GLOW UP?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

❤️ Happy Reading ❤️
.
.
.

Aku Carla, remaja tujuh belas tahun yang selalu malu untuk menunjukkan diri di depan umum serta tak pernah percaya diri dengan wajahku sendiri. Mungkin sebagian orang akan menyebutnya kekanakan, tetapi tidak bagiku si pemilik wajah datar tanpa ekspresi dan jelek. Oleh karena terlahir dengan wajah seperti ini, kepercayaan diriku sangat rendah.

Seperti saat ini, aku duduk di bangku paling belakang di dekat jendela, menyaksikan teman-temanku bercanda dan tertawa dengan yang lain seperti tanpa ada beban. Enak sekali mereka yang berwajah cantik dan mudah berekspresi, mereka bisa mendapatkan teman dengan mudah.

"Kamu ngapain mojok doang, La? Nggak mau jajan-jajan gitu? Jam istirahat udah mau kelar, loh."

Lamunanku buyar ketika suara cempreng itu menembus kedua gendang telingaku. Gadis ini namanya Dinda, teman sebangku sekaligus satu-satunya orang yang cukup dekat denganku.

"Lagi males keluar, tadi juga udah bawa bekal dari rumah," balasku ogah-ogahan. Meski sebenarnya setiap hari aku juga seperti itu.

"Kamu tuh, ya. Hobi banget diem. Sekali-kali nimbrung sana yang lain, La. Temen-temen sampai nggak tahu tentang kamu, loh." Dinda lantas duduk di sebelahku dan memainkan ponselnya. Dia yang sudah terlampau paham dengan tabiatku tidak mau ambil pusing dan memilih tenggelam dalam dunia gadget.

Melihat Dinda tak lagi berkomentar, aku menghela napas lega. Setidaknya dia mau memahami kebiasaan burukku ini. Karena mau bagaimana pun, aku memang sangat sulit untuk bergaul dengan orang-orang. Berada di keramaian membuat kepalaku pening.

Bel tanda berakhirnya jam istirahat berdering, dengan begitu aku jadi merasa terselamatkan karena kelas akan kembali hening. Entah takdir atau apa, aku yang mencintai kesunyian ini malah berada di kelas yang dipenuhi oleh orang cerewet.

🍂🍂🍂

Setelah seharian bergelut dengan bermacam mata pelajaran yang membuat kepala pusing, serta bertemu dengan banyak orang. Akhirnya aku sampai ditempat paling nyaman di dunia, yaitu kamarku sendiri.

Dengan penuh semangat, kuhempaskan tubuhku ke atas kasur empuk bermotif bunga itu dan menghela napas lelah. Nyatanya berhadapan dengan banyak manusia lebih menguras tenaga dibanding berlari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak tiga kali.

Kupandang langit-langit kamar sembari melepas dasi yang masih terikat di leher lantas melemparkannya asal. Sore ini adikku ingin jalan-jalan ke Alun-Alun Kidul, dan aku harus menemaninya. Aku mengubah posisi berbaringku menjadi tengkurap dengan wajah menghadap samping.

'Kalau bukan karena ditraktir, mending aku rebahan, deh,' batinku ogah-ogahan.

Baru saja mengeluh dalam hati, pintu kamarku diketuk dan terbuka sebelum aku memberi izin. Sosok yang baru kubicarakan memasuki kamarku masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya.

"Ih, kok belum siap-siap, sih? Keburu habis bakso bakarnya!" Wajahnya memerah, mungkin karena begitu turun dari bus, dia langsung berlari agar cepat sampai rumah.

Aku bangun dan duduk di tepi ranjang. "Kamu juga baru sampai, Li. Kenapa aku harus siap-siap, sementara kamu baru aja sampai di rumah? Badanmu aja masih bau matahari gitu," sahutku tak mau kalah.

Dengan polosnya Lily mencium bau badannya sendiri dan menatap kesal ke arahku. "Ya mau gimana lagi? Udah jam segini, tapi matahari masih terik," balasnya ketus.

"Tuh, tahu. Kenapa maksa buat jalan sekarang? Kenapa nggak nunggu Mas Danang aja? 'Kan lumayan, kita bisa berangkat pakai mobil, daripada naik bus atau pesan ojol."

Mas Danang adalah kakak kita, si sulung sekaligus satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami. Dia seorang mahasiswa semester akhir yang akan lulus tahun ini dan selalu mendapat nilai bagus, itulah kenapa ayah memberinya mobil sebagai hadiah dari prestasinya.

"Boleh juga," Lily mengangguk, "oke, tapi Mbak tetap harus siap-siap. Biar nanti pas Mas Danang pulang, kita bisa langsung berangkat," katanya mewanti-wanti.

"Iya, iya. Cerewet banget, ih! Udah, keluar sana. Aku mau mandi."

Aku kemudian berdiri dan berpura-pura berjalan ke kamar mandi. Namun, begitu Lily meninggalkan kamar, aku kembali melompat ke kasur dan memeluk guling. Aku masih ingin melepas rindu dengan kasur empukku.

🍂🍂🍂

Tibalah di saat kita berjalan-jalan ke alun-alun, tepat ketika Mas Danang pulang. Sebenarnya aku kasihan dengan masku karena dia baru pulang dan langsung diseret untuk mengantarkan kami. Namun, beruntung dia tidak marah dan malah senang dengan ajakan Lily. Begitulah si sulung di keluarga kami yang selalu menyayangi adik-adiknya dan selalu ramah pada semua orang.

Sifatnya itu juga yang membuatku iri. Bagaimana tidak? Di antara kita bertiga, sepertinya hanya aku yang bernasib buruk. Dua saudaraku seperti tidak pernah mengalami masa sulit ketika di sekolah karena mereka berwajah cantik dan tampan. Sementara aku? Hmm ... sejauh aku bisa mengingat, orang bilang bahwa di antara kami bertiga, hanya aku yang tampak berbeda. Mungkin karena warna kulitku yang lebih gelap dari dua saudaraku, orang-orang jadi meragukan kalau kita bersaudara.

"Kamu nggak mau beli jajanan juga, Dek?" Mas Danang menepuk pundakku dan membuyarkan lamunan yang membuatku lupa jika sekarsng kita tengah berjalan kaki di area alun-alun sembari mencari jajanan.

Aku menggeleng. "Nggak ada yang menarik."

Terdengar kekehan pelan dari sosok di sampingku. "Kamu itu, loh. Padahal ini yang traktir Mas semua, lebih antusias dikit, kek. Lihat itu si Lily, udah apa aja yang dibeli sampai bawa kresek banyak gitu," sergahnya tak mau menyerah.

"Aku ya aku, Lily ya Lily. Lagian dalam seminggu, kita bisa ke sini sebanyak dua atau tiga kali. Aku udah bosan sama street food-nya."

Mentang-mentang kita adik cewek, Mas Danang suka menyamakan kita. Padahal kepribadianku dan Lily jelas bertolak belakang.

"Iya, iya. Jangan ngambek gitu, dong. Jadi hilang manisnya." Mas Danang mencolek daguku, dan itu malah membuat suasana hatiku semakin buruk.

Setelah puas memberi jajanan ini dan itu, kami memutuskan untuk mampir ke salah satu angkringan dan duduk secara lesehan. Tak jauh berbeda dari Mas Danang dan Lily yang makan jajanan yang mereka beli, aku menyantap satu porsi sate yang kupesan dari stan tak jauh dari angkringan tempat kita duduk.

"Kita foto, yuk!"

Tiba-tiba Lily merangkulku dan bersiap mengambil gambar dengan ponselnya. Bahkan sebelum aku berpose, Lily sudah menekan ikon tangkap gambar di benda pipih itu. Tentu saja gambar yang dihasilkan tidak bagus, apalagi di foto itu mataku terpejam sebelah dan mulutku terbuka.

"Ih, kamu kalau mau selfie kasih aba-aba dulu, dong! Jangan asal jepret, mukaku jelek banget!" Aku merebut ponsel Lily dan langsung menghapus foto barusan.

Hal itu membuat Lily cemberut dan balas merebut ponselnya dari tanganku. "Iya, iya. Gitu aja ngambek."

"Lagian ngapain ajak aku foto? Sana foto sama Mas Danang aja, aku nggak suka foto," balasku ketus, kemudian kembali fokus pada sate yang belum selesai kusantap.

Begitulah aku dan Lily setiap harinya. Kita memiliki banyak perbedaan, jadi nyaris setiap hari kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Jika sudah seperti itu, Mas Danang-lah yang menjadi penengah dan membuat kita berdamai.

🍂🍂🍂

Sebelum kembali dari alun-alun tadi, kami bertiga sempat mengambil foto bersama dengan menggunakan ponsel Lily. Meski aku menolak, pada akhirnya aku berada dalam satu foto dengan kedua saudaraku. Dan baru saja Lily mengirim foto itu melalui pesan.

Kini aku tengah duduk santai di kursi belajarku sembari memandangi layar ponsel. Foto kamu bertiga ternyata tidak terlalu buruk, atau mungkin karena Lily yang pandai berpose? Atau memang foto itu ada mereka yang tampan dan cantik, jadi mau bergaya seperti apa pun tetap bagus? Entahlah, hanya saja aku menyukai foto kita sore tadi.

Suasana hatiku langsung membaik, dan melihat momen kebersamaan kita yang jarang terekam oleh kamera membuatku ingin mengunggah foto itu ke media sosial. Tanpa pikir panjang lagi, aku membuka aplikasi Instagram dan mengunggah foto kami ke umpan. Oh, aku bukan tipikal orang yang suka bermain media sosial, jadi di Instagram-ku juga tidak terdapat banyak foto. Bisa dibilang ini adalah unggahan pertamaku, di mana wajahku terlihat jelas di situ. Sebelum-sebelumnya, aku tidak menunjukkan sebagian dari wajahku.

Setelah memastikan foto itu terunggah, aku meletakkan ponsel ke atas meja dan beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sebentar lagi akan masuk waktu makan malam, tapi sepertinya aku berencana untuk tidak ikut makan karena sudah kenyang dari jajan tadi. Mungkin setelah ini aku akan belajar sebentar dan lanjut menonton drama Korea atau menulis. Omong-omong soal menulis, aku masih seorang amatir. Aku hanya sedang berusaha mengalihkan rasa kesepianku ke hal yang bisa menghiburku. Dari apa yang kulihat di internet, belakangan ini orang-orang bisa menghasilkan uang hanya dengan menulis. Jadi aku pun mencoba juga, meski belum bisa menghasilkan uang, setidaknya aku belajar untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang suatu saat nanti bisa diakui semua orang.

Usai mencuci muka, semangatku untuk belajar sedikit lebih meningkat. Kuambil buku pelajaran untuk besok, dan mulai mempelajarinya. Oh, aku bukan tipikal murid rajin, jadi aku hanya belajar giat ketika ada tugas rumah atau besok akan ulangan. Kurasa belajar seperti itu lebih menyenangkan daripada belajar giat sampai otak hampir meledak. Lagi pula aku adalah tipe yang lebih menyukai praktek daripada materi.

Saat dirasa cukup, aku memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas dan menyambar ponsel yang tadi aku letakkan di meja belajar. Ketika membuka aplikasi Instagram, aku mendapatkan notifikasi pesan dari satu orang.

Dahiku mengernyit, siapa gerangan yang mengirim pesan ke Instagram-ku? Setahuku, aku tidak pernah dekat dengan pengikutku di aplikasi berlogo kamera ini. Serta yang berteman denganku hanya orang-orang yang dulu pernah satu kelas denganku saja.

Akun yang mengirim pesan padaku bernama Erika. Jemariku bergetar begitu tahu siapa sosok itu.

[Mereka siapa]

Itu adalah pesan yang ditulis oleh Erika, dan perasaanku sudah tak enak. Namun, akhirnya aku tetap mengirim balasan.

[Kakak sama adikku]


Tak lama kemudian, balasan dari Erika kembali masuk.

[Wkwkwk ... nggak mirip. Yang kanan sama kiri, kelihatan banget kalau saudara. Tapi yang tengah ... maaf beda banget wkwkwk. Jangan-jangan kamu bukan anak kandung, La]

Tubuhku langsung lemas usai membaca untaian kata yang ditulis oleh Erika. Aku tidak lagi memberi balasan atas pesan orang itu. Dan justru kembali melihat foto yang tadi kuunggah. Kutatap foto itu begitu lama sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu.

Bahwa apa yang ditulis oleh Erika benar, aku dan mereka sangat berbeda. Jangan-jangan benar kata Erika, kalau aku bukan anak kandung dari ayah dan ibu. Astaga, memikirkan kemungkinan itu membuatku tertawa sumbang. Apa hanya karena aku tak semenawan mereka, lantas aku tidak bisa disebut saudara?

Kupikir kalimat itu adalah ejekan terakhir dari Erika, tetapi gadis itu kembali mengirim pesan lanjutan.

[Dih, dibaca doang. Sombong amat wkwk. Kamu dari SMP sampai SMA kok nggak glow up juga, sih? Masih cupu kayak dulu wkwk]

Aku tidak tahan lagi, dengan kesal kulempar benda pipih di genggamanku ke lantai. Tak peduli mau benda itu rusak atau tidak, yang jelas aku sangat kesal dengan kejahatan dunia maya.

"Astagfirullah, Dek! Kenapa hapenya dibanting?!"

Aku melempar ponsel tepat ketika Mas Danang memasuki kamarku. Dia memang begitu, suka asal masuk ke kamar adik-adiknya jika tahu pintu tidak terkunci. Menurutku kebiasaan ini agak menyebalkan, apalagi kita sudah memasuki usia remaja di mana perlu diberi ruang untuk menjaga privasi.

Mas Danang memungut ponselku dan meneliti benda itu beberapa saat. Sepertinya tidak rusak parah karena kulihat dia nenghela napas lega usai memeriksanya. Dengan hati-hati ia meletakkan ponsel itu ke atas meja dan menatapku dalam diam.

Suasana hatiku sedang tidak baik dan melihat kakakku menerobos masuk ke kamar tanpa permisi membuatku semakin kesal. Tanpa berkata sepatah kata pun, aku bangkit dan beralih duduk ke atas ranjang. Seakan paham, Mas Danang mengekor di belakangku dan ikut duduk.

"Kamu kenapa? Kok kayak jelek banget mood-nya?" Suaranya terdengar halus dan lembut seperti biasa.

"Nggak kenapa-kenapa. Mas lain kali kalau masuk ke kamarku, ketuk dulu pintunya. Jangan asal masuk gitu, 'kan aku udah bilang berulang kali," balasku dengan suara tertahan. Aku mati-matian menahan emosi agar tidak melampiaskannya pada kakakku.

"Mas udah ketuk beberapa kali, tapi kamunya nggak jawab. Mas cuma mau tanya, kok kamu nggak ikut makan malam? Apa udah kenyang dari makan sate tadi?"

"Udah, ini mau tidur." Aku menyambar guling dan memeluknya. "Udahlah, Mas keluar aja sana. Jangan ganggu, aku bener-bener nggak mood buat ngobrol sama Mas."

"Kamu ada masalah apa sebenernya? Tadi juga sampai banting hape gitu. Ada orang yang ganggu kamu lagi? Cerita aja sama Mas, Dek. Biar lega, jangan dipendam sendiri."

Seperti biasa, Mas Danang tidak mau kalah sebelum tahu apa yang terjadi. Dia kuliah di jurusan psikologi, dan paling memedulikan soal kesehatan mental adik-adiknya dibanding kedua orang tua kami. Dia juga yang paling peka dengan perubahan emosiku yang tidak stabil ini. Alih-alih senang, aku makin risih karena diperhatikan seperti ini.

"Dibilang nggak kenapa-kenapa, kok!" jawabku dengan intonasi lebih tinggi, dan aku merasa sedikit bersalah karena sudah membentaknya.

Mendengar itu, Mas Danang hanya mengangguk, dia kemudian berdiri dan mengambil ponselku. Sialnya, layar dari benda itu tidak mati meski sudah kubanting. Jadi kakakku bisa dengan leluasa membuka aplikasi apa yang tadi kubuka. Setelah puas meneliti isi ponselku, Mas Danang kembali duduk di tempat semula dan menepuk bahuku pelan.

"Apa karena Erika-Erika itu, sampai kamu nggak mau ngomong sama Mas?"

Aku bungkam, terlampau malas untuk berbicara dan membiarkan ia melanjutkan kalimatnya. Toh, dengan bertanya seperti itu, sebenarnya dia sudah tahu masalahku.

"Media sosial emang jahat, ya? Orang-orang seenaknya menilai yang lain seakan paling paham dengan hidup yang dia jalani. Padahal apa sih mereka itu? Cuma orang luar yang suka kasih komentar dan menghakimi tanpa dasar."

Mas Danang mengusap kepalaku. "Kalau omongan kayak gitu kamu dengerin, nggak akan ada habisnya, Dek. Jangan dipikirin," lanjutnya yang membuatku sontak menatapnya.

"Jangan dipikirin?" Aku tertawa kecil, rasanya lucu mendengar hal itu dari mulut kakakku ini.

"Gampang banget ngomongnya. Mas nggak pernah di posisiku, sih. Di mana hanya karena mukaku nggak secantik standar mereka, aku dijauhi. Dari kelas satu SMP, loh, aku nggak punya temen, Mas. Mau cewek atau cowok, sama aja. Nggak ada yang mau deket-deket sama aku. Katanya aku nggak cantik, jutek, sombong. Padahal ...."

Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku. Mengingat masa-masa sewaktu duduk di bangku SMP membuat dadaku sakit. Bahkan tanpa sadar, air sudah menggenangi pelupuk mataku.

"Hush! Siapa yang bilang kamu nggak cantik? Kamu cantik, kok. Adiknya Mas cantik semua. Kamu sama Lily, kebanggaan Mas, loh." Mas Dadang menatapku dalam, dia bahkan tidak tersulut dengan omonganku yang mungkin menyinggungnya itu.

"Gini, loh, Dek. Bukannya Mas nggak peka, atau nggak pernah ada di posisi kamu. Mas paham banget, zaman sekarang banyak orang yang mendewakan kecantikan dan ketampanan sebagai patokan layak dan tidak. Tapi pernah nggak orang-orang itu berpikir? Kalau yang mereka junjung itu sebenarnya sesuatu yang bisa hancur kapan aja."

Mas Danang beralih menatap langit-langit kamar. "Glow up ... itu salah satu kata yang lagi ngetren sekarang ini. Kebanyakan orang juga mengartikan glow up sebagai perubahan di mana seseorang berwajah jelek kemudian menjadi cantik atau ganteng. Bahkan kamu sendiri juga berpikir gitu, 'kan?"

Meski Mas Danang tidak melihat, aku mengangguk sebagai pangakuan bahwa tebakannya benar.

"Tapi buat Mas bukan itu."

"Lah, terus apa?" aku menoleh, dan di saat bersamaan, Mas Danang juga tengah menatapku.

"Glow up versi Mas itu, ketika kamu berhenti khawatir tentang apa yang orang pikirkan tentangmu. Kamu hanya menjadi diri sendiri yang semakin bersinar, tumbuh, dan merasa lebih baik. Dengan begitu, semua rasa nggak percaya diri dan ketakutan akan penilaian soal wajah atau tubuh akan menghilang dengan sendirinya, Dek."

"Toh, cantik dan ganteng itu relatif. Nggak bisa ditentukan hanya dari sudut pandang satu atau dua orang. Sebagai contoh kamu ini."

Aku mengernyit. "Kok aku?"

Mas Danang terkekeh dan lagi-lagi mengelus rambutku. "Kamu itu selalu cantik di mata orang yang tepat. Dalam artian, hanya orang-orang yang menyimpan iri hati ke kamu, yang nggak bisa melihat kecantikan kamu," lanjutnya dengan senyum lebar.

Aku Carla, tujuh belas tahun, duduk di bangku kelas dua SMA. Meski aku jarang belajar, bukan berarti aku bodoh. Hanya karena aku jarang bergaul, bukan berarti aku tidak mengerti bahasa manusia. Setiap untaian kata yang dari tadi meluncur dari bibir kakakku, tak ada satu kata pun yang tidak aku pahami. Dan itu benar-benar membuka satu pintu yang sedari dulu menghalangi pandanganku ketika aku ingin memahami diri sendiri.

"Gimana, Dek? Kok malah bengong." Teguran Mas Danang membuatku tersadar dari lamunan sesaat.

Aku berkedip beberapa kali kemudian menyahut, "Hehehe ... hari ini kadar bijakmu seratus persen, Mas. Aku sampai speechless."

Mendengar balasanku yang sedikit asal itu, Mas Danang merengut. "Kamu ini! Mas udah susah-susah mikir cari kalimat yang pas. Malah dikatain bijak seratus persen."

Raut kesalnya malah membuatku semakin terbahak. Aku tipe orang yang tidak bisa berterus terang tentang perasaanku, jadi aku tidak bisa menanggapi petuah Mas Danang tadi dengan serius. Namun, dalam hati aku sangat bersyukur, berkat ceramah singkatnya, kini suasana hatiku membaik. Dan sekarang aku telah memiliki gambaran, tentang jalan yang akan kuambil setelah ini.

###__________###__________###

Kurenggangkan otot-otot tubuh yang terasa pegal setelah nyaris dua jam duduk di depan layar laptop dan mengetik sebuah coretan cerita berdasarkan masa laluku itu. Oh, bukan masa lalu, karena ini baru empat bulan semenjak aku memulai langkah baru dalam hidupku usai diberi petuah bijak ala kakakku. Cerpen ini hanya akan kusimpan sebagai asupan pribadi layaknya buku harian dengan imbuhan diksi. Yah, mungkin bisa kukirim ketika ada lomba menulis cerpen di sekolah. Aku tinggal mengubah nama saja.

Bicara soal perkembangan diriku. Awalnya terasa sulit, karena pada dasarnya aku sudah lupa cara berbaur dengan teman sejak dikucilkan sewaktu SMP. Namun, ketika mencoba, ternyata tidak terlalu buruk. Sebab teman-teman kelasku jauh adalah orang-orang yang baik. Mereka bukan orang sombong seperti yang dulu pernah aku pikirkan, dan bukan juga orang yang berteman karena keindahan fisik.

Tuhan seolah mengerti, Dia mengirimkan sekelompok orang baik menjadi teman sekelasku usai memberi cobaan. Jika saja aku memilih untuk menyerah, mungkin sampai sekarang aku tidak akan pernah menyadari adanya hadiah yang telah Dia berikan.

🍂🍂🍂


Kayaknya ini first time aku bikin cerita dengan MC cewek dan sudut pandang orang pertama. Agak gimana gitu, tapi enjoy aja deh ya wkwk

Salam

Vha
(18-09-2021)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro