Keping 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laki-laki dengan pakaian pasien dan perban di lengan itu terbangun. Matanya terbuka perlahan. Cahaya dari lampu yang menyala membuat ia mengerjap. Ia berada di ruangan putih dan tidak ada pengawal di sekitarnya. Kejadian sebelumnya berputar di kepalanya layaknya film lama. Ia sempat menghela napas menduga ia tidak lagi ada di dunia, tetapi ketika matanya menatap sekitar, ia tahu kalau kini ia berada di rumah sakit.

Matanya melihat sebuah infus menggantung di sebelah kiri dan ia bisa merasakan nyeri di lengannya. Ia sempat terkejut ketika mendapati seorang pria dengan beberapa luka di tubuhnya tertidur di sofa dekat ranjangnya. Pria itu mengenakan pakaian yang sama dengannya. Hal itu membuat ia tidak bisa menduga siapa pria itu.

Pria tadi tiba-tiba bangun ketika Zai bergerak berusaha untuk duduk.

"Sudah bangun, Zaivan?"

Zai menghentikan gerakannya dan menoleh tidak percaya. Ia mengenali suara itu, suara ayahnya.

Harsa mendekati anak tunggalnya dan berdiri tepat di samping ranjang.

"Anda baik-baik saja?" Zai bertanya, tetapi kepalanya menunduk. Sebelumnya ia belum pernah berada di suasana yang canggung seperti ini dengan ayahnya.

"Terima kasih. Kamu sudah menyelamatkan saya." Harsa menatap Zai dengan tatapan lembut yang belum pernah Zai lihat kecuali saat pertama kali mereka bertemu di panti. "Dalam kondisi seperti ini kamu masih sempat mengkhawatirkan saya. Apa lukamu tidak sakit? Saya rasa efek biusnya sudah berkurang."

Zai diam karena tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tindakannya sebelumnya jelas adalah tindakan refleks karena ia ingin melindungi keluarganya.

"Saya mau minta maaf ... untuk semua yang sudah saya lakukan."

Pria itu meremas tepi ranjang yang Zai tempati. Kepala pria itu tertunduk dalam. Perlahan Zai menolehkan kepalanya. Ia memang tidak bisa mengenali wajah ayahnya, tetapi suara pria itu sama seperti suara ayahnya. Pria itu bersikap aneh, tetapi Zai tidak bisa menolak fakta kalau logikanya mengatakan kalau itu benar ayahnya.

"Saya mencintai ibu kamu, sangat mencintainya. Namun, kehilangannya membuat akal sehat saya juga menghilang. Saya meninggalkan kamu di rumah sakit dan kembali ke kehidupan saya sebelumnya begitu saja. Saya sempat membenci kamu karena keberadaanmu ditukar dengan nyawa wanita yang saya cintai." Cerita Harsa sempat tersendat karena kata-katanya terhalang sesuatu di tenggorokannya.

Zai bisa melihat bahu pria itu bergetar hebat dan air mata menetes di atas seprai ranjangnya. Jeda beberapa saat, setelah lebih tenang Harsa melanjutkan ceritanya, "Saya terus bekerja untuk melupakan semua hal buruk yang terjadi dalam hidup saya hingga sebuah telepon masuk dan sebuah surat kaleng sampai ke meja saya. Surat itu berisi ancaman pembunuhan untuk foto yang ada di dalam amplop yang sama. Foto itu adalah fotomu."

Laki-laki dengan infus di tangan itu memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Kepalanya tetap menunduk dan ia mengepalkan tangan berusaha menahan tangis.

"Saat itu juga, saya memutuskan membawa kamu kembali. Kamu adalah bagian penting dari kehidupan saya. Saya memang tidak pandai menunjukkan rasa sayang, tetapi saya selalu memperhatikan semua yang kamu lakukan dan kamu sukai."

Zai masih berusaha tenang dan bertanya dengan suara yang bergetar, "Kenapa Anda menutupi kasus pembunuhan Indira Arkanayaka?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Hening sempat meliputi mereka.

"Pria yang diseret polisi tadi adalah sahabat saya dan mantan kekasih Indira." Suara Harsa mulai tenang dan air matanya tidak lagi mengalir.

Zai tetap diam dan matanya melirik tajam menunggu kelanjutan cerita itu.

"Dia dan Indira sempat berencana akan menikah, tetapi Indira lebih memilih Jevais untuk menjadi suaminya. Dibalik perjodohannya dengan pria tadi, ia berkencan dengan Jevais. Malang tidak bisa ditolak, Indira memilih menikahi pria yang ia cintai. Karena hal ini hubunganku dan Jevais tidak pernah baik. Secara teknis ia merebut tunangan sahabatku."

"Indira adalah adik Anda dan ibu Jeffry. Kenapa Anda tidak pernah memberitahu saya tentang ini? Apa karena penyakit saya? Anda mengira fakta itu akan terkubur karena saya tidak mampu mengenali wanita itu?"

Pria itu terdiam. Ia mundur dari tempatnya dan menarik sebuah kursi untuk duduk di dekat Zai. Ia menghela napas kemudian kembali bercerita, "Saat itu saya sengaja menghentikan semua penyidikan karena mungkin itu satu-satunya cara untuk memohon maaf padanya. Ketika surat kaleng ancaman pembunuhanmu ada di tangan saya, saya tahu kalau kamu pasti ada hubungannya dengan kejadian itu. Setelah diselidiki, ternyata benar kalau kamu terhubung dengan masalah ini. Karena itu saya selalu memberikan banyak pengawal di sekitarmu."

Harsa meletakkan kedua tangannya di atas tangan Zai yang ada di tepi ranjang, "Semua yang saya lakukan demi kebaikanmu. Maaf kalau itu membuatmu merasa tidak nyaman."

Zai menoleh dan menatap mata ayahnya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan bersalah. Ia mengangguk kemudian tersenyum. Genggaman tangan Harsa menguat dan air mata menetes dari sudut matanya.

Zai melihat air mata yang jatuh dan ia menarik tangannya yang ada di genggaman ayahnya dan segera menarik tubuhnya untuk memeluk pria yang kelihatan rapuh di hadapannya. Mereka berpelukan dan menyalurkan setiap rindu yang sudah tertahan bertahun-tahun. 

***

Sinar matahari masuk melalui jendela besar yang ada di sisi kanan Zai. Ia membuka mata dan mendapati ayahnya tidak lagi di sana. Ia malah melihat seorang laki-laki yang dari posturnya ia dapat kenali.

"Pagi, Bang." Zai berusaha menarik tubuhnya untuk duduk.

"Pagi, Zai. Perlu saya panggil dokter?" Tama langsung beranjak dari duduknya untuk membantu Zai untuk duduk.

"Gue nggak apa-apa. Ayah mana?"

Tama terdiam. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri setelah mendengar kata-kata Zai.

"Ayah mana, Bang?"

"Maksud kamu Tuan Harsa?" Tama bertanya kembali untuk memastikan kalau ia tidak salah dengar.

Zai mengangguk kemudian tersenyum. Tanpa penjelasan apapun, Tama bisa memahami situasi yang terjadi saat ini. Semalam pasti sesuatu telah terjadi.

"Tuan Harsa menyerahkan diri ke kantor polisi semalam. Ia berniat bertanggung jawab untuk masalah yang ia sebabkan sepuluh tahun lalu." Tama berhati-hati menjelaskan.

"Apa karena itu dia minta maaf semalam?" Zai berbicara pelan. Sepertinya ia bertanya pada dirinya sendiri.

"Kamu nggak apa-apa Zai?"

"Gue nggak apa-apa, Bang. Kalau itu pilihan ayah, gue akan mendukung." Zai tersenyum meski dalam hatinya ia ingin menangis dan berteriak mencegah ayahnya pergi ke jeruji besi.

Tidak lama setelah Zai menyelesaikan sarapannya. Seseorang dengan kulit sepucat susu datang ke kamarnya. Tama langsung berdiri dan bergerak cepat menghalangi laki-laki itu bertemu dengan Zai.

"Gue mau ketemu Zaivan."

Zai mengenali suara itu.

"Maaf, Zai sedang istirahat dan tidak bisa diganggu." Tangan Tama merentang untuk menghalangi laki-laki itu.

"Biarin Jeff masuk. Tinggalin kami berdua."

"Tapi, Zai."

"Gue akan menerima apapun yang akan dia lakukan. Gue minta lo keluar sekarang, Bang."

Tama menyerah dan memilih keluar dari ruangan itu. Dengan berat hati ia menutup pintu ruangan itu dan tetap berdiri di depan pintunya. Ia berusaha berjaga-jaga menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi.

Begitu pintu ditutup, Jeff langsung melangkah dan duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Tama. Ia menghela napas, "Gue sudah dengar semuanya."

"Maaf, gue nggak melakukan apapun saat itu. Gue ... gue benar-benar merasa bersalah untuk kejadian itu."

"Ini bukan salah lo. Semua yang sudah terjadi nggak akan bisa kita ubah. Mama gue sudah tenang di sana. Apapun yang terjadi, kita tetap saudara. Jadi nggak ada alasan buat lo menghindari gue setelah ini. Sekarang saatnya lo hidup dengan bahagia." Jeff menepuk pelan punggung Zai.

Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 25

22 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro