16 | Di Sekitar Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Forren mengantarkan Vienna ke tenda utama milik kerajaan Baratheon, tempat Timothy dan Nathaniel berjibaku dengan tumpukan kertas. Belum sempat Forren dan Vienna masuk ke dalam, dua penyihir muncul di depan pintu, mempersilahkan mereka masuk setelah memastikan mereka bukan musuh.

"Yang Mulia," ucap Forren menghadap kepada Timothy.

Menyadari kehadiran Forren, Timothy memberhentikan kegiatan mereka, "apa anda sudah merasa lebih baik, nona Vienna?" tanya Timothy dari balik meja.

"Ya, Yang Mulia." Timothy mencari kebohongan dari wajah Vienna, memastikan kebenaran dengan jawaban gadis itu. Setelah yakin, Timothy memanggil Nathaniel melalui gestur tangan, menyuruh untuk memulangkan Vienna ke Baratheon.

Forren memandang Vienna, sebelum dia menghilang menggunakan teleportasi. Sekali lagi menunjukkan kasih sayang sedalam lautan pada Vienna, kemudian memberikan sebuah hadiah berupa gelang pada Vienna. Gelang itu sangat sederhana, terbuat dari manik murahan dan kerang sebagai pemanis di tengah-tengah. Tetapi tampak sangat indah saat dikenakan oleh Vienna.

"Aku tidak sengaja melihatnya saat berangkat kesini. Anggap saja ini janjiku agar kembali dengan selamat," ujar Forren. Vienna sekali lagi memeluk Forren, kali ini perasaannya meledak. Forren selalu memikirkan Vienna, kemanapun dia pergi dan itu membuat Vienna tersentuh.

"Aku akan berdoa untuk kakak," balas Vienna di tengah-tengah pelukan,

"Yah, selesaikan studimu dengan baik. Sampai nanti." Forren melepaskan pelukan penuh perasaan itu, memberikan izin pada Nathaniel untuk memulangkan Vienna. Nathaniel memegang tangan Vienna, sebelum mengucapkan mantra teleportasi, terlebih dahulu Nathaniel membacakan mantra penyembuh agar Vienna tidak merasa lemas dan pusing.

"Jangan lupa dengan hukumanmu nona Vienna, aku tidak memiliki belas kasihan untuk yang satu ini." Timothy melipat kedua tangan, melihat perlahan-lahan sosok Vienna di tenda menghilang berkat mantra Nathaniel. 

"Kembalilah, dengan membawa berita yang bahagia." Kalimat itu keluar dari hati Vienna, bukan dari mulutnya. Doa yang tulus, tidak hanya di tujukan oleh Forren. Tetapi juga untuk seluruh prajurit dan orang-orang yang berjuang di medan perang, agar bisa kembali berkumpul dengan keluarga mereka lagi, secepat impian semua orang.

***

woosh~

"Nona!" Vienna tiba di kediaman, sesaat setelah Dorothy membuka pintu kamar. Bekas air mata menghiasi wajah pelayan itu, mencari keberadaan Vienna saat mendapat kabar dia hilang. Dorothy memeluk Vienna dengan erat, takut dia menghilang lagi. Vienna mengedarkan pandangan ke daun pintu, orang-orang juga tampak sama khawatir seperti Dorothy. Beberapa prajurit dari kerajaan juga dikerahkan untuk mencari keberadaan Vienna, menelusuri setiap sudut rumah dan hutan di sekitar. Akhirnya mereka bisa bernafas lega, menemukan Vienna baik-baik saja. 

"Maafkan aku, membuat kalian khawatir, aku minta maaf untuk tingkahku beberapa hari ini." Vienna membalas pelukan Dorothy, melepaskan semua ketakutan yang dia pendam. 

Mungkin masa depan tidak akan bisa aku ubah. Pada akhirnya semua akan mati. Tapi aku bersyukur, di kehidupan ini...

aku bertemu orang-orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati.

***

Fajar menyingsing, matahari memancarkan cahaya emas dengan berani, bersemangat menyaksikan peperangan yang sebentar lagi mencapai titik didih. Orang-orang siap mempersembahkan nyawa mereka kepada sang neraka. Mereka tidak takut akan lautan darah, atau mungkin kebalikannya. Mereka takut, tetapi tidak gentar menghunuskan pedang dan anak panah kepada musuh. 

Sebenarnya apa arti perang? 

Perang, hanyalah wadah untuk binasa

"Apa kau yakin dengan strategimu?" Owen sekali lagi bertanya pada Timothy, menegaskan keteguhan hatinya. Setelah berbincang tentang strategi yang akan mereka gunakan, Owen merasa keberatan. Namun, dia harus mengikuti pemimpin mereka.

"Aku tidak ingin kalah lagi. bajingan jika aku harus menerima kekalahan, aku tidak bisa membayar nyawa mereka yang menghilang bahkan dengan seluruh darah yang mengalir di tubuhku," seru Timothy tegas.

Seribu dua ratus prajurit panah dengan empat ribu delapan ratus prajurit pedang di pimpin oleh Timothy dan putra mahkota Drugsentham, Matthew. Timothy berdiri dengan gagah di depan pasukan, siap memberikan pidatonya untuk membakar api semangat yang bersemayam di dalam raga mereka. 

"Kita berada disini, karena kita di perlukan. Aku tahu, semuanya takut, semua dari kita takut kehilangan nyawa. Karena ada yang menunggu kita untuk pulang, menanti kita dengan sup hangat dan pakaian tebal. Menunggu kita dengan doa-doa dan tangisan...," lautan orang mendengarkan pidato Timothy, memendam rasa rindu mereka kepada rumah. 

"Karena itu, kita harus pulang. Kita harus pulang dengan bahagia, kita harus pulang untuk membanggakan pahlawan-pahlawan kita yang sebelumnya telah mati di peperangan demi membela kebenaran. Kita adalah pasukan yang akan membawa piala emas bagi negara kita!" seluruh orang bersorak, menunjukkan semangat yang bergelora. Dari tempatnya berdiri, Timothy bisa melihat setiap mata dari mereka, siap terbakar oleh dosa. 

Aku tidak tahu, apa aku akan membawa kemenangan untuk kita. Tapi akan aku pastikan, setiap dari kalian harus pulang kembali ke rumah kalian tanpa kurang satu helai-pun. Aku berjanji. 

Tanda peperangan dimulai dengan bunyi terompet yang panjang, sorakan para prajurit terdengar hingga ke samudera. Nathaniel Bersama dengan 10 penyihir yang lain, membungkus seluruh tubuh mereka dengan jubah hitam. Mereka memajukan kedua tangan, membacakan mantra untuk para prajurit yang diberkahi dengan cahaya emas. 

"Menang-lah, wahai engkau anak manusia, karena aku telah Memerintahkan mu untuk ikut bersama Ku. Tubuh mu akan menjadi persembahan untuk Iblis, dan tekadmu akan mengantarkan mu kepada perahu Nirwana" 

Seluruh prajurit diselimuti oleh cahaya keemasan. Mereka pikir itu adalah berkat Tuhan. Dibandingkan berkat Tuhan, cahaya itu sangat ingin melahap mereka untuk mati. Dari balik topi jubah yang kebesaran, Nathaniel tersenyum miring melihat nyawa-nyawa itu akan melayang.

Matanya berubah menjadi merah. Semerah darah segar, kontras dengan kulit putih dan rambut pirang yang nyaris putih. Layaknya dewa, penyihir itu terbang di atas prajurit, memberikan arahan sesuai dengan strategi yang mereka susun melalui telepati.

Perang ini dari awal berat sebelah. Nathaniel tidak bisa menahan gelak tawa yang mengerikan. Orang-orang selalu mengatakan jiwa yang dimiliki oleh Nathaniel adalah putih dan suci. Tidak ternodai oleh apapun. Sesungguhnya mungkin hitam pekat, sangat pekat hingga mereka salah melihat dan buta. Nathaniel ada perwujudan malaikat yang jatuh dari surga.

Bahkan Timothy menatap ngeri Nathaniel, dia terkadang berpikir teman sekaligus ajudan itu sedang dalam 'mode gila' jika sudah turun ke medan perang.

Di tengah kegilaan yang ada, Matthew mengangkat pedang panjangnya ke atas langit biru yang nampak kelam.

"Serang!!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro