Lima belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu setelahnya, Lily tak lagi mengunjungi Raffa. Tentu saja karena Riffa yang setia menjaga Raffa.

Raffa mengerjapkan matanya. Cowok itu menatap langit-langit yang sama sekali tak ia kenali.

"Ashh—" Raffa meringis pelan kala merasakan sakit dibagian kepalanya.

Ia memejamkan matanya berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. Namun, ia sama sekali tak mengingat apapun. Yang ia ingat, dirinya membawa mobil, dan sekarang tiba-tiba berada di sini.

Raffa akan turun dari brankar. Namun, jantungnya berdegup sangat kencang kala kakinya sama sekali tak bisa ia gerakan.

Kaku.

"K-Kaki gue kenapa?" Raffa berusaha menggerakannya. Namun, nihil, usahanya tak membuahkan hasil sama sekali.

Raffa menyandarkan tubuhnya pada brankar dengan lemah. Ia mengigit bibir bawahnya kuat dan menatap ke arah langit-langit kamar.

"Arghh!" Raffa memukul kakinya dengan kencang bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Dia tidak suka ini. Mengapa kakinya tidak dapat bergerak sedikit saja?

Cklek

"Bang? Bang, apaan, sih?" Riffa berlari ke arah Raffa dan menahan tangan cowok itu agar berhenti memukul kakinya.

Raffa berontak. Tapi akhirnya berhenti dan melemah ketika Riffa memeluknya dan membiarkan Abangnya itu menangis di sana.

"Kaki gue kenapa, Rif? Kaki gue kenapa?" lirih Raffa.

"Lo tenang, ya? Gue panggil Dokter."

Setelah itu, Riffa membantu Raffa untuk duduk bersandar. Tatapan Raffa berubah menjadi kosong.

Setelahnya, Riffa memilih memencet tombol dokter dan menunggu. Ia menatap iba ke arah Raffa. Biasanya, cowok itu akan terlihat sangat ceria, tapi sekarang tidak.

"Bang, gue kabarin Mama sama Papa dulu, ya?" pamit Riffa.

Raffa tak menjawab. Saat Riffa berjalan keluar, kini gantian Dokter yang masuk ke dalam ruang inap Raffa.

"Saya periksa dulu ya."

Raffa menatap ke arah Dokter tanpa ekspresi.

"Apa ada rasa pusing? Atau—"

"Kaki gak bisa gerak," jawab Raffa.

Dokter tersenyum. "Untuk sementara kamu bisa pakai kursi roda dulu, ya. Setelah keadaan kamu pulih, kamu bisa mulai belajar jalan pakai tongkat. Yang penting kamu semangat buat sembuh, ya?"

Raffa tak menjawab. Setelah itu, Raffa memilih berbaring dan tidur membelakangi Dokter.

Dokter yang memeriksa Raffa pun paham, Raffa pasti terpukul.

"Nanti suster ke sini untuk bawa sarapan. Kalau gitu, saya permisi."

Riffa kembali masuk. Gadis itu duduk di samping brankar Raffa. "Bang …."

"Pergi, Rif."

"Bang—"

"Gue mau sendiri."

Riffa mengangguk pelan. Gadis itu akhirnya memilih pergi dan menunggu di luar.

Raffa memejamkan matanya kuat. "Lo di mana, Ly? Gue butuh lo," lirih Raffa.

***

Lily duduk di depan rumahnya bersama Azriel. Satu minggu sudah ia menjalin hubungan dengan cowok itu. Tapi, entah kenapa Lily tak pernah merasakan nyaman sama sekali.

Pikirannya selalu tertuju pada Raffa.

Tangan Azriel terulur menggenggam tangan Lily. Cowok itu menatapnya heran, "Kamu kenapa?"

"Eh?" Lily buru-buru menarik tangannya dari Azriel.

Azriel tentu saja heran. Padahal, sebelum mereka jadian, Lily tak pernah masalah jika Azriel memegangnya seperti tadi.

"Kamu lagi banyak masalah ya, Ly?" tanya Azriel.

Lily diam, gadis itu tersenyum tipis menanggapi. Bersama Azriel, Lily merasa canggung. Beda sekali ketika ia bersama Raffa, Lily bebas menunjukan dirinya sendiri tanpa takut cowok itu ilfeel padanya.

"Kamu ganti baju, gih. Kita jalan-jalan."

Lily mengangguk. Sepertinya, ia butuh hiburan sekarang, jalan dengan Azriel tidak ada salahnya, kan?

"Aku ganti baju dulu." Lily beranjak, gadis itu memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Azriel.

Bersamaan dengan itu, ponsel Lily yang tersimpan di atas meja berdering. Azriel meliriknya. Di sana, terlihat jelas nama Bintang.

Panggilan pertama diabaikan, panggilan ke dua masih Azriel abaikan. Sampai akhirnya, pesan masuk dari Bintang, membuat Azriel penasaran.

Cowok itu mengambil ponsel Lily dan membacanya.

Bintang : Ly, Raffa sadar.

Kemudian, Azriel menscroll chating Bintang bersama Lily. Selama seminggu ini, Lily ternyata mencari tahu keadaan Raffa lewat Bintang.

Jadi, gadis itu belum bisa move on dari mantan kekasihnya itu? Lantas, untuk apa Azriel ada?

Rasa egois Azriel muncul begitu saja. Cowok itu dengan cepat menghapus history panggilan dari Bintang. Dan menghapus chating terkahir dari cowok itu.

Kemudian, ia menyimpan ponsel Lily di meja.

***

Raffa masih tak mau diganggu. Bahkan, cowok itu marah ketika orang lain masuk ke dalam ruangannya.

Dena, Fatur, Riffa, Bintang dan juga Boby masih setia menunggu di luar ruangan.

Tak lama, Deva datang. Gadis itu masih mengenakan pakaian kantor, tadi, Fatur yang mengabari Deva dan memintanya kemari.

Bagaimanapun juga, Deva yang sudah menolong Raffa.

"Dev, saya minta tolong, tolong bujuk Raffa makan," ucap Fatur.

Deva kaget. Mengapa harus dirinya?

"Tapi—"

"Kita semua udah coba, tapi Raffa gak mau," sahut Boby.

Deva akhirnya mengangguk. Gadis itu memilih masuk dan berjalan dengan pelan ke arah Raffa yang masih berbaring dengan posisi menyamping.

"Pak …."

"Gue gagal, Dev. Gue gagal lamar Lily," lirih Raffa.

Deva menarik kursi dan memilih duduk di samping brankar cowok itu. "Pak, makan, ya?"

"Gue sehat aja, Lily gak mau sama gue. Apalagi gue lumpuh, Dev."

Deva kaget ketika Raffa mengatakan dirinya lumpuh. Namun, sebisa mungkin ia mengatur ekspresinya. "Pak, orang yang sayang sama Bapak, gak akan mandang kondisi Bapak kayak gimana."

"Sekarang Bapak makan ya? Jangan down cuman karena satu orang. Masih banyak orang yang Sayang sama Bapak. Mereka ada di luar sekarang, apa Bapak gak kasihan lihat mereka nunggu?"

Raffa membalikan posisi tidurnya menjadi menghadap ke arah Deva. Cowok akhirnya mengangguk.

Deva mengambil sarapan milik Raffa, kemudian berinisiatif menyuapi cowok itu.

"Muka gue jelek banget ya, Dev?"

Luka di sekitar wajah Raffa memang begitu banyak. Mungkin karena pecahan kaca mobil saat Raffa kecelakan waktu itu.

"Enggak, Pak."

"Lo ngomong gitu pasti karena takut gue marahin. Muka gue perih semua, Dev, gue rasa banyak lukanya. Gak berani ngaca, karena gue yakin muka gue mirip zombie sekarang," ucap Raffa.

Deva tersenyum. Syukurlah, Raffa mau berbicara sedikit panjang sekarang.

Beberapa menit kemudian, Raffa selesai menghabiskan sarapannya.

"Lo tahu gak, Dev? Gue suka Lily dari kecil. Terus, waktu SMA kita jadian di tukang cilok."

"Tapi gak lama. Selama kita jadian, Lily sering nangis gara-gara gue, beda bangetlah waktu masih sahabatan. Kita juga putus karena salah paham, gue yang putusin, karena gue gak mau bikin dia nangis terus."

Raffa tersenyum tipis mengingat masa SMAnya dengan Lily. Cowok itu menunduk, "Terus gue janji sama Lily, gue bakal perjuangin dia, Dev. Tapi kayaknya gue ingkar, gue gak bisa tepatin janji itu."

"Dia bukan punya gue lagi."

Raffa memejamkan matanya. Harapannya yang ingin hidup bersama Lily pupus sudah.

"Kalaupun dia gak sama orang lain, gue gak akan biarin Lily hidup sama gue. Gue gak mau dia menderita karena punya suami lumpuh kayak gue, gue gak mau repotin dia."

Biarpun Raffa orangnya aneh, tidak bisa diam, tukang ngegas, dan suka bicara seenaknya. Tapi Deva tidak menyangka jika rasa sayang Raffa pada Lily begitu besar.

Dibalik sikapnya itu, Raffa orangnya sangat penyayang. Memang, kita tak bisa menilai orang berdasarkan luarnya saja.

"Bapak masih bisa sembuh. Kalau Bapak sembuh, Bapak bisa perjuangin Lily dan tepatin janji Bapak."

"Lily udah punya orang, Dev."

Deva memilih diam. Baru kali ini Deva melihat Raffa serapuh ini. Biasanya, Raffa yang ia temui adalah Raffa yang menyebalkan.

"Dev, waktu gue belum sadar, apa Lily ke sini?" tanya Raffa.

Deva diam. Gadis itu menggeleng. "Saya gak tahu, Pak. Bapak kan tahu sendiri saya belum pernah ketemu Lily. Mungkin, dia ada pas saya gak di sini, Pak."

"Mungkin, ya, Dev. Apa lo gak bisa bikin gue seneng dikit aja? Bohong juga gak papa, deh, hibur gue bilang kalau Lily ke sini."

"Dia nengok gue, dia nunggu gue sadar. Tapi kayaknya, gue ngayal banget," sambung Raffa tertawa miris.

Deva menghela napasnya pelan. Gadis itu beranjak, "Pak, di depan ada temen Bapak. Ada Riffa, sama ada Bu Dena pak Fatur juga. Bapak gak mau ketemu mereka?" tanya Deva.

"Boleh."

Deva akhirnya memilih keluar dan memanggil mereka untuk masuk. Semua bernapas lega, syukurlah Raffa sudah mau bertemu dengan mereka.

Coba saja tadi tidak ada Deva, mungkin, Raffa akan diam sendirian entah sampai kapan.

"Anak Gengsi, akhirnya kamu bolehin kita masuk. Kamu tahu? Sampai pegel-pegel kaki Papa," ucap Fatur mengomel.

Raffa mendengkus kesal. Cowok itu melipat kedua tangannya didepan dada. "Buat Bapak Fatur Papa Geer, dilarang masuk. Sana keluar!"

"Jangan kurang ajar, Papa yang biayai rumah sakit kamu. Kamu usir Papa, Papa tendang kamu ke jalan," jawab Fatur tak mau kalah.

"Lagian bisa-bisanya bawa mobil sampai ketabrak truk. Semut aja mau keinjek orang masih bisa ngelak, masa kamu enggak. Kemana gengsi kamu itu? Ilang kecampur sama gorengan, hah?" tanya Fatur kesal.

"Gue megang Raffa, Tang. Lo pegang Om Fatur, yang kalah bayar seratus juta!" pekik Boby.

Raffa dan Fatur sontak menatap tajam ke arah Boby. Boby tercengir, cowok itu menggaruk tengkuknya. "Bercanda Papa Geer, Anak Gengsi."

Raffa menatap ke arah Bintang, Boby, Orang tuanya, Riffa, dan juga Deva secara bergantian.

Ia masih berharap Lily ada di antara mereka. Namun sayangnya, tak ada sama sekali.

"Lo nyari orang yang udah selamatin lo dari maut? Dia di samping gue," ucap Riffa yang menyadari mata Raffa yang tengah mencari sesuatu.

Raffa sontak menatap ke arah Deva. Alisnya mengernyit. "Maksudnya?"

"Deva yang udah bawa kamu ke sini. Baju dia sampai kena darah kamu, Raf," sahut Dena.

Raffa tersenyum tipis ke arah Deva. "Makasih, Dev."

"Sama-sama."

Bintang menatap ke arah ponselnya. Pesannya pada Lily sudah dibaca sedaritadi. Namun, Lily tak kunjung membalasnya sama sekali.

Apa yang terjadi dengan gadis itu?

TBC

Gimana kesan setelah baca part ini?

Semoga suka ya! Double up nih, gengsi dong kalau gak suka T_T

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa

Lily

Azriel

Bintang

Deva

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro