31. Handsome Devil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gendhis memilih mundur. Sifat pengecut karena tidak ingin menyesal dengan keputusannya menikahi Lud itu membuatnya menapakkan kaki keluar lagi dari apartemen. Gendhis jengah dengan dirinya akhir-akhir ini.

Setahu Gendhis setiap membaca buku dongeng, pada akhir cerita pernikahan sang putri dan pangeran akan dibubuhi kata 'And they lived happily ever after'.

Namun, rupanya bahagia selama-lamanya setelah menikah itu hanya ada di buku cerita dongeng. Sama sekali tidak berlaku di kehidupan nyata. Karena yang terjadi bagi Gendhis, menikah justru seperti membuka buku cerita baru. Maunya Gendhis membuka cerita romantis yang mengharu biru atau cerita komedi dalam babak kehidupan pernikahannya.

Sepertinya harapannya itu tak menjadi nyata, karena Gendhis merasa ia sedang membaca kisah tragedi yang menguras air mata.

Kalau seperti ini, Gendhis teringat nasihat Papa Dimas dan Mama Gempita sebelum memutuskan akan menerima lamaran Lud. Hanya saja saat itu Gendhis seolah menutup telinga. Padahal Papa Dimas berpesan agar Gendhis memikirkan matang-matang. 'Pernikahan itu sekali seumur hidup. Bila sudah disatukan Tuhan, tidak akan ada lagi jalan mundur', begitu nasihat Papa Dimas.

Kini Gendhis risau ...

Ingin maju tapi ngilu ....

Melangkah mundur juga hatinya akan hancur ....

Dua-duanya sama tak enak. Seperti memilih menelan pil pahit atau minum jamu brotowali.

Langkah Gendhis kini tergesa saat keluar dari lantai dasar apartemen. Bahkan satpam yang ada di pos depan tak ia sapa seperti biasanya. Pandangannya mulai mengabur karena bola matanya terselimut bulir bening. Namun lagi-lagi Gendhis pantang menangis. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa menenangkan batinnya yang bergejolak.

Gendhis akhirnya memutuskan untuk memasuki sebuah kafe es krim yang ada di depan apartemen. Ia membutuhkan sesuatu yang manis untuk menawarkan kepahitan hidupnya. Selain itu makanan atau minuman dingin seperti berguna untuk menyegarkan batinnya yang panas.

Tak menunggu lama setelah memesan, sebuah es krim beraroma durian tersaji di depannya. Gadis itu pun segera melahap habis satu porsi es. Namun tetap saja, saat matanya mengerling ke arah apartemen, batinnya kembali tersayat-sayat.

Hatinya bertanya, sedang apa Lud dan Jati di dalam. Tidak mungkin bukan Lud berbuat macam-macam di ranjang mereka yang bahkan belum pernah mereka pakai kecuali untuk tidur? Sungguh dugaan-dugaan itu melayang di kepalanya.

Saat pikiran negatif Gendhis berkelana tak tentu arah, notifikasi panggilan berdering kencang dari saku celananya. Gendhis buru-buru merogohnya, dan mendapati wajah Albert dengan rambut gondrongnya di layar gawai.

Gendhis mengembuskan napas panjang. Sungguh, setan selalu tahu saat yang pas. Dia memberikan apa yang Gendhis butuhkan saat itu. Teman berbagi cerita.

"Hallo, Be?" sapa Gendhis begitu ia menggeser tanda menerima panggilan.

"Kamu di mana, Ndhis? Bindermu ketinggalan di ruang kuliah. Kamu tadi lari gitu aja. Aku telepon nggak dijawab."

Gendhis mendengkus. Sifat cerobohnya kumat lagi. Bagaimana bisa ia meninggalkan binder yang berisi catatan kuliahnya? Padahal di situ ada beberapa curahan hatinya selama ini. Gendhis hanya berharap Albert tidak membukanya.

"Aku udah pulang. Awas jangan dibuka!"

Terdengar gelak tawa dari balik speaker ponsel Gendhis. Gadis itu pun menggeram kesal. Tawa setan Albert itu mengindikasikan ia sudah membaca semua kata yang tertoreh di atas kertas dalam binder.

"Ndhis, aku ke apartemen ya?" tanya Albert.

"Aku nggak di rumah," kata Gendhis sengit.

"Katanya pulang?" kejar Albert.

"Iya. Aku lagi di luar." Kembali Gendhis mengingat apa yang ia dengar dari balik pintu kamar saat pulang tadi. Embusan napas kasar Gendhis terdengar oleh sahabat baiknya.

"Kamu kenapa sih, Ndhis?"

"Udah tahu nanya!" tukas Gendhis ketus. Wajahnya semakin kusut. Pertanyaan Albert seolah mengoloknya.

Tawa Albert kembali menguar. "Iya, iya. Makanya aku pengin kita ketemu. Daripada kamu ngomong sama kertas apa tembok, mending sama aku."

Gendhis mencebik. Bibir seksinya itu sudah manyun. Hatinya gelisah. Memang lebih enak bercerita dengan sesama manusia dari pada curhat di atas kertas. Ada yang mendengarkan, memberi tanggapan dan saran. Tapi, ini masalah keluarganya. Seingat Gendhis, Mama Gempita berpesan agar tidak membawa masalah rumah tangga, apalagi urusan ranjang yang intim ke luar kamar.

Tapi, ini bukan urusan ranjang. Gendhis mencari alasan. Ia hanya ingin bertanya apa tanggapan Albert tentang kegelisahannya. Setidaknya gadis itua ingin tahu tanggapan seorang laki-laki.

"Aku di kafe depan apartemen," kata Gendhis kemudian.

"Ok. Aku susul."

***

Setengah jam kemudian, laki-laki setinggi 183 cm itu masuk ke dalam kafe. Tampilannya yang kebule-bulean dengan kulit yang tak terlalu putih membuat semua orang yang ada di situ memandang sekilas ke arahnya.

Albert memindai sekelilingnya dan mendapati hanya Gendhis yang tidak memandang ke arahnya. Gadis itu sibuk menekuri es krim yang ada di hadapannya. Saat lelaki itu datang, sudah ada lima mangkok yang kosong. Tandas tak bersisa.

Begitu duduk, Albert menjentikkan jarinya di depan muka Gendhis. Gadis itu terkesiap. "Ngelamun aja? Kesambet kapok!"

Gendhis menaikkan sudut atas bibir kirinya. "Mana binderku?" tanya Gendhis tak berpanjang lebar dengan wajah judes.

"Sabar napa?" Albert sengaja menggoda teman baiknya.

Gendhis memberi pandangan mengiba. Ia merasa sangat malu karena Albert sudah tahu apa yang ia alami dalam kehidupan pernikahannya. "Abe!!"

"Iya, iya! Nggak sabaran banget sih?" Albert yang tak tega akhirnya mengambil binder berwarna merah muda dari tas ranselnya. "Lagian nulis curhatan di sini!"

"Bisa nggak, nggak usah dibahas? Pura-pura aja nggak tahu!" Gendhis bangkit. Tubuhnya condong melampaui meja saat merebut binder yang diambil Albert.

Bagai benda berharga, Gendhis mengelus permukaan bindernya. Ia duduk sambil memberikan lirikan setajam silet ke arah lelaki jangkung itu.

Albert tersenyum miring. "Ndhis, kamu nyesel nikah sama Lud? Tahu gitu terima tembakanku kan? Kalau dipikir-pikir aku kurang apa coba? Ganteng, pinter, calon dentis, kaya."

"Sayangnya, aku sejak awal nggak tertarik sama kamu, Be. Masalah hati itu nggak bisa dipaksain kan?" Gendhis meletakkan bindernya, kemudian kembali menikmati es krimnya yang ke enam.

Setelah memesan menu untuk teman obrolan mereka, Albert menyedekapkan tangan menumpu di atas meja. Matanya menatap Gendhis sambil menunggu gadis itu berbicara.

"Be, jangan lihat aku seperti itu!" pinta Gendhis mengulum es krimnya. Matanya memejam, menahan ngilu di gigi karena sensasi dingin.

"Ndhis, aku udah baca semua. Kamu galau tentang kedekatan Lud dengan sahabatnya yang nggak biasa." Albert menggigit bibirnya. Ia geli tapi juga sekaligus batinnya terusik rasa ingin tahu kenapa Gendhis bisa berasumsi aneh seperti itu.

"Ketawa aja kalau mau ketawa!" Melihat wajah Albert yang memerah, gadis itu tahu Albert sedang menahan tawa.

"Kamu nggak berlebih tuh?" Pertanyaan Albert justru terdengar seperti dengkusan, karena desakan tawa yang berusaha ditahan.

Merasa dicibir, mata Gendhis memerah. Ia juga heran kenapa bisa timbul rasa cemburu pada Jati. Padahal Jati itu sahabat Lud. Seperti Clary yang merupakan teman baik Gendhis. Tapi setelah menikah, Jati sering datang ke apartemen, entah bermain PS, atau mengerjakan tugas bersama.

"Masalahnya, aku ngerasa kedekatan mereka aneh, Be! Aku juga berasa ganjil dengan perasaanku. Masa iya, aku mencurigai suamiku ... suamiku ... g-g-gay."

Kali ini tawa Albert menggelegar. Melihat ekspresi Gendhis yang frustasi, sungguh menggemaskan di mata Albert. Belum cara Gendhis mengaku dosa dengan bibir yang terlihat seksi itu manyun ke depan.

"Terserah kamu mau ketawain aku kaya apa!" Mata Gendhis kini terasa pedas. Ia menarik tisu dan menyeka kasar matanya. Tetap saja ia tidak ingin menangis di depan Albert.

"Kok bisa kamu menyimpulkan gitu?" tanya Albert kemudian.

Akhirnya Gendhis bercerita kenapa ia sampai mempunyai pikiran seperti itu. Albert kini mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia mengangguk tapi bibirnya terkunci. Raut mukanya pun ikut menegang karena tidak ingin ada satu kata pun yang terlewatkan.

"Jadi, pas pulang tadi kamu dengar Jati dan Lud bikin sesuatu yang hareudang di kamar?" tanya Albert diikuti anggukan Gendhis. "Kamu lihat nggak?"

Gendhis mengangguk. Sorot matanya semakin sendu. "Aku takut."

Albert menghela napas. Ia meraih tangan Gendhis yang sedang memegang sendok hendak menyuapkan ke mulutnya.

"Ndhis, sekali lagi kamu sedih kaya gini, bisa-bisa aku ngerebut kamu beneran dari Lud. Dari awal aku ketemu kamu di OSPEK, aku suka banget senyum kamu. Tapi cuma kamu cewek di kampus yang nggak suka sama aku."

"Be, simpen aja rayuanmu buat cewek lagi. Jangan berusaha bikin aku baper. Aku takut keseret dosa," kata Gendhis. "Kamu bilang sendiri, 'Berani mencintai, berani beresiko sakit hati'. Mungkin ini resiko dari mencintai Mas Lud."

Albert tersenyum. Ia menarik tangan Gendhis dan mengarahkan ujung sendok masuk ke mulutnya. Mata Gendhis melolot kesal karena Albert mencuri es krimnya.

"Ndhis, sekali lagi kamu nangis, aku bakal narik paksa tanganmu, kalau Lud benar-benar nggak bisa bikin kamu ceria seperti dulu."

Gendhis termangu. Ia tidak menjawab. Ia sungguh tak menyangka Albert serius.

***
Karena mereka sudah cukup lama berada di situ, akhirnya mereka memutuskan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Langit pun tak lagi terik menyengat.

Setelah membayar, yang pada akhirnya Albert memaksa untuk membayar 6 es krim yang dihabiskan Gendhis, mereka pun keluar beriringan.

"Be, makasih ya." Gendhis mengantar Albert sampai di depan mobilnya terparkir di pinggir jalan.

"Sama-sama. Aku rindu keceriaanmu, Ndhis. I love your smile."

Gendhis tersenyum tipis. Namun, sedetik kemudian tubuh tinggi Albert menunduk. Ia mengecup pipi berkulit eksotis Gendhis, hingga mata Gendhis membeliak.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro