Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YANG aneh tentang pertemuan adalah, begitu kita mengenal seseorang, semakin sering pula kita akan melihatnya atau berpapasan dengannya. Itulah yang dialami Sakti setelah mengenal Yashica, si office girl yang kehilangan minat terhadap hidup.

Dalam seminggu ini, Sakti sudah beberapa kali melihatnya di lobi, sibuk dengan kantung-kantung di tangan. Ekspresinya selalu sama. Dingin. Sepertinya dia adalah tipe orang yang bergeming ketika ada bom yang meledak di dekat kakinya. Jelas bukan target pasar film horor karena nyaris mustahil ditakut-takuti oleh hantu, boneka jadi-jadian, ceceran darah, atau sound effect paling dramatis sekalipun. Ya, memang sulit membuat orang yang punya nyali besar mengakhiri hidup untuk takut.

Kalau biasanya Sakti melihatnya dari jarak yang lumayan jauh karena letak lift karyawan berbeda dengan lift eksekutif yang biasa dipakainya, maka hari ini mereka berpapasan di depan pintu. Rasanya tidak etis berpura-pura tidak mengenal perempuan itu setelah mengirimnya ke psikiater.

"Gimana kabarmu?" Sakti menahan langkah Yashica. Basa basi sejenak tidak akan membuang banyak waktunya.

"Baik, Pak," gumam Yashica. Ini adalah balasan pertamanya setelah tiga kali berinteraksi langsung dengan Sakti Prawira. "Terima kasih."

Pertemuan ini bukan kebetulan. Yashica sudah mempelajari rutinitas Sakti. Dia mulai hafal kapan laki-laki itu keluar masuk kantor. Tidak selalu akurat karena Sakti terkadang tidak muncul di lobi di waktu-waktu yang diperkirakan Yashica, tetapi seringnya tepat. Terutama di siang hari karena laki-laki itu hampir setiap hari makan di luar kantor.

Tentu saja semua dilakukan Yashica dengan halus. Dia menjaga jarak, tetapi meyakinkan jika Sakti melihatnya walaupun hanya beberapa detik.

"Dr. Petra bilang kamu nggak datang ke pertemuan yang sudah dijadwalkan." Sakti memberi isyarat agar Yashica menepi supaya mereka tidak berada tepat di depan pintu, tempat orang lalu lalang. "Seharusnya kamu datang. Saya sudah bilang kalau kamu nggak usah memikirkan soal pembayarannya."

"Terima kasih, Pak, tapi saya baik-baik saja," kata-kata Yashica terdengar lebih tegas.

"Yang berhak mendiagnosis apakah kamu baik-baik saja atau butuh bantuan itu adalah psikiater." Sakti tersenyum, berusaha tidak terdengar mengintimidasi. Orang-orang biasanya menerima pendekatan persuasif, tapi langsung defensif ketika merasa didikte. "Self diagnosis itu... maksud saya, orang tidak bisa menentukan apakah dirinya butuh bantuan psikiater atau tidak hanya berdasarkan perasaan sendiri, karena jatuhnya akan subjektif. Kesimpulan yang dibuat sendiri itu sama sekali nggak valid." Sakti memilih kata sesederhana mungkin, yang dia rasa akan dipahami oleh Yashica.

"Dokter nggak bilang kalau saya punya masalah kejiwaan," sahut Yashica. "Jadi saya nggak merasa perlu kembali ke sana lagi, Pak."

"Baru satu kali pertemuan. Dokter juga nggak bisa mendiagnosis secara pasti kalau kamu nggak terbuka. Sulit menolong orang yang tidak bersedia menerima pertolongan. Atau yang tidak tahu kalau dirinya butuh pertolongan." Sakti merasa dirinya semakin sering mengulangi kata-kata Petra ketika berhadapan dengan Yashica. Dirinya sudah menjelma menjadi burung beo.

Yashica mengangkat kedua tangannya, menunjukkan kantung plastik yang dipegangnya. "Permisi, Pak. Saya harus mengantar makanan ini ke atas sebelum dingin." Jangan berinteraksi terlalu lama karena Sakti bisa kehilangan rasa penasaran yang dibutuhkan Yashica untuk mendekati laki-laki itu. Ini adalah permainan tarik ulur, dan Yashica adalah pemegang kendalinya.

Sakti tidak berniat menahannya. Setidaknya, dia sudah berusaha membantu. Dia akan punya jawaban ketika percakapan dengan Petra menyinggung tentang Yashica.

Yashica mengangguk dan melanjutkan langkah menuju lift. Yang tadi itu lumayan berhasil, pikirnya. Sifat sok tahu Sakti Prawira membuatnya tidak bisa mengabaikan orang yang dia pikir membutuhkan pertolongannya. Yashica tidak boleh kelihatan tertarik atau membutuhkan bantuannya karena hal seperti itu akan membuat Sakti Prawira malah menjauh dan mengambil langkah seribu.

Sesesampainya di atas, Yashica tidak bisa langsung memikirkan rencana lanjutan untuk merapatkan jarak dengan Sakti Prawira tanpa terkesan mendekatinya karena harus berhadapan dengan drama yang tidak disangka-sangka. Ternyata Meiske melihat interaksi Yashica dan Sakti di lobi. Bombardiran pertanyaan mungkin tidak akan heboh seandainya Iska tidak ikut nimbung dalam interogasi itu.

"Masa kalau nggak kenal bisa diajakin ngobrol lebih dari sekali sih, Ca?" tanya Iska tidak percaya.

"Maksudnya, lo pernah lihat Yashica ngobrol sama Pak Sakti sebelumnya?" Serobot Meiske cepat. Jari-jarinya mencengkeram erat pergelangan tangan Yashica supaya narasumber gosip panas hari ini tidak melarikan diri.

"Tempo hari gue lihat mereka ngobrol di lobi," jawab Iska sama bersemangat seperti Meiske. "Ekspresi Pak Sakti waktu itu serius banget, nggak kayak ngobrol sama orang yang nggak dia kenal. Tapi karena Yashica bilang dia nggak tahu siapa Pak Sakti, waktu itu gue percaya aja."

"Tadi Pak Sakti kelihatan serius juga," timpal Meiske yang lantas menatap Yashica. "Jawab jujur, lo kenal Pak Sakti, kan?"

"Baru kenal waktu Mbak Iska kasih tahu siapa dia, Mbak," jawab Yashica jujur. Nada datarnya tidak menyurutkan rasa penasaran Meiska, Iska, dan beberapa staf perempuan yang sekarang mengelilingi Yashica. Sakti ternyata sangat populer dan berita tentang dia mampu menarik minat para penggemarnya di kantor ini. Yashica tidak bisa menyalahkan mereka. Menjadi pemeran utama dalam dongeng Cinderella memang masih menjadi impian banyak perempuan di dunia.

"Masa sih?" Meiske tampak tak percaya. "Pak Sakti bukan orang superramah yang akan ngajakin semua orang ngobrol lho. Gue aja yang udah bertahun-tahun kerja di sini, paling banter dikasih senyum setipis tisu dibelah dua. Itu pun kalau dia nggak buru-buru dan mood-nya bagus. Sering kali dia malah lewat aja. Secepat kilat, seperti artis yang kena kasus video porno yang dikejar wartawan acara gosip."

Orang-orang yang ada di situ tertawa mendengar analogi Meiske.

"Iya, ngobrol sekali sama Pak Sakti kalau belum kenal masih masuk akal, tapi kalau berulang kayaknya aneh deh," Iska ikut menegaskan kecurigaan Meiske. "Apalagi waktu itu durasi ngobrolnya lumayan lama."

"Tadi juga lumayan lama." Meiske makin bersemangat, tak peduli jika pernyataannya menunjukkan bahwa dia mengintip seperti ibu-ibu kompleks kurang kerjaan yang mengawasi aktivitas tetangganya. "Beneran kayak orang yang udah akrab, bukan baru kenal gitu."

"Saya beneran nggak akrab sama Pak Sakti, Mbak." Yashica tidak ingin dikerumuni lama-lama hanya untuk memuaskan keingintahuan Meiske dan teman-temannya. "Kalau akrab, saya pasti minta kerjaan yang lebih enak daripada jadi office girl. Dia juga pasti nggak tega lihat saya mondar-mandir disuruh-suruh dan dibentak-bentak sama Mbak Erta." Yashica menyebut nama OG senior yang hobi menindas sesama OB dan OG.

Iska dan beberapa orang spontan mengangguk. "Iya, masuk akal sih."

Yashica mencoba membebaskan diri dari cengkeraman Meiske. "Permisi, Mbak. Saya harus membantu Mbak Erta nyiapin ruang meeting sebelum diomelin."

Walaupun masih belum rela, Meiske akhirnya melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Yashica. "Jangan-jangan Pak Sakti naksir sama lo, kali!" tuduhnya blak-blakan.

"Ini dunia nyata, Mbak, bukan FTV atau drakor. Di dunia nyata, orang seperti Pak Sakti naksir sama artis atau Mbak-Mbak yang ada di sini, yang punya pendidikan tinggi dan wawasan luas. Beliau nggak akan melirik OG kayak saya. Permisi, Mbak." Yashica bergegas menuju ruang rapat.

**


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro