🤜13🤛 Gagal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Finley benar-benar berupaya untuk menjatuhkan Peony dengan cara baru. Ia tidak akan menggunakan kekerasan seperti sebelumnya, tetapi ia akan mencari kelemahan Peony lagi. Menurut informasi dari Shanien yang bodohnya dipercaya oleh Finley, Peony trauma dengan yang namanya pengkhianat. Finley merasa membuat Peony terkhianati akan cukup sulit. Karena itulah, Finley berencana mencari kelemahan Peony yang lainnya.

Kini, Finley berdiri di depan sebuah gedung sekolah yang berisi tulisan SMA Balakosa yang terpampang jelas di atas gerbang yang menjulang tinggi. Jadwal pulang SMA Balakosa memang lebih belakangan daripada SMA Angkawijaya. Finley jadi bisa menunggu murid-murid SMA pulang itu untuk mengorek informasi.

Tepat jam tiga sore, suara bel pulang terdengar sangat keras sehingga Finley yang sedang melamun pun tersentak. Tak lama kemudian, murid-murid berhamburan ke luar sekolah. Finley jadi tidak bisa menghentikan mereka karena terlalu banyak.

Ketika sudah sepi dan tersisa beberapa orang saja, barulah Finley bisa bernapas lega karena terbebas dari ratusan orang yang berjalan tergesa-gesa itu. Perlahan Finley mendekati seorang siswi yang baru saja keluar dari sekolah. “Hai,” sapa Finley sambil tersenyum.

Siswi itu memandang Finley dari atas hingga bawah. Pandangannya terhenti saat melihat badge sekolah Finley yang bertuliskan SMA Angkawijaya, raut wajah siswi itu langsung berubah menjadi sinis. “Ngapain murid Angkawijaya ke sini? Nyari ribut?” tanyanya dengan nada ketus.

Senyum di bibir Finley langsung luntur ketika mendapat respons yang tidak mengenakkan. Ia berbicara baik-baik, tetapi malah ditanggapi dengan sinis seperti itu. Karena Finley sadar kalau ia sedang mencari informasi, ia harus tetap ramah, tidak boleh membalas sikap siswi sombong itu. “Enggak kok. Gue cuma mau tanya tentang Peony. Lo tahu dia nggak?”

“Peony?” tanya siswi itu sambil tersenyum miring. “Semua tentang dia itu …” Dia sengaja menjeda kalimatnya, lalu mendekati Peony. “… it's secret,” lanjutnya dan langsung pergi meninggalkan Finley yang dilanda kekesalan.

“Gue nggak boleh nyerah. Gue harus tahu tentang Peony,” kata Finley. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah kardigan dan memakainya untuk menutupi badge nama sekolahnya. Ia tidak mau lagi diperlakukan sinis karena ia berasal dari SMA musuh.

Finley sudah bertanya pada semua orang yang ada di sana, tetapi tidak ada satu pun yang menjawab. Mereka malah mengabaikan Finley. Sebenarnya, apa yang ia tidak ketahui tentang Peony? Kalau memang yang dikatakan Shanien itu benar, ia harus bertemu dengan orang yang mengkhianati Peony.

Finley duduk di depan sekolah bersama murid-murid lain yang sudah ia tanyai tentang Peony. Ia memutuskan untuk menunggu, siapa tahu masih ada orang di dalam. Tak lama kemudian, ia melihat seorang siswi yang terlihat cupu. Mungkin ia bisa memanfaatkan cewek itu.

Finley berjalan menghampiri siswi yang baru saja keluar dari gerbang itu. Ia langsung menarik tangannya dan membawanya sedikit menjauh dari sekolah. “Eh, kamu siapa? Kok narik-narik aku?” tanya siswi itu sambil memberontak.

Saat sudah cukup jauh dari sekolah, ia pun melepaskan tangan siswi itu dan berdiri di depannya dengan tatapan mengintimidasi. “Lo tahu Peony?” tanya Finley. Tatapannya tajam sehingga membuat siswi itu menjadi takut.

“Eng–enggak tahu,” jawab siswi itu gugup. Kepalanya tertunduk dan tangannya terus bergerak-gerak gelisah.

“Ceritain semua tentang dia,” pinta Finley dengan nada tegas. Ia pasti bisa memaksa cewek cupu itu untuk bercerita. Namun, cewek itu tidak kunjung berbicara sehingga membuat Finley geram sendiri. Ia sudah berusaha mencari tahu sejak tadi dan hanya cewek itulah harapan Finley yang terakhir.

“Cerita atau gue bakal berbuat jahat sama lo,” ancam Finley. Mengingat semua murid SMA Balakosa berusaha menutupi tentang Peony, ia yakin kalau Peony memiliki sebuah rahasia besar yang tidak ia ketahui. Bisa jadi rahasia itu adalah kelemahan yang membuat Finley bisa menyingkirkan Peony dari hidup Gara.

“I–iya, aku bakal cerita,” lirih siswi itu sambil menaikkan kacamatanya yang melorot akibat ia menunduk. Kemudian, ia menatap Finley sekilas, lalu kembali menunduk. “Peony itu enggak punya orang tua. Dia kaya banget karena dapet warisan dari mendiang orang tuanya. Dia cuma punya satu orang yang dia sayang di hidupnya dan orang itu pergi ninggalin dia,” tuturnya.

Finley teringat dengan apa yang Shanien katakan tentang Peony bahwa Peony ditinggalkan oleh pacarnya. Pacar Peony itu pasti adalah satu-satunya orang yang tersisa di hidupnya. Jadi, Shanien tidak berbohong tentang itu. “Pacarnya itu pergi karena apa?” tanya Finley.

“Karena—”

“Sayang, buruan masuk, Nak! Mama ada acara!” Sebuah seruan dari dalam mobil membuat dua cewek yang sedang berbincang itu menoleh. Sungguh sial hari Finley karena ia malah mendapatkan informasi yang sudah ia ketahui. Saat ia akan bertanya, justru siswi itu dijemput oleh mamanya.

“Eh, gue belum selesai ngomong!” teriak Finley saat siswi tadi langsung berlari masuk ke mobil. Finley langsung menjerit kesal. Padahal ia berhasil membuat siswi itu buka mulut soal Peony. “Sialan!”

Tanpa Finley sadari, Peony menyaksikan semuanya sejak tadi. Peony tersenyum miring karena semua teman-teman lamanya setia padanya dan tidak memberi tahu soal dirinya. “Finley … Finley … bego lo natural,” cibir Peony dengan nada pelan. Kemudian, ia membuka ponselnya dan menelepon seseorang. “Ada tugas baru buat lo.”

***

Finley melajukan mobilnya menuju ke rumahnya. Ia benar-benar kesal karena tidak mendapat satu pun informasi yang penting tentang Peony. Ia tidak tahu lagi harus dengan cara apa untuk mengetahui rahasia Peony. “Peony, lo lihat aja nanti. Gue pasti bisa rebut Gara dari lo. Cewek penuh rahasia kayak lo itu bener-bener buat gue curiga kalau lo punya niat nggak baik,” sungut Finley sambil menginjak gas dengan keras karena sedang berada di jalan yang sepi.

“Di jalan ini Gara ninggalin gue gara-gara lo. Lihat aja, nanti gue bakal bikin lo ngerasain hal yang sama kayak gue,” katanya lagi. Saat ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, ia merasa ada yang aneh dengan mobilnya. Lantas, ia memelankan laju mobilnya karena takut kenapa-kenapa.

“Mobil gue kenapa sih?” tanya Finley pada dirinya sendiri. Ia pun menghentikan mobilnya karena merasa ada yang tidak beres. Kemudian, ia pun keluar dari mobil untuk mengecek keadaan bannya yang ia duga menjadi penyebab laju mobilnya menjadi aneh.

“Tuh 'kan kempes!” seru Finley sambil menendang mobilnya karena kesal. Lengkap sudah kesialannya hari ini. Jalan itu benar-benar sepi sehingga tidak ada bengkel di dekat sana.

Finley selalu membawa ban cadangan di bagasi, tetapi ia tidak bisa memasangnya. Jadi, percuma saja sebenarnya membawa ban cadangan ke mana-mana. “Perasaan bawa waktu itu gue ngisi angin. Kok kempes lagi sih?” gerutu Finley sambil berjongkok di depan salah satu ban yang kempes. Keningnya berkerut seketika saat melihat sebuah paku tertancap di ban mobilnya.

“Ini pasti gara-gara orang buang sampah sembarangan nih, limbah pakunya jadi ke mana-mana,” sungut Finley. Ia sangat kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa kali ini. Ingin menelepon seseorang, tetapi ponselnya mati. Ia benar-benar merasa seperti di sinetron yang ponselnya mati saat berada dalam keadaan yang genting.

“Hai, Neng. Kenapa mobilnya?” Seseorang tiba-tiba berbicara sehingga membuat Finley terkejut bukan main. Pasalnya daerah itu sepi, ia kira tidak akan ada orang, tetapi ternyata ada.

Finley menoleh, lalu berdiri menghadap seorang pria yang tampak sangar itu. Pakaiannya seperti preman sehingga membuat Finley ketakutan. “Itu … bannya kempes,” sahut Finley pelan. Sungguh ia merasa sangat takut karena pria itu tampak seperti orang jahat.

“Mending ikut Abang aja, gimana? Kamu istirahat di rumah Abang. Biar Abang yang benerin ban kamu,” ucap pria itu. Sudah sangat jelas, dia itu preman yang pastinya berniat jahat. Buktinya Finley diajak ke rumah, mana ada orang baik akan berbicara seperti itu.

“Enggak usah,” kata Finley. Ia hendak masuk ke mobilnya untuk berlindung, tetapi tangannya dicekal oleh preman itu. Ia jadi curiga kalau paku-paku yang menancap di mobilnya ulah preman itu, bukan karena pembuangan limbah sampah yang sembarangan. “Lepasin!”

“Mulai saat ini, Abang bakal terus ngawasin kamu, Sayang,” ucap preman itu sambil mengelus pipi Finley yang terus memberontak.

“Lepasin gue! Lo mau apa? Hah!” teriak Finley.

“Cuma satu, gue minta lo … jangan cari informasi tentang bos gue,” ujar preman itu penuh penekanan. Mata Finley langsung membulat sempurna. Bos? Siapa bos preman itu? Finley tidak mencari informasi tentang seseorang selain Peony. Apa Peony yang mengutus preman itu untuk mengancamnya? Banyak sekali pertanyaan yang membuat Finley mematung sehingga ia tidak sadar kalau preman itu sudah pergi.

***

Jumat, 26 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro