GOB-013

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari ini, aku pantas banyak mengucap syukur. Tidak biasanya aku dijemput lebih awal. Tapi, yang paling mengejutkan, itu bukanlah mobil yang disetir Pak Yoon, melainkan mobil mama dan sopir pribadinya, Pak Junyeong.

Tepat setelah sedan hitam itu berhenti di depanku, pintu belakangnya terbuka. Mama keluar dari sana, menyapaku dengan senyumnya. Seketika, lingkungan kampusku menjadi heboh. Sudah pernah kubilang, kan, kalau mama cukup popular di kota ini?

Bikin canggung saja.

"Hai, sweetie."

"Ma, jangan memanggilku begitu. Aku malu ...," tukasku menahan pipi yang hampir memerah.

"Ma, Mama sakit?"

Kulihat wajah mama sedikit pudar, mirip orang tidak enak badan. Padahal, tidak biasanya mama terlihat pucat begini. Aku jadi khawatir.

"Mama nggak papa, Sayang. Ayo, kita pulang."

Aku mengedikkan bahu, dan menyusul mama yang mulai membuka pintu. Namun, tiba-tiba mama ambruk. Beberapa orang berbondong-bondong mengerubungi mama. Aku berlari mengecek keadaannya. Pak Jun juga ikut turun membantu mengangkat mama masuk ke dalam mobil.

Hatiku ketar-ketir. Beberapa bisikan masuk ke telingaku. Sama sepertiku, mereka juga bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada mama?

"Sohyun!"

Seseorang memanggilku tepat setelah mama berhasil masuk ke mobil. Itu seniorku, Eunwoo.

"Mamamu?" tanyanya dengan kedua mata berkilat cemas.

Aku mengangguk kecil. Raut wajahku pasti kelihatan sangat kacau.

"Baiklah, aku ikut mengantar beliau ke rumah sakit. Sebaiknya, kita segera berangkat."

Alhasil, Eunwoo ikut menemaniku ke rumah sakit, mengantar mama. Dia bersikeras membawa mama ke rumah sakit pamannya yang waktu itu kudatangi saat mengajak Hanbin berobat. Semoga, mama tidak kenapa-kenapa. Dia keluargaku satu-satunya.

***

"Tenang, Sohyun. Mamamu pasti baik-baik saja," kata Eunwoo menenangkan perasaan gelisahku.

Meskipun selama ini mama sering membuatku kesal, jujur, aku begitu menyayanginya. Sangat. Aku bahkan tidak tau, bagaimana hidupku tanpa mama.

Pintu ruang UGD terbuka. Dokter Byunghoon— paman Eunwoo—keluar dan melepas masker serta stetoskopnya.

"Dokter, bagaimana keadaan mama saya?" serbuku ketika dokter itu baru menarik napas, hendak memberi kabar.

"Tidak apa-apa, Nak. Mamamu cuma anemia karena mungkin kelelahan bekerja. Tolong dijaga asupan gizinya, ya. Jangan biarkan mamamu bekerja sampai lupa istirahat."

Aku menghela napas. Untunglah bukan penyakit yang serius. Belakangan, mama memang jarang pulang. Ia sibuk bekerja sampai lupa makan dan tidur.

"Sunbae, boleh aku minta tolong?"

"Tentu saja, Sohyun. Apa yang bisa kubantu?"

"Aku harus mengurus biaya administrasi dan menebus obat. Bisakah Sunbae menjaga mama?"

Bibir Eunwoo menarik garis lengkung ke bawah, tersenyum. Kemudian, ia memanggutkan kepalanya.

Aku berbalik, hendak menuju apotek. Mendadak Eunwoo menarik pinggangku.

"Awas, Sohyun!"

Aku terhuyung ke belakang, tubuh kecilku didekap oleh Eunwoo Sunbae yang berpostur tinggi.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara teriakan seorang anak, "Nggak mau! Aku nggak mau cabut gigi!"

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan Eunwoo menyadarkanku dari kosongnya pikiran.

"Ya ... aku baik-baik saja," jawabku sambil mengelus dada, efek kaget karena hampir tertabrak oleh anak kecil yang berlarian dikejar perawat dan orang tuanya.

"Kejadian seperti ini sudah biasa. Kalau kau berada di sini, harus lebih hati-hati," jelas Eunwoo. "Anak-anak suka takut kalau dibawa ke dokter gigi," lanjutnya dengan kekehan.

Ah, benar. Ruang UGD lumayan dekat dengan poli gigi.

Cukup lama aku termenung. Baru kusadari, sedari tadi tangan Eunwoo Sunbae masih melingkar di pinggangku. Buru-buru aku melepaskan diri, gemuruh kurasakan menyerang jantungku.

Rasa sesak ini datang lagi. Masih baik aku mengetahui posisi ini dengan cepat, jika tidak, aku pasti sudah pingsan lagi. Setelah itu, semua orang akan mempertanyakan mengapa aku sering sekali tidak sadarkan diri. Dan ... fobiaku akan terbongkar.

"Maaf, Sohyun. Aku melakukannya spontan."

"Eng–nggak papa, a–ku pergi dulu. D–daa ...," pamitku pada ambassador Fakultas Kedokteran yang tampan itu.

***

Aku berlari. Membeli air mineral dari vending machine terdekat. Ah, apa itu tadi? Lagi-lagi aku merasakannya.

Mengapa rasa takutku tidak bisa hilang? Padahal, beberapa terapi sudah aku jalani. Tapi, sampai sekarang tidak ada hasilnya.

Tak lama, mungkin tiga hari yang lalu, Dokter Sohee mendiagnosa bahwa aku menderita androfobia. Rasa takut berlebihan pada pria.

Awalnya aku tidak percaya, bahkan, mama yang seringkali menganggapku punya kelaianan mental sampai aku tidak pedulikan.

Jadi ini alasan rasa takutku pada makhluk bernama laki-laki itu? Rasa takut yang kupikir biasa, ternyata dinamakan androfobia.

Glek.

Aku meneguk habis air mineral tersebut dalam sekali aksi, kemudian segera aku beranjak menuju ke apotek. Tujuan pertamaku.

Baru saja berdiri, aku mendengar kalimat, "Itu kaos Gucci-ku seharga US$ 2.000."

"Bisa kau kembalikan secepatnya?"

Aku terduduk dari posisi berdiriku secara tiba-tiba. Kaget. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Dalam kondisi seperti ini pula.

"I–tu ... anu ...."

"Aku tidak sengaja membakarnya."

Akhirnya ... aku mengatakan yang sejujurnya. Lega.

"Apa?! Kau gila? Uangku US$ 2.000, kau bakar begitu saja?!"

Laki-laki itu mengusap wajahnya. Seolah mengatakan, I'm so done.

"Kau–"

Ia mendengkus. Aku mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tau dan tidak mengerti apa-apa.

"Kau gila!" tutupnya sebagai kesimpulan.

"Jangan salahkan aku, salahkan kaosmu yang membuat kulitku alergi!"

"Bagaimana orang bisa alergi dengan pakaian mewah?" keluhnya. "Tau begitu, aku lebih baik meminjamkan kaos compang-camping milik Taeyong."

Aku mencibir.

"Jadi gimana? Gimana kau akan mengganti pakaianku yang sudah menjadi abu?"

"Aku harus menggantinya?"

"Ya, iyalah! Itu mahal, aku rugi besar."

"Tapi aku tidak punya uang, mamaku lagi sakit. Nggak mungkin aku minta uang padanya, nanti mama bisa syok."

Setelah itu tidak ada jawaban apapun. Ia diam, kedua tangannya terlipat di depan dada. Hampir lima menit, tak ada reaksi.

"Jangan diam saja, aku harus bagaimana? Begini-begini aku juga punya rasa menyesal dan bertanggungjawab!" kesalku.

"Kalau begitu, begini saja ...," kata Taehyung sambil menarik napasnya pasrah.

"Kau harus melakukan apa pun yang aku minta."

"Hah?! Apa pun?"

Taehyung mengangkat sebelah alisnya selagi kepalanya mengangguk.

"Boleh aku tanya?"

"Mau tanya apa lagi? Kau membuatku hampir pingsan, tau! Ck, uang dolar sialan."

"Yang masuk rumah sakit itu tadi mamamu?"

"Bukannya tadi sudah kubilang, 'mamaku lagi sakit'. Sudah jelas itu mamaku, masa mama anjingmu?!"

"Oh, berarti aku benar. Akhirnya kita bertemu lagi, Sohyun," gumam Taehyung yang terdengar olehku.

"Maaf? Kau mengatakan apa?"

"Turuti permintaanku, maka uang ganti bajuku kuanggap lunas," tegasnya setelah itu ia pergi tanpa pamit dan tanpa berucap terima kasih.

Harusnya dia berterima kasih karena aku mau mengganti baju pembawa sialnya itu.

Persetan dengan dua ribu dolarnya! Kaos itu pembawa masalah terbesar, yang mengharuskanku berurusan dengan si licik Taehyung.

Tapi, sebentar. Bukannya dia tadi bilang 'akhirnya kita bertemu lagi'?

Oh, benar. Kami memang sering bertemu akhir-akhir ini. Cowok aneh.




















Tbc.

Ada yang kangen cerita ini? Hehe. Maaf, baru bisa update😊





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro