GTB 15: Membuka Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aldric

Aldric merasa asing saat pulang dalam keadaan masih bisa melihat sinar mentari. Pasalnya, sudah beberapa hari ini ia harus lembur bersama timnya demi menyelesaikan laporan bulanan mereka. Ia ingin sekali pulang cepat dan berendam air hangat kemudian istirahat sepuasnya.

Namun, langkahnya menuju parkiran terhenti saat namanya dipanggil oleh seseorang. Aldric menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada Ansell yang membawa dua cangkir kopi di tangannya. Lelaki itu menyapa dan mengajaknya duduk di kursi depan musala yang letaknya masih di area parkiran.

Aldric menerima kopi yang masih panas itu dari tangan Ansell. Ia melepaskan ransel dan menaruhnya di kursi kosong lalu menyesap kopinya perlahan.

"Lo udah mau pulang, ya?" tanya Ansell mengawali pembicaraan mereka. "Sorry, gue ganggu lo yang mau pulang cepet, Bro."

"Santai aja kali."

"Ada yang mau gue tanyain sebentar." Ansell langsung bicara maksudnya tanpa basa-basi. Itu artinya, ada hal yang cukup serius untuk dibahas, pikir Aldric.

"Soal apa?" Aldric menatap kopi di tangannya sambil masih memperkirakan ke mana arah pembicaraan Ansell.

"Soal Viona. Gue kemarin enggak sengaja ketemu dia waktu pergi sama nyokap gue. Dia pergi sama cowok, katanya sih abangnya. Memangnya Viona punya abang, ya, Al?"

Aldric mengangguk cepat lalu menjawab, "Punya. Mereka kembar."

"Oh, jadi Viona punya saudara kembar. Gue baru tahu."

"Viona enggak banyak cerita tentang abangnya. Katanya sih, seringnya ada cewek yang coba ngedeketin dia cuma pengin nitip salam buat abangnya. Dan, Viona merasa terganggu." Aldric berkata santai lebih ke datar, padahal apa yang diucapkannya bisa saja bermakna candaan. Namun, entah kenapa ia agak terganggu saat Ansell berusaha mengorek informasi Viona lewat dirinya. Padahal kan, lelaki itu bisa bertanya langsung. Itu akan jauh lebih baik untuk hubungan mereka. "Jadi, lo cuma mau nanya soal itu aja, Sel?"

"Ada lagi, Al. Jadi, kemarin waktu kenalan sama abangnya Viona, dia sempat bahas juga kalau Viona pernah nangis dan dia ngiranya itu gara-gara gue. Gue masih penasaran, karena enggak ngerti maksudnya, Al? Gue buntu saat berusaha memahami itu."

Aldric menarik napas dalam-dalam lalu memandang Ansell dengan tatapan penuh keseriusan. "Lo tahu enggak, Sel, siapa sebenarnya yang ngasih kejutan ulang tahun lo kemarin di basecamp? Lo pikir kan, semua itu usahanya Diandra. Lo salah, Bro. Semua itu hasil jerih payahnya Viona. Kita semua cuma ngikutin rencana dia aja buat bikin lo happy." Aldric melihat ada perubahan di wajah sahabatnya. Lelaki itu terlihat agak kaget, tetapi berusaha baik-baik saja.

"Jadi, yang ngerencanain kejutan kemarin Viona ya, bukannya Diandra."

"Sekarang, seharusnya lo udah paham kenapa Viona bisa sampai nangis seperti yang abangnya bilang itu."

"Lo suka sama Viona, Al?" tanya Ansell tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Jangan ngarang, Sel! Lo yang seharusnya tanya ke diri lo sendiri. Sebenarnya, lo sukanya sama Diandra atau Viona?"

"Lho, gue udah jelas naksir sama Diandra kali."

"Yakin lo naksirnya sama Diandra? Bukan cuma penasaran semata? Jangan bikin cewek sakit hati, Sel!"

"Lo sendiri gimana? Lo juga suka bikin sakit hati Diandra. Lo enggak pernah tahu kan, semenyedihkan apa Diandra saat dia pengin dekat sama lo. Gue tanya deh sama lo, Al. Kira-kira ada kemungkinan atau enggak lo bakal nerima perasaaan Diandra? Kalau ada, gue bakalan mundur."

"Kenapa lo ngomong begitu?"

"Kita memang enggak terlalu percaya sama hubungan asmara, Al, dan semua itu pengaruh dari orangtua kita. Tapi menurut gue, enggak ada salahnya mencoba walaupun ke depannya akan ada pihak yang terluka. Entah itu dari kita atau pasangan kita, karena gue juga enggak yakin bisa jadi pasangan yang baik suatu hari nanti." Setelah mengatakan hal itu Ansell bangkit berdiri lalu menepuk bahu Aldric dua kali. "Sorry, udah ganggu waktu lo. Gue mau balik ke ruangan lagi." Kemudian lelaki itu meninggalkan Aldric dengan beberapa pertanyaan di pikirannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Diandra memberinya warna baru dalam hidup Aldric, tetapi hanya sekadar itu saja. Ia tidak terlalu suka mengungkapkan isi hati dan pikirannya kepada orang lain. Baru-baru ini saja ia sudah lebih nyaman berteman dengan Viona. Itupun, karena gadis itu lebih banyak bicara dibandingkan dirinya. Oleh karena itu, ia mampu mengimbangi isi pikirannya dengan Viona sedikit demi sedikit.

Diandra juga punya sifat keras kepala layaknya Viona, tetapi gadis itu terlihat tidak yakin juga dengan perasaannya. Aldric bisa tahu itu bahwa Diandra pun senang bersama Ansell. Bukan sebagai teman seperti hubungan Aldric dengan Viona, tetapi lebih dari itu. Mungkinkah kata penasaran cocok dengan kondisi yang dimiliki Diandra kepadanya.

Aldric tidak ingin hanya dijadikan pemuas rasa penasaran gadis itu saja. Walaupun ia belum sepenuhnya percaya dengan konsep menjalin hubungan asmara yang ideal. Namun, ia ingin punya cerita yang berbeda dari orangtuanya. Ia ingin punya akhir cerita yang bahagia, entah bersama dengan seseorang ataupun sendirian.

Pukul tujuh malam, Aldric baru sampai rumahnya. Papanya sudah berada di rumah setengah jam yang lalu. Ia berjalan menuju lemari pendingin untuk menyegarkan dahaga pada tenggorokannya. Ketika sudah berhasil menenggak minumannya, sebuah bungkusan di atas meja makan mengalihkan perhatiannya. Aldric mendekat lalu membuka isinya. Ada soto ayam di dalam kotak makan berbahan stainless.

"Makan saja, Al. Tadi Papa beli waktu jalan pulang." Aldric tidak menyadari ketika Alfian sudah berada di belakangnya.

"Papa saja yang makan."

"Memangnya kamu sudah makan?"

"Nanti aku mau keluar. Kemungkinan makan di luar."

Aldric senang, karena Alfian tidak bertanya lagi setelah itu. Mereka berdua memang sangat menghargai sebuah privasi. Lagi pula, ada saatnya Aldric bisa bercerita kalau ia memang ingin.

Lantas, Aldric bergegas ke kamarnya. Ia berpikir, sepertinya kali ini ia harus mengambil sikap terhadap Diandra. Aldric juga ingin membahas sesuatu dengan gadis itu.

Setelah mandi dan rapi-rapi, Aldric keluar rumah seperti yang sudah ia katakan kepada papanya tadi. Niatnya mengunjungi rumah Diandra. Semoga saja gadis itu sudah berada di rumahnya, karena Aldric datang tanpa mengirim pesan lebih dulu.

Sampai di depan rumah gadis itu, Aldric mengucapkan salam tetapi yang keluar justru bukan Diandra melainkan Tante Devina. Mereka pernah berkenalan saat bertemu satu kali di mini market depan gang kompleks.

"Teman Diandra, ya?"

"Iya, Tante. Maaf saya datang malam-malam begini."

"Enggak apa-apa. Masuk, Nak! Tante lupa nama kamu." Tante Devina memasang senyum ramah lalu melebarkan daun pintu agar Aldric bisa masuk sepenuhnya.

"Saya Aldric, Tante."

"Oh, iya, Aldric. Tunggu ya, Nak. Diandra lagi ke mini market sama papanya. Tadi Tante minta beliin bumbu dapur yang kebetulan habis. Tante buatkan minum dulu kalau begitu, ya!"

"Enggak perlu repot-repot, Tante."

"Atau kamu mau buat sendiri?" Aldric sempat tidak bergerak di tempatnya beberapa detik demi memahami ucapan Tante Devina. "Kemari, Nak! Buat minuman sendiri yang kamu mau!" Lelaki itu kemudian berjalan menghampiri Tante Devina yang mulai menunjukkan letak teh dan kopi.

Aldric memutuskan untuk membuat teh hangat saja, karena tadi sore ia sudah minum kopi. Sementara itu Tante Devina pamit ke kamarnya untuk melaksanakan salat isya. Aldric lalu kembali ke ruang tamu dan duduk sambil menyaksikan acara musik di televisi.

Saat Aldric menikmati teh hangatnya, ia mendengar suara Diandra yang tengah berbicara dengan seseorang di depan rumah. Setelah mendengar salam, Aldric bisa melihat sosok Diandra masuk ke rumah bersama seseorang.

"Udah lama, Al?" Ia bisa melihat wajah terkejut Diandra mengetahui dirinya berada di sini.

"Beberapa menit yang lalu."

"Udah dibikinin minum atau belum?" Aldric menjawab sudah sambil mencium punggung tangan Papa Diandra. "Pa, kenalin temen aku."

"Aldric, Om!"

"Oh, ya, saya Syam."

Tante Devina kembali ke ruang tengah sambil menyuruh mereka makan bersama. Aldric bersyukur bisa makan soto buatan Tante Devina yang cocok di lidahnya. Layaknya Tante Olla, Tante Devina sama-sama baik dan mampu melakukan apa pun untuk anak mereka termasuk memasak meskipun baru pulang kerja.

Apa memang semua ibu di dunia ini seperti itu? Yah, seharusnya memang seperti itu.

Selesai makan, Om Syam mengajak Aldric mengobrol di depan rumah. Udara malam ini cukup sejuk, karena tadi sore sempat gerimis. Om Syam lebih banyak membahas pekerjaan dan Aldric merespons segala cerita lelaki itu dengan baik. Aldric merasa canggung, tetapi ia juga ingin masuk di dalamnya. Rasanya ia ingin menjadi orang yang membuat nyaman lawan bicaranya.

Mengingat ucapan Ansell tadi sore membuatnya ingin lebih mengenal Diandra. Bukan untuk langsung menerima perasaan gadis itu, bukan juga untuk memberikan harapan palsu melainkan, ia juga ingin tahu seberapa nyaman ketika dirinya berteman dengan Diandra. Setidaknya, ia tidak ingin menjadi orang yang keras kepala dan menutup diri selamanya. Aldric sadar ia punya sabahat, teman dan orang-orang yang sayang serta peduli kepadanya.

Om Syam pamit salat isya. Diandra menawarkan kopi untuknya, tetapi Aldric menolak. Tadi sore ia sudah minum kopi bersama Ansell. Aldric tidak ingin terlalu banyak mengonsumsi kafenina. Kepergian Om Syam ke dalam rumah membawa kesempatan agar ia bisa mengobrol berdua dengan Diandra. Maka dari itu, Aldric mengambil kesempatan itu.

Aldric memulai obrolan dengan topik-topik ringan, seperti membahas cuaca dan masakan Tante Devina. Kemudian ia juga bertanya soal kabar magang Diandra yang katanya sudah makin sibuk di tempat kerja. Sampai akhirnya, Aldric pamit pulang karena mengingat malam makin larut.

Saat sudah duduk di atas motornya, Aldric berkata, "Mulai sekarang, aku enggak akan jaga jarak lagi sama kamu!" Setelah mengatakan hal itu, Aldric pamit dari rumah Diandra. Meninggalkan gadis yang masih terlihat mematung menemani kepergiannya.

18 September 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro