39. Kabar dari Sahabat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makan siang Minggu terasa lezat. Menu lele penyet yang disajikan Gendhis dengan tumis kangkung, lalap serta sambal, cukup mengisi perut sepasang pengantin baru itu. Mereka melahap makan dengan bercerita banyak hal yang terlewatkan.

"Ndhis, besok aku janjian buat konsultasi. Kamu ikut ya?" kata Lud di akhir sesi makan siang mereka.

"Mas, semangat ya. Aku nggak tahu ternyata tekanan dari keluar karena tuntutan agar menikah cepat dan mempunyai anak membuat Mas stress berat. Besok lagi kalau ada apa-apa cerita ya?" Tangan Gendhis masih sibuk memotong pepaya sebagai pencuci mulut mereka.

"Iya. Dari dulu, sejak aku keluar dari seminari, aku udah tertekan. Tapi kenapa imbasnya malah nggak bisa bangun?" Lud mendesah kencang.

Gendhis terkikik. "Kupikir aku nggak cukup menggoda buat Mas Lud. Jadinya Mas nggak tergiur buat ena-ena."

"Sebelum nikah aku tergiur banget. Apalagi habis kamu sosor kaya soang. Rasanya kaya nggigit kue mochi, kenyel-kenyel gimana gitu."

Wajah Gendhis memerah. Ia malu mengingat betapa dulu ia begitu agresif. "Ih, apaan sih Mas?"

Bibir Gendhis mengerucut. Melihat ekspresi malu-malu Gendhis yang sebenarnya mau, membuat Lud mengulum senyum. Haruskah dia mencobanya. Dokter andrologi yang mengobatinya menyatakan bahwa disfungsi ereksi itu terjadi karena faktor psikis. Selain pengobatan, mau tidak mau Lud dirujuk ke psikiater agar bisa membantu memanajemen stressnya. Dari hasil konsultasi pertama, psikiater meminta Lud bisa melakukan penyegaran. Namun, kencan yang ia rencanakan dadakan itu rupanya berakhir ricuh karena Lud salah bicara.

Lud menatap Gendhis yang kini sedang sibuk mencuci piring. Gadis itu walau marah masih mau memasakkan makanan. Padahal selama ini Lud tidak pernah memperhatikan istrinya karena sibuk dengan skripsinya.

"Mas, aku mau tidur siang. Ngantuk banget karena semalam kurang tidur," kata Gendhis berjalan menuju ke kamar mereka.

Lud menyusul di belakang Gendhis. Begitu gadis itu berbaring, Lud ikut merebahkan tubuh di samping Gendhis dan memeluknya. "Ayo, tidur sama-sama. Kata dokter aku harus banyak istirahat biar belutnya bisa bangun."

Gendhis terkekeh. Bagi Gendhis, cukup dipeluk Lud, hatinya sudah nyaman. Feromon Lud mampu menjadi penenang batinnya.

***

Gendhis yang diskors tidak bisa mengikuti kuliah materi blok satu. Senin itu ia mencoba menemui alamat kedua yang ada di daerah Turi setelah mendapatkan alamat yang valid dari Kai. Lud berinisiatif mengantar karena tidak ada jadwal kuliah dan bimbingan. Suatu keuntungan bagi Gendhis karena ternyata Mbah Giyem sangat menyukai Lud. Apalagi ternyata Lud pintar membujuk Mbah Giyem untuk menjadi pasien para dosennya.

"Mbah nggak usah khawatir. Nanti Mbah bakal saya antar jemput ke rumah sakit.Tinggal duduk manis di mobil Mbah sampai di rumah sakit," kata Lud yang membuat Gendhis terenyuh. Ternyata Lud tidak tinggal diam saat tahu kesusahan Gendhis.

Mbah Giyem pun menyetujuinya dan saat itu juga wanita tua itu pergi bersama Lud dan Gendhis menuju ke kampus.

Sesampainya di kampus, Gendhis bergegas menuju ke bagian prostodonsia. Saat ia hendak memasuki ruang dosen, Lud menahan langkahnya.

"Ndhis, semangat ya!"

Senyum manis Lud bagaikan asupan semangat Gendhis. Gadis itu membalas dengan tarikan bibir lebar yang juga membuat lelaki itu berdebar.

"Tunggu kabar baikku ya."

Gendhis melangkah dengan mantap memasuki ruang dosen. Ia tahu ia salah, tetapi gadis itu ingin memperbaimu kesalahannya.

Beruntung saat itu Prof. Ridwan tidak mengajar. Lelaki berkepala botak itu sedang duduk di depan laptop menekuri pekerjaannya.

Mengetahui Gendhis datang, Prof. Ridwan mempersilakan mahasiswinya duduk. Selama dua menit tak ada suara, karena perhatian Prof. Ridwan masih terpaku pada penelitiannya.

Begitu Prof. Ridwan memastikan menginput data dengan benar, ia melepas kaca matanya dan menatap Gendhis yang duduk dengan gugup.

"Ada apa, Mbak?" tanya Prof. Ridwan.

"Ehm, gini, Prof. Saya tahu saya salah. Saya ... mencoba menebus kesalahan saya dan mencari kasus pengganti overdenture." Suara Gendhis terdengar bergetar.

Prof. Ridwan tersenyum. "Kebetulan, tadi pagi ada rapat dua bagian. Dokter Miriam mendengar apa yang terjadi langsung mengajukan keberatan karena merasa kamu tidak bersalah. Saya mendapat telepon dari Dokter Miriam langsung menyatakan bahwa kamu hanya mengantar saja dan dia lah yang memutuskan gigi mana yang dicabut. Jadi, berdasarkan rapat tadi hukumanmu di cabut."

Gendhis mengerjap. Ia tidak mempercayai pendengarannya. "Betul, Prof?"

Prof. Ridwan mengangguk. Wajah kalem dan kebapakan itu membuat Gendhis tenang. "Sebenarnya, kami akan panggil kamu besok pagi. Tapi berhubung kamu sudah menghadap besok kamu sudah bisa mulai perkuliahan."

Mata Gendhis berkaca-kaca penuh keharuan. Seolah ganjalan tergelontor begitu saja dari tenggorokannya. Air matanya kini leleh begitu saja membasahi pipi.

Prof. Ridwan terkekeh. Ia pun mempunyai seorang anak gadis yang berkuliah di Fakultas Ekonomi karena tidak mau mengikuti jejak sang ayah. Melihat semangat Gendhis dan itikad baiknya, keputusan untuk mencabut hukuman itu ternyata tidak buruk.

"Prof, pasien penggantinya bagaimana?" tanya Gendhis masih disela isakannya.

"Kamu hubungi Dokter Moses di RSGM ya? Kebetulan kami belum menemukan kasus yang tepat."

Gendhis akhirnya berdiri untuk menghadap Dokter Moses. Saat ia hendak berpamitan, Prof. Ridwan berpesan. "Mbak, kurangi cerobohnya ya? Belajar yang rajin dan bekerjalah dengan hati dan hati-hati."

Gendhis mengembangkan senyum lebar. "Ashiap, Prof."

Gendhis pun berlalu dengan gelengan kepala Profesor itu yang masih menatap punggung Gendhis menjauh. Begitu ia membuka pintu, Lud yang sedari tadi berjalan mondar mandir, menghentikan langkah.

"Gimana?" tanya Lud didera rasa penasaran.

"Hukumanku dicabut, Mas." Gendhis terpekik tertahan. Ia menghamburkan diri memeluk Lud.

Mendengar kabar baik itu Lud pun memeluk Gendhis dengan suka cita. Lelaki itu mengangkat tubuh Gendhis hingga kakinya tak berpijak pada lantai.

Saking bahagianya, Gendhis tertawa diselingi tangisan. Ia bersyukur bahwa hukumannya telah dicabut. Setidaknya ia mendapat pelajaran berharga atas apa yang terjadi beberapa hari ini.

***

Sesuai janji Gendhis, pada sore hari ia mengantar Lud ke psikiatri di sebuah rumah sakit swasta. Tak perlu menunggu lama, Lud dan Gendhis masuk ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu sudah menunggu seorang laki-laki muda yang gagah.

"Dok, ini istri saya," kata Lud pada dokter Bertrand.

"Wah, pasangan muda. Mari duduk." Dengan ramah mereka dipersilakan duduk.

Tanpa basa basi dokter Bertrand memberitahu hasil konsultasi sebelumnya. Gendhis mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia melirik ke arah Lud dan merasa bersalah karena berkutat dengan prasangka.

"Jadi, bukan Mas Lud kelainan ya, Mbak. Apa yang terjadi ini karena Mas Lud merasa tertekan. Dia selama ini memendam apa pun sendiri. Tuntutan yang bertubi sejak kecil membuat Mas Lud tidak bisa bebas melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan ia merasa melakukan hubungan intim yang seharusnya menyenangkan itu dianggap menjadi beban. Belum masalah target pribadi dan komunikasi di antara kalian. Akhirnya tekanan dan kecemasan itu imbasnya ke disfungsi ereksi." Dokter Bertrand menjelaskan panjang lebar. Gendhis hanya mengangguk-angguk mengerti.

Begitu mereka pulang, Gendhis hanya terdiam. Wajah gadis itu menghadap jendela. Lud mulai gelisah mendapati reaksi istri manisnya itu. "Ka ... mu kenapa, Ndhis?"

Pertanyaan Lud membuyarkan lamunannya. Saat menoleh, matanya berkaca-kaca. "Mas, maaf ... maaf. Aku nggak tahu Mas Lud benar-benar terbeban karena harus bisa memberikan penerus laki-laki keluarga Keandra."

Lud hanya tersenyum. Dia mengelus rambut Gendhis. "Kamu nggak ninggalin aku, setelah tahu keadaanku, Ndhis?"

Gendhis menggeleng berulang. "Aku bakal nunggu, Mas Lud. Aku yakin belutnya Mas akan bangun."

***

Sudah satu bulan, Gendhis susah menghubungi Albert. Seolah lelaki itu sengaja menjauhi Gendhis. Seperti siang ini pun ia tidak bisa menemukan Albert saat ia kuliah materi keesokan harinya. Ia ingin mengajak Albert mengerjakan tugas karena mendapat tugas berkelompok dengan sahabat baiknya itu.

Gendhis berusaha menghubungi Albert, tapi tetap tidak bisa. Padahal deadline tugas hanya satu minggu. Gendhis selalu diingatkan Lud yang disiplin agar tidak menunda pekerjaan.

Sampai malam, usaha Gendhis menghubungi sahabatnya tetap tidak berhasil. Di meja belajarnya di dalam kamar,

ia mulai menyicil mengerjakan tugas topik kedua semester enam pada mata kuliah Bedah Mulut.

Saat Gendhis sedang membaca diktat yang ia pinjam dari perpustakaan, gawai yang ia letakkan di sisi kanannya berbunyi nyaring. Ia mengira Albert membalas pesannya. Namun, ternyata pesan Clary yang datang.

[Clary]

Ndhisss

[Gendhis]

Napa

[Clary]

Aku udah ketemu papa kandungku

😱😱😭😭😭

[Gendhis]

Ha? Sapa Cla?

[Clary]

Namanya Nick Gilbert, orang Australi

[Gendhis]

Ya ampun

Ketemu di mana?

[Clary]

Datang ke rumah

Sama si ado ado kejepit pintu

[Gendhis]

Ado? Cowok Papua yang mau dijodohin sama kamu?

[Clary]

Ternyata dia bukan mau dijodohin. Dia kakakku. Anak Nick juga

[Gendhis]

Ooo

[Clary]

😱😱

[Gendhis]

Cup cup peyuuuukkk

[Clary]

Trus ternyata temen kamu tuh juga anak Nick

[Gendhis]

Temen yang mana?

[Clary]

Yang nganter kamu dulu. Abe

[Gendhis]

Haaaaaaaaa

😱😱😱😱😱😱

Banyak bener anak Nick

[Clary]

😭😭😭😭😭

Aku mau cerita lagi

[Gendhis]

Ada lagi anak Nick? Bukan Lud kan?

[Clary]

Bukaaan

Ini soal Iyud

[Gendhis]

Kenapa dia? Mo nikah?

[Clary]

Dia kena ALS. Penyakit saraf. Lama-lama dia akan lumpuh total

[Gendhis]

😱😱😱😱😱😱

😱😱😱😱😱😱

[Clary]

😭😭😭😭😭

[Gendhis]

Kasihan banget Iyud

Aku nangis, Cla

[Clary]

Tapi aku lega. Ternyata dia nggak selingkuh. Yang dulu itu cuma sandiwara.

[Gendhis]

Haaaaaaaa

Mata Gendhis mengerjap. Ada dua informasi yang ia tangkap. Albert dan Iyud. Mendengar informasi terakhir hati Gendhis ikut merintih. Iyud, mantan Clary sakit lumpuh. Melihat gelagat Clary yang selalu galau, pasti ia akan kembali untuk laki-laki itu.

Di sisi lain, otaknya juga langsung menghubungkan perubahan sikap Albert yang menjadi lebih pendiam selama ini, mungkin karena kenyataan yang mengejutkan itu.

Bergegas Gendhis bangkit dari kursinya. Ia keluar kamar mendapati Lud yang sedang bermain PS sendiri di ruang tengah untuk menceritakan isi pesan Clary yang mengejutkannya penuh dengan emosi yang bergejolak tentang kabar Iyud yang sakit.

Lud hanya memandang diam. Tak berekspresi.

"Jadi, ternyata Abe itu ...."

Mata Gendhis membeliak. Ucapannya terputus saat bibir Lud menyapu kelopak bibirnya yang terbuka. Kecupan lembut yang singkat itu meninggalkan sensasi yang membuat kuduk merinding.

"Jangan sebut Abe," bisik Lud dengan mata menyipit.

Bibir Gendhis mengerucut menyembunyikan senyum. Ia tak menyangka Lud ternyata sangat cemburu dengan Albert.

"Jadi, Al ...."

Kembali kecupan mendarat. Namun, justru membuat Gendhis kesal.

"Mas, aku mau cerita! Ini penting!"

"Tapi aku nggak suka kamu sebut playboy cicak itu," balas Lud sama jengkelnya.

Gendhis mendesah. "Jadi, 'Sahabat yang namanya nggak boleh disebut' itu saudara sebapak sama Clary."

Lud mengernyit. Ia tahu sekilas kisah Clary. Bibir Gendhis yang cerewet itu memberitahu kalau Clary bukan anak papanya sehingga malam itu ia harus menginap di Paingan. Namun, ia tak bereaksi apapun, memilih melanjutkan bermain play station.

"Ih, Mas kok reaksinya gitu?" Gendhis padahal membayangkan wajah terkejut Lud.

"Wow, dunia sempit sekali." Hanya itu jawaban Lud yang sekali lagi membuat Gendhis semakin memberengut.

"O alah, Ndhis. Ditanggapi salah, nggak ditanggapi salah. Nasibmu Lud!" Lud hanya menggelengkan kepala kemudian asyik bermain PS lagi. Padahal Gendhis berharap Lud menyudahi bermain PS, dan menanyai kenapa wajahnya kusut.

***

Hari berikutnya Albert membolos. Karena cemas, akhirnya Gendhis berinisiatif ke kos Albert. Ternyata benar dugaannya Albert ada di situ. Saat membuka pintu ia mendapati wajah amburadul Albert. Bahkan bulu halusnya pun tumbuh di dagu. Matanya pun merah dan bengkak.

"Abe, kamu sakit?" Alis Gendhis mengernyit.

Tak menjawab pertanyaan Gendhis, Abe menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya.

Gendhis duduk di kursi yang ada di kamar itu, memandang sahabatnya yang kusut. Ia masih membisu, setia menunggu Albert membuka mulut.

"Ndhis, papa kandungku datang."

Kalimat itu yang meluncur dari bibir Albert, tapi Gendhis masih diam walau ia tahu

"Aku nggak ngerti apa aku harus sedih apa seneng. Saat lihat laki-laki tua itu harusnya aku marah karena sudah ninggalin mama membesarkan aku sendirian. Tapi ternyata dia udah terkena tulah. Badannya kurus kering, dengan sorot penyesalan karena telah menyakiti mama yang menyayanginya sepenuh hati." Albert meraih botol minum. Diteguknya air di dalam botol itu hingga tersisa separuh. "Selain itu, aku juga punya saudara. Dua orang kakak. Ado dan Clarisa Wanda."

💕Dee_ane💕💕

Mampir yuk di kisal Clary furadantin

Oya, aku ada cerita baru
A Whole New World

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro