🤜20🤛 Akan Berakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam kesunyian dan kegelapan, Peony duduk di lantai yang dingin. Pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon ia biarkan terbuka sehingga dinginnya angin malam menusuk tulangnya. Peony tidak peduli. Yang penting saat ini adalah ia bisa menjernihkan pikirannya yang sedang kacau.

Gara, dialah penyebab Peony lebih banyak berpikir dari biasanya. Perasaan itu tidak seharusnya ada dan tumbuh. Peony masih belum bisa menerima kalau dirinya mencintai seseorang yang harusnya ia benci. Ia tidak bisa terima kalau dirinya mengkhianati Liam padahal ia sudah berjanji akan membalas dendam. Pada akhirnya, dendam itu berubah menjadi cinta.

“Enggak, gue nggak mungkin cinta sama Gara. Ya, nggak mungkin. Gue cuma ngerasa sedikit kasihan,” ucap Peony sambil menggigiti kukunya. Kemudian, ia terkekeh pelan. Ia merasa dirinya tidak mungkin mencintai dan membenci orang yang sama dalam waktu yang sama. “Tapi, buat apa gue kasihan?”

Peony menatap ke sekeliling kamarnya yang sangat gelap. Cemas, itulah yang ia rasakan saat ini. Jika Gara terlanjur tahu sebelum ia yang memberi tahu, maka Gara akan sangat membencinya dan merasakan kecewa yang berat. Namun, itulah yang Peony inginkan saat ia merencanakan balas dendam. Gara pasti akan sakit hati karena ia sudah menipunya walaupun itu tidak sepadan dengan rasa sakit yang ia alami akibat kehilangan Liam.

“Agam,” gumam Peony saat melihat panggilan masuk dari Agam. Kemudian, ia langsung menjawabnya dan menekan tombol speaker agar ia tidak perlu menempelkan ponsel itu ke telinga. “Halo, Gam,” sahut Peony dengan suara serak karena sedari tadi ia menangis.

“Gawat, Peo. Gue nggak tahu lagi mau minta bantuan siapa,” ucap Agam yang tampak sangat cemas.

“Apaan?” tanya Peony.

“Finley hilang. Mamanya Finley nelepon semua temen-temen dan sampai sekarang belum ada kabar. Gue takut dia kenapa-kenapa,” jelas Agam.

Peony tersenyum miring. Ternyata preman suruhannya sudah berhasil menyembunyikan Finley di tempat yang ia suruh. “Oh, terus?” tanya Peony acuh.

“Gue minta bantuan lo, ikut nyari Finley,” pinta Agam. Cowok itu pasti sangat cemas karena mendengar bahwa orang yang ia cintai sedang menghilang. Namun, Peony tidak akan memberi tahu Agam karena ia baru sadar kalau Agam tidak terlalu penting dalam rencananya. Memang Agam pernah membantunya, tetapi dalam rencananya kali ini, Agam adalah penghambat.

“Ini udah tengah malem, Gam. Kenapa nggak telepon polisi sih?” Peony mana mau ikut mencari Finley saat ia sudah tahu di mana sebenarnya Finley berada. Ia tidak ingin membuang-buang waktu dan tenaga padahal ia juga sedang banyak pikiran.

“Kalau lapor polisi 'kan harus minimal dua hari ngilangnya. Ini aja belum ada 24 jam,” jelas Agam.

“Dasar polisi. Kalau orangnya mati sebelum dua hari, gimana? Siapa yang buat peraturan kayak gitu, hah? Ada-ada aja. Orang hilang bukannya langsung dicari, malah nunggu dua hari. Gimana sih?” oceh Peony pura-pura khawatir juga.

“Please, Peo, bantuin. Semua temen-temen juga ikutan nyari,” ucap Agam.

“Oke, gue sendiri ke tempat-tempat nongkrong deket rumahnya,” putus Peony yang langsung memutuskan panggilannya.

Peony tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya, tidak seperti janjinya untuk ikut mencari Finley. “Cari aja sampai ke ujung dunia, nggak bakal ketemu,” ucap Peony, lalu tertawa pelan. Namun, tawanya itu lama kelamaan menjadi isak tangis yang pilu.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, tetapi tidak membuat Peony menghentikan tangisannya. Ia terus menangis pilu, entah apa yang membuatnya sesedih itu. Dengan tangan yang gemetar, ia membuka pesan dari nomor tidak dikenal itu.

+628**********

Hai kamu. Kamu Peony. Kamu yang selalu tertawa dan tersenyum tanpa beban.

Peony
Ini siapa?

+628**********
Aku ada pertanyaan buat kamu.

Peony
Apa? Ini siapa sih?

+628**********
Topengnya kapan dibuka? Nggak capek apa? Nggak sakit nyembunyiin luka kayak gitu? Aku tahu kamu kuat, tapi apa kamu harus nahan itu sendiri?

Peony langsung menelepon orang yang mengiriminya pesan aneh itu. Tak lama kemudian, orang itu menjawab teleponnya. “Lo siapa sih? Hah?”

Orang itu tidak menyahut dan tetap terdiam. Namun, sebuah pesan masuk membuat Peony yakin kalau orang itu tidak mau menunjukkan dirinya.

+628**********
Kamu boleh marah dan teriak di depan semua orang. Daripada harus menghela napas seakan kamu baik-baik aja. Daripada kamu harus senyum dan tertawa buat nutupin kesedihan kamu.

“Diem lo!” bentak Peony yang air matanya sudah mengalir deras. Kata-kata itu sungguh menohok hatinya dan membuatnya semakin sedih. “Lo nggak tahu apa-apa tentang gue! Jangan sok tahu!”

+628**********
Mulai sekarang, marah sama orang yang bikin kamu kayak gini. Bilang ke dia kalau dia penyebab kamu kayak gini. Karena penyembuh luka yang sebenarnya adalah orang yang membuat luka itu.

“Lo siapa? Lo siapa?!” teriak Peony sambil mengacak-acak semua isi kamarnya.

+628**********
Jangan senyum kalau hati kamu masih sakit. Kamu nggak sadar, kamu terlalu sibuk membahagiakan orang itu, sampai kamu lupa caranya membahagiakan diri kamu sendiri. Sekarang, saat orang itu pergi, kamu nggak tahu caranya bahagia.

Tangisan Peony semakin mengeras. Badannya sudah lemas dan ia kembali duduk di tempat semula. Ia mengerti kalau kata 'orang itu' menunjuk ke satu orang, yaitu Liam. Orang yang mengirim pesan itu sedang membicarakan Liam. “Lo nggak tahu apa-apa. Gue bukan membahagiakan Liam, tapi dia yang bikin gue bahagia. Tolong, jangan sok tahu tentang gue. Lo nggak tahu gue siapa dan gue juga nggak tahu lo siapa.” Nada bicara Peony semakin melunak. Ia benar-benar tidak punya tenaga untuk membentak.

+628**********
Aku mungkin adalah orang terdekat kamu sekarang.

“Shanien? Itu lo, 'kan?” tebak Peony.

+628**********
Cari tujuan hidup kamu setelah balas dendam itu selesai. Tapi, bisa jadi balas dendam itu nggak bakal pernah selesai karena ….

Orang yang diduga adalah Shanien itu sengaja menggantungkan isi pesannya sehingga membuat Peony sangat penasaran. “Lanjutin!” teriak Peony. Namun, teleponnya dimatikan oleh orang itu. Kemudian, ia memutuskan untuk memanggilnya kembali, tetapi ternyata nomornya sudah diblokir.

“Sialan lo, Shanien. Gue tahu kata terakhir adalah 'cinta'. Lo pasti bermaksud bilang gitu. Enggak. Gue nggak cinta sama Gara. Sampai kapanpun gue nggak bakal pernah mau maafin dia,” celoteh Peony sambil menatap semua isi pesan yang ia dapatkan itu. Semuanya begitu menohok sehingga membuat air matanya tidak bisa berhenti mengalir.

Peony menatap dirinya di pantulan cermin yang cukup dekat dengan tempat ia duduk. “Senyum, Peo, senyum,” kata Peony pada dirinya sendiri. Kemudian, ia menarik kedua sudut bibirnya dengan kedua tangannya sehingga membentuk sebuah senyuman yang sangat menyakitkan. “Sembunyikan rasa sakit lo sampai orang-orang terkejut atas kematian lo,” lanjutnya, lalu tertawa pelan dengan air mata yang masih bercucuran.

***

Jumat, 5 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro