimainkan Khirani melalui violin dengan nada yang dihasilkan oleh tuts piano miliknya. Keduanya menyatukan dua musik berbeda yang perlahan membentuk sebuah alunan merasuk indah ke telinga.

Satu Chorus selesai, Khirani beralih nada dari lagu Nocturna Mozart dan Reyko kembali mengikuti nada yang dimainkan Khirani tanpa berpikir lama. 

Bhanu yang duduk di antara posisi dua orang berbakat musik itu hanya bergeming, ia menatap hamparan udara di depannya. Seperti melihat bayangan-bayangan adegan yang pernah ia tulis dalam novel. Ia merasakan jiwa-jiwa nada yang diciptakan Khirani dan Reyko hadir dalam hatinya. Tenggelam dalam jejeran paranada yang menuntun Bhanu menuju sebuah kotak inspirasi dalam benak.

Gesekan panjang bow Khirani dan ketukan tuts lembut dari Reyko mengakhiri permainan. Reyko menoleh ke arah Khirani, mereka saling beradu tatapan, tak berselang lama seulas senyuman terbit di wajah keduanya. Seperti ada jembatan tak kasat mata yang menyatukan dua jalan mereka yang berbeda.

 Suasana yang sedari tadi kaku dan sedikit dingin, perlahan menghangat, antena kemistri keduanya saling memancar. Reyko adalah orang kedua yang mampu menghidupkan antena kemistri milik Khirani. Antena itu kembali menyala setelah tiga tahun mati.

Tepukan tangan Bhanu memutus tautan pandangan mereka. Khirani menurunkan biolanya dari bahu, sementara Reyko mengangkat jemarinya di atas deretan tuts. Bhanu yang berdiri di tengah-tengah mereka merasakan atmosfer yang berbeda dari sebelumnya.

 Sepertinya memang cocok, menyatukan Khirani dan Reyko dalam satu panggung. Ia punya firasat baik tentang hal ini, bukan sekadar tentang pertunjukan, tetapi setelah petunjukan. Bhanu yakin pertunjukannya akan menjadi jalan keduanya meraih mimpi.

"Waah ..." Bhanu mengembuskan keras napasnya dari mulut, "denger permainan kalian ngerasa jadi prajurit di kerajaan," katanya sambil menegakkan punggung.

Reyko terkekeh, sementara Khirani berusaha keras untuk tidak menyemburkan tawa karena seloroh receh pemuda itu.

"Sebenarnya ..." Khirani menggantung kalimatnya.

"Iya?" Dua pemuda di depannya itu langsung menyahut secara bersamaan.

"Aku udah menyiapkan sepuluh piece yang bisa kita pakai di pertunjukan. Tujuh piece yang sesuai dengan alur cerita, dua piece untuk prolog sama epilog dan satu piece yang dimainkan setelah MC bilang pertunjukkan selesai."

"Oh, ya?" Bhanu terdengar kaget, ia sama sekali tidak menyangka Khirani yang terlihat dingin dan cuek itu sudah berpikir sejauh itu untuk permainan mereka di pertunjukan nanti. Bhanu bahkan tidak kepikiran menyiapkan piece untuk prolog, epilog apalagi setelah pertunjukkan selesai.

Khirani mengangguk, "Kalau nggak cocok, nanti-,"

"Cocok!" sahut Bhanu memotong. "Nggak usah diganti."

"Denger aja belum. Yakin cocok?" Khirani meragu.

"Kamu ingat, kan, kalau saya milih kamu karena setiap gesekan biolamu menarik saya pada adegan-adegan dalam novel? Apa pun itu lagunya, cocok dengan latar atau tidak, yang saya butuhkan memang piece yang bisa membuat saya jatuh lagi ke danau melodi yang kamu ciptakan," kata Bhanu dengan tatapan sendu ke arah Khirani.

Khirani dapat melihat jelas kalimat sungguh-sungguh Bhanu melalui sorot matanya. Sorot mata yang sama dengan malam itu, yang mendesirkan sesuatu dalam dada Khirani. Mereka berdua terjebak dalam satu ikatan pandangan selama beberapa detik, sampai akhirnya suara deheman Reyko menyadarkan keduanya.

"Ehem!" Reyko berdeham sambil pura-pura membersihkan pianonya.

"O—oke," kata Khirani sedikit terbata.

"Kita mulai latihan sekarang?" tanya Bhanu sambil mengendalikan senyumannya agar tidak terlalu melebar.

Khirani dan Reyko mengangguk bersamaan.                                                    

                                                                                      ***

Berkat keviralan rencana peluncuran buku Gantari, Bhanu mendapatkan banyak undangan talkshow. Semakin dekat hari pertunjukan, jadwal Bhanu semakin padat. Penerbit mengadakan roadshow menyambut pertunjukan ke beberapa tempat, dari sekian undangan termasuk datang dari sekolah-sekolah. Meski sibuk dengan jadwalnya yang padat, Bhanu juga menyempatkan pertemuan berkala dengan Khirani dan Reyko.

Keesokan harinya setelah latihan hari pertama, Khirani menyampaikan syarat lain. Ia ingin Bhanu tidak memberitahu siapa-siapa tentang dirinya, baik sebelum, waktu pertunjukan atau setelahnya. Khirani mau memakai nama samaran, ia juga tidak mau menampakan wajahnya, Khirani akan memakai masker penutup wajah, seperti biasa waktu ia mengamen di jalanan.

"Ke—napa begitu?" Bhanu berhati-hati menanyakan alasan Khirani, menggunakan nada bicara senetral mungkin tanpa memperlihatkan nada yang haus rasa penasaran, meski sebenarnya ia sangat ingin tahu. 

Di mata Bhanu, wajah Khirani sangat manis tanpa polesan, sayang kalau disembunyikan waktu pertunjukan. Jika memandangnya lama tak membuat gadis itu risih, Bhanu ingin sekali memandang Khirani berlama-lama, sebegitunya tidak membosankan.

Hanya dengan ekspresi datar dan sorot matanya saja, Bhanu langsung mengangguk tanpa perlu mendengar jawaban. Alasan Khirani pasti berkaitan dengan masalah keluarganya, Bhanu yakin itu. Mereka membuat kesepakatan menyembunyikan identitas Khirani bahkan kepada Aminah dan orang kantor lainnya. Hanya Reyko dan Bhanu saja yang tahu, tentu keluarga Bhanu juga.

Dari sekian sekolah yang mengundang Bhanu, secara kebetulan salah satunya adalah bekas sekolah Khirani. Musica Art School. Seperti apa yang pernah diceritakan si kembar, sekolah yang berbasis seni musik itu memang sangat menganggumkan. 

Bangunannya khas sekali sekolah kesenian. Dari konsep gedung klasik sampai modern, banyak sekali foto-foto alumni yang sudah berhasil di dunia musik tingkat nasional hingga internasional, semua foto dipajang di dinding lobi. Di tengah-tengah lobi yang besarnya dua kali lipat dari pendopo, terdapat patung tokoh-tokoh terkenal seperi Mozart, Paganini, Bethoveen dan legenda musik Indonesia WR. Supartman.

Meja resepsionisnya seperti hotel, ada satu petugas berpakaian rapi di belakang meja, menyambut dengan senyuman kedatangan Bhanu. Setelah mencatat kehadiran menggunakan scan kartu identitas serta verifikasi undangan, resepsionis itu mengarahkan Bhanu mengikuti satu orang berseragam satpam untuk diantar ke gedung administrasi, menemui Miss Flora sebagai ketua panitia penyelenggara acara.

Keluar dari lobi, mata Bhanu disegarkan dengan taman luas rerumputan dengan gazebo di beberapa titik. Ada satu air mancur besar di tengah-tengahnya, menghubungkan semua jalan setapak dari segala arah. Di pinggir jalan setapak yang terbuat dari beton dan koral di sisinya itu, tumbuh bunga hias berbagai jenis. Terlihat siswa-siswi berkemeja biru muda dengan bawahan kotak-kotak cokelat sedang bersendau gurau di beberapa gazebo.

Satpam mengarahkan Bhanu masuk ke salah satu gedung bertuliskan Administration, gedung bertingkat dua itu berdiri sendiri dari gedung yang lain. Miss Flora baru saja keluar dari ruangannya, ia langsung mempersilakan Bhanu masuk dan mulai mendiskusikan rundown acara.

Acara diadakan di aula yang besarnya nyaris seperti gedung Aula simfonia Jakarta. Pertama kali melihatnya, Bhanu benar-benar takjub. Terlebih lagi, aula tersebut tidak seperti aula pada umumnya yang hanya berisi ruangan kosong, tetapi berjejer bangku membentuk trimbun. Di sayap kiri panggung berdiri komponen alat musik orkesta, sedang di sayap kanan ada tempat untuk anggota paduan suara. Benar-benar sebuah tempat Pendidikan yang memang menomersatukan kualitas siswanya. Tidak heran jika si kembar begitu ingin masuk ke sekolah ini. Sekolah ini memang keren.

Acara berlangsung lebih dari yang dibayangkan Bhanu. Meski trimbun tidak terisi penuh, audience yang hadir begitu menikmati talkshow Bhanu. Mereka antusias untuk bertanya dan berinteraksi dengan pemuda itu. Sesi motivasi menjadi sesi yang paling ramai. Banyak yang meminta foto dan tanda tangan dari Bhanu.

 Dua jam terasa begitu singkat. Mereka berjanji akan datang ke pertunjukan peluncuran dua minggu lagi. Terlebih lagi ketika Bhanu memberi spoiler bahwa akan ada pertunjukan gabungan antara pianis, violinis dengan dirinya, para siswa terkejut bukan main. Mereka semakin tidak sabar.

"Mereka selalu antusias seperti itu, ya, Miss?" tanya Bhanu saat selesai acara dan duduk di sebuah ruang yang dikhususkan untuk menjamu tamu dari luar sekolah.

Miss Flora tersenyum, menampakan kebanggaan, "Apa pun yang ada sangkutpautnya dengan seni, entah itu seni gambar, seni tulis, seni apa pun deh, mereka selalu antusias. Karena semenjak mereka masuk sekolah ini, mereka selalu diajarkan untuk menghargai karya seni."

Bhanu mengangguk-angguk, "Keren, Miss. Jadi, tingkat persaingan antara siswa di sini bisa dibilang aman, ya?

Miss Flora yang menuangkan teh ke cangkir Bhanu itu berekspresi kurang setuju dengan pernyataan Bhanu barusan. Perempuan yang hampir berkepala empat itu menggeleng.

 "Mereka memang dituntut untuk saling menghargai dalam hal mencintai seni, tetapi mereka dibebaskan untuk berlomba-lomba menjadi terbaik. Para siswa terang-terangan untuk menjatuhkan satu sama lain, karena memang untuk menjadi seseorang yang fotonya dipajang di lobi depan itu, kesempatannya terbatas. Selain masuk ke Universitas bergengsi dunia, menjadi figur yang fotonya terpajang di lobi itu juga menjadi ambisi mereka."

"Terang-terangan menjatuhkan bagaimana, Miss?"

"Para siswa tidak memberi toleran pada siswa yang tersandung kasus. Jika salah satu siswa terbukti melakukan tindakan yang tercela, mereka tak segan-segan untuk mengajukan petisi. Jika petisi tidak berhasil, mereka akan membuat siswa tersebut mengundurkan diri."

Raut wajah Bhanu seketika berubah, putaran benaknya langsung jatuh kepada Khirani. Skandal yang dialami keluarganya mungkin menjadi penyebab atas pengundurkan dirinya dari sekolahan ini. Bhanu tidak bisa membayangkan bagaimana gadis itu melewati masa-masa berat itu, sendirian.

"Apa tidak ada tindakan tegas dari pihak guru untuk mencegah para siswa saling menjatuhkan?"

Miss Flora terkekeh, "Itu yang menjadi ajaran kami untuk melatih mental mereka menjadi musisi. Cancel Culture. Budaya ini sudah ada sejak sekolahan ini berdiri. Jadi, jika tidak mau mimpi mereka kandas di tengah jalan, mereka harus menjaga sikap, menghindari masalah."

"Bukankah itu terlalu kejam, Miss?"

"Di dunia hiburan yang nyata, jauh lebih kejam." Miss Flora tersenyum mantap, seolah cancel culture menjadi sebuah keunggulan dari sekolah yang berbasis musik terbaik di negara ini. "Di minum tehnya, Mas Bhanu," lanjutnya dengan senyuman yang sama.

Perut Bhanu mendadak mual, ada perasaan tak nyaman dalam dadanya. Ternyata hal seperti itu ada di negara ini. Di mana satu kesalahan menutup semua prestasi, memutus mimpi besar seseorang dan tak mau memberi satu kesempatan lagi untuk merajut asa, memperbaiki kesalahan. 

Bukan hanya Khirani yang kini Bhanu sayangkan menjadi korban dari cancel culture sekolahan ini, tetapi masa depan si kembar jika mereka berdua masuk ke sekolahan ini.

Budaya pengenyahan tidak selamanya buruk, tetapi memang ada sisi baiknya. Menjadikan karakter siswa untuk fokus pada mimpi. Sehingga mereka dituntut untuk selalu menjaga diri, menghindari masalah dan lebih bertanggung jawab. Namun, praktik cancel culture ini terlalu kejam untuk siapa pun yang mempunyai mimpi besar. Sebab, cancel culture sama artinya dengan tidak akan pernah ada kata maaf. Bagi mereka yang menjadi subyek budaya ini berakibat kehilangan reputasi yang sulit untuk dipulihkan.

Menjadi lulusan sekolah ini memang akan menjadikannya bintang di kemudian hari, hanya saja ada risiko besar di dalamnya. Sehingga untuk masuk ke sekolah ini, calon siswa harus mempunyai tekad yang besar untuk meraih mimpi.

***

Selagi menunggu mobilnya yang diambil satpam dari parkiran belakang, Bhanu berdiri di depan jejeran foto alumni yang dipasang di dinding lobi. Ratusan orang dalam setiap bingkai 10r itu pasti pernah melalui perjuangan yang tidak mudah. 

Mungkin ada di antara mereka yang murni berprestasi dan mungkin juga ada dari mereka yang bisa sampai di titik itu setelah 'mengenyahkan' siswa lain. Ada mimpi besar yang digapai, adapula perjuangan besar yang harus dilalui, serta persaingan berat yang harus dikalahkan.

"Aduuh!" pekikkan dari arah luar lobi memutus pandangan Bhanu dari jejeran foto di dinding beralih ke sumber suara. Bhanu berjalan keluar lobi dan mendapati seorang bapak-bapak berseragam cokelat sedang memegang kakinya sambil menyeringis kesakitan. Ada dua bak besar berisi peralatan kebun di samping bapak tersebut.

"Kenapa, Pak?" Bhanu menghampiri.

Bapak tersebut tersenyum di tengah rasa sakit yang menyerang lututnya, "Tidak apa-apa, Mas. Biasa, tulang tua, sebentar lagi juga sudah hilang." Bapak itu terkekeh.

"Mari saya bantu."

"Tidak usah, Mas, tidak apa-apa."

"Maaf saya nggak tega, mari saya bantu bawa ini, Pak."

Raut wajah bapak itu tergambar lega, sebenarnya ia ingin menolak tetapi rasanya tidak kuat berjalan sambil membawa dua bak berat itu dengan kakinya yang nyeri. Bapak itu tersenyum, "Maaf, ya, Mas, merepotkan."

"Tidak apa, Pak, mau dibawa ke mana ini?"

"Ke gudang belakang."

Bhanu mengikuti langkah bapak tersebut dari depan lobi ke gudang belakang yang letaknya lumayan jauh. Sambil memperhatikan langkah bapak tersebut, Bhanu teringat seseorang di masa lalu. Seseorang yang sering mengeluh kakinya sakit, tapi enggan untuk dibawa ke rumah sakit. Seseorang yang sudah tenang di akhirat sana.

"Taruh sini, Pak?" Bhanu masuk ke dalam gudang khusus yang ditempati para pegawai Musica Art School.

"Iya, Mas, taruh situ saja." Bapak tersebut duduk di kursi, melonjorkan kakinya. "Maaf, ya, Mas, merepotkan."

"Santai, Pak, kalau begitu saya—," kalimat Bhanu terpotong saat netranya menangkap foto yang tergantung di dinding, berjejer dengan kalender dan gantungan barang kebersihan lainnya.

Bapak tadi mengikuti arah pandangan pemuda di depannya itu dan mendapati Bhanu sedang menatap foto seseorang yang sudah lama ia pajang di situ, "Mas kenal?"

Bhanu melirik ke arah bapak itu, "Kenapa ada di sini, Pak?"

"Saya memungutnya dari tempat sampah, tiga tahun yang lalu. Namanya Khirani, dulu pernah jadi siswa seni klasik di sini, tapi mengundurkan diri. Sayang sekali."

Foto close up Khirani dengan seragam biru muda itu tersenyum. Ia benar-benar berbeda dengan Khirani yang Bhanu kenal. Wajahnya tampak berseri di foto. Tak ada mendung sedikit pun seperti apa yang Bhanu lihat selama ini di wajah gadis itu. Auranya sangat berkelas, anggun, bersih dan sangat menganggumkan. Rambut yang biasa Bhanu lihat dikuncir asal, di foto tersebut digerai rapi panjang dengan pita biru di pojok poninya.

"Dulu dia gimana, Pak, di sekolah?"

"Nona Khirani itu ... ramah sekali. Semua orang disapa. Baiknya luar biasa. Satu bulan sekali, dia memberi saya obat kalsium satu pak besar. Dia juga bagi-bagi baju yang layak pakai ke karyawan lainnya. Waktu ulang tahunnya yang ke-17, semua orang di sekolah ini diundang. Di mata saya, dia siswa paling bersinar di antara siswa lainnya. Selain cantik, dia juga baik hati. Tidak ada siswa sebaik dia, menurut saya pribadi," kenang bapak itu dengan suara yang serak karena usianya yang lebih dari lima puluh tahun.

"Apalagi pas Nona Khirani habis menang kontes, dia pasti berbagi kebahagiaan dengan bagi-bagi makanan ke seluruh karyawan bawahan di sini, Mas. Pokoknya, Nona Khirani itu kesayangan kami semua, para karyawan biasa."

Bhanu menatap foto Khirani sambil mendengarkan cerita dari bapak tersebut.

"Hari ulang tahun sekolahan tiga tahun yang lalu adalah hari terakhir saya melihatnya. Saya memberikan sapu tangan saya buat bersihin tanah liat di wajahnya. Saya ... menyayangkan hal itu terjadi. Siswa sebaik dia harus diusir secara terang-terangan hanya karena kesalahan orang tuanya. Dia tidak salah, dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dia sudah mencoba bertahan selama dua bulan, dia sering ditindas, bangkunya dicoret-coret, makanannya dibuang, dikucilkan." Bapak tersebut mengusap matanya.

 "Saya kalau ingat, Mas, saya pasti pengin nangis. Kadang kami tidak sengaja melihatnya menangis diam-diam di toilet, di belakang gudang, kadang dia makan sembunyi-sembunyi di belakang sana, dekat pembuangan sampah. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, selain selalu memberinya kalimat semangat."

Ada emosi memuncak dalam dada Bhanu tentang Khirani. Emosi yang mendorongnya ingin sekali berlari dan menemuinya. 

Gadis itu dipukul hebat oleh keadaan yang buruk. Alasan sikap apatisnya terdengar masuk akal ketika Bhanu mendengar semua cerita yang dikatakan tukang kebun sekolah itu. Bangku Khirani yang dicoret-coret juga disimpan di gudang, piala-piala atas prestasi Khirani juga disimpan rapi oleh para karyawan di sana. Hari terakhir Khirani meninggalkan sekolah, menjadi hari paling menyedihkan bagi para karyawan. Mereka ikut merasakan kehilangan.

Setelah mendengar semua cerita Khirani di masa sekolah dulu, langkah Bhanu bergerak cepat ke mobilnya. Menginjak pedal gas melaju cepat menuju sebuah tempat. Ponselnya memperlihatkan panggilan yang berdering. Sesekali Bhanu melirik ponsel itu sambil terus melaju di jalanan. Sampai akhirnya status berdering itu berubah menjadi detikan sebagai keterangan panggilan telah di terima.

"Kamu di mana?" belum sempat sang penerima telepon mengucap salam, Bhanu sudah mendahuluinya.

"Kantor."

"Oke. Aku ke sana sekarang." Bhanu memutus sambungan, lalu fokusnya terpusat di kemudi, melajukan mobil lebih cepat dari sebelumnya.  

***

Ngeri banget kalau di sini ada budaya pengenyahan ya?

Terima kasih sudah membaca cerita ini.


With Love, Diana. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro