29. Belud punya belut?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lud berpikir berondongan nasihat akan berakhir. Namun, nyatanya Mama Gempita memanggilnya kembali. Lud mendengkus pelan. Apa lagi wejangan yang akan diberikan wanita yang melahirkan istri barunya.

"Mas, Mama mau ngomong bentar." Mama Gempi menarik Lud ke sudut ballroom. Matanya memandang berkeliling sejenak sebelum merogoh sesuatu ke dalam tas cangklong yang tersampir di bahu.

"Ada apa, Ma?" tanya Lud yang sudah tak nyaman dengan baju yang dikenakan. Dada yang terkuak memperlihatkan otot yang kekar itu tak biasa ia pertontonkan di khalayak umum.

Mata Mama Gempita melebar saat menemukan barang yang ia cari. Ia menggenggam erat barang itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menarik tangan kanan Lud.

Alis Lud mengerut. Ia berpikir akan mendapat angpau dari sang mama mertua. Ketika barang itu berpindah ke telapak tangannya, mata Lud seketika membelalak. Tak hanya itu wajahnya pun memerah, dengan tengkuk yang meremang.

"I ... ini?" cicit Lud. Suaranya seolah habis karena tenggorokannya tersekat ketika lensanya menangkap bayangan benda itu.

"Pakai pengaman sewaktu kasih jatah ke Ndhis. Mama tahu keluargamu pengin Ndhis cepet-cepet hamil. Papa sih nggak keberatan, tapi Mama kepikiran kalau Ndhis hamil." Mama Gempi mendesah kencang. "Kamu tahu kan Ndhis cerobohnya nggak ketulungan. Biar kalian berproses dulu."

Lud meringis. Bingung. Namun, ekspresi Lud ditanggapi lain oleh Mama Gempita.

"Tenang aja, Mas. Tetep enak kok walau pakai kondom. Kalau nggak mau pakai kondom ya pastiin keluar di luar."

Wajah Lud semakin terasa panas. Rasanya ia malu karena semua mengharapkan malam pertama ini. Yang satu ingin ia menabur benih, yang lainnya ingin ia membendung benih.

Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Ia menarik tisu dari tas, lalu menyeka perlahan ke matanya. "Titip Gendhis ya, Mas. Mama harap Ndhis tambah dewasa dan berkurang cerobohnya. Maklum dia anak gadis satu-satunya. Suka dimanja sama papanya."

Setelah Lud melepas sebagian keluarga besar pulang, Lud berjalan gontai ke kamarnya. Rasanya ia memikul beban yang sangat berat di pundak. Kelangsungan nama keluarga Keandra ada di bahunya. Ia diharapkan bisa melahirkan anak laki-laki.

Lud menekan bel pintu kamar 707. Pintu akhirnya dibukakan baginya. Tatapannya yang kosong, membuatnya tidak sadar kalau Gendhis sudah sempat mandi dan sekarang memakai lingerie brocade hadiah dari Albert beberapa hari sebelumnya.

"Kamu nggak kedinginan pakai lingerie macam gitu, Ndhis? Aku nggak bisa kalau tidur tanpa AC loh."

Gendhis kecewa. Lud seolah tak tergoda. Lelaki itu hanya mengerling lalu sibuk melepas topi, dan membongkar dodot. Kini tersisa celana bermotif Cinde yang membalut tubuh bawahnya. Ia memberesi kain dodot dan menyampirkan sembarang ke atas kursi.

Gendhis hanya termangu saja. Matanya mengerjap. Ia segera menuju ke depan cermin panjang, untuk melihat apakah ada yang salah dengan dirinya.

Rambut setengah basah, dengan tubuh dibalut lingerie brocade merah maroon bertali spageti membuat bayangan tubuhnya tergambar indah. Di balik pakaiannya, ia tidak mengenakan bra. Hanya sebuah celana dalam minimalis yang menutupi inti tubuhnya.

Gendhis mengernyit. Ia memutar badan di depan kaca. Memeriksa seandai ada sesuatu yang aneh. Tetap saja ia tidak melihat kejanggalan apapun. Tubuh cokelatnya yang lembab justru terlihat seksi karena berkilau. Dada yang berukuran sedang itu mencetak samar puncaknya di balik brocade.

Gendhis mendengkus. Ia menyesal mengikuti ide aneh Albert yang katanya pasti ia akan mengalami malam panas yang panjang. Nyatanya, bukan tubuhnya memanas, tapi hatinya.

Tiba-tiba Gendhis teringat perkataan Mami Bella yang mengira Lud gay. Ia mengerjap.

Jangan-jangan, Mas Lud benar gay? Bagaimana mungkin ia nggak tertarik sama body cewek yang tersaji di depannya.

Gendhis merinding. Ia hanya menelan ludah berusaha menggelontorkan kembali prasangkanya.

Gendhis sudah bergelung di atas ranjang saat Lud keluar dari kamar mandi. Ia masih penasaran. Apakah betul perkiraannya. Begitu Lud menyusul naik ke tempat tidur, Gendhis menyergap raga suaminya..

Lelaki itu terkejut saat tangan dan kaki Gendhis sudah memeluknya seperti guling.

"Ndhis, panas! Itu bednya masih luas." Lud berusaha melerai tangan Gendhis. Namun, tangan gadis itu sangat lengket seperti gulali yang menempel.

"Mas, malam ini kan malam pertama kita." Gendhis memberanikan diri membuka mulut. Sebenarnya ia malu. Tapi pesan dari Mami Bella agar tak menunda momongan harus ia patuhi. Menurut siklusnya, hari ini tepat masa suburnya.

"Iya. Memang kenapa?" tanya Lud sambil melengos.

Mulut Gendhis mencebik. Tengkuknya terasa panas karena malu tapi mau dan sebagian lagi karena kewajiban melaksanakan titah mertua. Dengan gerakan menggoda, Gendhis mengelus dada Lud dengan jarinya. Ia berputar-putar di otot liat itu berusaha menyentil naluri purba sang lelaki. Lud menggeliat kegelian.

Gendhis senang karena mengira ia berhasil mendongkrak gairah Lud. Namun, bukannya hasrat Lud yang tersentil, lelaki itu justru menepis keras tangan Gendhis yang bermain di dada bidangnya.

Gendhis terkejut. Ia membeliak, menatap Lud. Lud pun juga sama terkejutnya karena menepis kasar tangan istrinya.

"Ndhis, sorry."

"Sorry, Mas Lud mungkin lelah." Suara Gendhis bergetar. Tangan kanannya menangkup tangan kiri yang terasa nyeri. Perihnya bahkan merambat sampai di hati.

"Iya. A ... aku lelah. Kita tidur yuk?" Gendhis mengangguk.

Melihat wajah kecewa gadis itu Lud mengecup pucuk kepala Gendhis. "Malam kita masih banyak. Sekarang beristirahatlah!"

Gendhis menegakkan tubuh. Ia menarik lengan Lud ke samping dan meletakkan kepala di atas lengan Lud dengan kasar. Lud baru akan membuka mulut, tapi Gendhis lebih dulu berbicara.

"Aku pengin dipeluk. Nggak usah protes."

Mau tidak mau semalaman lengan kiri Lud ditindih oleh kepala Gendhis. Setidaknya feromon Lud mampu mengobati rasa kecewanya karena tidak bisa bersatu raga melengkapi pernikahan suci mereka.

***
Harapan Gendhis ternyata tidak terjadi. Hari berikutnya Lud justru disibukkan dengan pengerjaan skripsi. Lelaki itu akan tidur lebih dari tengah malam, dan bangun lebih siang bila tidak ada kuliah.

Gendhis sebenarnya berulang kali memberi kode. Ia sengaja memakai baju tidur seksi tetapi tetap saja Lud seperti tidak tertarik. Sudah dua minggu Lud seolah tak memedulikannya. Tak ada kegiatan di ranjang mereka kecuali tidur.

"Apa bener aku segitu nggak menariknya sampai Mas Lud nggak tergoda? Atau jangan-jangan bener dugaan Mami kalau Mas Lud ...." Gendhis membeliak. Ia memukul pelipisnya mengeluarkan pikiran aneh itu kembali.

Seperti malam yang sudah berlalu, Gendhis pun hanya bisa meringkuk sendiri dengan Lud yang berada di ruang tengah.

***
Wajah Gendhis tampak kusut saat berjalan memeluk berkas dalam map plastik di lorong kampus. Albert yang melihat dari jauh, segera berlari menjangkaunya.

"Cieee, yang pengantin baru. Lemes aja! Habis keenakan dibelit belut-nya Belud ya?"

Gendhis melempar pandang sengit. Lelaki tinggi jangkung dengan wajah kebule-bulean itu menaik-turunkan alisnya.

"Bisa nggak sih mulutnya dikondisikan! Belut-nya Belud! Boro-boro keenakan, lihat belut-nya Belud aja nggak pernah!" Gendhis mendengkus.

Sedetik kemudian ia terkesiap merutuki mulutnya. Kenapa ia bisa kelepasan cerita sama Albert kalau ia belum pernah ena-ena dengan Lud.

"Ndhis, kamu ...." Otak cerdas Albert begitu saja menangkap maksud Gendhis.

Menyadari ia bisa saja membocorkan rahasia rumah tangganya, Gendhis pun mengambil langkah seribu. Ia tidak ingin diinterograsi oleh Albert atau ditertawakan karena justru memilih lelaki yang tidak ada ketertarikan dengan lawan jenisnya.

Namun, langkah Gendhis bisa disusul oleh Albert. Ia menarik tangan Gendhis hingga badan gadis itu berputar.

"Ndhis, jangan bilang kamu belum pernah ... ena-ena?"

Gendhis menggeram. Ia memandang berkeliling dan berakhir dengan memelototi Albert. Cubitan kecil ia hadiahkan di lengan kekar Albert untuk menyalurkan rasa malunya. "Bisa nggak sih, nggak usah diperjelas!"

Albert meringis sambil mengelus lengannya. "Heh, beneran kamu belum diapa-apain sama Lud?"

"Abeeee!!!" Pekik Gendhis tertahan.

Namun, Albert bisa menyimpulkan sendiri. Ia berdecak kesal. Kesal karena gadis seeksotis Gendhis dianggurkan begitu saja. "Payah nih Lud! Dia suka sama kamu nggak sih? Atau jangan-jangan dia ...."

Wajah berkulit sawo matang itu menguap ronanya menyimpulkan ucapan terputus Albert.

Dengan kegalauan tingkat tinggi, ia berpikir ingin ke rumah Clary. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa mengisi kekosongan hati dan perutnya.. Ia sekalian ingin bercerita tentang kepenatan hatinya. Beruntung Clary saat itu ada di rumah. Gadis cantik itu mempersilakan Gendhis yang berwajah kusut masuk ke kamarnya.

"Clary ...." Gendhis mulai memberikan ekspresi anehnya.

"Ndhis, mau bakpao?" Clary paham sekali, Gendhis pengapesannya makanan

Gendhis mengangguk. Ia terharu teman baiknya paham yang ia butuhkan. Makan kenyang supaya kuat menghadapi kenyataan.

Clary keluar sebentar, lalu datang lagi membawa sepiring bakpao yang masih panas. Aroma yang menguar membuat liur Gendhis terstimulasi. Tak hanya itu, segelas es sirup mampu menghilangkan gerahnya.

"Ini isi kacang merah. yang ini isi ayam, yang ini isi ...." Clary kontan teringat Damai. "Yang ini isi cinta," nyinyirnya tanpa sengaja.

Gendhis langsung mengambil yang katanya berisi cinta. Alisnya mengernyit. "Ini isi apa, Cla? Rasanya nggak jelas kaya cinta beneran." Gendhis membolak balik bakpao dengan pandangan memicing.

"Cinta. iya, cinta," kata Clary malu-malu.

Gendhis memakan kembali bakpao yang sudah ia gigit. Sambil mengunyah makanannya, ia memulai sesi curhat. "Cla, aku mau cerita nih."

"Aku juga."

"Pingsut dah. Yang menang yang duluan cerita," kata Gendhis dengan mulut penuh.

"Kamu aja dulu. Kan udah diisi bakpao." Clary mengalah karena melihat wajah Gendhis yang tertekuk.

Gendhis berdeham. Ia menggigit bibir malu-malu. "Cla, tahu nggak, udah dua minggu ini, aku belum dibelit belutnya Belud."

Clary mengerjap. Ia membayangkan cewek hitam manis ini terbelit ... apa tadi? Belud? Belutnya Belud? "Lud punya belut?"

"Punyalah. Masa nggak. Tunggu ... aku belum lihat sih. Dia punya nggak ya? Waduw," kata Gendhis. Sepertinya maksudnya tidak ditangkap oleh Clary yang lola. Gendhis mulai galau.

"Lud kenapa, sih, Ndhis? Kok kamu jadi kacau gini?"

"Cla, sejak menikah Lud belum jamah aku. Kami belum ena-ena. Gimana hamil kalau nggak ada ena-ena?" Gendhis mendesah. "Kata Abe bisa aja dia gay, karena nggak suka cewek. Maminya kan mikir dia gay." Gendhis mulai frustasi. Ia menggaruk kepala hingga rambut hitamnya berantakan

Clary terbelalak. "Kalian belum malam pertama? Lud gay? Ya ampun, Ndhis!" Kontan, Clary memeluk Gendhis hingga cewek itu tersedak bakpao.

"Yang sabar, ya. Ada loh teman Mas Claudi. Katanya gitu juga, tapi akhirnya dia bisa nikah dan punya anak, tuh. Dokter juga, spesialis penyakit dalam. Dokternya mamaku."

"Gay juga?" kata Gendhis setelah minum air yang disuguhkan Clary.

"Iya. Tapi sekarang udah bahagia sama istrinya. Kamu mau konsultasi sama dia?"

"Boleh." Gendhis yang sudah mengambil bakpao lagi mengurungkan niat untuk melahap makanannya. "Tapi, Cla. Mas Lud sayang nggak ya sama aku? Jangan-jangan kemarin cuma sandiwara? Ya ampun, Cla. Aku malah bingung kalau dia bener gay. Masa aku saingan sama cowok?"

"Asal nggak selingkuh aja kan nggak papa, Ndhis. Lud setia sama kamu, kan?" Clary menampakkan wajah sendu. Bibirnya melengkung ke bawah dengan sorot mata yang redup. "Nggak gay tapi selingkuh kayak Iyud lebih makan ati."

"Berarti gay nggak papa, asal nggak selingkuh." Mata Gendhis memerah. Rasanya hatinya perih. Bayangan pernikahan normal mulai mengabur. Ia menyeka matanya. "Kamu mau cerita apa?"

"Mmm, Mas Damai nembak aku, Ndhis. Tapi aku belum bisa jawab."

"Kenapa? Katamu kamu suka kan? Mas Damai kayanya cowok normal yang baik hati dan sayang kamu." Gendhis mengangguk-angguk menyukai bakpao rasa ayam yang kini masuk ke mulutnya.

"Normal? Emm, tapi aku masih belum bisa nerima. Nggak tahu. Rasanya males aja pacaran lagi," kata Clary sambil menunduk.

"Maunya langsung nikah?"

"Ih! Enggaklah! Aku mau sendiri dulu. Tapi ... dia baik banget. Cakep lagi. Aku bingung." Entah kenapa saat membicarakan Damai, mata Clary terlihat lebih hidup.

"Kamu pantes bahagia. Lupain Iyud yang tukang selingkuh itu. Aku kasihan kamu sendirian. Mana ngadepin Nenek Sihir itu pula. Setidaknya Mas Damai bisa jadi sandaran."

"Gitu, ya. Iya deh, ntar aku pikirin. Tapi ada lagi masalah, Ndhis," ujar Clary dengan menunduk dan memainkan jemari di pangkuan. "Mama Suwi selalu blang aku anak haram. Kalau beneran aku anak haram, apa Mas Damai masih mau sama aku?"

"Ish, itu cuma ngomongan nggak jelas Tante Suwiwi aja. Ngapain kamu mikirin Tante Suwi yang mulutnya asal clap clup. Lagian Mas Damai kan suka karena pribadimu, Cla. Nggak lihat latar belakangmu." Gendhis berusaha menghibur

"Oh, iya. Makasih, Ndhis." Clary mengatakan itu dengan lemas, seolah tidak yakin dengan kata-kata sahabatnya.

💕Dee_ane💕
Tengkyu udah ngikutin kisah ini.
Mampir juga di cerita Clary furadantin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro