GOB-035

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan Jayden. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengenalkan karya lukis Anda kepada para pengunjung di acara pameran besok lusa."

"Saya yang berterima kasih, Nona. Kalau begitu, saya undur diri. Selamat siang."

Begitu tamu itu pergi, dengan segera kurapikan meja kerjaku dan kumatikan komputerku. Dominic Ethan masih setia berdiri di belakang. Dari gerak-geriknya, ia tampak ingin membantu.

Ethan adalah seorang laki-laki berumur 28 tahun. Lulusan Visual Art dari salah satu universitas ternama di Adelaide. Postur tubuhnya jangkung dan berisi, bermata biru gelap dan berambut cokelat. Kami adalah rekan kerja kurang lebih tiga bulan. Dia tampan, seperti orang Australia kebanyakan. Tapi jangan salah, Ethan telah menikah dengan Daryl—istrinya—sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mereka dikaruniai anak perempuan lucu berumur 1 tahun bernama Emily.

"Sohyun, ada yang bisa kubantu?" tanya Ethan.

"Ethan, apakah 300 karya yang terkumpul dan terseleksi sudah sesuai dengan tema kita?"

"Nope. Nggak semua, tapi lebih dari setengahnya masuk kriteria."

"Baguslah. Pekerjaan kita jadi tidak banyak. Tinggal melakukan persiapan dan mempelajari setengah lebih yang ada."

Ethan tersenyum, lalu dengan cekat kedua tangannya membantuku merapikan dokumen.

Setelah mendapat gelar sarjanaku di bidang seni rupa, aku memilih bekerja sebagai seorang kurator seni di AGSA. Pindah dari Melbourne, aku meninggalkan papa untuk sementara. Dan juga Felix, anak itu fokus mengerjakan tugas akhirnya supaya bisa segera menyusulku dengan gelar yang sama.

Namun, mendadak aku teringat rumah. Teringat mama, dan juga teman-temanku yang ada di Korea. Sudah lima tahun lebih aku hengkang dari tanah kelahiranku demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Sekarang, tujuanku telah tercapai dan aku ... ingin pulang.

"Ethan, terima kasih kerjasamanya selama ini. Tapi ... kurasa aku tidak lama lagi akan resign."

"What?! Why? Kenapa tiba-tiba?"

"I have to go home. My mom has been waiting for me in South Korea. And I miss her so much."

Wajah Ethan berubah lesu. Tertekuk. Aku tahu kami baru kenal, tapi dia sudah seperti sahabatku. Aku pun tak tega bila harus berpisah darinya, juga dari galeri seni yang membesarkan namaku ini.

"It's okay. Your decision is yours. Aku tidak berhak melarang atau mencegahmu, tapi tolong ... jangan lupakan kami di sini."

***

Pameran seni yang telah kupersiapkan bersama tim sejak sebulan lalu akhirnya terlaksana juga. Sukses. Beberapa pengunjung berasal dari luar negeri, kebanyakan para kolektor seni.

Dengan menjadi kurator, aku bertemu orang-orang dengan berbagai tipe. Mulai dari yang paling ramah, percaya diri, terpelajar, sinis, emosional, sampai yang paling keras kepala. Terkadang aku sedikit berdebat dengan mereka yang menyinggung masalah harga. Padahal, nominal sebuah karya seni itu nggak dilihat dari bagus tidaknya hasil, tetapi usaha para seniman yang telah membuatnya dengan sepenuh hati.

Tadi siang, aku sudah berbicara empat mata dengan atasanku, Mr. Albert, sekalian berpamitan dengan beliau. Meskipun kami melalui beberapa kali negosiasi, keputusanku untuk kembali ke kampung halaman sudah final. Akhirnya Mr. Albert mengalah dan malah mengoleh-olehiku dengan beberapa pesan mendidik.

Sekarang, aku berada di apartemen. Setelah merebus pangsit kuah kalduku untuk makan malam, aku bergerak menuju meja makan sembari membuka laptop.

"Sohyunnn!! Apa kabar?!!" Sebuah suara cempreng dan melengking terdengar begitu video call yang kunyalakan tersambung.

"Dari dulu, kau memang yang paling berisik, ya? Gendang telingaku hampir jebol tau!" protesku.

"Sudahlah, biarkan saja. Lagi pula, tanpanya, grup chat kita juga bakal sepi," sahut wanita yang tidak pernah melepas kacamatanya beberapa minggu ini.

"Video call lagi? Bosan tau! Kapan kau balik? Mana janjimu? Aku menagihnya sekarang!" celetuk si suara melengking seakan tak mempedulikan ejekan yang kulontarkan sebelumnya.

"Iya. Aku balik, kok. Mungkin ... lima hari ke depan. Aku mau ke Melbourne dulu nemuin Papa. Habis itu pesan tiket pesawat."

"Akhirnya!!!" soraknya bahagia.

"Sohyun kita udah makin dewasa, ya. Mandiri pula. Bisa masak sendiri, mencukupi kebutuhan hidup sendiri. Apalagi, sekarang udah jadi kurator sukses."

Aku tersenyum bangga selagi menyeruput kuah pangsitku yang hangat dan lezat. Saeron pun mulai berubah, sekarang jadi pandai memuji dan mulai banyak bicara. Apa telah memiliki pendamping hidup membuatnya jadi pribadi yang lebih mengasyikkan?

"Tapi sayangnya satu ... Sohyun masih sendiri aja. Ayo, dong, ubah status single-mu!"

Dan Yoojung ... dia makin tambah usia, sifatnya malah semakin kekanakan.

"Iya, iya! Apalah aku dibandingkan kalian yang udah pada punya doi."

"Oh iya, gimana hubunganmu dengan Adam?" tanya Saeron penasaran.

Adam, lelaki yang kukenal semasa kuliah di Melbourne. Yang sempat menyatakan cinta padaku. Tapi sayangnya kutolak. Laki-laki itu tidak bisa tegas, selalu mengejarku ke mana pun aku pergi. Memberiku segalanya atas nama cinta, payah!

"Kami udah nggak pernah komunikasi tuh!"

"Lalu, si mata rubah itu bagaimana? Yang bibirnya penuh dan punya warna rambut pirang. Aduh, aku lupa namanya!"

"Felix," sahutku pada Yoojung.

"Ya, si Felix! Bukankah kalian sudah sangat dekat?"

Lagi-lagi aku hanya mengukir kurva di wajahku. Pertanyaan menggelitik macam apa ini?

"Kami cuma teman. Nggak lebih, Felix udah kuanggap adik sendiri."

Aku melihat raut kekecewaan di wajah mereka. Namun, sesaat kemudian, Yoojung tampak begitu ceria.

"Kalau gitu, kenalin dia ke aku, dong! Lumayan dapat cowok Aussie!"

"Astaga, inget mau nikah! Hanbin mau kau ke manakan?"

"Iya, juga. Ah, tapi kan sayang buang-buang cowok ganteng."

Ya, Hanbin dan Yoojung akan menikah. Terkejut? Tidak denganku.

Aku ingat saat setahun lalu Yoojung merengek-rengek di telepon, meminta maaf karena merasa telah menikungku. Menghianatiku sebagai sahabatnya. Pun juga Hanbin. Cowok penyuka pisang itu hampir menangis sebab tak tega melukai hatiku. Pertanyaanku, siapa yang terluka? Aku justru bahagia. Kedua sahabat baikku akan mengikat hubungan bersama, tak ada yang perlu kucemaskan karena memang sejak awal aku tidak menyukai Hanbin.

Selama lima tahun di Australia, bukan cuma fobiaku yang pulih, melainkan daya berpikir rasionalku juga mulai terasah. Aku bisa membedakan hanya rh cinta dan mana yang hanya sekadar kagum. Debaran jantung yang berkali lipat terdengar bukan hanya berarti cinta. Itu sebuah reaksi adaptasiku terhadap lelaki. Dan kupikir sekarang aku benar-benar sudah normal. Bebas dari debaran menyesatkan itu.

"Tapi ... kalian harus tau ini," ucapku yang berhasil menarik perhatian mereka. "Aku sudah menemukan tambatan hatiku."

"Hah?!" teriak mereka berbarengan.

"Siapa??" tanya mereka kemudian.

"Akan aku perkenalkan nanti," kataku sambil melirik sebuah novel bersampul biru yang kuletakkan tak jauh dari laptop.

***

"Sohyun, maaf. Papa tidak bisa ikut bersamamu ke Seoul."

"Nggak masalah, Pa. Aku ngerti Papa punya kesibukan di sini. Tapi, kalau ada waktu ... Papa berkunjung ke rumah ya? Mama sekarang buka toko bunga."

"Pasti, Sayang. Papa pasti datang nanti."

Aku memeluk papa, menghirup aromanya barang sebentar saja. Setelah ini, kami akan terpisah lagi oleh benua. Aku ingin merasakan hangatnya rengkuhan papa sebelum aku naik ke pesawat.

Kemudian, otakku bertanya-tanya. Di mana Felix? Katanya dia akan mengantarku ke bandara, namun sampai sekarang dia belum datang.

"Felix ada urusan mendadak di kampus. Tadi nitip pesan ke papa, katanya dia titip salam sekaligus minta maaf."

Yah.... Aku kecewa. Biarlah, yang jelas Felix baik-baik saja.

"Ya udah, Pa. Bentar lagi pesawat aku take off, aku masuk dulu, ya."

"Oke. Yakin nggak ada barang yang ketinggalan?"

"Nggak ada."

"Good! Ya udah, kamu hati-hati di jalan. Salam buat mamamu," pesan papa selagi ia mencium keningku.

Selesai melakukan ritual perpisahan, aku menyeret koperku dan melakukan check in. Barulah aku dapat naik dan mengambil tempat duduk di pesawat.

Sudah sekian lamanya, gimana ya rasanya ketemu lagi dengan mereka?

Sebelum mesin pesawat dinyalakan, aku menyempatkan diri untuk mengirim pesan ke Yoojung dan Saeron.

Guys, aku udah ada di pesawat. Jangan lupa, jemput aku di bandara Incheon bareng sama Mama.

"Permisi." Terdengar suara berat seorang pria yang hendak mengambil duduk di sebelahku.

"Ya, silakan," ucapku tercekat.

Pandangan kami bertemu. Ingatanku pun bekerja tanpa kuminta. Pria berpakaian necis dengan kemeja dan jas hitamnya ini begitu familiar. Matanya yang bulat dan sehitam jelaga, serta rahangnya yang tajam, mengingatkanku akan seseorang dari masa lalu. Kemudian, rasa penasaranku terjawab.

"Kim Sohyun? Kau tidak ingat padaku?"

Tbc.

Hai hai hai, maaf ya. Aku menghilang selama lima tahun dan come back di cerita ini dengan membawa penuh keterkejutan (ups, lebay).

Jadi aku cuma mau ngasih tau kalo Sohyun udah normal 100%, dan ... dia udah nemuin tambatan hatinya gaes, siapa??

Warning: siap-siap patah hati🙄 wkwk

Nggak aku spoiler😏

Ya udah, author mau balik ke dunia halu lagi. Bye~ selamat menebak siapa yang ditemuin Sohyun di pesawat.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro