Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SAKTI menerjang masuk begitu Petra membuka pintu apartemennya. Dia bahkan tidak merasa perlu repot mengucapkan salam, layaknya tamu yang beradab.

"Ini weekend, bro," ujar Petra mengernyit ketika melihat ketergesaan Sakti. "Lo harusnya nelepon dulu sebelum datang ke sini. Mungkin aja gue lagi ke rumah orangtua gue atau ke gym. Lo kan tahu kalau gue jarang tinggal di apartemen saat weekend."

"Gue udah ngabarin," jawab Sakti asal saja. "Gue nggak langsung muncul di depan pinto lo."

"Lo ngabarin saat udah ada di lobi," omel Petra. "Lo bakal sebel seandainya gue nggak ada. Hanya buang-buang waktu lo yang berharga itu." Petra tersenyum mengejek. "Ah, gue lupa kalau lo kan jomlo. Lo punya banyak waktu yang bisa dihambur saat weekend gini. Waktu lo hanya berharga saat hari kerja aja."

"Nggak usah ngejek gitu. Kayak lo nggak jomlo aja. Sesama Jomlo tuh harus saling mendukung." Sakti melewati Petra masuk ke ruang tengah dan mengempaskan bokong di sofa yang ada di sana. "Tapi gue datang ke sini tanpa ngabarin bukan untuk membahas status kita karena kita sendiri yang memilih status ini, bukan karena kita kekurangan pengagum."

Petra tertawa mendengar kata-kata Sakti yang terkesan sangat percaya diri itu.

"Apa sih yang bikin lo grasah-grusuh gini? Biasanya lo kalem-kalem aja." Petra menyusul duduk di depan Sakti. Mereka biasanya merencanakan pertemuan karena sama-sama sibuk. Sering kali, pertemuan mereka memang dadakan, tetapi pasti dibicarakan dulu. Lalu lintas Jakarta seringnya tidak bersahabat, jadi sayang saja menghabiskan waktu di jalanan untuk mewujudkan keinginan impulsif kalau ujung-ujungnya malah tidak bisa bertemu.

"Ini tentang Yashica," kata Sakti serius. Dia mencondongkan tubuh ke arah Petra untuk menegaskan bahwa apa yang akan dibicarakannya adalah hal penting. "Office girl di kantor gue yang juga pasien lo itu."

"Gue tahu siapa Yashica." Petra berdecak sebal karena harus diberi informasi segamblang itu untuk sesuatu yang sudah diketahuinya. "Lo nggak perlu sedetail itu. Memangnya Yashica kenapa lagi sih?" tanya Petra tak sabar. "Kalau terus-terusan kayak gini, yang harusnya jadi pasien gue itu elo, bukan Yashica, karena lo kayaknya mulai terobsesi sama dia. Entah udah berapa kali kita ngomongin dia sejak lo ketemu dia di atas atap. Di—"

"Ada yang aneh sama dia," potong Sakti cepat.

"Punya masalah kejiwaan nggak berarti lo jadi aneh." Petra mendesah, mencoba bersabar dengan sahabatnya yang tampak sangat bersemangat membahas seseorang yang pernah diselamatkannya dari percobaan bunuh diri. "Jelasin hal kayak gini sama elo itu yang aneh! Lo kan nggak awam-awam banget soal kesehatan mental ini. Ad—"

"Gue nggak ngomongin tentang sikap dia," sambut Sakti, lagi-lagi memotong kalimat Petra. "Yang gue pertanyakan itu adalah motivasi dia kerja sebagai OG di kantor gue."

"Motivasi dia bekerja pasti sama saja dengan motivasi semua orang dewasa di dunia," ujar Petra dengan nada bosan yang kental. "Apalagi kalau bukan uang? Zaman sekarang, lo nggak bisa tinggal petik buah di pohon, mancing ikan di sungai, atau memanah rusa di hutan saat lo lapar. Hidup orang modern itu rumit, bro. Nggak sesimpel zaman presejarah saat orang-orang masih nomaden dan sepenuhnya tergantung pada alam untuk bertahan hidup."

Sakti berdecak sebal. "Gue tahu motivasi orang kerja, bro. Maksud gue, kalau lo bisa makan di restoran steakpremium yang menyajikan Kobe beef terbaik di Jakarta, beli barang branded, dan pakai mobil Pajero Sport, lo pasti akan cari kerjaan yang lebih baik daripada jadi OG karena gajinya nggak akan mengover gaya hidup lo yang kayak gitu."

"Yashica makan steak Kobe Beef, belanja barang branded, dan punya mobil Pajero Sport?" ulang Petra pelan-pelan. Sekarang dia mulai menaruh minat pada obrolan yang dibangun Sakti. Raut bosannya menguap cepat. "Dari mana lo tahu?"

Sakti mengangguk kuat-kuat, senang karena akkhirnya bisa menarik perhatian Petra. "Aneh, kan? Waktu pertama kali lihat dia di restoran, gue pikir gue salah lihat. Tapi waktu tadi gue lihat dia di mal, gue yakin itu dia. Gue rasa dia punya motivasi tersembunyi bekerja sebagai OG di kantor gue. Apa dia dari perusahaan saingan ya?"

"Perusahaan lo punya saingan yang mungkin aja menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan kredibilitas dan imej kalian? Atau yang mungkin mau mencuri formula pupuk baru yang sedang kalian teliti dan kembangkan?" Petra menjawab pertanyaan Sakti dengan dua pertanyaan beruntun.

Kali ini Sakti menggeleng perlahan. Dia terlihat ragu. "Saingan kami yang paling besar itu ya BUMN yang malahan jadi mitra. Tentu saja kami punya kompetitor, meskipun skala mereka masih kecil. Memang mungkin aja sih Yashica bekerja menjadi mata-mata mereka. Cuman kayaknya ide menyusupkan orang-orang mereka di perusahaan kami terlalu berlebihan. Nggak masuk akal aja. Ini bukan film atau series Hollywood."

"Jadi...?" petra menggantung kalimatnya.

"Gue akan cari tahu motivasinya," jawab Sakti pasti. "Diam-diam, tentu aja. Gue akan pura-pura nggak tahu kalau pekerjaan sebagai OG itu hanya samaran dia aja." Dia menyeringai lebar. Antusiasmenya meluber. "Waktu kecil dulu, karena keseringan baca Conan, gue lantas bercita-cita jadi detektif. Tapi setelah remaja dan lebih realistis, gue tahu kalau jadi detektif itu bukan profesi yang akan disetujui orangtua gue, dan nggak akan menghasilkan banyak uang untuk hidup enak. Siapa sangka kalau gue tiba-tiba dapat kasus pertama gue sekarang, kan?"

"Hati-hati sama keinginan lo," Petra mengingatkan. "Menyelidiki Yashica berarti mendekatinya. Bisa-bisa, bukannya berhasil membongkar motivasi dia jadi OG di kantor elo, yang ada lo malah lo jatuh cinta sama dia. Salah satu rumus orang jatuh cinta paling umum itu adalah kedekatan."

"Gue akan jadi detektif yang profesional," sahut Sakti mantap.

"Semoga saja begitu." Nada Petra tidak begitu yakin.

**

Pagi tadi Yashica menerima pemberitahuan bahwa dia dipindahtugaskan ke lantai atas, tempat para top level manajemen berkantor. Dari respons Mbak Erta dan rekan OB lain, kejadian rotasi tugas untuk OB yang baru bekerja sebulan lebih bukanlah peristiwa lazim. Tapi Yashica tidak bertanya, juga tidak menanggapi komentar dari rekan kerja atau staf di divisi tempatnya bekerja.

"Yang nyuruh pindah pasti Pak Sakti," kata Meiske dengan nada mengajak bergosip.

"Lo jangan senang dulu, Yashica," sambut Erta yang menyambar umpan itu dengan cepat. Ketika membahas gosip, batas antara staf dan OB yang berbeda tupoksi otomatis menguap karena kebutuhan menyampaikan dan mendapatkan informasi menjadi sama. "Orang kayak Pak Sakti itu palingan hanya mau main-main sama lo aja sih. Gue yakin seribu persen! Pakai taruhan potong jari juga gue berani! Dia nggak mungkin mau berhubungan serius apalagi sampai nikahin elo. Orang kaya seperti Pak Sakti dan keluarganya pasti punya standar sendiri kalau mau cari pasangan hidup."

"Iya, hati-hati, Ca," imbuh Iska. Berbeda dengan Meiske dan Erta, nadanya terdengar khawatir.

"Kalau mau dapat untung lebih besar dari Pak Sakti, kerjain aja kondomnya," usul Erta semakin bersemangat. "Lo mungkin tetap nggak akan dinikahin meskipun punya anak, tapi lo pasti dapat tunjangan gede. Pak Sakti itu orangnya royal. Dia pasti nggak akan hitung-hitungan sama perempuan yang jadi ibu anaknya, walaupun status lo hanya simpanan doang."

Yashica menahan bola matanya supaya tidak bergerak ke atas. Erta pasti tidak akan senang usulnya diremehkan. Yashica juga enggan mendebat dengan mengatakan jika dia tidak akan melepaskan pakaian, apalagi celana dalam untuk mendapatkan uang. Biar saja Erta puas dengan apa yang dia pikirkan. Skenario di kepalanya bukan urusan Yashica.

"Itu kedengaran pesimis banget sih," ujar Iska. "Segala macam standar pasti kalah sama cinta."

"Mbak Iska jangan terlalu naif," cibir Erta. "Kasta cinta berada di bawah kekuasaan dan harta, Mbak. Umur kekuasaan dan harta juga lebih panjang. Contohnya aku, Mbak. Aku udah tiga kali nikah, dan tiga-tiganya berdasarkan cinta yang akhirnya surut. Kandas. Ujung-ujungnya cerai deh."

Yashica tidak bertahan lebih lama di situ untuk mendengarkan kehidupan asmara dan rumah tangga Erta. Dia segera pamit menuju pos barunya.

**

Untuk yang pengin baca keept, bisa ke Karyakarsa ya. DI sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro