GTB 18: Kacau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diandra

Diandra memasukkan pakaian ganti dan keperluannya ke dalam ransel sambil mendesah panjang. Niatnya tidak ingin membawa banyak barang bawaan, tetapi tasnya tetap saja terasa sesak. Ia memutuskan untuk mengembalikan pakaian yang tidak terlalu penting kembali ke dalam lemari demi mengurangi barang bawaanya. Lagi pula, kemungkinan ia akan sampai di sana malam hari. Jadi, mungkin hanya akan mengenakan jaket untuk menghalau udara dingin.

Sejak Kamis malam, baik Krystal maupun Ansell sudah memberitahunya tentang rencana mereka berkemah di akhir pekan. Keduanya mengajak Diandra untuk ikut, tetapi ia belum bisa memberi kepastian apakah akan ikut atau tidak. Diandra pikir, ia hanya ingin beristrahat saja minggu ini karena kegiatannya lumayan menguras tenaga dan pikiran.

Kendati demikian, Sabtu menjelang makan siang Aldric meneleponnya dan bertanya apa Diandra sudah berangkat atau belum. Aldric bicara ingin menjemputnya usai rapat dengan timnya. Sayangnya, Diandra sudah berada di kereta menuju stasiun Bogor kala lelaki itu menghubunginya. Maka dari itu, Aldric memintanya menunggu di stasiun Bogor agar mereka bisa berangkat ke Puncak bersama.

Diandra agak kaget ketika mendapat panggilan dari Aldric, ditambah lagi lelaki itu ternyata mengajaknya berangkat bersama. Ini akan menjadi momen langka, karena ia bisa naik motor berlama-lama dengan Aldric. Ya, walaupun nantinya ia harus siap menanggung pegal-pegal di seluruh tubuhnya.

Sepanjang perjalanan Diandra bertukar pesan dengan Krystal. Ia juga sesekali melihat postingan gadis itu di media sosial. Suasana seru tampak menyelimuti keenam orang yang ada di dalam foto tepat di depan tenda yang sudah berdiri. Diandra lalu membuka akun Viona yang ditandai oleh Krystal dalam postingan tersebut. Di sana Viona mengunggah foto dirinya dengan Ansell yang sedang menikmati minuman. Lelaki itu tersenyum ceria ketika beraksi di depan kamera.

Diandra mengurungkan niatnya untuk memberitahu Ansell bahwa ia jadi ikut berkemah. Ia pikir, nanti juga Ansell akan tahu saat dirinya dan Aldric sampai di sana. Lagi pula, lelaki itu terlihat sedang bersenang-senang dan Diandra tidak ingin mengganggunya.

Diandra menghampiri Aldric ketika lelaki itu sudah sampai di stasiun Bogor. Lelaki yang masih duduk di atas motor dengan helm yang sudah dilepas itu tampaknserus memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Gadis itu melambaikan tangan saat Aldric sudah berhasil melihat ke arahnya.

"Sini tas kamu!" ujar lelaki itu usai Diandra memakai helm.

"Mau ditaruh di mana?"

Tanpa menjawab lagi, Aldric memakai ransel Diandra dengan posisi terbalik. Ya, ransel tersebut ditaruh di dada lelaki itu. "Sebagai gantinya, boleh titip ini?" Diandra mengangguk lalu hendak menerima tas berisi laptop milik lelaki itu, tetapi Aldric memintanya naik ke atas motor lebih dulu. Usai duduk dengan nyaman, Diandra mengambil tas dari tangan Aldric dan memeluknya. Mereka pun memulai perjalanan menuju kawasan Puncak Bogor.

Rasa senang dan berdebar mendominasi perjalanan Diandra. Walaupun jalanan macet di mana-mana, rasanya tetap ada sesuatu yang menyenangkan di hatinya. Dua jam lebih perjalanan yang berhasil mereka tempuh.

Diandra agak kebingungan menyadari sikap Ansell yang tidak seperti biasanya. Sejak ia datang, lelaki itu terlihat kaget sekaligus menampilkan wajah yang ... tidak ramah. Seperti, tidak senang melihat Diandra datang atau tidak senang ia datang bersama Aldric barangkali.

Diandra tahu, mungkin semua itu akibat ia tidak memberitahu Ansell lebih dulu soal rencananya ikut berkemah. Bukankah hal itu tidak terlalu penting. Maksud Diandra, bukankah yang penting sekarang ia sudah berada di tempat perkemahan bersama teman-temannya dan juga Ansell.

Namun, saat acara game tadi, Diandra makin sadar bahwa Ansell sedang menyindirnya. Kendati masih ragu, ia memutuskan bertanya langsung kepada lelaki itu. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman antara dirinya dengan Ansell tentu saja.

Diandra melihat Ansell sedang berdiri sambil menerima panggilan di dekat tenda para lelaki. Ia berniat mendekati lelaki itu usai bertelepon.

"Sel, aku ...." Lelaki itu melewatinya begitu saja dan berjalan menuju ke arah api unggun, sebagian teman-temannya masih duduk di sana.

Diandra membeku di tempatnya berdiri. Baru kali ini Ansell bersikap seperti itu kepadanya. Jadi, sekarang lelaki itu sedang berusaha mengabaikannya, ya.

"Ngapain sendirian di sini?" tanya Aldric yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

"Oh, itu ... pengin ngadem sebentar. Di depan api unggun agak panas soalnya," kilah Diandra sambil masih melihat ke arah Ansell yang kini sedang tertawa dengan Viona.

"Dicariin anak-anak tuh, katanya mau makan kue yang kamu bawa." Sebelum sampai ke tempat berkemah, Diandra melihat toko kue dan ia memutuskan membelinya untuk makanan penutup. Lagi pula, tidak enak rasanya datang dengan tangan kosong. Gadis itu mengangguk lalu mengikuti langkah Aldric bergabung kembali dengan teman-temannya.

Diandra mencium aroma roti yang dipanggang menguar ke sekelilingnya ketika ia baru bergabung dengan para gadis di depan kompor. Tampaknya mereka sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Krystal mengatakan kalau menu makan pagi ini adalah roti lapis dengan berbagai macam isi. Seperti, potongan daging sapi, ayam, dan telur mata sapi. Mereka akan membuat sesuai dengan permintaan masing-masing.

Mereka sudah sepakat semalam saat menikmati api unggun. Sayangnya, Diandra kesiangan bangun. Semua itu gara-gara ia kesulitan tidur memikirkan sikap Ansell kepadanya. Entah kenapa, perasaannya tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal yang perlu dibereskan.

Diandra melihat Krystal sedang fokus membolak-balikkan roti di atas pan. Sementara Dhisti menyiapkan isian dan juga macam-macam saus untuk roti mereka setelah Krystal melakukan tugasnya. Viona bertugas mencuci berbagai sayur, seperti tomat, salada air, dan juga timun. Diandra cukup bingung harus ikut membantu apa, karena telat bergabung. Namun berkat instruksi Krystal, ia jadi mendapat tugas membuat teh dan kopi.

Diandra merebus air panas dengan teko listrik. Sambil menunggu ia, memperhatikan ke sekitar tenda para laki-laki. Aldric terlihat sedang mengobrol dengan Melvin. Sementara itu, ia tidak melihat sosok Ansell dan Widhy di sana. Mungkin keduanya masih tidur.

"Aw!" Tangan Diandra tersiram air panas ketika berniat menuangnya ke dalam gelas. Ini gara-gara ia tidak bisa mengatur keseimbangan.

"Kenapa, Di?" Diandra melihat Krystal menghampirinya.

"Ah, ini cuma kesiram air panas."

"Ya udah, itu biar aku yang kerjain. Kamu obatin dulu sana!"

"Tanggung, Beb. Aku kelarin ini dulu."

"Tapi, Di--" Belum sempat Krystal melanjutkan kalimatnya, sosok lelaki muncul di balik gadis itu. Diandra agak terkejut, karena lelaki itu muncul tiba-tiba.

"Ada apaan?"

"Kodok loncat!" ujar Krystal ketika baru menyadari keberadaan Ansell di belakang punggungnya. "Ih, Ansell, kamu ngagetin aja."

Lelaki itu menyengir lalu berkata,"Maaf, abisnya tadi ada yang jerit-jerit kesakitan."

"Perasaan aku enggak pakai jerit-jeritan deh." Diandra berkilah.

"Tangan kamu kenapa?"

"Cuma kesiram air panas."

"Cuma, ya. Sini!" Ansell langsung menarik tangan Diandra hingga membuat gadis itu tekejut. Lelaki itu membawanya ke belakang tenda. Di sana ada keran air.

Diandra memperhatikan Ansell menyalakan keran air lalu membantu mengulurkan tangannya yang terluka. Dinginnya air perlahan menyentuh permukaan kulitnya hingga lama-lama rasa perih itu berkurang.

"Kenapa mau bantuin aku begini kalau sejak kemarin aja kamu menghindari aku." Sejak semalam, ia ingin sekali membicarakan hal ini dengan Ansell. Sekarang saja, lelaki itu masih seperti menghindarinya. Ansell masih fokus memegang tangan Diandra agar tidak bergerak ke mana-mana. "Sel!"

"Kamu ngomong sama aku?" tanya balik Ansell tanpa menatapnya.

"Memangnya di sini ada orang lain lagi selain kita berdua?"

"Tapi kayaknya pertanyaan kamu enggak nyambung, Di. Siapa yang ngehindarin kamu?!"

"Terus, kenapa sejak kemarin kamu mengabaikan aku? Waktu main game semalam pun, kamu nyindir aku kan, Sel?!" Diandra melihat Ansell melempar senyum. Ia justru jadi kesal, karena yang sedang dibahasnya saat ini bukanlah hal yang patut ditertawakan.

"Kenapa kamu jadi baper begini? Aku enggak nyapa dibilang mengabaikan. Aku jawab asal buat lucu-lucuan di acara game, dibilang nyindir kamu. Mau kamu apa sih, Di?" Diandra memperhatikan Ansell yang kini sudah melepaskan tangannya dan mematikan keran air.

Diandra mendesah di tempatnya berdiri. Ia bingung dengan sikap Ansell yang seakan berubah menjadi orang lain.

"Ternyata kamu beneran enggak suka aku ada di sini, ya."

"Berhenti berasumsi, Di! Lebih baik kita udahan bahas masalah ini. Enggak penting juga kan?"

"Enggak penting gimana maksud kamu? Sejak kemarin kamu enggak mau ngobrol sama aku, padahal sebelumnya kita baik-baik aja. Aku pengin kita kayak dulu, Sel."

"Memangnya dulu kita kayak gimana, Di?"

"Tentu aja kita berteman baik," kata Diandra pada akhirnya.

"Cuma kamu yang menganggap kita berteman. Aku enggak kayak begitu. Kamu tau kan, perasaanku ke kamu kayak gimana? Please, jangan berusaha menutup mata!" Diandra bisa melihat tatapan lelaki itu sangat serius. Namun, lidahnya kelu untuk merespons ucapan Ansell.

"Sel, aku--"

"Aku udah ada di tahap lelah, Di. Aku kira, selama ini bakalan baik-baik aja nunggu kamu. Aku kira, bakalan tetep hepi lihat kamu jalan sama sahabat aku. Ternyata, hati aku selemah itu. Jadi, kalau memang kalian udah jadian, speak up aja enggak perlu ditutup-tutupi biar aku benar-benar mundur dan ikhlasin kamu sama Aldric!"

Tak lama kemudian, Diandra melihat Aldric membawa ember. Sepertinya lelaki itu hendak mengambil air dari keran di depan mereka.

Apa lelaki itu mendengar obrolan Diandra dengan Ansell?

"Misi!" cicit Aldric sembari berjalan menuju keran. Diandra dan Ansell sedikit menggeser diri mereka ke samping. "Gue sama Diandra masih berteman baik, Sel."

Diandra menyadari bahwa Aldric memang mendengar percakapannya dengan Ansell. Mau bagaimana lagi? Sepertinya masalah ini memang harus dibahas bersama.

"Kalian itu kalau mau pacaran ya, silakan! Tapi please, enggak usah berdalih masih temenan. Itu bikin gue muak tau!" Setelah mengatakan hal itu, Diandra melihat Ansell meninggalkannya berdua dengan Aldric. Gadis itu hendak mengejar, tetapi Aldric melarangnya. Ia bilang, Ansell sedang butuh waktu sendiri.

Aldric lalu menanyakan keadaan luka Diandra, dan berniat memberi salep. Namun, gadis itu menolak dengan alasan tangannya sudah mendingan dan tidak seperih sebelumnya.

Setelah ember yang dibawa Aldric penuh, keduanya memutuskan kembali ke tenda. Teman-teman mereka juga sudah berkumpul untuk sarapan bersama.

Diandra melihat Ansell dan Viona berbagi roti lapis masing-masing dengan cara dipotong menjadi dua bagian. Lelaki itu sesekali memeluk Viona. Diandra tahu mereka hanya sedang bercanda. Namun, hatinya berdenyut tidak keruan.

Diandra lalu memperhatikan roti lapis di tangannya, ukurannya memang lumayan besar. Siapa yang membeli roti sebesar ini sih? Apa ia bisa menghabiskan roti lapisnya sendirian?

"Kenapa, kenyang?" Gadis itu mengangguk sambil menyengir menjawab pertanyaan Aldric. "Habiskan dong biar cepet gede!"

"Memangnya aku masih anak kecil?"

"Iya, di mataku kamu masih anak kecil." Diandra masih merasa aneh bisa mengobrol lebih dekat dengan Aldric. Harusnya ia senang seperti saat mereka berdua duduk di atas motor menuju Puncak kemarin. Namun, melihat pemandangan di depannya saat ini, perasaan Diandra malah menjadi kacau.

09 Nov 2023

Berhubung lagi ada naskah yang harus direvisi, jadi kemarin-kemarin fokus di sana dulu. Mohon maaf baru bisa up sekarang. Terima kasih buat pembaca yang masih mau nunggu 💚

Ini kalian ada shiper-shiperan atau enggak? Misal Aldric sama Diandra atau Ansell sama Diandra aja. Mungkin juga kedua cowok itu mau dishiperin sama Viona 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro