🦄15. Kecupan Belud🦄

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hallo! Jumpa lagi bareng Gendhis dan Belud. Makasih yang udah menanti cerita ini. Xixixi, maapkeun kemarin malam aku ambruk jadi lupa update. Semoga terhibur yak. Jangan lupa jejak cintanya😍

💕💕💕

Langkah Gendhis berderap menyusuri lorong apartemen yang sepi. Saat ia hendak menekan tombol lift, telunjuknya bergetar. Ia menggeleng, dan menarik jari, urung membuka.

Gadis itu berdiri terpaku di depan pintu yang permukaannya bisa memantulkan penampakan dirinya. Sungguh kontras kulit Gendhis dengan perempuan tadi. Seperti gula pasir premium dan gula merah.

Gendhis menunduk lemah. Ia berharap Lud mengejarnya, seperti di drama Korea romantis. Namun, seperempat jam Gendhis ada di situ sambil menahan air mata, Lud tak juga muncul.

Dengan terpaksa, akhirnya Gendhis menekan tombol pintu lift hingga derik kasar terdengar saat terbuka. Melangkah gontai, Gendhis memasuki bilik kecil yang hendak membawanya turun ke lantai dasar. Asanya kini menguap hidup berbahagia bersama Lud.

***

Lud termangu saat mendapati Gendhis sudah ada di apartemen. Melihat penampakannya dan Diana, ia yakin gadis itu salah paham.

"Siapa yang barusan itu, Lud?" tanya Diana, teman satu fakultas. Diana datang untuk mengerjakan tugas kelompok praktek sidang untuk minggu depan. 

Karena ada peristiwa akibat kecerobohannya—menumpahkan air minum di baju Diana—membuat Lud meminjamkan kaus sementara Diana bisa menyetrika untuk mengeringkan.

Lud mendesah. Rasanya virus Gendhis sungguh infeksius karena akhir-akhir ini ia terserang kecerobohan yang akut. 

"Tunanganku! Sorry, ya, Di. Malah nggak enak kamu dipikir macem-macem sama Gendhis." Lud menggaruk rambut basahnya. Ia sengaja mandi sambil menunggu Diana selesai menyetrika di kamar.

"Trus, celanamu?" Lud menunjuk dengan dagunya. 

"Mau ambil CD di tas. Habis sampai dalamannya basah." Diana menarik ujung kaus kedodoran Lud dengan wajah memerah. 

"Ya udah, sono. Kalau tahu Deva, aku bisa dihajar." Lud membuang muka. "Oya, gantinya di kamar mandi aja. Aku mau ganti baju juga."

Lud kemudian masuk ke kamar. Ia memijat pelipis dengan jari tengah dan jempol. Melihat ekspresi Gendhis, lelaki itu tahu tunangannya membayangkan yang tidak-tidak.

Tak mungkin juga Lud mengejar Gendhis dalam keadaan berbalut handuk. Ia bukan tipe lelaki romantis, atau tokoh dalam cerita komik yang disukai Gendhis. Lud hanyalah lelaki biasa yang bercita-cita hidup selibat tetapi niatnya dihalangi oleh keluarga karena ia harus meneruskan garis keturunan Keandra.

Lud menggapai gawai. Beberapa pesan yang hanya ia baca terpampang di layar. Lelaki itu akhirnya menekan tombol panggilan, tapi yang ada hanya suara perempuan yang menjawab telepon Gendhis dalam keadaan tidak aktif.

***

Sesampainya di rumah, Gendhis mengambrukkan pantat begitu saja di atas ranjang. Air mata baru meluncur deras di pipi setelah beberapa saat ia tahan. Gadis itu merutuk, bagaimana bisa Lud tidak mencegahnya pergi atau berusaha menyusul.

Gendhis merogoh gawai. Saat menekan tombol sampai smartphone ia menyadari dayanya sudah habis. Ia menepuk dahi. Selalu saja ia ceroboh!

Buru-buru Gendhis bangkit dan mencolokkan charger pada lubang smartphone. Menunggu beberapa saat hingga baterai terisi daya, gadis itu lantas menyalakan gawai, berharap mendapati pesan dari Lud.

Tapi, asa tinggi itu tidak terwujud. Tak ada satu pun pesan dari Lud yang masuk ke aplikasi pesan. 

Gendhis menyadari sesuatu. Mungkin dia terlalu memaksakan perasaan. Benar kata Lud, otak gadis itu terlalu teracuni oleh khayalan manis dari komik yang di baca.

Dengan jari bergetar, gadis berkulit hitam manis itu mengetikkan sebuah pesan.

[Gendhis]
Mas, ternyata berat menyimpan rasa sendiri. Aku nyerah ….

Gendhis masih berharap Lud akan mempertahankan hubungan mereka. Ternyata lima menit kemudian dering notifikasi tanda pesan masuk terdengar keras.

[Belud]
Ya. Itu lebih baik.

Jantung Gendhis seolah enggan berdetak selama satu detik. Rasa nyeri menjalar membuat dadanya sesak. Kenapa Belud mengiyakan saja? Kenapa tidak berusaha mempertahankan? Apakah Gendhis tidak layak untuk diperjuangkan?

Dalam kegalauan, dering telepon berbunyi. Namun bukan panggilan dari Lud, melainkan dari mama Gendhis.

Gendhis menggigit bibir dengan keras. Ia menyeka air mata dan menghirup udara dalam-dalam sebelum menyentuh tombol menerima panggilan.

Perlahan ditempelkan gawai di daun telinga sehingga suara merdu yang selalu berhasil menenangkannya itu terdengar. "Hallo, Nduk."

"Nggih, Bu. Ada apa?" tanya Gendhis dengan suara sengau.

"Loh ono opo to? Suaranya kok sengau begitu? Dimarahi dosen lagi?" tanya Mama Gempi dengan nada cemas. Wanita itu memang tak mempercayai anaknya yang ceroboh masuk ke kedokteran gigi. 

"Ma, kulo … kulo putus sama Mas Lud." Isakan Gendhis menguar keras memenuhi ruang.

"Lah, piye to, Nduk? Kemarin kamu yang mau dilamar. Eh, kok tiba-tiba putus? Kalian itu sudah tunangan, selangkah lagi mau menikah!" Nada suara Mama Gempi meninggi. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.

"Mas Lud selingkuh, Ma! Trus Ndhis harus gimana?" tanya Gendhis lagi. 

Embusan kasar terdengar dari speaker gawai Gendhis. "Dari mana kamu tahu kalau Mas Lud itu selingkuh?"

"Ndhis lihat sendiri, Ma. Di apartemen." Tangis Gendhis perlahan reda. Ia menarik tisu dan mengeluarkan ingus dari hidung.

"Bicarakan baik-baik, Nduk. Kalau Mama lihat, Mas Lud itu cowok yang baik. Eman kalau hanya salah paham kalian saling melepas." Mama Gempi menjeda ucapan sejenak. "Lagian, nantinya saat kalian berumah tangga, ada banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Komunikasi sangat penting. Ok?"

Gendhis mendesah. Ia menggigit kecil bibir. Bagaimana bisa berkomunikasi kalau Lud membatasi diri dengannya? 

***

Begitu Diana keluar dari apartemennya, Lud sebenarnya ingin menyusul pergi hendak ke kos Gendhis. Setidaknya ia tak mau dicap tukang selingkuh oleh gadis itu. Namun saat gawainya masuk pesan dari gadis manis itu, niatnya urung dilakukan.

Mendapati Gendhis yang memutuskan hubungan mereka sepihak, Lud tidak menolak. Namun, saat balasan sudah terkirim terbersit rasa sesal. Ia membayangkan wajah Gendhis akan sekusut baju yang baru saja diangkat dari jemuran.

Karena keputusan Gendhis itu, ia sengaja memberi tahu Mami Bella melalui pesan pendek. 

[Lud]
Mi, aku dan Gendhis udah putus. Gendhis yang minta.

Dering telepon kini menyahut sesaat sesudah pesan terkirim. Begitu diangkat, suara melengking Mami Bella terdengar, membuat Lud harus menjauhkan gawai.

"Sinyoooo, kamu ingin Akong jantungan denger kabar ini?" 

Lud mengembuskan napas kasar. Salah lagi keputusannya. Tapi bukankah itu yang terbaik untuk dia dan Gendhis? 

"Mi, Gendhis yang minta."

"Mami nggak mau tahu! Akhir pekan besok bawa Gendhis ke Magelang!" titah Mami Bella tegas.

"Tapi, Mi—" Nada Lud ikut meninggi. Ia sangat tidak menyetujui usul sang mami. Bila Gendhis ke rumahnya di Magelang, lelaki berdarah Tionghoa itu takut Gendhis semakin terikat padanya.

"Nggak ada tapi! Harus, Nyo!"

Detik berikutnya telepon terputus. Lud hanya bisa mendesah pasrah. Dari pada membicarakan hal ini melalui telepon, maka ia pun bergegas bangkit untuk menemui Gendhis.

Ketika jarum pendek jam berada lurus di angka enam, Lud sudah ada di depan kos Gendhis. Kos itu terlihat sepi. Tak banyak motor yang terparkir. Lampu depan bahkan belum dinyalakan. 

Lud menekan bel yang terhubung langsung ke kamar Gendhis, sampai akhirnya terdengar suara langkah sandal diseret khas Gendhis. Suasana kini menjadi terang, sebelum Gendhis sampai di ruang khusus menerima tamu.

Begitu pintu terbuka, wajah sembab gadis itu terlihat terperangah. Ia bahkan hendak berbalik namun dicegah cepat oleh Lud.

"Ndhis, aku mau bicara!" Lud meraih pergelangan tangan Gendhis

Mulut Gendhis sampai meringis dengan cengkeraman tangan lelaki itu. Namun tenaga Lud yang besar mampu mengalahkan usaha otot lengan gadis itu.

Gendhis akhirnya mengalah, dan ia duduk di sofa di ruangan itu. Sejenak Lud memandang berkeliling memastikan tak ada saksi mata di rumah kos itu yang melihat aksi tarik menarik tangan. Namun, lelaki itu yakin bahwa kos itu terlihat sepi mengingat sepertinya tak ada tanda kehidupan di beberapa kamar.

Gendhis bersedekap, menyeka air mata yang masih saja leleh. Ia enggan melihat Lud karena hatinya terasa nyeri tiap mengingat pemandangan sore tadi.

"Ndhis, jangan seperti ini, please." Lud memulai percakapan. Lelaki itu masih berdiri. Rupanya Gendhis juga tidak ingin mempersilakan Lud duduk.

"Kita sudah putus. Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sebaiknya Mas pulang." Gendhis memejamkan mata erat. Air matanya kembali berguguran.

"Ndhis, jangan begitu." Nada suara Lud terdengar merana. Bukan karena takut kehilangan Gendhis, tapi ia ngeri membayangkan amukan Akong, Papi, Mami dan dua cecenya.

Lud duduk di sebelah Gendhis. Walau Gendhis berusaha membuang muka, lelaki itu justru menarik dagu Gendhis kemudian menangkup wajah tirus itu dengan kedua tangan besarnya. 

Warna putih punggung tangan Lud itu begitu kontras di wajah hitam manis Gendhis. "Kamu tahu, kita harus bersama. Kita ini ibarat kue lapis yang saling melengkapi, 'kan?"

Gendhis mendengkus. "Aku bilang nggak ada hubungannya 'kan antara saling melengkapi dan kue lapis?"

"Ada!" jawab Lud mantap. Kedua alisnya terangkat, menatap lurus mata Gendhis. "Mau tahu?"

Bola mata yang sedari tadi bergulir tak tentu arah, akhirnya berlabuh pada netra sipit milik Lud. Anggukan kecil menyambut pertanyaan lelaki itu.

Senyuman terbingkai di wajah oriental itu. Seketika hati Gendhis lumer begitu saja. Ia masih membisu menunggu ucapan Lud. 

"Hubungannya, kue lapis bukanlah kue lapis kalau nggak ada lapis hitam …" Lud menarik lengan Gendhis. "dan lapis putih …" kemudian ia menyejajarkan tangan di sebelah lengan gadis itu. "Oleh karena itu, lapis hitam dan lapis putih harus ada dan saling melengkapi hingga bisa disebut kue lapis yang nikmat rasanya."

Sontak bulir bening mengucur deras dari mata Gendhis. Kata-kata Lud itu begitu indah, membuatnya melayang. 

Namun, Lud justru gelagapan melihat reaksi Gendhis yang sesenggukan. Untuk meredakan tangis gadis itu, tanpa pertimbangan bibir Lud mendarat di bibir Gendhis. 

Mata Gendhis melebar, saat bibirnya dikecup dan embusan napas sang lelaki menyapu kulit wajah gadis itu.

💕Dee_ane💕

Mampir di kisah Clary "Sang Jomlo Dadakan" yuk furadantin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro