GTB 8: Bad Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Viona

Bagi Viona, hari ini benar-benar sial. Sudah dibela-belain bangun pagi supaya tidak kesiangan bertemu dengan dosen pembimbingnya, tetapi janjinya justru malah dibatalkan sepihak. Memang begitu ya, kalau jadi dosen pembimbing. Bisa seenaknya bersikap.

Tunggu!

Ini bukan karena dosen itu bosan kepadanya, kan? Viona tahu ia memang banyak bertanya kepada dosen pembimbingnya ketika ada bagian yang tidak sesuai atau bahkan tulisannya salah. Namun, seharusnya sebagai seorang dosen yang baik dan bertanggung jawab, beliau mampu membimbing mahasiswanya dalam mengatasi berbagai macam kesulitan.

Gadis itu berteriak demi melampiaskan kekesalannya. Masa bodoh dengan orang-orang yang melemparkan tatapan aneh kepadanya. Ia juga tidak suka mengubah sikapnya hanya demi menjaga image.

Viona mendesah panjang. Apa sesulit ini ya, mengerjakan tugas akhir? Viona merutuki dirinya yang tidak punya otak seencer Dhisti dan Krystal. Apa ia tidak cocok masuk jurusan Hubungan Internasional, ya? Namun, dengan tekad yang kuat Krystal juga bisa melakukannya, Viona juga seharusnya pasti mampu.

Di mana ada niat, di situlah ada jalan. Viona langsung teringat kata-kata Dhisti ketika mereka berada di perpustakaan tempo hari, "Sesulit apa pun tugas akhir kalau kita ndak mau berusaha ya, mana bisa selesai. Yang penting niat dan semangat dulu, Vi. Mindset kamu harus kuat, bahwa kamu harus cepet lulus."

"Lo lagi ada di halte bus, Viona. Jangan bikin malu diri sendiri, deh!" gumamnya pada diri sendiri. Namun kemudian gadis itu kembali berteriak dan mengentak-entakkan kakinya di atas aspal. "Ah, pusing banget!"

"Lo kesambet demit apaan, Vi?"

Suara familier tertangkap cepat di gendang telinganya ketika Viona melampiaskan amarah, lantas ia menengadah untuk memastikan. Dan benar saja seperti dugaannya, lelaki itu tengah duduk di atas motornya. Walaupun masih mengenakan helm, Viona hafal betul sosok Ansell.

"My Baby!" Gadis itu berteriak histeris.

Ansell membuka kaca helmnya lalu berkata, "Jangan bikin telinga orang lain sakit gara-gara teriakan lo yang fals itu!" Viona cemberut, tetapi berjalan ke arah Ansell. Tangan kanannya sibuk melambai meskipun Ansell sudah di depan matanya.

Gadis itu memperhatikan ke sekeliling mencari sosok lain yang mungkin menemani Ansell datang ke kampusnya, tetapi tidak ada siapa pun di sana. "Lo dari mana?"

"Tadi ketemu Widhy sebentar. Ada perlu. Lo sendiri kenapa di sini bukannya balik?"

"Mau pulang, tapi lagi nungguin taksi belum lewat-lewat. Berharap ada yang peka gitu ngajakin gue bareng." Viona melipat kedua tangannya di dada seraya memandang sekilas ke arah Ansell lalu kembali memperhatikan jalanan seolah benar-benar sedang menunggu taksi.

"Naik!"

"Hah?"

"Ayo, naik!" Viona membeo hingga membuat Ansell kembali berujar, "Gue tinggal nih kalau pura-pura enggak denger."

Viona berjengit lalu kembali mendekat ke arah motor lelaki itu. "Iya, ih, tunggu. Gue kan, cuma memastikan kalau tawaran lo ini beneran nyata bukan khayalan gue semata." Viona menahan senyum, walaupun hatinya senang luar biasa dengan situasi ini. "Btw, ini gue enggak perlu pakai helm?"

Viona sudah naik ke atas motor lelaki itu. Ansell tidak menjawab dan langsung menancap gas hingga membuat gadis itu menubruk punggungnya.

"Gue tahu lo pengin dipeluk, tapi enggak begini juga dong caranya My Babby Ansell. Pelan-pelan aja bawa motornya, Sayang. Aku enggak mau mati sebelum kita sempat nikah lho." Viona kembali menubruk punggung Ansell, karena lelaki itu menginjak rem mendadak lagi.

"Gue tururnin ya, kalau mulut lo terus cerewet!"

"Ya ampun, My Babby Ansell, lo jutek banget sih sama calon pacar. Iya, iya. Gue diem nih."

Viona memilih menutup mulutnya ketika Ansell kembali melajukan motornya demi bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Di balik punggung Ansell, ia kembali tersenyum efek hatinya yang kini tengah bereuforia.

Kepala Viona dengan cepat mulai mengatur rencana ketika nanti Ansell sampai di depan rumahnya. Melihat teriknya cuaca hari ini, ada baiknya Viona mengajak lelaki itu mampir lalu membuatkan minuman dingin. Atau lebih baik Viona kenalkan saja Ansell pada Olla lebih dulu supaya mamanya ikut senang saat melihat dirinya diantar teman lelaki.

Ah, tidak, tidak. Itu terlalu rumit. Mamanya pasti akan mengajak bicara Ansell dengan tema ngalor-ngidul. Ujung-ujungnya, Ansell akan risi dengan sikap mamanya. Itu tidak boleh terjadi tentu saja. Ansell tidak boleh makin kehilangan minat untuk lebih dekat dengannya. Sekarang, Viona harus bisa memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun di depan matanya.

Lima belas menit perjalanan, Viona bingung karena Ansell tiba-tiba memelankan laju motornya bahkan lelaki itu menepi seraya menaikkan kaca helm dan menoleh ke arahnya. Viona memandang ke sekitarnya, tidak ada tukang es kelapa. Tukang bakso juga tidak terlihat di dekat mereka. Lantas, untuk apa Ansell menghentikan perjalanan mereka?

Apa ada masalah dengan mesin motor lelaki itu? Bagaimana kalau mogok? Artinya Viona harus membantu mendorong layaknya adegan drama yang sering ia tonton di layar kaca. Namun, agaknya Viona tidak keberatan selagi kejadian melelahkan itu ditemani sosok seperti Ansell. Ia akan tetap menikmati momen tersebut.

"Vi, sori banget nih, gue baru ingat harus jemput seseorang."

"Maksudnya?"

"Jadi, gue cuma bisa nganter lo sampai sini aja. Enggak apa-apa kan?" Viona bisa melihat raut memelas di wajah lelaki itu.

"My Baby, lo kan, tadi nawarin bareng, tapi kok malah cuma sampai sini sih? Ini masih jauh banget lho, dari rumah gue."

"Gue kan, memang enggak bilang mau nganterin lo sampai rumah, Vi!"

Iya juga sih. Sejak tadi Viona sibuk dengan skenario yang dibuatnya sendiri sampai-sampai terlena dengan khayalannya. Namun, Ansell tetap tidak bertanggung jawab karena baru mengataknnya sekarang. Ya, salahkan sel pelupa yang bergelut di dalam diri lelaki itu hingga membuat Viona jengkel dengan situasi ini.

"Jahat lo. Ngebiarin cewek secantik gue harus naik kendaraan umum."

"Sori banget, Vi. Lain kali gue traktir lo deh sebagai gantinya. Gue janji!" Ansell memasang tanda peace dengan tangan kanannya. Kalau sudah begitu, Viona tidak bisa lagi membantah. Lagi pula, Ansell benar, lelaki itu tidak mengatakan akan mengantarnya sampai rumah. Viona saja yang terlalu senang duluan.

"Ya udah." Viona turun dari motor Ansell sambil mendesah lemah.

"Kalau begitu, gue duluan ya!"

Viona melepas kepergian Ansell dengan senyum sangat tipis. Ia berusaha baik-baik saja melihat lelaki itu meninggalkannya sendirian di halte. Kalau tahu hasilnya akan begini, lebih baik ia tidak menerima ajakan Ansell di awal. Namun, ia merutuki hatinya yang selalu goyah setiap kali berurusan dengan lelaki itu.

"Assalamualaikum!" Viona menghampiri Olla kemudian mencium punggung tangan mamanya. Olla mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arah sang anak.

"Wa'alaikumsalam. Sudah makan siang, Vio?" Viona menggeleng lalu melirik ke arah tumpukan kertas di atas meja, tampaknya sang mama tengah sibuk mengurus pesanan masuk. Viona bersyukur bisnis skincare mamanya laris sejak meng-endorse beberapa selebgram dan beauty vlogger tiga bulan lalu. "Tadi Mama masak semur ayam sama tempe mendoan. Kamu ganti baju dulu sana, nanti Mama siapkan!"

Viona mengangguk lalu menjawab, "Makasih, Ma. Vio ke kamar dulu."

Usai ganti baju dan merapikan kamarnya yang tadi pagi belum sempat dibereskan, Viona kembali menghampiri Olla yang kini sudah berada di ruang makan. Ketika sedang berada di rumah, mamanya memang selalu menunggu Viona untuk makan siang bersama. Ia jadi merasa bersalah, karena hari ini pulang lebih telat dari biasanya.

Mengingat perbuatan Ansell tadi membuat kepala Viona makin penat, ditambah taksi yang ditumpanginya mogok di tengah jalan padahal tinggal beberapa kilo lagi sampai ke rumah. Pada akhirnya, ia naik ojek yang ada di pangkalan agar bisa cepat sampai rumah. Namun, satu hal yang membuat Viona masih penasaran adalah sosok yang akan Ansell jemput. Tidak mungkin gadis yang sedang disukainya itu kan?

"Vio, Mama bagi nomor ponsel teman kamu yang kemarin itu dong!"

"Aldric maksud Mama?"

"Iya, Aldric." Sepasang mata Viona membulat ketika mendengar jawaban Olla. Tangannya sampai berhenti ketika hendak menyendok nasi.

"Mama mau ngapain minta nomor Aldric?"

"Mama cuma mau ngundang temanmu untuk makan siang atau makan malam di sini. Hitung-hitung balas kebaikan dia, karena kemarin sudah bayarin makan dan antar kita pulang, Vio. Masa begitu saja harus Mama jelaskan sih. Membalas kebaikan orang lain kan, juga termasuk hal baik."

Viona melihat sang mama duduk di depannya lalu memandang wajahnya. "Lagian, itu muka kenapa ditekuk begitu sejak kamu ngucap salam tadi?"

Mama dengan segala kemampuan saktinya memang selalu tahu perubahan mood Viona. Tidak heran juga kalau Olla sampai memperhatikan emosinya, karena tiap Viona pulang ke rumah, sang anak selalu menampilkan wajah semringah.

"Lagi bete aja."

"Soal tugas akhir kamu? Omong-omong sudah sampai mana kemajuannya?"

"Jalan di tempat."

"Lho kok begitu?"

"Dospem Vio susah banget ditemui, Ma. Terus, Vio harus gimana? Nyamperin ke rumahnya?"

"Kalau perlu begitu."

"Vio enggak tahu rumahnya."

"Memang di kampus kamu enggak punya teman, ya? Kamu kan, bisa tanya teman-teman yang lain, senior kamu yang pernah dibimbing beliau atau kalau perlu tanya ke mahasiswa yang beda jurusan."

"Iya juga, ya. Kenapa Vio enggak kepikiran nanya anak-anak lain."

"Makanya kalau ada apa-apa itu cerita sama Mama, jangan cuma dipendam sendiri dan berakhir bete!" Viona memperhatikan sang mama yang sedang menaruh lauk ayam ke piring makannya dan ia mulai menikmati menu makan siangnya. "Terus, enaknya kapan ngundang teman kamu itu, ya? Mama mau menyiapkan menu yang cocok untuk kalian."

"Kalau Vio undang temen-teman yang lain boleh enggak, Ma? Takutnya Aldric enggak nyaman kalau ke sini cuma sendirian aja."

"Mama enggak masalah. Dhisti sama Krystal jangan lupa diundang juga!" ujar Olla usai meneguk air minumnya.

"Oke, Ma."

Usai makan siang, Viona langsung mengirim pesan pada Krystal, Dhisti dan Aldric perihal undangan makan dari mamanya. Semoga saja ketiga temannya itu mau memenuhi permintaan sang mama. Kira-kira, ia perlu mengundang Ansell atau tidak, ya? Ini bisa jadi satu kesempatan lebih dekat dengan lelaki itu sih kalau Viona mau. Namun, mengingat kejadian hari ini kenapa hatinya seperti ragu, tetapi juga menggebu di saat bersamaan.

07 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro