Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SAKTI menghentikan mobil di depan Yashica yang baru keluar dari lobi gedung. Kemarin dia berhasil mendapatkan nomor telepon perempuan itu, dan tadi untuk pertama kalinya dia mengirim pesan yang meminta Yashica menunggunya di depan gedung.

Tidak seperti perkiraan Sakti yang mengantisiapasi penolakan, balasan Yashica pendek saja, "Baik, Pak." Jawaban formal. Tidak ada pertanyaan lanjutan ataupun upaya lain untuk memanjangkan percakapan. Tanpa emotikon apa pun. Biasanya perempuan menyukai emotikon. Tapi perempuan yang makan daging sapi Kobe, tetapi bekerja sebagai OG memang bukan perempuan biasa.

Yashica masuk ke mobil Sakti begitu pintu didorong dari dalam. Dia menyetujui permintaan Sakti yang memintanya mengajaknya bertemu karena berniat mempercepat proses pendekatan dengan laki-laki itu. Dia perlu tahu seperti apa ayah laki-laki itu sebelum akhirnya bertemu langsung dengannya. Entah mengapa, Yashica merasa waktunya sudah dekat. Seorang CEO tidak akan meninggalkan kantor terlalu lama. Tidak ada pemimpin dan pemilik bisnis yang suka berjauhan terlalu lama dengan pusat usahanya sebelum dia pensiun.

"Jadi, sudah mutusin tentang les Aldrin?" Sakti membuka percakapan setelah mobil mulai melaju meninggalkan gedung kantor. Membicarakan les Aldrin adalah basa basi yang tepat.

"Sudah, Pak," jawab Yashica sopan. Sebisa mungkin dia menampilkan gestur hormat yang formal, layaknya seorang bawahan. "Saya sudah bicarakan dengan Bu Cellia juga. Tapi saya hanya akan membantu anak Bu Cellia belajar untuk beberapa minggu saja, sementara beliau mencari guru les permanen."

"Kenapa hanya beberapa minggu, kenapa nggak permanen aja?"

"Semua pekerjaan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang berkompeten di bidangnya, Pak. Untuk kebaikan anak Bu Cellia juga karena ilmu matematika saya terbatas."

Sakti tidak ingin mengulang percakapan tentang kompetensi guru yang seharusnya memberi Aldrin les, jadi dia mengalihkan percakapan, "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya meminta nomormu dan mengajakmu keluar lagi malam ini. Kesannya saya tertarik padamu...."

"Saya tahu Bapak tidak tertarik sama saya," Yashica membantu menyelesaikan kalimat Sakti yang mengambang. "Bapak mendekati saya karena berniat menolong. Bapak mengira saya punya masalah kejiwaan."

"Saya bukan dokter seperti Petra yang bisa mendiagnosis kondisi kejiwaan seseorang, tapi ketika kamu punya keinginan untuk melompat dari atap gedung, kamu seharusnya tahu kalau kondisi mental kamu tidak sedang baik-baik saja."

Yashica memutuskan tidak menanggapi. Belum saatnya mengonfirmasi praduga Sakti yang keliru.

"Aktif bekerja memang bisa membuat perhatianmu teralihkan. Tapi menurut saya, kamu tetap membutuhkan support system yang bisa mendukungmu, apalagi –maaf— kamu sudah nggak punya orangtua."

Yashica tetap diam.

"Kamu punya saudara?" tanya Sakti lagi.

"Saya anak tunggal, jadi nggak punya saudara kandung."

"Tapi kamu pasti dekat kan sama saudara yang kamu tumpangi tinggal sekarang?"

Yashica menganggap Ikram sebagai kakak, tapi Ikram tidak perlu dilibatkan dalam urusan masa lalunya, jadi laki-laki itu tidak perlu disebutkan. "Dia sepupu saya, Pak. Tapi karena dia sudah lama tinggal di Jakarta, jadi kami sebenarnya tidak terlalu akrab. Cuma saya nggak punya pilihan selain menumpang di tempatnya untuk sementara sambil menunggu saya dapat tempat kos yang cocok." Konsisten. Informasi yang dia berikan tidak boleh bertolak belakang, jadi Yashica mengulang kembali apa yang sudah dikatakannya kepada Sakti kemarin malam tentang tempat tinggalnya. "Dia satu-satunya saudara yang bisa saya tumpangi di Jakarta."

"Ooh... jadi kamu dari luar kota?"

Yashica menyesali kalimatnya yang terakhir. Seharusnya dia tidak perlu memberikan jawaban sedetail itu. "Iya, Pak." Semoga saja tidak ditanya nama tempatnya karena Yashica tidak ingin menambah daftar kebohongan. Semakin banyak kebohongan, maka akan semakin banyak pula yang harus diingat supaya tidak terjebak dalam kebohongan yang sudah dikatakannya sendiri. Sakti tampak cerdas. Orang cerdas biasanya memiliki ingatan yang bagus. Yashica tidak ingin kata-katanya menjadi bumerang yang balik menyerang dirinya karena lupa dengan apa yang sudah diucapkannya.

"Dari mana?" kejar Sakti.

Sial. Yashica memaki dalam hati. "Saya dari Jawa Timur, Pak." Dia sengaja menyebut nama provinsi. Tempat itu luas, jadi dia bisa berasal dari mana saja.

"Surabaya?" tebak Sakti.

Yashica berusaha tidak mendesah sebal mendengar pertanyaan detail yang mirip petugas sensus yang sedang mengambil data kependudukan. "Malang, Pak." Tidak bohong karena Yashica memang pernah bekerja di sana selama dua tahun lebih. Dia sampai mengontrak sebuah rumah mungil yang ditempatinya menginap ketika terlalu lelah untuk bolak-balik ke Surabaya. Setidaknya, tiga hari dalam seminggu, Yashica akan menginap di Malang. Kadang malah lebih.

"Kenapa jauh-jauh cari kerjaan di Jakarta?" Sakti melanjutkan pada pertanyaan selanjutnya

Bekerja, apalagi tinggal Jakarta tidak pernah melintas dalam pikiran Yashica. Surabaya sudah cukup bising untuknya. Dia ingin bekerja di tempat tenang, yang ritmenya berjalan lambat. Dan terutama, dia dibutuhkan di situ. Tempat seperti itu tentu saja bukan Jakarta. Yashica berada di Jakarta hanya untuk bertemu dengan laki-laki bejat yang sudah meninggalkan ibunya.

"Sebenarnya saya tidak datang ke Jakarta dengan maksud untuk mencari pekerjaan, Pak. Saudara saya memberi tahu tentang lowongan pekerjaan itu saat saya berkunjung. Kebetulan saya sedang nganggur. Sekalian ganti suasana." Jawaban itu juga tidak sepenuhnya bohong. Ikram yang memberi tahu tentang keberadaan laki-laki pernah menjadi suami ibunya dan lowongan pekerjaan yang dibuka di kantornya, walaupun sama sekali tidak menyarankan Yashica untuk melamar pekerjaan sebagai seorang office girl. Usul Ikram adalah masuk ke kantor itu sebagai tamu, bertemu si bos besar, menumpahkan kemarahan, dan pulang. Sederhana dan tidak butuh waktu panjang untuk melakukannya. Khas pikiran laki-laki yang menyukai kepraktisan.

Sayangnya perempuan tidak berpikir seperti itu. Sepraktis apa pun seorang perempuan, mereka tetap saja menyukai drama. Membuang waktu tak masalah. Kepuasan yang menjadi tujuannya tidak boleh antiklimaks. Akhir yang klimaks. Itu yang Yashica kejar. Pertemuan itu tidak akan mudah dilupakan suami ibunya. Sama seperti luka yang dibawa ibunya sampai mati.

"Ooh...." Sakti mengangguk-angguk. "Selain saudara yang kamu tumpangi sekarang, kamu punya sahabat, kan?"

Tidak ada yang sedekat Ikram dan Nenna. Tapi karena mereka tidak boleh dilibatkan dalam urusan ini, mereka harus disembunyikan. Selain Nenna dan Ikram, teman Yashica terbatas pada orang-orang yang dikenalnya semasa sekolah, kuliah, dan rekan kerja. Teman yang bertukar basa basi, tapi obrolan mereka tidak pernah sampai menyentuh ranah pribadi. Jadi jawaban untuk pertanyaan Sakti kali ini gampang saja, "Tidak, Pak, saya nggak punya sahabat."

Sakti tersenyum lebar. "Kita bisa berteman, jadi kamu bisa menceritakan masalah, atau apa pun yang mengganggu pikiran kamu. Itu gunanya teman, kan?"

Yashica berusaha menekan senyum sinisnya yang nyaris terbit. Kalau staf perempuan yang masih single di kantor mengetahui tentang obsesi bos mereka untuk menyelamatkan nyawa orang lain, mereka pasti akan berebut pura-pura hendak melompat dari atap gedung saat tahu Sakti ada di tempat itu. Saat itu terjadi, Sakti mungkin harus membuka yayasan untuk menampung perempuan yang ingin dia selamatkan.

"Terima kasih tawarannya, Pak, tapi Bapak nggak perlu teman seperti saya."

"Menurutmu, seorang direktur marketing nggak bisa berteman dengan seorang office girl?" Sakti tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelinap masuk dalam kehidupan Yashica. Untuk mengenal seseorang, kita harus terus berada di dekatnya. Itu yang sedang diusahakannya sekarang. "Itu pola pandang yang kuno sih. Untuk berteman, yang dibutuhkan itu kecocokan, bukan kesamaan status sosial sosial atau level jabatan."

Yashica mengangkat bahu. "Mungkin bisa, tapi pegawai di kantor nggak akan melihatnya dengan positif. Mereka bahkan sudah mulai bergosip saat saya dipindahkan di lantai tempat para direktur berkantor. Mereka bilang itu perintah Bapak karena Bapak tertarik sama saya," ujar Yashica blak-blakan. "Ada yang malah menyarankan agar saya mengerjai kondom Bapak karena saya bisa mendapatkan banyak uang kalau saya hamil anak Bapak."

"Astaga...!" Sakti tidak menyangka gosip seperti itu akan menimpanya. Gosip itu jauh lebih liar daripada yang dibayangkannya. "Saya sama sekali nggak bermaksud menawarkan pertemanan seperti itu!" katanya agak defensif.

"Saya tahu, Pak." Senyum Yashica tak tertahan saat mendengar kepanikan dalam nada Sakti. "Tenang saja, saya juga nggak punya keinginan hamil di luar nikah dengan iming-iming uang sekalipun. Kasihan sama anak saya yang lahir dari nafsu dan obsesi ibunya untuk mendapatkan uang. Saya percaya niat Bapak tulus hanya mau menolong saya. Kalau Bapak mau mencari teman bersenang-senang, simpanan, atau apa pun sebutannya, Bapak pasti akan mencarinya di luar kantor. Hanya orang bodoh yang mau merusak nama baik di kantornya sendiri. Saya yakin Bapak bukan orang seperti itu."

Cara Yashica bicara memberi kesan kalau dia memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Kalimat panjang yang diucapkannya membuat Sakti yakin akan hal itu. Di dunia Yashica yang sebenarnya, dia pasti terbiasa melakukan komunikasi timbal balik, bukan hanya mengucapkan kata "iya" untuk semua perintah yang diberikan, seperti yang dilakukannya selama bekerja sebagai office girl.

"Syukurlah kalau kamu nggak berpikir seperti orang lain yang mengira saya akan mengambil keuntungan dari kamu karena menawarkan pertemanan. Jadi, kita berteman...?" Sakti melepaskan tangan kanan dari setir dan mengulurkannya pada Yashica.

Yashica menatap tangan itu sejenak sebelum menjabatnya. Ini adalah kontak fisik pertamanya dengan Sakti. Orang yang terhubung dengannya karena si keparat Resmawan Jati. Kakaknya!

Sakti tertawa lebar dalam hati ketika merasakan kulit tipis telapak tangan di dalam genggamannya. Telapak tangan itu terlalu halus dan lembut untuk dimiliki oleh seseorang yang terbiasa dengan pekerjaan kasar. Hanya masalah waktu, maka dia akan membongkar penyamaran Yashica. Ketika bukti-bukti telah terkumpul, dia akan memaksa perempuan itu mengakui apa yang sebenarnya dia lakukan di kantornya!

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana sudah lama tamat. Tengkiuuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro