XXI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gia berlari sejajar jalannya mobile stretcher menuju ruang UGD. Air matanya masih mengalir deras membasahi kedua pipinya yang memerah. Tangannya tak pernah lepas dari lengan besar Gilang yang kini lusuh dan terkulai

Rasanya seperti mimpi, ia masih tak menyangka dengan kejadian yang menimpanya. Pikirnya ia bisa menyembuhkan Gilang, pikirnya hari-harinya akan berseri setelah membuat Gilang tersenyum lepas dan bahagia. Tapi ternyata semua itu jauh dari perkiraannya.

Suster sudah membelokkan mobile stretcher ke ruang UGD. Namun, langkahnya harus terhenti karena seorang suster tersebut memblokade jalannya.

"Sus, gue mau liat Gilang."

"Maaf, Dek, silakan menunggu di luar," balas suster tersebut dengan tegas.

Tak ada yang bisa Gia lakukan selain mengeluarkan ponsel yang layarnya sudah retak seribu, untuk menghubungi Iris, dan menunggu adanya nada sambung. "Ris, lo masih di rumah sakit anteres kan? Gue di UGD, Ris."

"Kenapa, Gi?"

"Kami kecelakaan."

"Ya ampun, iya, gue ke sana."

Gia memutuskan panggilan secara sepihak, lalu mencari kontak Kevin. You have blocked Kevin Noel.

Setelah sepuluh menit menunggu, barulah Gia mendengar suara derap langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia mendongak menatap kedua alis Iris yang sudah berkerut dalam. "Gia, lo kenapa! Tangan lo luka-luka semua. Kening juga lebam."

"Mobil kami masuk jurang, Ris. Gilang lebih parah di dalam dan sekarang gak sadar diri!"

"Ya ampun...." Iris langsung terduduk lemas, seakan ia baru saja membuat runtuh seluruh tulangnya. "Nanti lo jelasin detailnya. Gue mau ambil P3K dulu, abis tuh gue telpon mama Gilang. Tunggu sini."

Gia hanya mengangguk pasrah, yang bisa ia lakukan hanya berdoa supaya Gilang baik-baik saja. Entah, bagaimana reaksi ibu Gilang setelah tahu anaknya kecelakaan. Tanggung jawab seperti apa yang harus ia beri? Bagaimana jika dirinya justru dianggap bersalah?

"Ayo, gue obati dulu," ucap Iris yang sudah kembali membawa kotak berisi perlatan medis. Dengan telaten Iris membersihkan luka di lengannya menggunakan antiseptic air, lalu menutup lukanya dengan kasa steril supaya tak infeksi.

"Ris, sebelum gue cerita. Gue boleh tau, kenapa Gilang bisa kena depresi?"

"Mungkin karena mama. Mama tuh sering nganggap Gilang remeh, kadang juga menekan. By the way, mama yang gue maksud itu mama kandung Gilang."

"Emang orang tua kalian gimana?"

"Orang tua gue pisah karena emang gak cocok lagi. Hem, waktu kecil Gilang pernah ngerengek minta dibeliin mainan, pas papa Gilang keluar cari mainan tiba-tiba dia kena stroke dijalan karena terlambat dobatin jadi meninggal."

Gie merasa pilu dalam hati, kasihan sekali Gilang.

"Terus, mama kayak kepincut gitu sama papa gue. Karena sering ketemu, yah nikah deh. Setelah itu, gue sadar kalau mama lebih pilih kasih sama gue dibanding Gilang padahal Gilang anak kandungnya sendiri, Gilang disuruh belajar rajin lah, jadi dokter lah, biar mama gak malu."

"Bukannya kalau mau jadi dokter harus dari lulusan IPA ya? Gilang kan IPS. Bisa dijadiin alasan biar gak terus ditekan."

"Gue gak tau, Gi. Mungkin aja ada aturan lain dari Mama. Gue cuma bisa support Gilang. Gue juga berterima kasih karena lo karena udah banyak bantuin Gilang." Kemudian, Iris membalut lukanya dengan perban dan menekannya sampai rasa perih yang terasa hilang. "Selesai."

"Makasih banyak, Ris. Lo emang cocok jadi dokter."

"Aamiin, tapi kok lo gak ngerasa sakit?"

"Sakit gue gak ada artinya dibanding Gilang."

"Jadi kenapa kalian bisa gini?"

"Awalnya...." Gia bercerita panjang lebar mulai dari Gilang yang ingin bunuh diri, Kevin memaksa ikut dengannya lengkap dengan segala hujatan untuk Gilang, sampai akrnya tubuhnya terombang-ambing dan menindih Gilang. Mendengarnya saja Iris meringis, apalagi melihat langsung, mungkin sudah pingsan dibuatnya.

"Beruntung kejadiannya udah deket rumah sakit, lo tau kan sepanjang jalan menuju ke sini hutan semua. Gue gak bisa bayangin kalau Gilang terlambat diobati dan gue pasti gak bakal bisa liat senyum dia lagi," lanjut Gia.

"Lo sadar gak sih, dari kejadian itu Gilang gak mau ngelepas pelukannya dari lo biar lo selamat."

"Pikiran kita sama, tapi untuk apa Gilang ngelakuin itu?"

"Biar dia seneng."

"Maksud lo?"

"Lo bilang Gilang hampir bunuh diri kan? Ya, Gilang senang, tapi sesaat karena dia udah menyalurkan rasa sakitnya. Gue harap, setelah kejadian ini dia gak ngulang nyakitin dirinya dan bisa jadi dia akan menganggap dirinya berguna  karena udah nyelamatin lo, Gi."

Gue pikir lo bakal bilang karena Gilang suka sama gue. Ah, di saat begini lo gr Gia!

"Terus gue harus gimana?"

"Yah, lo gak perlu khawatirin Gilang. Gua gak mau lo terbeban."

"Ya ampun, Ris. Lo ngeraguin gue? Gue sama sekali gak ada beban."

"Ada beribu cowok di dunia ini yang lebih baik buat lo, Gi."

"Ris, lo apaan si--"

"Mana Gilang?" Seorang wanita berparas tiba-tiba datang dengan memakai snelli dan steteskop di lehernya.

"Gilang masih ditangani di UGD, Ma."

Jadi, dia mama Gilang? Cantik ya, gak ada keriput. Kayaknya masih umur tiga puluhan.

Sepanjang mendengar cerita Iris, sepanjang itulah mama Gilang menatap Gia tajam, hampir tidak berkedip. "Kamu kenapa masih di sini?"

"Gia mau minta maaf, Tan. Gia gak tau kalau mobilnya sampe jatuh. Jadi, Gia mau nunggu di sini nemenin Gilang."

Mama Gilang justru mengeluarkan lembaran uang merah dari dalam sakunya dan meletakkannya di telapak tangan Gia. "Ongkos pulang. Sudah malam."

"Enggak, Tan. Harusnya Gia yang ganti uang pengobatan Gilang, Gia mau nunggu Gilang."

"Ris, cepet telepon orang tuanya nanti dia dicari."

"Em, ayo Gi, gue anter lo keluar." Iris menarik-narik tangannya untuk menjauh dari ruang UGD.

"Loh, Ris kok?"

"Udah, lo udah denger cerita gue kan."

"Gue gapapa tidur di sini, Ris. Orang tua gue gak bakal pulang, mereka kerja."

"Ris, bilang sama dia kalau nanti dia mau jenguk Gilang suruh tutup pintu dari luar," ucap mama Gilang, sebelum masuk dalam ruang UGD.

Lah, sama aja gue disuruh keluar, lagian kenapa mama Gilang harus nyuruh Iris buat ngomong, kan gue masih ada di hadapannya.

"Gi, bersyukurlah mama gue gak minta ganti apapun ke elo. Dia udah gak mau tau urusan, dia cuma mau Gilang sehat. Lo bisa paham gue?"

"Tapi gue belum tau Gilang kenapa di dalem?"

"Nanti gue kabari Gilang kenapa dan kapan boleh dijenguk. Jangan bikin mama pusing, Gi."

"Ya udah, gue bisa pulang sendiri."

"Maaf, ya Gia."

"Tolong sampein ke Gilang kalau gue sayang sama dia."

Iris hanya mengacungkan jempol tanda 'ok', sebelum Gia memesan taksi online, lalu pulang ke rumah karena hari sudah malam. Iris begitu bersikap baik padanya, tapi kenapa seolah tak menyetujui dirinya dekat dengan Gilang?

Apa itu artinya, tidak ada lampu hijau untuk bersama dengan Gilang?

---
Ada yang bisa nebak? Nebak apa aja wkwk

Mobile stretcher

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro