Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ITU dia! Sakti segera mengenali raut perempuan itu saat melihatnya di lobi. Dia ternyata seorang office girl. Ketika mereka bertemu di atap lebih dari seminggu yang lalu, perempuan itu memakai jaket, sehingga seragamnya tidak terlihat jelas.

Perempuan itu melangkah tergesa melintasi lobi menuju lift. Tangannya penuh dengan kantung plastik berisi kemasan makanan. Pasti pesanan pegawai divisi tempatnya bertugas. Ekspresinya tak terbaca. Tidak sedingin waktu itu, tapi juga tidak bisa dibilang ramah. Pasti sudah karakternya karena karakter sulit diubah oleh training sekalipun.

"Ada apa, Pak?"

Teguran Fahry, stafnya, membuat Sakti tersadar jika dia ternyata menghentikan langkah untuk mengamati perempuan itu. Bukan karena dia terpesona, tapi karena tidak mudah melupakan wajah orang yang hampir saja mengakhiri hidup di depan matanya. Seandainya dia tidak ada di sana di waktu yang tepat, Sakti yakin perempuan itu sudah mengurangi jumlah populasi manusia di dunia dengan mencabut nyawanya sendiri.

"Nggak apa-apa. Yuk!" Sakti kembali meneruskan langkah. Ketika sekali lagi menoleh ke arah perempuan tadi, sosok itu sudah tidak ada. Pasti sudah masuk ke dalam lift.

Semoga saja masalahnya sudah terselesaikan. Tapi Sakti juga tahu jika seseorang yang punya kecenderungan untuk suicidal rentan mengulangi percobaan bunuh diri. Sakti hanya bisa berharap jika perempuan itu hendak melakukannya lagi, dia akan memilih tempat lain, bukan gedung ini untuk mengakhiri hidup. Humas kantor ini tidak perlu pekerjaan tambahan menghadapi kerumunan media untuk memberi keterangan tentang karyawan mereka yang memutuskan bunuh diri di kantor.

"Apakah asuransi kesehatan di kantor kita juga bisa dipakai untuk konsultasi ke psikolog atau psikiater?" Hal itu tiba-tiba saja melintas dalam benak Sakti.

"Saya kurang tahu juga, Pak," jawab Fahry. "Tapi kalau untuk psikiater, harusnya sih bisa kalau pakai sistem rujukan. Kalau Bapak mau tahu, nanti akan saya tanyakan."

"Nggak usah." Geleng Sakti. "Hanya tiba-tiba kepikiran aja. Mungkin aja ada karyawan kita yang butuh jasa itu, tapi nggak sanggup kalau harus bayar sendiri. Konsultasi ke psikolog, apalagi ke psikiater itu kan mahal. Nggak mungkin terjangkau sama semua karyawan kita, terutama yang gajinya hanya sedikit di atas UMR." Seperti office girl itu, misalnya. Mencari pertolongan ahli jiwa pasti tidak ada dalam prioritasnya dengan gaji seadanya.

Deringan ponsel mengalihkan perhatian Sakti. Senyumnya mengembang saat melihat layar. Ayahnya. Tiga minggu lalu ayahnya berangkat ke Singapura untuk menjalani laparoskopi pengangkatan polip usus yang ukurannya lumayan besar. Tapi karena hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan gula darahnya tinggi, operasi tidak bisa segera dilakukan. Operasi baru dilakukan seminggu kemudian setelah kadar gula darah ayahnya normal.

Sekarang kondisi ayah Sakti sudah baik, tapi beliau belum pulang karena sekalian kontrol pascabedah supaya tidak bolak-balik. Sakti merasa jika tinggal di Singapura lebih lama lebih baik untuk ayahnya karena menjauhkan beliau dari pekerjaan untuk sementara sehingga bisa beristirahat. Toh perusahaan baik-baik saja berada di bawah kendali paman Sakti yang menggantikan ayahnya sebagai pengambil keputusan tertinggi.

Sakti menyayangi dan menghormati ayahnya, tetapi dalam soal pekerjaan, dia merasa lebih cocok dengan pamannya yang lebih gampang menerima masukan dibandingkan ayahnya. Paman Sakti jauh lebih muda daripada ayahnya sehingga lebih terbuka mengadaptasi dan mengadopsi sistem digital dalam menjalankan usaha.

Usaha mereka memang bergerak di bidang pupuk yang sepertinya bisa tetap hidup jika dijalankan dengan cara konvensional seperti yang sekian puluh tahun dilakukan ayahnya, tetapi zaman sudah berubah, dan Sakti merasa sudah saatnya pengelolaan usaha disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Bukan hanya peremajaan alat demi meningkatkan produktivitas, tetapi juga pemanfaatan internet sebagai media promosi untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Berpuas diri dengan keadaan sekarang hanya akan mengundang kemunduran di kemudian hari.

Suatu hari nanti, tongkat estafet usaha akan jatuh ke tangan Sakti setelah ayah dan pamannya pensiun, dan jika rekstrukturisasi perusahaan tidak dilaksanakan sejak sekarang, kelak mereka sudah digilas habis oleh pesaing. Sakti tidak ingin usaha keluarga berakhir di tangannya karena keterlambatan melakukan berbagai penyesuaian.

"Kantor baik-baik aja, Yah," Sakti menjawab pertanyaan ayahnya setelah berbasa-basi menanyakan kabar. "Masa Ayah nggak percaya sama Om Bathra sih? Ayah istirahat saja di situ. Sekalian liburan dan bulan madu lagi. Jarang-jarang kan Ayah dan Ibu pergi berdua lama-lama." Sakti tertawa mendengar gerutuan ayahnya. "Kalau udah pulang pun, Ayah sebaiknya jangan langsung masuk kantor. Tinggal di Puncak dulu sampai beneran sehat dan segar baru mulai dengan rutinitas yang bikin bosan dan stres lagi."

**

Sakti segera melihat sosok Petra saat masuk di dalam kafe. Dia mengarahkan langkah menuju meja sahabatnya itu.

Kafe ini sudah menjadi tempat nongkrong favorit mereka sejak menemukannya beberapa tahun silam. Baristanya tahu meracik kopi yang enak. Jadi meskipun kafe lain tumbuh layaknya jamur yang menikmati kelembapan yang dibawa musim hujan, Sakti dan Petra tidak tertarik untuk pindah tempat. Apalagi tempat ini terletak di tengah-tengah, antara kantor Sakti dan rumah sakit tempat Petra bekerja.

"Gue yang telat atau lo yang terlalu cepat datang?" Sakti mengambil tempat di depan Petra yang menyesap minumannya. Aroma kopinya menguar mengundang selera. Wangi kopi yang sebenarnya, bukan aroma kopi yang sudah dicampur susu atau krim dengan aneka topping.

"Gue yang kecepetan," jawab Petra setelah meletakkan cangkir di atas meja. "Pasien gue yang terakhir membatalkan janji."

"Pasien apa?" Sakti lantas melambaikan tangan menganulir pertanyaannya. "Nggak usah dijawab, gue nggak bakal ngerti juga. Gue lebih familier dengan penyakit yang ditanganin internis daripada jenis penyakit pasien lo."

Petra tertawa. "Menyelami pikiran orang itu menyenangkan. Kebanyakan orang awam mungkin beranggapan kalau psikiater itu adalah dokter spesialis yang paling nggak populer, tapi ilmunya beneran menarik kok. Setidaknya, menurut gue sih begitu. Dulu psikiater mungkin identik dengan rumah sakit jiwa aja karena orang belum aware dengan kesehatan mental. Biasanya udah parah dulu baru dibawa ke dokter jiwa, dan akhirnya memang harus dirawat inap di rumah sakit jiwa. Sekarang zamannya udah beda. Orang udah ke psikiater untuk gangguan kesehatan mental yang ringan sekalipun. Pasien ansietas yang gue tanganin lumayan banyak. Mereka udah nggak nunggu sampai kecemasannya mengambil alih hidup baru cari psikiater."

Sakti mendadak teringat OG di kantornya. "Minggu lalu gue hampir aja jadi saksi mata orang bunuh diri," katanya bergidik ngeri. "Kalau gue telat semenit aja, dia pasti udah game over. Untung gue bisa bujukin dia untuk ngurungin niatnya bunuh diri. Kalau dia beneran terjun dari atap di depan mata gue, gue mungkin aja harus jadi pasien lo untuk ngatasin trauma."

"Orang di kantor lo?" Petra mendorong gelasnya menjauh. Tubuhnya condong ke depan, mendekati Sakti. Gestur tertariknya tidak bisa ditutupi.

Sakti mengangguk. "Iya, office girl di kantor gue."

"Udah ke psikiater?"

Sakti mengangkat bahu. "Nggak tahu, tapi kayaknya psikiater bukan prioritas untuk orang seperti mereka, kan? Bukan maksud gue meremehkan, tapi lo tahu sendiri tarif psikiater seperti elo itu mahal. Nggak semua orang bisa menjangkaunya."

"Pakai BPJS kan bisa. Cuman memang nggak bisa milih psikiaternya. Tapi dasar ilmu kan sama, jadi seharusnya nggak masalah. Lo harus bicara sama dia dan minta dia bertemu psikolog atau psikiater."

"Gue?" Sakti menunjuk dadanya sendiri. Tawa kecilnya menyembur tak tertahan. Bukan menertawakan situasi office girl itu tentu saja. Tidak ada yang lucu dengan niat orang mengakhiri hidup. Sakti hanya tidak percaya dengan apa yang disarankan Petra. "Kenapa harus gue? Kenal aja enggak! Masa gue tiba-tiba harus ngajak dia bicara dan menyuruh dia cari pertolongan untuk masalah kejiwaan dia? Yang bener aja!"

"Masalah kesehatan itu, mau kesehatan fisik atau kesehatan mental sangat sensitif dan personal, bro. Nggak semua orang mau berbagi kondisi kesehatannya sama orang lain. Kalau lo minta orang lain yang menyuruh si OG itu untuk berobat, itu sama saja dengan menyebarkan kondisinya sama orang lain. Iya, lo bisa bilang supaya orang yang lo suruh ke OG itu untuk tutup mulut dan nggak menceritakan kondisi kesehatan jiwa si OG sama orang lain, tapi apa jaminannya dia akan bisa menjaga rahasia? Orang itu, semakin disuruh tutup mulut, semakin ingin dia berbagi informasi sama orang lain. Terus, kalau kondisinya tersebar, orang yang niatnya mau lo tolong akan makin tertekan. Belum semua orang paham tentang kesehatan mental. Saat tahu kondisi si OG, orang di kantor lo akan meragukan kemampuannya bekerja. Kalau sudah begitu, dia akan terkesan nggak produktif dan bisa-bisa malah di PHK. Akhirnya, lo bukan nolong dia, tapi malah nambah masalah dan mungkin saja dia akan beneran mengakhiri hidup. Kalau itu terjadi, lo belum tentu ada di sana untuk menahannya lagi."

Sakti melongo mendengar penjelasan Petra yang panjang lebar itu. "Kenapa lo jadi nakut-nakutin gue kayak gitu sih?"

Petra tertawa. "Gue nggak nakut-nakutin. Gue hanya mau bilang kalau lo mau nolongin orang, jangan setengah-setengah. Nyawa manusia, siapa pun dia, sangat berharga. Dalam data statistik kependudukan, kita semua hanyalah deretan angka, Tapi secara individu, kita penting. Kita adalah anak, saudara, paman, keponakan, atau sahabat seseorang. Jadi kalau lo berhasil menolong OG di kantor lo itu, secara nggak langsung, lo sudah menghemat air mata dan mencegah kehilangan yang akan dirasakan orang lain karena kematian dia."

Kedengarannya masuk akal, tapi Sakti tidak bisa membayangkan bertemu dengan OG itu dan memulai percakapan tentang pengobatannya. Rasanya seperti ikut campur urusan orang lain, padahal dia tidak pernah tertarik melibatkan diri dalam kehidupan orang lain. Apalagi orang yang sama sekali asing!

**

Di Karyakarsa udah tamat ya. Bisa ke sana kalau mau baca cepet.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro