Bab 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seza menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Sementara Deva masih terus memanggilnya di ujung sana. "Za, kamu kenapa?"

"Hmm... nggak papa kok, Dok. Cuma tadi kayaknya ada orang yang saya kenal di depan rumah," jawabnya.

"Siapa?"

"Mungkin cuma perasaan saya aja. Hm, dokter nggak tidur nih? Udah malem lho, emang besok nggak praktik?"

"Praktik sih. Kamu udah ngantuk ya?"

"Mayan, besok saya kan masuk kerjanya pagi, Dok," jawab Seza, walaupun sebenarnya dia ingin sekali ngobrol lebih lama dengan Deva.

"Ya udah deh. Tapi saya boleh ya telepon kamu lagi."

Seza tertawa mendengar permintaan Deva itu. "Kenapa sih, Dok? Nggak ada temennya ya?"

"Iya saya nggak punya temen. Satu-satunya temen ngobrol saya udah pindah ke Bandung."

Seza menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba dia menceletukkan sesuatu, "bukannya biasa ngobrol sama Mbak Monika, Dok?"

"Udah lama saya nggak ngobrol sama dia. Sejak ucapan dia ke kamu mungkin."

Seza merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, apakah ini pertanda kalau dokter Deva rela mengabaikan Monika karena tindakan perempuan itu padanya? "Oh. Ehm... ya udah, Dok saya tidur dulu."

"Iya. Oh ya Za."

"Ya, Dok?"

"Kalau ada apa-apa hubungi saya ya."

******

Kata orang bekerja sesuai passion lebih nyaman karena bisa menikmati apa yang sedang dikerjakan. Namun, apa daya kadang hal itu tidak bisa diwujudkan karena, bukan karena skill yang kurang tapi lapangan pekerjaan yang terbatas. Ya, kembali lagi mencari pekerjaan kan tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi di kondisi seperti sekarang.

Seza pernah merasakan sendiri bagaimana dia harus melakukan sesuatu yang sangat berbeda dari passion-nya, tetapi ternyata masih bisa dinikmati. Dan sekarang ketika ia sudah kembali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passion dan juga skill-nya. Seza tidak akan menyia-nyiakannya. Dia harus bekerja lebih rajin.

Bekerja di Lambda begitu menyenangkan bagi Seza, ya walaupun tentu saja ada beberapa hambatan dan tantangan tersendiri. Seperti rekan kerja yang terlihat jutek, atau pekerjaan yang seperti tidak ada habisnya. Namun, dia menikmati itu semua, karena mau dimanapun ia berada pasti ada saja masalah-masalah seperti ini. Seza kan sudah pernah mendapat masalah yang lebih berat dan melukai harga dirinya, dan dia bertahan hingga sekarang.

Saat istirahat makan siang Seza meluangkan waktu menelepon ibu dan adiknya, ternyata tidak mudah tinggal berjauhan dari keluarga. Apalagi Seza tidak bisa sering-sering pulang ke Bekasi. Dia tidak ingin tetangganya cemas karena kedatangannya dari luar kota, jadi Seza harus puas hanya berkomunikasi lewat telepon.

Setelah menghubungi sang ibu, Seza mencoba menelepon Indri, sahabat terbaiknya itu tentu saja selalu setia mendengarkan setiap keluh kesahnya. "Ndri, masa semalam gue kayak ngelihat Rama deh di depan kontrakan gue?"

"Serius lo?"

"Iya, emang sih dia pake topi sama masker, tapi gue pernah lihat jaketnya, dia pernah make itu waktu ketemu gue di mall."

"Gila aja kalau dia beneran nguntit lo sampai ke sana. Udah gila ini orang."

"Gue juga curiga dia yang ngasih tahu ibu soal kerjaan gue, Ndri," tutur Seza.

"Gue juga! Siapa lagi sih? Kalau nggak dia ya si Monika itu."

Seza menyetujui ucapan Indri itu. "Terus gue harus gimana? Jujur gue takut, Ndri."

"Pindah kontrakan aja."

"Gila aja, gue udah bayar buat enam bulan. Main pindah aja. Dikata gue banyak duit apa!" protes Seza. Dia kan bukan orang kaya yang bisa berpindah-pindah sesuka hati, uang penghasilannya sudah punya pos-pos tersendiri.

"Ya udahlah kita lihat dulu aja, siapa tahu dugaan kita salah. Tapi, lo juga jangan santai. Harus tetap waspada," saran Indri.

"Iya, gue ngerti." Setelah itu Seza menceritakan tentang Deva yang meneleponnya dan juga perkataan laki-laki itu diakhir telepon. Respons Indri tentu saja histeris sendiri. "Gila, dia beneran suka sama lo kali, Za? Duh gimana kalau ternyata perasaan lo nggak bertepuk sebelah tangan?"

"Ngaco lo. Dia nelepon gue karena nggak punya temen. Itu aja."

"Yaelah Za, dia punya banyak temen kali. Kata Mas Haikal dia itu idamannya para perawat juga dokter magang di RS. Kalau Deva mau dia tinggal tunjuk mau ngobrol sama siapa. Tapi, dia maunya ngobrol sama lo, kan?"

"Please ya, jangan bikin gue berharap."

"Ya nggak papa kali. Eh tapi ada bagusnya kalau dia nelepon lagi lo tanya aja. Bilangin sama Mas Deva, jangan bikin kegeeran, kalau emang suka ya bilang suka."

"Ngaco lo!"

******

Seza masih terjaga walaupun jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia baru sampai di rumah pukul sembilan tadi, setelah membersihkan diri, Seza mencoba untuk tidur, namun matanya tidak juga bisa terlelap. Tadi, sebelum pulang tetangga sebelahnya mengatakan kalau ada laki-laki yang mondar-mandir di depan kontrakannya. Karena merasa risih, tetangganya menanyakan maksud dan tujuan laki-laki itu.

Laki-laki itu mengatakan kalau dia adalah teman Seza. Hal yang membuat Seza kaget setengah mati karena dia merasa tidak berteman dengan laki-laki manapun, kalaupun iya orang itu adalah Deva dan laki-laki itu sedang sibuk bekerja di rumah sakit.

Seza menanyakan ciri-ciri orang yang mengaku temannya itu, tetangganya menyebutkan ciri-ciri yang sangat mirip sekali dengan Rama. Seza bahkan harus meminta maaf pada tetangganya karena merasa tidak nyaman karena sikap orang tersebut.

"Apa aku lapor polisi aja, ya?" gumannya pada diri sendiri.

Tidak lama kemudian ponsel Seza bergetar, ada satu pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

Hai Za, apa kabar?

Jantung Seza langsung berdetak lebih cepat, entah kenapa perasaannya mengatakan kalau pesan itu dikirimkan oleh Rama.

Aku tahu kamu belum tidur.

Seza langsung terduduk di atas kasurnya. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu. Tubuh Seza gemetar hebat, jantungnya berdetak lebih cepat. Seza memberanikan diri untuk berjalan ke arah jendela dan mengintip di balik gorden.

Seza terpaku ketika melihat punggung laki-laki berdiri tidak jauh dari kontrakannya. Seza langsung menutup gorden lalu kembali ke kasurnya. Dengan tangan gemetar Seza mencoba mengubungi seseorang, kakinya melemas, bagaimana kalau hal buruk terjadi padanya. Bagaimana dengan ibu dan adiknya?

"Ya Seza?"

Seza menelan ludah berkali-kali, berusaha untuk mengeluarkan suara tetapi lidahnya kelu.

"Seza kamu kenapa?"

"Dok... saya takut," isaknya kepada Deva.

*****

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro