II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana sekolahnya kemarin?"

Gia menghempaskan bokong di kursi dan mengunyah roti dengan malas, tak minat menjawab pertanyaan Navya alias Kakaknya sendiri.

"Kalau ditanya, jawab kali."

"Biasa aja. Gak ada yang menarik."

"Udah dapet temen?"

"Malas ah, gue dapet temen sebangku yang ngeselin. Orang ngajak kenalan malah dicuekin!"

"Emang kenalannya gimana?"

"Ya gitu, ulur tangan. Terus nanya nama lo siapa?"

"Itu sih, cara kenalan lo yang klasik makanya gak asik."

"Caranya biar asik?"

"Hem .... gak tau juga. Biasanya kalau ada yang ngumpul gue nimbrung dan langsung nyambung aja ke topik.”

“Nimbrung apaan?”

“Ini nih, kalau punya temen sebiji. Nimbrung aja gak tau."

“Emang gak boleh?"

“Ada baiknya perluas pertemanan lo Gia, jangan cuma satu orang aja. Manusia itu harus saling bersosialisasi."

"Terus gimana dong. Dianya yang nolak."

"Mungkin hari ini atau besok dia ngajak lo kenalan. Beda orang beda kepala, pandangan terhadap sesuatu pun bakal beda."


"Mentang-mentang ganteng boleh sombong gitu?"

"Wih, kalau ganteng udah gue gebet tuh jadi pacar."

"Emang pacar apa sih?" Gia berdecak kesal karena Kakaknya terus saja mengingatkannya pada seseorang yang dulu meninggalkannya. "Tiap kali jalan sama sahabat gue itu, pasti diolok-oloki 'cie pacaran ye'. Kalau ditanya pacaran apa, gak ada yang mau jawab. Aneh deh!"

Navya tertawa kecil dengan sikap polos adiknya. "Serius deh, gimana kabar sahabat lo yang selalu nempel itu. Kok gak pernah main ke rumah lagi?"

"Namanya juga udah SMA. Yah, sibuk masing-masinglah."

"Eleh, sok tau aja lo soal kesibukan. Nih, bantu selesain skripsi gue."

"Wani piro? (Berani bayar berapa?)"

"Sebongkah upil."

"Dasar kakak lucknut. Terus gimana nih, entar tiga tahun ke depan gue sebangku terus sama cowok itu."

"Minta tukeran tempat kali."

"Sayanglah, dia ganteng."

"Ya udah coba aja minta bantuan dia. Kalau dia gak mau bantuin, gak usah ditemenin. Simpel."

"Kalau gue minta bantuan jadi pacarnya?"

Gia mengernyit bingung, melihat Navya tiba-tiba tersedak minum, Navya pun buru-buru keluar rumah seolah sedang dikejar hantu. "Gue kuliah dulu."

"Eh tunggu, lo belum jawab pertanyaan gue."

"Pertanyaan yang mana?"

"Pacaran itu apa?"

"Masa sih lo gak tau. Intinya lo harus rasain sendiri dengan percaya dan yakin satu sama lain."

Otak Gia mulai berputar-putar seperti kaset rusak, ia bingung memahami maksud kata-kata Kakaknya. "Apaan si. Gak jelas."

Tak lama kemudian, sebuah mobil travel bermerk Avanza datang dan berhenti di depan rumah Gia.

"Gue berangkat. Jaga rumah, jangan nakal di sekolah!"

"Iya, iya!" Gia menatap nanar Navya yang masuk dalam mobil tersebut, sebelum mobil itu melaju dan hilang dari pandangan Gia.

Kembali hati Gia merasa kosong, tak berasa seperti angin yang menerpa rambutnya. Selama ini, kedua orangtuanya terus bekerja di luar negeri, membuat Gia menyiapkan semuanya sendiri. Mulai dari masak, pergi sekolah, mencuci, bahkan sekarang ia harus rela ditinggal Navya pergi kuliah ke pulau seberang.

Jika waktu bisa diulang, Gia ingin kembali menjadi anak kecil, yang dibelai dan dimanjakan oleh Mama-Papanya. Entahlah, setidaknya Gia bersyukur karena kedua orangtuanya masih sayang padanya dengan mengirimkan banyak uang--bisa membeli apapun yang Gia mau.

Lamunan Gia otomatis pecah saat sebuah pesan What's App muncul dari layar ponselnya.

Kevin : Morning.

Gia : Mana grup angkatannya?

Kevin : Dosa gak jawab salam.

Gia : Gue blokir nih.

Kevin : Sadis. Hari ini gue ke kelas lo. Siap-siap, yah.

Gia : Siap-siap kenapa?

Gia menunggu jawaban dari Kevin. Namun, sudah lima menit ia memperhatikan layar ponselnya, pesan dari cowok itu belum juga muncul.

Emang ada apaan?

•••

Kepala Gia rasanya pusing tujuh keliling, memikirkan kata-kata yang pas untuk dituangkan dalam surat cinta dan diberikan kepada seniornya nanti.

Kenapa sih MOS harus pake surat cinta segala. Kakak gue aja gak pernah ngasih yang ada malah surat tagihan listrik. Batin Gia.

"Coba aja minta bantuan dia. Kalau dia gak mau bantuin, gak usah ditemenin. Simpel."

Tiba-tiba Gia teringat kata-kata Navya pagi tadi, ia ingin minta tolong pada sebangkunya. Namun, tenggorokannya seperti tertahan, takut dicuekin seperti kemarin.

"Em, gue boleh minta tolong gak?" Gia hanya bisa meneguk ludah saat cowok di sampingnya masih fokus menulis. "Gue gak punya ide nih buat ngerangkai kata cinta. Bantuin, please. Lima menit lagi seniornya masuk."

Gia tersentak kaget saat cowok itu langsung memberinya tatapan tajam seolah siap mencabik-cabik tubuhnya. Gia pun kaget karena cowok itu sekarang mengulurkan tangannya.

"Gilang." Gia menyengir, ia pikir Gilang akan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya.

"Gia."

"Makasih, kemarin udah ngajak gue kenalan."

Bulan sabit pun terbentuk jelas di bibir tipis Gia. "Menurut gue, lo gak perlu berterima kasih. Itu hal yang wajar."

"Kalau gue gak kenal lo. Mungkin hati gue gak sehangat sekarang."

Aaaa! Boleh gak sih, gue teriak di kelas ini? Entar dikira orang utan nyasar lagi. Batin Gia.

"Itu idenya."

"Oh...." Tulang Gia rasanya luntur. Ternyata Gilang hanya mengajak hatinya terbang setinggi langit, kemudian dijatuhkan kembali ke bumi. "Makasih."

Gr banget gue.

Gia merutuki dirinya sendiri karena terlalu bawa perasaan. Kedua pipinya panas. Pasti sedang merah sekarang. Rasanya, Gia ingin menutupi wajahnya dengan kardus, malu kalau sampai dilihat Gilang.

Gia lantas memutar tubuhnya dan menulis berlawanan arah dengan Gilang. Ia mengingat kembali gombalan Gilang barusan dan menuangkannya dalam surat cinta untuk seseorang.

Awas lo, Lang. Tunggu pembalasan gue.

-----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro