XI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bola yang berhasil masuk dalam ring menimbulkan sorak-sorai dari para penonton. Panas terik matahari masih terasa menyengat meski hampir terbenam, menusuk setiap insan yang asyik bermain basket di tengah lapangan.

Berkali-kali Gia menimbang untuk menemui Kevin atau tidak. Harusnya ia sudah berada ke rumah sekarang, tapi rasa penasarannya terhadap Gilang jauh lebih besar.

Kini kedua bola mata cokelat itu menemukannya, dia berhenti bermain dan berjalan mendekat sambil mengibas rambut dia yang sedikit basah karena keringat.

"Kenapa belum pulang, Gia?"

"Tunjukin gue club mana yang Gilang datengi kemarin."

"Lah, kok nanyain manusia ansos itu. Gue kira lo mau ngasih gue minuman dingin sama handuk."

Gia berdesis menahan sabar. "Jangan Gr deh, Kak. Tuh, di sebelah kanan banyak cewek cantik nyodorin minum."

"Yah, gue maunya elo."

"Gue gak punya waktu. Cepet bilang."

"Eh, kok galak gitu. Kalau mau tau ada syaratnya."

Inilah yang membuat emosi Gia naik sampai ingin mencakar-cakar wajah Kevin, tinggal jawab pertanyaannya saja harus pakai syarat. Susah minta ampun.

"Ya udah apa syaratnya?"

"Nonton bioskop bareng gue."

"Lo segitu boringnya Kak sampe ngajak nonton?"

"Tenang, gue bayarin."

Tetap saja mau dibayarin atau tidak, nonton film bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Pukul berapa lagi Gia sampai di rumah?

"Ok, cepetan."

"Mau berangkat sekarang?"

"Besok. Ya iyalah sekarang."

"Ok, santai neng. Gue panasin motor dulu."

•••

Ternyata naik motor ninja terasa lebih menjengkelkan dari angkot tua dan berisik yang pernah Gia naiki bersama Gilang waktu lalu. Sangking tingginya duduk, berkali-kali dadanya mengalami spot jantung, tangannya bahkan tak lepas dari behel jok setiap kali melewati jalan rusak. Jangan harap ia akan memeluk Kevin dari belakang karena ia lebih memilih jatuh dari atas motor saja.

"Pegangan, Gi."

"Ogah!"

Sesampainya di bioskop, Gia dan Kevin langsung memesan tiket, masing-masing popcorn, dan minuman tanpa perlu mengantri, setelah itu mereka masuk dalam salah satu studio. Film horror yang sekarang tengah berlangsung membuat jantung Gia kembali berdetak cepat, jujur ia sedikit takut. Bukan takut pada hantunya, tapi takut mulutnya tiba-tiba akan berteriak jika kaget.

"Gak usah takut, Gi. Ada gue di sini." Ucapan Kevin terdengar sama seperti yang diucapkan mantan sahabatnya dulu, posisinya pun sama sedang dalam bioskop. Gia jadi kangen.

Kenapa dia ninggalin gue, ya? Apa salah gue?

Tangan Gia terasa dingin karena udara AC yang begitu menusuk, biasanya mantan sahabatnya dulu sering menggenggam jari-jari kecilnya. Seperti yang Kevin lakukan sekarang, dia memainkan jari kecil Gia.

Rasa hangat itu kembali hadir, ia ingin bersender di bahu cowok itu sejenak, melupakan segala masalah yang ada. Tapi saat ia hendak bersender wajah Kevin tiba-tiba mendekat ke pipinya. Sontak Gia berteriak sekencang-kencangnya.

"Aaaa!"

"Woi, Gi, apaan sih lo teriak-teriak?"

"Hantu! Hantu!"

"Mana?"

"Lo hantunya!" Tanpa sadar Gia terjebak dalam kenyaman, ia merasa kacau, dan keluar dari bioskop.

"Kenapa lo lari gini sih?"

"Lo yang kenapa, Kak! Ngapain tadi deket-deket muka gue!"

Kevin hanya mengibas rambutnya seperti orang kebingungan.

"Gue mau pulang!"

"Gi, gue minta maaf. Gue juga gak sadar."

Gia menarik napas dalam-dalam, menetralisir air mata yang hendak keluar dari rumahnya. Kalau saja Gia sedang kerasukan setan, mungkin tubuh Kevin sudah dicincangnya sekarang.

"Maaf, Gi. Maafin gue."

"Harusnya gue udah tau di mana Gilang, Kak. Bukannya bareng elo!"

Kevin kehabisan kata-kata semua momen romantis yang ia harapkan menjadi kacau dalam sekejap.

"Ok, ok. Gue anter lo sekarang."

•••

"Lo masih marah sama gue?"

Gia enggan menjawab.

"Filmnya jadi batal, Gi. Lo gak perlu marah."

"Iya."

Dentuman musik keras sudah terdengar, apalagi saat berada di depan club menjadikan musiknya semakin menghantam telinga. Sungguh, tempat itu setan. "Lo yakin Gilang di sini?"

"Hem."

"Berarti lo juga sering ke club?"

"Iya, begitulah."

Gia istghfar dalam hati, mau marah tak bisa karena itu hak Kevin. "Gue tersanjung dengan kejujuran lo, Kak. Kalau gitu gue masuk ke dalem."

"Eh, jangan coba masuk lo!" Kevin dengan cepat menggenggam tangan Gia, sebelum cewek itu melakukan tindakan bodoh. "Bahaya, gue gak mau lo kenapa-napa."

"Gak usah peduli, kalo lo sendiri begitu!"

"Gi, jangan batu! Gue bilang gak usah!"

"Lepas bisa gak!"

Pandangan Gia otomatis mengarah pada seseorang yang tak asing masuk dari pintu samping, Gilang-lah orangnya.

"Aduh! Sakit woi!"

"Maaf, kak!"

Kevin mengerang kesakitan karena tangannya digigit oleh Gia sampai Gia jadi masuk dalam club tersebut. Bau asap dan alkohol yang menyengat langsung membuat kepalanya pening begitu memabukkan. Tanpa security, tanpa kartu pengenal, ternyata semua orang bisa masuk ke dalam.

"Cantik banget, dek. Ikut Om mau."

"Sentuh gue, muka lo bonyok!"

"Waduh, sangar nih. Om suka yang sangar-sangar."

Begitu tangan Gia hendak diraih, Gia langsung menginjak kaki Om-Om gendut yang sempat menggodanya itu. "Aduh! Wanita gila!"

"Mampus!"

Semua orang tampak menatap ke arahnya, tapi ia tak peduli karena beruntung sekarang dirinya menemukan keberadaan Gilang yang baru saja duduk di kursi bar. Gia pun langsung berlari mendekat.

"Lang, pulang!"

"Loh, kok lo bisa di sini?" Gilang terlihat panik, buliran keringat di dahinya mulai menimbul. "Gimana caranya lo muncul?"

"Lo mau pulang bareng gue atau gue ikut join di sini?"

"Gila?"

"Kalau lo gak mau pulang, gue sebar aib lo ke satu sekolah. Gilang si pemabuk!"

----
Gia serius mau join?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro