41 | Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di ruangan yang tenang, Timothy sedang bergulat dengan dokumen-dokumen kerajaan yang tidak pernah habis. Namun, ada perbedaan yang signifikan. Tidak ada lagi tumpukan kertas di atas meja Timothy. Mejanya tampak lebih rapi dan Timothy tampak menikmati kegiatannya.

Beberapa menteri bahkan Raja dan Ratu sedikit bingung dengan perubahan tiba-tiba dari Timothy. Sepertinya hal itu terjadi, karena tiap hari dia selalu menunggu surat yang Vienna kirimkan padanya.

Batu kristal berwarna hijau terletak cantik di antara barang Timothy yang ada di atas meja. Batu kristal yang terhubung dengan milik Vienna. Tanpa sadar, senyumnya sedikit merekah.

"Baiklah, aku tidak ingin melihat hal gila seperti ini lagi." Nathaniel mengacaukan suasana ruang kerja Timothy, membuka pintu dengan kasar dan berkacak pinggang di depan Timothy sambil memegang sebuah surat.

Kalau kau menyukainya, kejar saja. Jangan membuat suasana kerajaan menjadi bingung karena sikapmu itu! batin Nathaniel. Dia sudah muak, Raja dan Ratu terus menerus mengganggu Nathaniel bertanya apakah Timothy baik-baik saja, mereka khawatir dengan kondisi Timothy. Raja dan Ratu mungkin berpikir anak mereka sudah gila pasca perang.

"Ada apa?" Timothy tidak merasa terganggu dengan sikap Nathaniel.

"Apa dia belum mengirimkan mu surat?" Nathaniel menunjuk batu kristal dengan dagunya.

 "Tidak, dia belum mengirim. Kenapa?"

Nathaniel sedikit menghela nafas. Sebenarnya dia tidak ingin memberitahukan informasi ini pada Timothy, tapi dia harus melakukannya. Karena dia perlu pergi ke Drugsentham hari itu juga. "Sebuah jasad ditemukan tergeletak di depan butik milik Vienna." Nathaniel menilik ekspresi Timothy, dia ingin tahu seperti apa reaksinya. 

"Lalu, alasan dia menghubungimu?" tidak seperti harapan Nathaniel, Timothy memberi reaksi biasa saja. Bahkan, tidak ada raut kekhawatiran seperti yang dibayangkan oleh Nathaniel. 

"Jasad itu adalah Feby Dessert, kita mungkin pernah bertemu dengannya karena dia salah satu teman Vienna saat belajar disini. Jasadnya menunjukkan tanda-tanda kematian tak wajar dan mereka menemukan serpihan sisa sihir." 

Untuk hal ini, Nathaniel pun cukup terkejut. Di zaman sekarang, para penyihir saling mengenal karena komunitas mereka tergolong sangat kecil. Setiap nama penyihir akan tercatat di buku besar menara hitam, beserta dengan teknik sihir yang mereka kuasai serta jabatan yang mereka punya. Nathaniel yakin, mustahil ada seorang penyihir di Drugsentham. Kalau pun ada, hanya satu kemungkinan. 

Penyihir hitam. Nathaniel tidak ingin berburuk sangka, jadi dia harus memastikan bahwa dugaannya salah. Apalagi mereka saling terikat. Jika semuanya berantakan, keberadaan mereka saat ini akan ditolak dan dunia akan hancur. 

Nathaniel tersenyum miring, dia yakin Timothy juga menduga hal yang sama. "Aku akan ke Tristana dengan teleportasi, apa kau ingin ikut?" Nathaniel tidak ingin berpura-pura bodoh lagi, karena Timothy sudah mengaku memiliki perasaan pada Vienna, meski perasaan itu belum memiliki nama dan arti. 

"Aku ikut." 

***
Hari berganti menjadi malam, keributan yang terjadi di depan butik Vienna sudah mereda, kini hanya tertinggal beberapa prajurit dari istana yang bertugas untuk menjaga agar tidak ada yang bisa mendekat ke tempat kejadian perkara. Owen sudah berada di dalam butik, duduk di sofa menunggu kedatangan Nathaniel. 

Owen memejamkan matanya. Seakan tahu, angin kencang tiba-tiba saja menerpa ruangan itu, menerbangkan beberapa gorden dan barang-barang bergetar. Nathaniel dan Timothy muncul, lalu angin kencang itu berhenti dan semuanya kembali normal. Owen membuka matanya, dia tidak menyangka Timothy akan turut hadir. 

"Saya pikir hanya penyihir agung yang akan datang, saya merasa tidak pantas menemui Yang Mulia dalam keadaan seperti ini," bibir Owen melengkung seperti bulan sabit. Namun, tidak dengan matanya yang terlihat dingin. Sejujurnya dia tidak ingin Timothy hadir di Tristana, karena dia sedikit membencinya. Padahal dulu sekali, hubungan mereka tidak seburuk sekarang. 

"Tidak perlu formal Duke, aku juga hadir disini karena informasi yang kamu berikan padanya. Mari jangan berlama-lama dan tunjukkan jasadnya kepada kami." Berbeda dengan Owen, Timothy hanya menunjukkan ekspresi datar. Seperti biasa, sulit ditebak. 

"Euparousia," bisik Nathaniel membaca mantra. Para prajurit tidak dapat mendengar seluruh percakapan mereka dan orang dari luar tidak bisa masuk tanpa seizin orang yang ada di dalam ruangan. Owen memimpin jalan, memberikan sapu tangan kepada Timothy untuk digunakan. 

"Apa kau tidak punya masker?" tanya Timothy, dibalas dengan gelengan. 

"Mayatnya tidak berbau, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda membusuk sejak kami menemukannya. Dia seperti terlapisi oleh lilin meski keadaan tubuhnya sangat kurus," jelas Owen. Mereka bertiga tiba di bagian gudang, mayat Feby sudah tergeletak di sana tertutup dengan kain putih. 

Nathaniel melangkah lebih dulu, tanpa rasa takut mendekat pada mayat dan menyingkap kain yang menutupi mayat tersebut. Nathaniel memegang daging pucat Feby dengan tangan telanjang. Dia berjongkok agar bisa lebih jelas melihat mayat Feby. Kondisinya tidak seburuk yang dia kira, tetapi Nathaniel harus memastikannya lagi. 

"Terasa seperti bernostalgia yah?" ucap Timothy meneliti mayat Feby dari jarak jauh. 

"Anda benar, cukup bernostalgia, apalagi hanya ada kita bertiga disini," Owen memegang belakang lehernya yang sakit, "sama seperti hari itu.

"Dimana letak serpihan sihir itu?" Nathaniel bertanya dengan bahasa informal. Seakan-akan mereka bertiga cukup dekat hingga tidak mementingkan status dan jabatan. 

"Ada di leher." Nathaniel mendekat pada leher Feby. Dia memang merasakan ada sisa sihir di mayat Feby. Dia hanya tidak menyangka serpihan sihir itu sangat sedikit. Mungkin sudah tidak akan terdeteksi lagi jika mereka datang lebih lama. Nathaniel mulai menebak, tetapi dia tidak yakin tebakannya akan baik. Nathaniel merasakan, hal ini lebih buruk dari yang dia pikirkan. 

Tepat saat kulit Nathaniel bersentuhan dengan serpihan sihir yang tersisa, sebuah api muncul, melahap mayat Feby. "Apa yang kau lakukan?" Owen pikir itu adalah sihir Nathaniel, "itu bukan karena aku, mayat ini memang akan terbakar dengan sendirinya." Nathaniel sama sekali tidak berniat bergerak, padahal posisi api sudah sangat dekat dengannya. Huruf-huruf kuno berterbangan di udara, membentuk sebuah bahasa yang hanya dimengerti oleh segelintir orang di dunia ini. 

Nathaniel sudah yakin sejak dia melihat mata Feby yang menggelap dan kosong. Feby mati bukan hanya karena praktik sihir. 

"Dakthar xeril moroth resparthas.

Owen membacakan kalimat itu dengan suara yang lantang. Nathaniel dan Timothy juga bisa membaca kalimat yang tertulis di udara, tetapi mereka tidak berani. Karena, seharusnya tidak ada manusia yang boleh membaca kalimat itu di dunia mereka. Sebab kalimat itu menggunakan bahasa iblis. Owen tersenyum miring, kalimat itu sungguh mengganggunya dan dia berniat ingin membunuh orang yang meninggalkan pesan iblis itu. 

Mereka bertiga tidak perlu bertanya, kepada siapa seharusnya pesan tersebut di kirimkan. Tentu saja, untuk Vienna. 

"Sebelum kau bisa menangkapnya, aku akan lebih dulu membunuhmu." Owen bersumpah, dia tidak akan membiarkan Vienna mati untuk yang kedua kalinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro