Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa, Raja dibeliin ini sama Om Boby. Katanya biar awet sampai satu bulan."

Raffa yang awalnya tengah mengobrol dengan Lily dan juga Bintang, langsung mengalihkan pandangannya pada Raja yang sudah memperlihatkan sesuatu di tangannya.

Raffa melotot, cowok itu sontak menatap tajam ke arah Boby. "Bob! Yang bener aja, lo!"

"Gue beneran loh. Ini tahan selama satu bulan, Raf."

"Ya enggak itu juga, Maemunah! Gengsi dong, masa anak gue lo beliin kartu perdana!" Raffa mengacak rambutnya kesal.

Boby tercengir lebar. Tangannya menggaruk tengkuknya sendiri, "Ya maaf, Raf. Konter depan lagi ada diskon."

"Diskon sih diskon, lo kira anak gue bisa makan kartu, hah?" Raffa mengambil alih kartu perdana yang tengah dipegang oleh Raja.

Raja memanyunkan bibirnya sebal. Pria kecil itu langsung berjalan mendekat ke arah Bintang dan merentangkan tangannya. "Om, gendong."

"Sini sama gue aja, Ja!" Boby merentangkan tangannya.

"Enggak, mau! Jajanan sebulan Raja dirampas sama Papa gara-gara Om!"

Boby berdecak kesal. Ya habis, dia bingung harus membelikan Raja apa. Ditawari ini, tidak mau. Ditawari itu tidak mau. Pas ditanya Mau apa, katanya mau ikan buntal yang ada di spongebob.

Kurang menyebalkan apa lagi keturunannya Raffa?

"Jajan sama Tante aja, yuk?" Lily menawarkan diri pada Raja.

Raja melirik ke arah Raffa sebentar. "Pa, Raja pergi sama cewek enggak apa-apa?"

Raffa mengedikan bahunya tak acuh. Dia masih kesal dengan kelakuan Boby.

"Boleh dong, kan sama Tante." Lily memilih menjawab.

Raja mengangguk dan merentangkan tangannya ke arah Lily. "Gendong."

Lily beranjak, gadis itu akhirnya memilih menggendong Raja. Raja melingkarkan lengan mungilnya pada leher Lily.

Tanpa diduga, pria kecil itu tersenyum senang. "Papa …."

"Apaan, sih?! Sana beli kartu—"

"Aws!" Raffa meringis pelan kala sendal yang tengah Lily gunakan, kini melayang tepat pada kepala Raffa.

Raffa memicingkan matanya kesal. "Ly, apaan, sih?"

"Lo yang apaan? Raja masih kecil, jangan keseringan lo marahin. Dia kena mental, lo juga yang uring-uringan nanti!"

Bintang dan Boby diam menyaksikan. Keduanya diam-diam tertawa melihat Raffa yang dimarahi begitu.

Raffa berdecak kesal. "Yaudah iya, maaf!"

"Minta maaf sama anak lo, lah! Ngapain lo minta maaf sama gue?!"

Raffa melirik ke arah Raja yang tengah berada di gendongan Lily. Cowok itu beranjak dan berjalan ke arah mereka.

Kemudian, dia menunduk. "Raja, Papa minta maaf ya, Nak. Kalau gak dimaafin, jatah jajan 2 bulan kamu gak akan Papa kasih."

Raja mengerjapkan matanya. Lalu, tanpa di duga, sebuah pukulan mendarat tepat di pipinya.

Raffa melotot. "Kenapa malah ditonjok, sih?"

"Papa nyebelin!"

"Ayo, Tante, kita pergi. Nanti Papa gak akan Raja kasih pulang, rumah juga mau Raja kunci biar Papa gak bisa masuk."

Lily tertawa, gadis itu mencubit gemas pipi milik Raja. "Gak boleh gitu, Sayang. Nanti kamu gak dikasih makan loh sama Papa, emang Raja mau kelaparan?"

Raja menggeleng lucu. Pria kecil itu beralih menatap Raffa. "Raja Minta maaf, Papa," cicitnya.

"Dimaafkan! Ayo, Ly! Kita ke taman ngurus anak kit—anak gue." Raffa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ia memilih meraih kunci motornya di saku celana, kemudian naik ke atas motornya. "Dadah Bintang, dadah Boby!" Raffa melambaikan tangannya seraya tertawa.

"Najis gue!" Boby bergidik ngeri.

Lily diam beberapa saat, gadis itu akhirnya memilih meraih tas miliknya dan memakai sandalnya kembali. Setelahnya, ia duduk di jok belakang dengan Raja yang berada di antara Raffa dan juga Lily.

"Siap? Cus, ngeeeng!" Raffa melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

Ingin rasanya Lily bilang pada Raffa, bahwa dirinya masih sangat kecewa dengan Raffa.

Namun, Lily juga tidak bisa jika terus-terusan bertahan pada rasa kecewanya itu. Yang ada, dirinya dan Raffa malah akan semakin jauh seperti dulu, nanti.

Dan juga, dulu Raffa tidak pernah meminta Lily menunggunya. Lily yang terlalu percaya diri untuk menunggu Raffa.

Lily juga yang harus menelan rasa kecewanya sendiri.

Andai saja dulu Lily tidak melakukan kesalahan, mungkin, Raffa tidak akan kembali ke Amerika. Mungkin juga, Raja tidak di sini.

Selang beberapa menit, Raffa berhasil memarkirkan motornya tepat di kawasan taman yang tengah ramai.

Lily langsung turun bersama Reja. Pria kecil itu berdiri dengan tangan yang dituntun oleh tangan Lily. "Tante, mau itu!" Raja menunjuk ke arah tukang kerak telor.

"Ayo, Tante! Raja mau itu!" Raja terus menerus menghentakkan kakinya meminta antar pada Lily.

Raffa turun dari motornya. Cowok itu meraih sebelah tangan Raja, kemudian membawa Lily dan Raja untuk berjalan ke arah penjual kerak telor.

"Mang, Mang, Raja mau satu, ya!" Raja langsung memesan saat sudah sampai di sana.

"Busyet, baru nyampe udah pesen aja lo, Tong!" Raffa mengacak puncak kepala putranya yang saat ini sudah terlepas dan berdiri di depan gerobak.

Raffa melirik ke arah Lily. "Mau cilok, gak?"

"Mau beliin?" tanya Lily.

Raffa mengeluarkan dompetnya. Cowok itu memberinya uang sepuluh ribu. "Nih, irit-irit, ya!"

"Kirain ngeluarin dompet mau ngasih yang merah."

"Jadi Isteri gue dulu, nanti gue kasih yang merah." Raffa mendaratkan tangannya di puncak kepala Lily. Kemudian, tangannya bergerak mengacak puncak kepala gadis itu. "Sana jajan."

Lily menganggukkan kepalanya. Setelahnya, gadis itu memilih berjalan ke arah pedagang cilok.

Raffa berjongkok, cowok itu memberikan uang pada Raja. Setelah itu, ia mengacak puncak kepalanya. "Papa nunggu di sana, ya? Nanti kalau udah langsung samperin Papa. Jangan kelayapan."

"Masa cuman segini? Raja mau itu juga!" Raja menunjuk ke arah penjual batagor.

Namun, tatapan Raffa bukan terfokus ke arah penjual batagor, ia malah terfokus pada sosok mantan manusia yang tengah tercengir lebar ke arahnya.

"Kenapa harus ketemu di sini, sih? Padahal gue udah tenang banget gak ketemu mereka," gumam Raffa.

"Kenapa, Pa?" tanya Raja.

"Jangan ke sana, Nak! Nanti kamu ketemu sama mantan manusia. Yang satu suka lompat-lompat mana pake baju itu-itu aja, diiket pula ujung sama ujungnya kayak sosis yang masih di segel."

"Terus, yang satu lagi badannya kecil kayak kamu. Ke mana-mana pake popok padahal gak pernah pipis di celana, mana giginya ilang semua lagi," sambung Raffa.

Raja mengerutkan alisnya. "Papa ngomong apa?"

"Papa bilang—"

"Om Acil, yuhuu! Si Om udah buntutan, nih!"

Teriakan yang hanya bisa didengar oleh Raffa itu, sontak membuat Raffa memejamkan matanya kuat. "Gue gak denger!" ucap Raffa pelan.

"Om Acil, sombong amat sih Om-om, teh!"

Raffa menolehkan kepalanya pelan. Ia tersenyum ke arah Tuyul ompong yang saat ini sudah berdiri di sampingnya. "Pulang ya, Pong. Ngobrol sama guenya nanti di rumah aja," bisik Raffa.

***

"Raf, mampir dulu, deh. Kasihan Raja, lo juga gak mungkin, kan, bawa motor sambil gendong Raja."

Selepas pulang dari taman, Raja ketiduran di jalan. Saat ini, Raja masih setia berada di gendongan Lily. Sedangkan Raffa, masih duduk di jok motornya.

"Di Apart lo ada siapa aja, Ly? Gue gak enak lho kalau cuman lo doang."

Lily menghela napasnya. "Terus lo mau bawa Raja pulang, gitu? Lo gak kasihan anak lo lagi nyenyak gini?"

Raffa berdecak pelan. Cowok itu beranjak, kemudian ia mengambil alih Raja dan menggendong puteranya.

"Ayo," ajak Lily.

Raffa akhirnya memilih mengikuti Lily menuju unit gadis itu. Setelah menaiki lift dan sampai di lantai 8, Lily mempersilahkan Raffa untuk masuk ke dalam apartemennya.

"Raja tidurin di kamar gue aja, Raf."

"Lo mau minum apa?" tanya Lily.

Raffa diam beberapa saat. Cowok itu menatap Lily lama. Setelahnya, ia berdehem pelan. "Apa aja."

"Eh, btw, kamar lo yang mana?"

Lily menunjukan pintu kamarnya. Setelah itu, Lily memilih masuk ke dapur dan Raffa menidurkan Raja di kamar Lily.

Kemudian, Raffa kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa sembari menunggu Lily kembali.

Tak lama setelahnya, Lily datang seraya membawa dua teh hangat untuknya dan juga Raffa.

"Diminum, Raf," ujar Lily seraya duduk di samping mantan kekasihnya itu.

"Makasih. Gue minum, ya." Raffa meraih gelas teh itu dan meneguk isinya pelan.

Ia meletakkan gelasnya kembali. Kemudian, ia menatap Lily. "Empat tahun ya, Ly, kita gak ketemu."

"Ehm, iya."

Raffa tertawa pelan. Cowok itu menyandarkan punggungnya kemudian mendongak menatap ke atas. "Harusnya, kalau gue gak ke Amerika, kita udah nikah ya, Ly? Udah punya anak, bahagia banget kayaknya."

"Harusnya, setelah pengobatan, gue langsung pulang ke Indonesia."

Lily diam. Gadis itu meremas gelas yang tengah ia pegang seraya menunduk menatap kakinya. "Raja … anak lo, Raf? Lo udah nikah? Gue masih belum ngerti."

"Gue gak nikah, Ly. Dan Raja anak gue. Lo pasti ngerti pergaulan di sana kayak gimana."

Lily memejamkan matanya menahan rasa sakit yang tiba-tiba saja hinggap di dadanya. "Lo gak mungkin kayak gitu, Raf. G-gue tahu, lo orang baik-baik."

"Tapi kenyataanya gue gak sebaik itu, Ly. Kalau gue orang baik, Gue gak akan nyakitin lo kayak gini, kan?"

"Gue gak pantas buat lo, Ly. Jujur, perasaan gue ke lo gak pernah hilang, tapi gue juga sadar diri, Ly. Kalau gue maksa buat bareng sama lo, gimana kata orang? Gimana kata orang tua lo kalau tahu, calon suami anaknya udah punya anak dari orang lain?"

Tanpa terasa, air mata Lily menetes ke tangannya sendiri. Namun, Raffa tidak menyadari itu karena Lily masih menunduk.

"Gue minta maaf ya, Ly. Harusnya lo jangan nunggu gue. Lo juga berhak bahagia sama siapapun yang bisa bikin lo bahagia."

Lily mengusap air matanya pelan. Gadis itu menatap ke arah Raffa. "Dulu, gue udah sering banget nyakitin lo, Raf. Tapi lo selalu maafin gue, lo juga bahkan gak pernah benci sama gue sedikitpun. Lo terus-terusan nerima gue, dan gue terus-terusan ngulang kesalahan gue."

Raffa menatap ke arah Lily. Ia terpaku menatap wajah gadis itu yang sudah basah akibat sisa-sisa air mata.

Apa Lily menangis? Pikirnya.

"Gue gak perduli apa kata orang, Raf. Orang tua gue, gue yakin mereka gak akan pernah masalahin soal itu."

"Lo masih sayang gue kan, Raf?" Bibir Lily bergetar menahan tangis saat mengatakan itu.

Raffa tersenyum. Cowok itu menarik Lily ke dekapannya. Lily sontak melingkarkan tangannya pada tubuh Raffa dan menangis di sana.

Raffa mengecup puncak kepala Lily dan menaruh pipinya di puncak kepala gadis itu. "Selalu, Ly," bisik Raffa.

"Maaf, Ly. Maafin gue." Raffa semakin mengeratkan pelukannya pada Lily.

"Maafin gue udah bikin lo kecewa sebesar ini."

Lily melepas pelukannya. Ia tersenyum seraya mengusap air matanya. "Raffa, gue ngerti. Lo bukan manusia sempurna, Raf. Begitu juga gue, kita manusia biasa. Ada masanya kita lakuin kesalahan, kan?"

"Ly—"

"Gue udah nunggu lo bertahun-tahun loh, Raf. Gue gak mau perjuangan gue sia-sia cuman karena kehadiran Raja."

Raffa mengusap pipi Lily pelan. Kemudian, ia mendaratkan bibirnya pada kening gadis itu. "Makasih, Ly."

TBC

Hallo! Gimana-gimana?

Maafin ya kalau alurnya bikin kalian kecewa, dan aku juga makasih banget buat semuanya yang udah stay dan terus kasih aku semangat entah lewat kolom komentar atau DM. Pokoknya kalian teh luar biasa banget huaa

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Raffa

Lily

Raja

Boby

Bintang

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro