Keping 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil Lamborghini Aventador melaju di jalan utama. Tama mengamati wajah tuan mudanya yang kelihatan tidak bersemangat. Laki-laki itu sudah berpakaian rapi dan menggunakan gel di rambutnya, tetapi hal itu tidak dapat menutupi wajah pucatnya.

Zai membuka jendela dan menatap jalanan yang dilewati. Udara di luar tidak terlalu panas karena hari sudah sore.

"Surat diagnosanya sudah keluar?" Zai bertanya tanpa menoleh.

"Sudah, Tuan Muda. Anda hanya kelelahan. Hal ini mungkin disebabkan oleh Anda yang tidak tidur semalaman dan ditambah dengan hujan tadi siang. Surat hasil diagnosa sudah saya sampaikan ke Tuan Harsa."

"Kita ke panti sekarang." Zai masih tidak menoleh. Matanya menatap jalanan.

"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak boleh pergi ke sana. Tuan Harsa melarang Anda pergi ke sana."

"Kita ke panti," Zai mengulangi kalimatnya dengan penekanan, "sekarang." 

Zai menatap Tama dengan tatapan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dalam tatapan itu ada marah, kecewa tetapi ada juga sorot sedih di sana.

"Ganti tujuan, kita ke Panti Asuhan Kasih Bunda sekarang." Tama menghela napas setelah mengatakan hal itu pada supir.  Ia sebenarnya ragu, tetapi tatapan Zai membuatnya menyerah.

Setelah tiba di panti, Zai tidak langsung masuk. Ia berdiri lama di depan gerbang. Ada yang menggebu dalam dirinya. Ia sangat merindukan tempat itu. Ia juga merindukan keluarganya.

"Ada masalah, Tuan Muda?"

"Nggak ada."

"Kalau Anda tidak keberatan, apa saya boleh ikut masuk, Tuan Muda?"

"Boleh, tapi mereka enggak. Cukup kita berdua."

Tama mengangguk dan menyampaikan keinginan tuan mudanya pada pengawal yang berjaga. Mereka mengangguk paham dan menyebar di depan panti. 

Zai dan Tama berjalan berdampingan. Postur tubuh Tama yang tidak terlalu tinggi membuat mereka kelihatan seperti kakak adik. Meskipun Tama lebih tua enam tahun dari Zai, tubuh mungil Tama mampu membuat orang mengira kalau ia adalah siswa SMA.

Seorang wanita berkacamata dengan rambut yang dihiasi beberapa helai uban menyambut mereka di depan pintu. Wanita itu mengenakan jaket rajut berwarna putih. 

"Selamat sore, Anda mencari siapa?"

Tama maju ke depan dan memperkenalkan diri dengan sopan. "Saya Naratama Julian, kami datang untuk menemui pengurus panti." 

Wanita tadi menatap Zai dengan tatapan penuh tanya. 

Zai tidak bersuara dan tidak beranjak dari posisinya. 

Wanita tua itu menurunkan kacamatanya dan melangkah mendekat, "Sepertinya kita pernah bertemu. Atau mungkin kamu mirip salah satu anak di sini." 

"Ini Zaivan, Bun. Zaivan Oktora. Anak Bunda yang diambil keluar sepuluh tahun lalu."

Wanita itu tersenyum tetapi matanya berkaca-kaca. 

"Zaivan, kamu sudah dewasa sekarang." Wanita itu meraih Zai ke dalam pelukan.

Zai hampir menangis. kalau ia tidak ingat kehadiran Tama, mungkin ia sudah menangis layaknya anak kecil yang tersesat kemudian bertemu ibunya.

Setelah pelukan mereka terlepas, Bunda mengajak mereka masuk. Ruangan itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Pintu-pintu kamar yang berbaris di lorong masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Hanya saja, warna temboknya tidak lagi putih. 

Seorang gadis yang usianya tidak jauh berbeda dengan Zai mengantarkan suguhan berupa teh dan kue kering untuk Zai dan Tama. 

"Terima kasih." Tama menyambut gelasnya dengan sopan. 

"Setelah sepuluh tahun, kamu baru kangen sama Bunda?" Wanita dengan rambut beruban itu tersenyum jahil.

"Aku selalu kangen Bunda dan saudaraku di sini." Zai tersenyum ramah. Jenis senyuman yang biasanya hanya ia tujukan untuk Jeff atau Kayla.

"Maaf, Bunda nggak mengenali kamu tadi. Anak Bunda sekarang kelihatan sangat dewasa dan berwibawa."

"Aku masih Zaivan, Bun. Anak Bunda yang suka main gelembung dan masih percaya kalau gelembung bisa menyampaikan pesanku untuk Tuhan."

Bunda tertawa. Tawanya mampu membuat Zai dan Tama jadi tersenyum. 

"Kamu masih main gelembung?" 

Zai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Iya, Bun." Kemudian senyumnya mengembang.

Tama sempat dibuat terperangah. Selama dua tahun ia menjadi asisten Zai, ini pertama kalinya ia melihat tuan mudanya tersenyum secerah itu.

Mata Zai menangkap sebuah pemandangan yang tak asing ketika beberapa anak melewati mereka. Ia melihat gelang yang melingkar di tangan setiap anak. Pada gelang tersebut terdapat nama dan warna gelang menunjukkan kamar mereka. 

"Adik-adik masih pakai gelang seperti dulu, Bun?"

"Iya, sejak ada kamu, penggunaan gelang jadi kebiasaan. Anak-anak juga senang karena gelangnya lucu."

"Apa gelang tidak digunakan sebelumnya?" Tama bertanya dengan hati-hati.

"Sebelumnya, gelang hanya digunakan untuk bayi. Setelah Zai datang, ia kesulitan untuk mengenali saudaranya. Jadi kami menggunakan gelang untuk membantu Zai mengenali saudaranya. Saat Zai belum bisa membaca, dia bisa mengenali saudaranya dari gelang yang dipakai. Saat itu hanya ada sepuluh sampai lima belas anak saja. Jadi Zai tidak merasa kesulitan." Bunda menjelaskan dengan runut.

Tama mengangguk. 

"Jadi Naratama ini adalah ... " Bunda sengaja memberi jeda pada kalimatnya dan berharap Tama menyambungnya.

"Saya adalah ... " Belum juga Tama memperkenalkan dirinya sebagai asisten Zai, kata-katanya langsung dipotong oleh tuan mudanya.

"Teman, Bun." Zai memelototi Tama dan memberinya kode agar tidak bicara.

Tama sempat hendak meralat kata-kata Zai, tetapi ia urung melakukannya setelah melihat Zai yang melotot dan berusaha menyuruhnya diam.

"Bun, aku boleh tanya sesuatu?" Zai bertanya dengan wajah yang serius.

"Tentu boleh, kamu mau tanya apa?"

"Siapa yang mengantar aku ke panti ini?"

Bunda dibuat terdiam. Ia masih ingat betul kejadian tujuh belas tahun lalu.

Hujan lebat mengguyur panti dan sekitarnya. Gemuruh petir bersahutan tanpa henti memeriahkan suasana. Bunda tengah memeriksa satu persatu kamar anak asuhnya ketika sebuah gedoran terdengar. Bunda melangkah menuju pintu. Ketika membuka pintu, ia tidak mendapati seorang pun ada di sana. Namun, suara tangis bayi yang terdengar membuat Bunda mengerti. 

Bayi itu mengenakan jarik sederhana bermotif batik. Bunda mengangkat bayi itu dan menggendongnya. Tubuh bayi itu basah. Bunda segera membawa bayi itu masuk dan mengganti pakaiannya. Bunda melihat ada sebuah surat dengan tulisan tangan yang basah terkena air. Satu kalimat tertulis di kertas itu. Zaivan Oktora. Kertas itu juga yang membuat Bunda menamai Zaivan dengan nama yang sama. Setidaknya itu adalah pemberian terakhir  dari orang tuanya.

"Kamu sudah pernah menanyakan hal ini, Zai. Kamu Bunda temukan di depan panti tanpa seorang pun yang ada di sana."

Zai menghela napas panjang, "Kalau begitu, aku ganti pertanyaannya. Bunda kenal seseorang bernama Meidina?"

Bunda dibuat terdiam. Tidak lama kemudian, Bunda bersuara, "Meidina adalah nama putri tunggal pemilik panti ini."

"Kenapa Bunda nggak pernah cerita sama aku sebelumnya?"

"Bunda baru tahu setelah ayahmu mau mengambilmu. Ia mengatakan kalau kamu adalah anaknya dan Meidina. Bunda hanya tahu kalau Meidina meninggal saat melahirkan anaknya."

"Anak itu adalah aku?" Zai bertanya dengan suara yang bergetar.

"Tuan Harsa tidak memberi tahu fakta itu?" Bunda juga kelihatan terkejut.

Tama langsung memahami situasi. Ia berusaha diam dan mengamati tindakan selanjutnya yang diambil oleh tuan mudanya.

"Boleh aku tahu di mana makam ibuku, Bun?" Air mata Zai menetes tanpa permisi.

Bunda menuliskan sebuah alamat pemakaman yang cukup asing bagi Zai. Setelah mendapatkan alamat pemakaman, mereka berpamitan untuk pulang. 



Terima kasih sudah membaca.


ODOC WH BATCH 4 Day 8

5 Oktober 2020












Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro