Bab 3. Party Planner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KATA-KATA Kishi itu membuat wajah Tara seolah terbakar. Dia malu sekali tapi tak kuasa melakukan apa pun. Apalagi saat melihat pria yang bernama Maxwell itu malah mengerutkan alis sambil menatapnya. Mana mungkin Tara bisa menebak jika obrolan santai dengan Kishi yang memergokinya melambai ke arah pria asing itu, bisa berakibat seperti sekarang?

"Ra, duduk dulu," Kishi menunjuk ke arah kursi kosong di sebelah kirinya. "Kamu udah makan? Yuk, bareng aku dan Max."

"Aku..."

Ucapan Tara tidak pernah tuntas karena tangan kanannya sudah ditarik Kishi. Gadis itu terpaksa duduk. Di depannya, Maxwell masih menatap Tara dan Kishi berganti-ganti dengan ekspresi datar.

"Max, kenalan dulu. Jangan sok misterius gitu," gurau Kishi. Maxwell kini menurut, mengulurkan tangan kanan seraya menyebutkan nama. Tara merespons dengan sopan, mencoba mengabaikan rasa jengah yang masih membuat kulitnya seolah hendak terkelupas.

"Kamu tadi mau bahas soal pesta piamanya, kan?" Kishi mengingatkan. "Kita ngobrolnya sekalian makan malam bareng. Ketimbang kamu makan sendirian, nggak ada enaknya, kan?"

Tara tersenyum kaku. Andai dia punya waktu untuk mempersiapkan mental, hasilnya takkan secanggung ini. Setidaknya, selama ini Tara menilai dirinya cukup luwes bergaul. Mudah beradaptasi juga. Dia tak mudah merasa kikuk ketika berhadapan dengan seseorang yang baru dikenal.

Namun, apa yang dilakukan Kishi saat ini seolah menodongnya dengan senjata saat Tara mengira dirinya hanya akan diajak bermain. Karena itu, Tara butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri. Otaknya butuh asupan oksigen supaya bisa bekerja maksimal. Dia sengaja tidak menarik dan mengembuskan dengan kentara, karena cemas dikira mengidap asma.

"Aku memang belum makan, Mbak. Tapi nggak enak kalau harus mengganggu acara Mbak dan Mas ini."

Kishi tertawa terbahak-bahak. "Tolong ya Ra, jangan panggil dia 'Mas'. Sama sekali nggak cocok. 'Om' jauh lebih pas karena kayaknya kalian beda generasi."

"Panggil Max aja," imbuh sang kakak dengan nada datar.

Tara akhirnya menatap lurus ke depan, "Oke, Max," balasnya tenang. Gadis itu sudah menemukan kepercayaan dirinya yang sempat berkeping-keping sesaat tadi. Di depannya, Maxwell meraih buku menu dan mulai memeriksanya.

"Max ini baru datang kemarin, Ra. Setahun terakhir dia lebih banyak di Eropa untuk urusan kerjaan. Dia ini arkeolog."

Tara gagal menyembunyikan ketertarikan karena mendengar profesi Maxwell. "Itu kerjaan yang keren banget. Aku belum pernah kenal sama satu arkeolog pun di dunia nyata," cerocosnya.

Sesaat kemudian Tara mengulum senyum karena dia tidak bisa menahan diri di depan orang asing. Ini selalu menjadi salah satu kelemahannya, begitulah menurut Helga dan May. Di mata ibu dan kakaknya, Tara semestinya lebih mampu mengendalikan lidahya agar tidak begitu saja membahas opininya dengan gamblang.

"Berarti ini kesempatan langka, kan?" balas Kishi. "Jadi, Tara, kamu mau pesan apa? Setelah makan, baru kita bahas soal pesta piamanya. Gimana?"

Tara tahu dia bisa menolak keinginan Kishi, begitulah menurut versi kepatutan. Apalagi tidak ada hal krusial yang bisa mengganggu acara besok. Tara menghubungi Kishi hanya untuk memastikan beberapa hal. Dekorasi dan susunan acara, contohnya. Namun, jika tadinya Tara ingin buru-buru meninggalkan meja yang ditempati kakak berdik itu, kini sebaliknya.

Rasa penasaran yang membuatnya tetap bertahan duduk dan ikut memesan makanan. Maxwell, ternyata memang semenawan dalam bayangan Tara tadi siang. Bahkan bisa jadi lebih. Lelaki itu memang bersikap sopan. Akan tetapi, Tara curiga itu hanya untuk menutupi ketidakramahannya.

Gadis itu bukannya tak menyadari jika Maxwell tidak menyukai kehadirannya. Namun lelaki itu menahan diri agar tidak menunjukkan perasaannya blak-blakan. Pasti karena Kishi. Tara sendiri tidak tersinggung atau merasa ditolak. Jika dia berada di posisi Maxwell, mungkin akan merasakan hal yang sama. Bersiap makan malam, tahu-tahu ada seorang gadis yang menghampiri dan diperkenalkan sebagai orang yang menilai dirimu seksi.

Selama mereka makan, Kishi begitu aktif bercerita. Tara yakin, perempuan itu sangat tahu bagaimana cara untuk menghidupkan suasana. Sesekali dia menyinggung tentang pekerjaan Maxwell. Meski banyak menggunakan kalimat bernada gurauan pada sang kakak, Tara tahu Kishi memuja Maxwell. Sayang, keduanya tidak memiliki kemiripan fisik. Andai tadi Kishi tidak menyebut hubungan darah di antara mereka, pasti Tara mengira keduanya adalah pasangan.

Pria itu bertubuh jangkung dan berkulit kecokelatan. Matanya sayu, dengan pupil berwarna hitam. Dagunya agak bulat, hidung bangir, alis yang lumayan tebal, serta bibir tipis yang kemungkinan besar jarang tersenyum. Rambut hitam Maxwell agak panjang, bagian belakangnya sudah menyentuh leher. Satu hal yang patut disayangkan, Maxwell tampaknya tidak suka bicara. Sepanjang makan malam, lelaki itu hanya menjadi pendengar.

"Kalau ada yang masih pengin diubah, aku kasih waktu sampai besok siang ya?" kata Kishi setelah mereka membahas tentang pesta piama itu.

"Kayaknya sih nggak, karena konsepnya memang udah matang." Tara sengaja melihat arlojinya. Lalu, gadis itu mengeluarkan dompet dari dalam tas selempangnya. "Aku mau balik ke kamar dulu ya, Mbak? Besok harus mulai kerja keras."

"Biar aku yang bayar," Maxwell menyergah. "Minimal sebagai ucapan terima kasih karena udah dianggap seksi."

Tara mengira lelaki itu akan tersenyum usai menggenapi kalimatnya. Sayang, dia keliru. Ekspresi Maxwell datar dan tidak bisa dibaca.

"Kurasa, belum pernah ada cewek yang bilang kamu seksi kan, Max?" sambar Kishi.

"Siapa bilang?" Maxwell tersinggung. Entah sungguhan atau pura-pura.

Tara berdiri dari tempat duduknya. "Makasih banget kalau gitu, Max." Tatapannya dialihkan ke arah Kishi. "Sampai ketemu besok ya, Mbak."

Lalu, Tara meninggalkan meja yang ditempati kakak-beradik yang tampaknya memiliki sifat berlawanan itu. Dia menahan diri mati-matian agar tidak menoleh ke belakang. Padahal, Tara sangat ingin melihat ekspresi Maxwell setelah kepergiannya.

Tadi siang, saat Tara melambai ke arah lelaki itu, Kishi mendatangi mejanya. "Halo, Tara, ya?" tebaknya dengan suara yakin. "Aku Kishi, yang tadi nelepon." Tentunya tidak sulit menebak yang mana Tara Solange. Mengingat hanya dirinya gadis muda yang duduk sendirian di restoran itu. Meja-meja lain diisi perempuan dewasa yang duduk berkelompok.

"Iya, Mbak. Aku Tara," gadis itu berdiri untuk menyalami Kishi.

"Itu temen kamu, ya? Yang tadi didadahin."

Tara kembali menatap ke depan. Lelaki itu sudah kembali berjalan menyusuri pantai. "Nggak kenal malahan, Mbak. Refleks aja barusan. Terlalu sayang dilewatkan karena cowoknya seksi," kelakar Tara asal-asalan sambil tertawa geli. "Silakan duduk, Mbak."

Perkenalan mereka berjalan lancar. Kishi tipikal perempuan yang santai dan menjadi teman bicara yang menyenangkan. Tara sendiri selalu dinilai supel oleh banyak orang. Kemampuannya bergaul jauh lebih bagus dibanding kedua kakaknya.

Kishi pamit untuk melanjutkan pekerjaannya setelah pramusaji membawakan pesanan makanan Tara. Perempuan itu berjanji akan mengontak Tara lagi. Dia juga mempersilakan gadis itu untuk menghubunginya jika membutuhkan sesuatu.

Setelah makan siang dan kembali ke kamarnya, Tara kembali memeriksa daftar acara lusa yang sudah dilihatnya ratusan kali. Lalu, dia sempat mengirimi Kishi pesan WhatsApp, memastikan tentang dekorasi pesta piama yang diminta Amanda secara khusus. Bukannya memberi jawaban, Kishi malah meminta Tara menemuinya nanti malam di restoran tempat mereka bertemu tadi. Berasumsi mereka akan makan malam berdua, Tara menyambut dengan antusias.

Mana dia tahu jika Kishi sudah menyiapkan "perangkap"? Mengundang Tara ke restoran sembari memperkenalkan gadis itu dengan "cowok seksi" yang tadi siang disapanya lewat lambaian tangan. Namun, menyesal pun tidak akan berarti apa-apa. Karena itu, Tara tak pernah menyukai penyesalan.

Rasa malu Tara pun tidak bertahan lama karena Kishi sudah mengajaknya mengobrol. Meski Maxwell nyaris tidak berkontribusi dan hanya disibukkan dengan makanannya. Sikapnya yang bisa dianggap kurang ramah itu tidak membuat Tara kesal. Karena Tara memang tidak berniat untuk membangun pertemanan dengan siapa pun di Lombok ini. Maxwell hanyalah pria yang menjadi penambat pandang yang sayang untuk dilewatkan.

Gadis itu merasa beruntung karena dirinya selalu bisa melihat sisi positif dari hal-hal yang bahkan memalukan. Yah, paling tidak, dia akhirnya tahu jika si seksi itu punya nama. Dia pun bisa melihat dari dekat sosok Maxwell yang ternyata memang menawan seperti bayangannya.

Setelah berada di kamar yang akan ditempatinya selama tiga malam, Tara kembali melihat susunan acara yang sebenarnya sudah dihafal gadis itu. Mungkin ini bisa dianggap sebagai kekurangannya. Tara cenderung perfeksionis demi memastikan semua berjalan lancar. Selama bermaksud mewujudkan hal itu, dia malah menjadi cemas jika sudah melewatkan sesuatu. Itu terjadi berulang-ulang. Noni bahkan mengomelinya saat Tara menelepon sahabatnya itu sekali lagi.

"Semuanya udah sesuai rencana, Ra. Nggak usah ketakutan gitu. Aku juga tadi udah koordinasi sama Mbak Kishi. Aku nggak bakalan lepas tangan gitu aja."

"Aku cuma mastiin, Non. Nggak usah ngamuk gitu."

"Tidurlah yang nyenyak. Atau nikmati liburanmu di Lombok. Kerjaan dilanjut besok lagi. Eh iya, tadi ada calon klien yang ngontak aku. Katanya tertarik bikin pesta pribadi pakai jasa Geronimo. Uniknya, bukan acara bridal shower atau baby shower. Tapi pesta pribadi karena dia lagi hepi," Noni memberi tekanan pada kalimat terakhirnya. "Kebayang, kan? Duitnya pasti nggak ada nomor serinya."

"Itu serius? Bikin pesta pribadi karena lagi hepi? Trus..."

"Udah, bocorannya sampai situ dulu. Ntar kita bahas lagi pas kamu udah balik dari Lombok dan Ruth kelar liburannya. Yang jelas, orangnya sih antusias banget. Katanya dia dapat nama kita dari salah satu sepupunya. Tapi dia nggak mau nyebutin satu nama pun."

Obrolan akhirnya diputuskan oleh Noni karena gadis itu sudah mengantuk. Sesaat, ada rasa geli yang mencubit dada Tara. Dia sibuk mengurusi acara-acara spesial orang lain. Sementara kakak sulungnya yang akan segera menikah, sama sekali tidak tertarik meminta opininya. Calon kakak iparnya pun bersikap senada dengan Helga. Menganggap pekerjaan Tara bukan sesuatu yang serius.

Meski akan segera memiliki ipar yang diragukan akan menjadi saudara favoritnya, Tara tidak kesal. Tuhan memang Maha Adil. Seseorang yang menyebalkan berjodoh dengan si menyebalkan lainnya.

Tak lama kemudian, Tara pun memutuskan untuk meletakkan tabletnya dan bersiap memejamkan mata. Mungkin hanya dalam hitungan menit, dia sudah terlelap. Entah harus disyukuri atau disesali, gadis itu terbangun setelah bermimpi melihat Maxwell berjalan di pantai lagi.

Tara memulai hari dengan melakukan kebiasaannya selama bertahun-tahun, joging. Dia mengitari Paradise Resort and Villas yang masih lumayan sepi. Setengah jam kemudian, gadis itu kembali ke kamar. Tara mengecek ponselnya beberapa menit sebelum masuk ke kamar mandi. Hari ini dia harus kembali ke bandara untuk menjemput Amanda dan rombongannya.

Sebenarnya, bisa saja Tara meminta pihak hotel yang melakukan hal itu. Namun sejak awal ketiga pendiri Geronimo sepakat untuk mengistimewakan klien mereka, apa pun bentuk pesta dan besar budget yang mereka bayar. Mereka memiliki idealisme sendiri meski mungkin banyak yang menganggap sebelah mata dan menghubungkan hal itu dengan pengalaman minim dan usia yang belia.

Meski berharap bisa bertemu Maxwell lagi sebelum dia kembali ke Jakarta, Tara tidak mengira mereka akan berpapasan saat dia membawa piring yang dipenuhi makanan. Ada terlalu banyak menu yang tersedia untuk sarapan. Seperti kebiasaannya, pantang bagi Tara untuk melewatkan hidangan yang menggugah selera. Dia pun memenuhi dua piring lebarnya dengan beragam makanan.

"Selamat pagi, Max," sapa Tara saat menyadari Maxwell berhenti. Dia menunggu dengan penuh antisipasi saat Maxwell menatap piringnya sebelum menampilkan ekspresi ngeri. Namun ternyata tidak. Maxwell cuma melirik sekilas ke arah makanan yang dibawa Tara.

"Pagi, Tara." Lalu, Maxwell mengangguk sopan sebelum berjalan menuju meja-meja berisi makanan.

Sikap dingin Maxwell tidak membuat Tara sewot. Sejak mereka makan satu meja, Tara bisa menebak bahwa lelaki itu memang tipe orang tertutup yang tak banyak bicara. Namun matanya dipenuhi binar ketika Kishi menyinggung tentang pekerjaannya sebagai arkeolog. Sayang, Maxwell bukan jenis pria yang banyak bicara. Akan sulit mengajaknya mengobrol meski tentang pekerjaan yang disukainya. Itu tebakan Tara.

Namun, lima menit kemudian, dia meralat opininya sendiri. Maxwell meminta izin untuk bergabung dengan Tara karena tidak menemukan meja lain yang kosong. "Ada kursi kosong sih, tapi aku nggak kenal orangnya. Mending di sini," kata Maxwell tanpa ditanya.

Karena bukan kebiasaannya hanya berdiam diri meski duduk semeja dengan orang yang kurang ramah, Tara pun memulai obrolan. Basa-basi yang dijawab Maxwell dengan kalimat-kalimat pendek, berubah drastis ketika Tara sudah menyinggung tentang dunia arkeologi. Meski irit bicara, tampaknya Maxwell suka berbagi tentang dunia yang dicintainya.

"Temanku sempat ngajak ke Xi'an untuk ngeliat pasukan terakota yang situsnya ada di sana. Tapi aku kurang tertarik. Aku taunya soal pasukan itu dari film The Mummy yang ketiga. Lupa judulnya." Tara memasukkan potongan roti berisi abon ke dalam mulutnya. "Kamu pernah ke sana?"

"Pernah, sekitar tiga tahun lalu. Itu situs yang belum terlalu lama ditemukan, dari tahun 1974. Setelah digali, ternyata ada banyak banget patung, kereta, hingga kuda. Semuanya dari bahan tanah liat merah atau terakota."

"Semua patung dalam kondisi berbaris gitu?" tanya Tara ingin tahu.

"Nggak juga. Ada yang berdiri, ada yang berlutut. Tapi yang pasti, postur patung-patung itu lebih besar dibanding orang Tiongkok di masa lalu. Mereka juga punya pangkat bermacam-macam." Maxwell meraih gelas dan menyesap kopinya. "Tapi buatku pribadi, situs itu memang luar biasa. Patung-patung itu dibuat dengan ekspresi, wajah, dan gaya rambut yang beda satu sama lain. Jadi, nggak seragam."

Tara manggut-manggut. "Sebenarnya, pasukan terakota itu dibuat untuk apa, sih? Udah terjawab belum? Rasanya nggak mungkin cuma untuk iseng doang, kan?"

"Iya. Bukan untuk iseng, kurang kerjaan banget bikin ribuan patung yang sengaja dibuat dengan teliti. Situs itu nggak sampai dua kilometer dari makam kaisar pertama Tiongkok, Kaisar Qin Shi Huangdi. Para arkeolog yakin kalau pasukan terakota dibuat untuk menjaga makam si kaisar."

Maxwell tidak keberatan membagi banyak cerita tentang pasukan terakota yang ternyata sangat menakjubkan itu. Tara yang memang selalu mudah terpesona dengan pria-pria berpengetahuan luas, mendengarkan dengan penuh konsentrasi. Akibat fatalnya selain -kemungkinan besar- memasang tampang terperangah yang terkesan bodoh, Tara nyaris kesiangan berangkat ke bandara!

Lagu : Hey, Soul Sister (Train)



Hai hai hai,

Aku mau bahas dikit soal #JobSeries yang resmi mulai tayang di Wattpad sejak 6 Agustus 2018. Sesuai namanya, seri ini bakalan banyak membahas tentang pekerjaan tokoh-tokoh utamanya.

Profesi dokter, pengacara, CEO, atau artis udah sering banget diangkat di dunia fiksi. Tapi, kita juga tau ada banyak pekerjaan lain yang selama ini nyaris tidak pernah dibahas. Nah, karena itulah kami sepakat terlibat proyek #JobSeries ini.

Menulis novel dengan tema pekerjaan unik adalah sesuatu yang mengasyikkan. Ada yang mengangkat kisah tentang radiografer, arkeolog, back end developer, sampai game tester. Total empat penulis bergabung di seri ini.

Untuk jadwal, bisa dicek di bawah ini :

Senin & Kamis : inag2711 (I'm Radiografer)

Selasa & Jumat : @IndahHanaco (Geronimo!)

Rabu & Sabtu : pramyths (Impromptu)

Kamis & Minggu : mooseboo (Beta Testing)

Gimana? Menarik, kan? Semoga kalian menyukai seri ini, seperti para penulisnya. Jangan lupa dukungan berupa vote dan comment untuk kami berempat, ya. Karena support dari kalian jadi energi luar biasa untuk kami. Ciao!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro