Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak dulu Seza memang terkenal sebagai orang yang asik diajak ngobrol, dia juga punya banyak teman. Namun, hanya segelintir orang yang ia bisa ia percaya, salah satunya Indri yang selama ini tahu sekali bagaimana perjalanan hidup Seza. Mereka sudah bersahabat sejak SMA hingga saat ini. Indri adalah saksi bagaimana jatuh bangun Seza saat ditinggal oleh ayahnya yang juga meninggalkan utang yang harus dilunasinya. Bagi Seza, Indri sudah seperti saudaranya sendiri, rasanya Seza tidak akan bisa membalas kebaikan Indri selama ini, termasuk saat dia mencetuskan ide agar Seza bekerja pada Deva.

Dan kali ini Seza merecoki Indri dengan ceritanya tentang Deva. "Apa gue berhenti aja ya kerja sama dia," ucapnya lewat telepon.

"Eh apa-apaan itu!" seru Indri yang jelas tidak suka dengan ide Seza ini. "Lo tahu kan nyari kerja sekarang tuh susah banget! Lo nggak lihat apa orang berjubel-jubel ngirim lamaran kerja."

Seza menggigit bibir bawahnya, tidak bisa membantah ucapan Indri. "Tapi gue..."

"Naksir sama Mas Deva bukan dosa lagi. Dia bukan suami orang, dia single lho, kok lo kayak takut banget gitu sih."

Seza menghela napas lelah, kenapa sahabatnya ini tidak bisa memahami ketakutannya. "Dia dokter sekaligus majikan gue."

"Terus?"

"Lo tahu lah kami berdua nggak mungkin sama-sama."

"Kata siapa? Kalau emang jodohnya bisa aja lagi."

"Stres!"

"Gue tahu susah buat nolak pesona Mas Deva, apalagi dengan sikap dia yang sopan dan baik banget sama lo. Cuma kalau lo berhenti kerja cuma karena itu, gimana hidup lo? Mau lo rebahan lagi kayak dulu-dulu sampai punggung lo keluar akar?"

"Ya nggak mau lah!" jawabnya cepat.

"Itu dia. Pilihannya cuma lo harus bertahan dan jangan baper. Susah sih emang, tapi ya mau gimana lagi. Nanti coba gue bantu cari kerjaan lain deh. Tapi sebelum dapet kerjaan lain lo harus bertahan."

"Iya-iya."

Setelah panggilan itu diakhiri, Seza membaringkan tubuhnya di atas kasur, matanya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih, pikiran Seza berkelana ke hal lain, apalagi kalau bukan memikirkan majikannya yang tampan rupawan dan juga baik hati itu. Jujur Seza merasa dirinya begitu lemah, bagaimana bisa perhatian-perhatian kecil dari Deva membuat perasaannya berubah seperti ini. Padahal bisa dibilang dia orang yang tidak mudah untuk jatuh cinta. Rasanya sepanjang usianya ini Seza belum pernah merasakan jatuh cinta. Kalau hanya sekadar tertarik sih tentu saja pernah.

Namun, dengan Deva, ada perasaan asing yang merayapi hatinya. Rasa bahagia bisa bertemu dengan laki-laki itu, tersipu malu karena perhatian kecil Deva atau sekadar mendengar Deva memanggil namanya. Ada perasaan ingin terus bertemu yang selalu berusaha ditampiknya dengan dalih dia harus sadar diri.

"Apa gue terima aja ya tawaran Rama itu," pikirnya. Namun detik berikutnya Seza langsung menggelengkan kepala.

Seza memiringkan tubuhnya lalu membuka-buka ponsel, berakhir dengan membuka ruang obrolan dengan Deva. Dia menarik napas dalam-dalam, kalau saja status mereka bukan asisten rumah tangga dan majikan, mungkin Seza bisa lebih percaya diri.

Saat dia sedang memikirkan Deva, ada panggilan masuk dari nomor asing, Seza mengabaikan panggilan itu, tetapi beberapa menit kemudian, nomor itu kembali menghubunginya yang akhirnya diterima oleh Seza. "Halo?" sapanya.

"Raily Seza Aqila?" kata suara di seberang.

"Ya, ini siapa?"

"Ini Roni masih inget nggak?"

"Roni? Roni mana ya?" Seza berusaha mengingat-ingat siapa laki-laki yang sedang meneleponnya ini. Teman sekolah? Kuliah? Atau teman kerjanya dulu?

"Ya ampun sombong banget sih, Za. Gue Roni temen sekantor nyokap lo dulu."

Seketika otak Seza langsung teringat pada sosok Roni yang dulu sempat dikenalkan oleh ibunya. Roni yang bertubuh gemuk dengan kulit sawo mateng, yang dulu pernah mengantarnya pergi kerja, lalu terjadi insiden pecah ban motor dan akhirnya Seza pergi kerja dengan naik ojek online. Sejak saat itu tidak ada lagi kabar dari Roni, rasanya sudah setahun berlalu.

"Oh iya inget. Kenapa Bang Roni?"

"Mau nanya kabar aja, gimana?"

"Alhamdulillah baik," jawab Seza. Lalu mereka berbasa-basi, dari ibunya, Seza tahu kalau Roni berusaha mendekatinya dulu, tetapi Seza benar-benar tidak tertarik.

"Masih kerja di hotel? Bukannya sekarang lagi pengurangan karyawan ya? Apalagi bagian dapur, katanya banyak yang kena PHK."

Seza meringis, kemudian menjawab seadannya. "Udah nggak di hotel."

"Tuh kan, udah gue duga pasti nggak lagi di sana. Kerja di mana sekarang? Lagi susah kan cari kerja?"

"Alhamdulillah udah dapet kerjaan, jadi koki pribadi dokter," jawab Seza asal.

"Wah harus hati-hati apalagi dokter. Eh, tapi kalau covid ini beneran ada sih..." kemudian laki-laki itu mulai nyerocos tentang teori-teori yang membuat Seza mengerutkan kening dan ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. "Menurut lo ini cuma flu biasa kan? Orang aja yang gede-gedein."

"Maaf Bang, saya nggak punya kapasitas untuk kasih komentar masalah ini. Bicara tanpa ilmu malah kelihatan banget bodohnya." Seza berharap Roni bisa memahami kalimat sarkas yang ia ucapkan. Namun ternyata laki-laki itu masih terus berbicara dan topiknya semakin tidak masuk akal. Kesal, Seza langsung mengakhiri panggilan itu secara sepihak dan mengubah mode ponselnya menjadi mode pesawat.

Seza menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Kenapa sih yang suka sama gue nggak ada yang normal!" katanya kesal.

*****

"Masak apa?"

Seza hampir saja mejatuhkan piring yang sedang dipegangnya karena mendengar suara Deva yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya, bukan dengan jarak yang dekat juga, tetapi jantung Seza tetap saja deg-degan dibuatnya.

"Hati-hati, Za," Deva memperingatkan.

"Maaf, Dok," ucapnya lalu menaruh piring berisi Beef Stroganoff  yang sudah dibuatnya untuk Deva.

"Ini Beef Stroganoff, makanan khas Rusia. Mirip-mirip daging yang dimasak saus jamur, tapi kalau beef storganoff masaknya pakai sour cream rasanya agak asam, saya tahu dokter suka yang asam jadi saya bikin ini deh. Nah makan ini biasanya pakai pasta, tapi enak juga pakai nasi. Dokter mau yang mana?" tanya Seza.

"Nasi aja biar kenyang," katanya sambil tersenyum lebar. Deva selalu menyukai penjelasan Seza mengenai makanan yang dimasaknya. Apalagi semua masakan yang selama ini buatnya benar-benar bervariatif, seingat Deva, Seza belum pernah memasak menu yang sama selama hampir sebulan perempuan itu memasak untuknya.

"Oke tunggu sebentar ya." Seza kembali ke pantry lalu mengambilkan nasi untuk Deva dan dirinya sendiri.

"Dokter rutin olahraga ya?" tanya Seza melihat Deva yang makan dengan lahap dan porsi yang tidak sedikit, tetapi Seza heran kenapa tubuh laki-laki itu tetap ideal di matanya.

"Cuma lari aja di treadmill tiap pagi," jawab Deva.

"Oh pantesan."

"Kenapa?" tanya Deva.

"Nggak melar ke samping," katanya sambil nyengir.

Deva tertawa. "Saya kan makannya suka sembarangan, kalau nggak olahraga pula, mau jadi apa?"

Seza ikut tertawa. Selesai makan Seza pamit untuk pulang, tadinya Deva ingin menawarkan diri mengantar Seza tetapi Seza menolak. "Kabarin ya kalau udah sampai rumah," pinta Deva.

"Iya dokter, cerewet banget."

"Saya khawatir kamu naik motor sendirian malem begini."

"Santai dok, saya udah biasa kok. Pulang dulu ya." Seza menutup kaca helmnya lalu menjalankan motornya menjauh dari rumah Deva. Mobil tuanya bermasalah lagi, jadi Seza terpaksa menggunakan motor milik ibunya, dia masih takut kalau harus menggunakan angkutan umum.

Saat berada di setengah perjalanan menuju rumah, perasaannya tidak enak, dia merasa ada sebuah motor hitam di belakang sedang membuntutinya. Seza menambah kecepatan motornya, dan ternyata motor itu pun masih mengikuti Seza. Jantungnya semakin berdebar kencang, Seza membelokkan motornya ke kiri, dan ternyata motor itu pun mengikutinya. Jalanan yang sepi semakin membuatnya ketakutan apalagi saat motor yang membututinya itu menambah kecepatan untuk mengejarnya.

*****

Maaf yaaa baru sempet nulis wkwkwk. Adaptasi kerja, ngurus rumah dan nulis ternyata gak mudah 😅😅😅😅

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro