Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JADI seperti ini rasanya tertangkap basah melakukan kesalahan. Yashica benar-benar tidak menyadari kehadiran Sakti saat berinteraksi dengan dokter IGD. Saat sedang fokus, orang cenderung melonggarkan kewaspadaan.

Ternyata menyamar memang tidak mudah. Terlebih lagi karena Yashica tidak memiliki rencana cadangan untuk skenario tertangkap basah seperti ini. Sejak awal, rencananya adalah mengamati rutinitas seorang Resmawan Jati untuk mengetahui seperti apa laki-laki yang dipuja ibunya itu. Di rencana awal itu, Yashica tidak mengantisipasi kehadiran orang lain di antara dirinya dan Resmawan Jati. Ketika Sakti kemudian masuk dalam sasarannya, Yashica masih tidak memikirkan kemungkinan Sakti akan berhasil membongkar penyamarannya. Yang ada dalam benak Yashica adalah memanfaatkan laki-laki itu untuk mendekati Resmawan Jati.

"Ceritanya panjang," jawab Yashica setelah jeda beberapa saat. Dia butuh waktu untuk memilih salah satu skenario yang mendadak terpikirkan. Dia harus memantapkan alur cerita yang dipilihnya untuk menghindari plot bolong yang akan sulit ditambal sehingga berpotensi membongkar hubungannya dengan Resmawan Jati sebelum waktunya. Kalau itu sampai terjadi, upayanya beberapa bulan ini akan berakhir antiklimaks dan menjadi sia-sia. "Kita bicarakan nanti setelah pulang dari rumah sakit. Saya belum bisa pergi dari sini sekarang, sebelum tahu keadaan Aldrin dan bicara sama Bu Cellia."

"Tentu saja." Sakti juga tidak mungkin memaksa Yashica bercerita di tempat ini dengan kondisi seperti sekarang. Dia memang sangat penasaran mendengar penjelasan Yashica, tapi kondisi Aldrin tetap yang utama. "Kita pulang sama-sama. Saya akan mengantarmu pulang."

"Baik, Mas." Yashica tidak mungkin menolak. Penolakan akan memberi kesan kalau dia menghindari Sakti sehingga laki-laki semakin yakin jika dia menyembunyikan sesuatu yang buruk.

Mereka baru meninggalkan rumah sakit beberapa jam kemudian, setelah Aldrin menjalani berbagai pemeriksaan dan observasi. Hasil pemeriksaan dinyatakan baik sehingga dia diizinkan pulang setelah dibekali obat. Aldrin hanya perlu rawat jalan untuk mengganti perban.

Yashica kembali mengemudikan mobil Bu Cellia untuk mengantar Aldrin dan ibunya pulang, sementara Sakti mengikuti mereka dengan mobilnya sendiri. Mereka tidak tinggal lama di rumah Cellia untuk memberikan waktu pada Cellia dan Aldrin beristirahat.

Dari rumah Cellia, Yashica berpindah ke mobil Sakti. Dia menunggu Sakti memulai percakapan tentang keberadaannya di kantor laki-laki itu, tapi tampaknya Sakti tidak memilih mobil sebagai tempat ideal untuk membongkar motivasinya menyamar.

Sekarang Yashica sudah siap. Dia sudah memantapkan pilihan pada jawaban yang akan dikemukakannya pada Sakti. Tapi dia tidak ingin memulai percakapan. Sakti yang menginginkan jawaban, jadi dia yang harus mengajukan pertanyaan. Yashica hanya perlu menjawab.

Sakti masih diam sampai dia akhirnya membelokkan mobil memasuki pelataran parkir sebuah restoran Jepang. Dia sengaja memilih tempat yang tenang dan privat sehingga bisa menginterogasi Yashica tanpa ada gangguan. Saat berhadapan, dia akan bisa membaca ekspresi perempuan itu sehingga bisa tahu apakah Yashica memberikan jawaban yang benar atau memilih membohonginya. Memang tidak ada jaminan bahwa Sakti tidak akan tertipu ekspresi Yashica jika perempuan itu ternyata seorang aktris andal, tapi Sakti percaya diri bisa menilai karakter seseorang dari gestur. Buktinya, kecurigaannya terhadap Yashica ternyata benar. Perempuan itu ternyata seorang dokter, bukan murni OG. Ya, walaupun kecurigaannya berawal dari kebetulan karena melihat Yashica berada di tempat yang tidak seharusnya dia datangi dengan kondisi gaji UMR-nya sih. Tapi, mau faktor keberuntungan atau apa pun sebutannya, Sakti akhirnya berhasil menuntaskan kejanggalan yang dirasakannya pada Yashica. Sekarang adalah waktu untuk mencari tahu alasan di balik penyamaran si OG gadungan.

Setelah duduk berhadapan di private room dan pelayan yang mencatatat pesanan mereka sudah menutup pintu dorong dengan perlahan, Sakti memulai dengan pertanyaan pertama, "Waktu kita pertama kali bertemu di atap, kamu nggak berniat bunuh diri, kan?"

"Memang tidak." Yashica tidak perlu memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. Ini adalah momen yang tepat untuk mengakhiri kesalahpahaman Sakti tentang peristiwa di atap. "Bunuh diri itu hanya asumsi Mas saja. Tapi saya hampir kehilangan nyawa karena kaget dengan kehadiran Mas. Saya pikir atap adalah tempat yang steril setelah jam kerja berakhir, jadi saya bisa beristirahat sejenak di sana sebelum pulang. Kalau keseimbangan saya nggak bagus, saya pasti sudah berakhir di aspal saat mendengar suara Mas yang menegur saya."

"Karena itu kamu menolak kembali ke tempat praktik Petra?"

"Saya seorang dokter, jadi saya nggak mungkin membohongi dr. Petra dengan masalah yang nggak saya miliki, Mas. Saya ke tempat praktiknya karena Mas yang minta. Rasanya nggak pantas menolak perintah atasan yang berniat baik. Apalagi saya adalah pegawai baru."

Sakti bersedekap sambil terus mengawasi Yashica dengan saksama. "Jadi, apa yang seorang dokter lakukan di kantor saya dengan menyamar sebagai seorang OG? Kalau kamu bukan dokter, saya pasti sudah mengira kalau kamu adalah agen dari kepolisian atau BIN yang ditanam di kantor untuk mengamati seseorang yang terlibat kejahatan. Entah dia teroris atau bandar narkoba yang juga menyamar sebagai pegawai kantoran untuk membentuk imej orang baik-baik."

Yashica sudah mempersiapkan diri selama beberapa jam terakhir untuk pertanyaan inti itu jadi dia bisa menjawab dengan cepat, "Saya bukan polisi atau agen BIN, Mas. Tapi saya memang sengaja melamar pekerjaan supaya bisa bekerja di gedung kantor Mas. Kenapa OG? Karena hanya itu pilihannya. Kantor Mas hanya membuka lowongan pekerjaan untuk OG. Kalau ada kantor lain di gedung Mas yang membuka lowongan untuk dokter, saya pasti akan mengambil pekerjaan itu karena saya lebih suka menganamnesis pasien daripada bolak-balik ke lobi disuruh mengambil pesanan makanan. Saya lebih suka menulis resep daripada mencuci piring dan gelas yang kotor. Tapi karena di gedung Mas seorang OG lebih dibutuhkan daripada seorang dokter, saya tetap harus mengambil kesempatan itu. Apa pun akan saya kerjakan asalkan saya bisa mendapat tempat di gedung Mas." Yashica sengaja menyebut kata 'gedung' supaya lebih luas dan tidak spesifik menyasar kantor Sakti. Gedung itu memang milik perusahaan Resmawan Jati, tapi tidak semua lantai mereka gunakan sendiri. Lebih dari setengahnya disewakan pada perusahaan lain.

"Kamu belum menjawab pertanyaan saya," ulang Sakti tak sabar. "Mengapa?"

"Untuk mengamati seseorang yang ada di gedung Mas." Yashica memilih opsi jujur supaya dia tidak perlu memikirkan cara menambal kebohongan. Tentu saja kejujuran itu hanya sebatas motivasinya saja. Yashica tidak mungkin mengatakan pada Sakti kalau yang dia amati adalah ayah tiri laki-laki itu. Klimaks kisah penyamarannya ini adalah ketika dia akhirnya berhadapan dengan Resmawan Jati, bukan Sakti. "Kecurigaan Mas nggak salah. Yang keliru adalah pada bagian polisi atau agen BIN itu karena yang orang yang saya amati nggak ada hubungannya dengan institusi penegak hukum. Ini masalah yang sangat personal."

"Orang yang kamu amati itu laki-laki?" tebak Sakti.

Yashica mengangguk. Dia sudah menetapkan batasan informasi mana yang boleh diungkapkannya kepada Sakti, dan mana yang harus disembunyikan.

"Mantan kamu?"

Yashica tersenyum mendengar tebakan ngawur itu. "Saya nggak sebodoh itu sampai mau menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengerjakan hal-hal di luar zona nyaman saya hanya demi seseorang yang sudah bergelar 'mantan'. Bukan, Mas, yang saya amati itu bukan mantan saya."

"Jadi, siapa dong?"

"Ayah saya." Yashica menatap lurus ke bola mata Sakti saat mengatakannya. Dia menantang tatapan laki-laki itu. "Saya sudah pernah cerita kalau saya belum pernah bertemu ayah saya karena dia meninggalkan Ibu saat sedang mengandung saya. Sebenarnya saya sudah menganggapnnya mati. Untuk apa berurusan dengan orang yang tidak menginginkan saya, kan? Toh saya juga nggak tahu di mana dia berada karena dia sepertinya sengaja nggak meninggalkan jejak yang bisa ibu saya telusuri untuk menemukannya. Jadi, lebih baik berpikir kalau dia memang sudah dikubur di suatu tempat, entah di mana. Tapi beberapa bulan lalu saya mendapat kabar kalau dia masih hidup dan bekerja di gedung Mas. Jadi saya mengambil kesempatan melamar pekerjaan ketika ada lowongan."

"Hanya untuk bertemu sama dia?" Sakti mengernyit bingung. "Bukannya itu terlalu berlebihan? Kamu hanya perlu berhadapan langsung dan bicara, kan? Untuk mengetahui alasan mengapa dia meninggalkan ibumu yang sedang hamil, kamu nggak perlu mengorbankan diri dengan bekerja sebagai OG!"

Ucapan Sakti sama persis dengan apa yang dikatakan Ikram. Yashica paham kalau memang seperti itulah laki-laki melihat masalah. Amati, bidik, tembak, selesai. Setelah itu mereka langsung bisa tidur dengan pulas.

"Saya termasuk perempuan yang nggak suka penyelesaian yang mudah. Ibu saya meninggal dalam keadaan patah hati. Dia layak mendapatkan penutup yang membuat laki-laki yang meninggalkannya merasa menyesal. Penyesalan itu nggak akan dia rasakan ketika ada seorang perempuan muda yang datang dan mengaku sebagai anaknya lalu mengamuk selama setengah jam di depannya. Untuk dia, saya adalah orang asing. Kita nggak bisa merasakan emosi mendalam pada orang asing. Dia harus mengenal saya. Dia harus tahu seperti apa anak yang dia tinggalkan dalam kandungan ibunya. Ketika saya akhirnya meminta pertanggungjawaban untuk dosa-dosa masa lalunya pada ibu saya, dia akan merasakan impaknya karena saya bukan hanya seseorang yang mendadak hadir dan langsung hilang." Yashica tertawa pahit tanpa suara. "Kesannya memang terlalu drama, tapi nggak apa-apa. Saya memang membutuhkan drama ini untuk menuntaskan sakit hati Ibu."

"Dan dendammu," imbuh Sakti. Sekarang dia paham mengapa dia merinding ketika beberapa hari lalu mendengar Yashica membicarakan ayahnya. Dendam perempuan ini teramat sangat dalam. Dendam yang dia sirami dengan tekun sekian lama supaya tumbuh rimbun dan subur.

"Dan dendamku," Yashica mengakui hal itu. "Atau mungkin memang hanya dendamku yang butuh dilampiaskan karena Ibu tetap mencintai suami yang meninggalkannya sampai akhirnya dia meninggal."

"Jadi kamu sudah bertemu dan berinteraksi dengan ayah kamu?"

"Saya berhasil mendekatinya." Yashica menghindari jawaban langsung. "Saya sudah menceritakan motivasi saya bekerja sebagai OG di kantor Mas. Saya bersumpah kalau saya tidak bohong. Saya hanya minta Mas nggak menanyakan siapa ayah saya. Itu hal personal yang nggak, atau setidaknya, belum ingin saya bagi sama orang lain."

Sakti mengerti. Hal itu memang terlalu personal untuk ditanyakan, apalagi hubungan mereka belum terlalu dekat, walaupun seminggu terakhir dia memaksakan diri terus berada di dekat Yashica atas nama pemecahan kasus. "Saya nggak akan menanyakan siapa orangnya kalau kamu memang keberatan untuk memberi tahu. Saya hanya penasaran, apakah dia bekerja di kantor kita, atau hanya di gedung kita saja?"

Yashica menggeleng. "Itu termasuk pertanyaan yang belum mau saya jawab."

Sakti mengangguk maklum. Tak apa. Dia juga pasti bisa mencari tahu sendiri. Tidak akan sulit. Tinggal mengamati Yashica dan melihat laki-laki setengah baya yang paling sering berinteraksi dengannya. Toh Yashica bukan tipe supel yang menikmati bergaul dengan siapa saja.

"Saya minta satu hal lagi dari Mas," kata Yashica. "Tolong jangan bocorkan identitas saya yang sebenarnya. Termasuk pada Bu Cellia dan Pak Bathra. Saya nggak mau orang di kantor tahu kalau saya seorang dokter. Lebih nyaman seperti sekarang karena saya nggak perlu menjawab pertanyaan apa pun."

Itu permintaan yang mudah untuk Sakti. "Tentu saja."

**

Buat yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya, di sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro