A Savior

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih seputar berada di meja makan rumah Chanyeon.

"Aku sudah tahu jika kau adalah anak kandung dari Ahjumma, Oppa. Beliau sudah menceritakannya padaku. Tapi kenapa kau bisa tahu jika aku dekat dengan Ahjumma, ya? Kupikir Ahjumma belum mengatakannya padamu. Dan ... alat itu ... sebagai bentuk pencitraan maksudmu?" Diana mulai membuka cakap.

Anggukan terlakon pelan oleh kepala Chanyeon.

"Benar. Alat itu sebagai pencitraan. Aku ada hanya sebagai penutup aib saja. Di sisi lain, aku ada hanya untuk ambisi melunasi hutang, meraup kekayaan. Bukankah dunia ini kejam sekali untukku? Kadang ... aku berpikir ... aku sebenarnya membenci ketiganya, tanpa terkecuali Umma-pun." Yang dimaksud Umma adalah Nyonya Jung.

Chanyeon menjeda menukik senyum masam.

"Entahlah, aku malas memikirkan hal seperti ini. Sekalipun aku banyak mencoba bersikap masa bodoh, nyatanya tetap tidak bisa saja. Itulah kenapa aku menjadi sulit tidur. Aku terlalu banyak memikirkan hal seperti ini sebelum tidur. Gomawo, akhir-akhir ini teh kamomil yang kau berikan banyak membantuku untuk tidur tanpa tergantung lagi dengan zolpidem, Anna. Pula terimakasih, telah berkenan menemani Umma." Chanyeon mengulas senyum lagi dengan tulus hingga lesung pipitnya tampak. Ini adalah senyum terbaik kali pertamanya untuk Diana selama gadis ini tinggal di rumahnya.

"Sama. Terimakasih juga untuk sayur asemnya sekalipun rasanya unik sekali. Aku sangat menyukainya. Jeongmal gomawo. Aku justru sangat bersyukur dapat bertemu dan mengenal Ahjumma. Beliau baik sekali." Manik mata cokelat Diana berbinar. Bibirnya pun mengembang senyum.

Chanyeon tersenyum senang lagi. Mengangguk pelan.

"Kapan-kapan jika ingin membuat sayur asem, kau harus les memasak dulu kepadaku," cicit Diana. Itu perkataan berseloroh.

"Baik. Besok kau harus mengajariku cara memasak sayur asem ini, Anna."

Bibir Diana manyun. "Ya! Dari mana kau tahu jika aku dekat dengan Ahjumma? Kau belum menjawabnya tahu!"

Chanyeon mengurvakan bibir secara sempurna. "Rahasia. Aku adalah manusia serba tahu." Jemawa sekali.

Diana beralih tersenyum masam. "Rahasia? Manusia serba tahu?" Mendengkus.

Sesaat kemudian terdengar tawa renyah Chanyeon. Membuat aura masam di muka Diana berlipat.

"Baiklah. Aku harus segera bergegas berangkat kuliah." Diana beringsut berdiri. Ia melarut piring kotornya dan milik Chanyeon, menaruhnya ke bak piring kotor di dapur, mencucinya gesit. Lalu kembali mengambil tote bag yang masih di meja makan.

"Aku berangkat, Oppa," pamit Diana setelah berhasil menyelempangkan tote bag-nya ke bahu. Menatap riang Chanyeon yang masih nyaman di kursi makannya. Lalu melangkah pergi.

"Anna," panggil Chanyeon. Nada bassnya itu berhasil membuat langkah Diana berhenti, menyempatkan menengok ke arah Chanyeon di belakang.

"Tunggu sebentar," perintah Chanyeon, beringsut mengangkat pantatnya, berjalan ke arah Diana.

"Mwo?" Pertanyaan singkat itu terlesat dari bibir lembap Diana setelah membalikkan tubuh menghadap Chanyeon secara sempurna.

Chanyeon membisu. Mengikis jarak dengan memeluk Diana.

Diana tertegun akan laku Chanyeon, ia mencoba menyekat kikisan jarak itu, tetapi justru semakin mengeratkan rengkuhannya.

"Sebentar saja, Anna," gumam Chanyeon.

Diana meneguk ludahnya seiring dengan aroma acqua tubuh Chanyeon yang memanjakan hidungnya. Dalam benak ia menghitung satu sampai lima, di mana ia akan melerai pelukan itu tepat di detik ke lima.

Satu. Dua.

"Sebentar saja," cicit Chanyeon lagi. Nada bassnya rendah. Beringsut menyandarkan kepalanya bersandar ke bahu Diana.

Diana tetap membisu dengan mengenkan masyul yang menjalar sembari terus menghitung.

Tiga. Empat.

Lima.

Diana melerai paksa pelukan itu. Selanjutnya ia risih dipandangi Chanyeon dengan tetap membisu.

Sekon kemudian, Chanyeon meraih pergelangan tangan Diana, membenahi letak gelang rantai berlian yang tersemat agar terlihat--tak tersembunyi lengan panjang kemeja putih yang dipakai.

"Bisa-bisanya kau memakai gelang dengan cara seperti ini, Anna," cicit Chanyeon seraya membenahi gelang rantai berlian yang dipakai Diana sekali lagi.

Diana menengok ke arah sebelah tangannya yang disentuh Chanyeon, tersenyum tipis. Canggung sendirian. "Itu karena aku terburu-buru ta--"

"Begini. Ini tampak cantik di pergelangan tanganmu," komentar Chanyeon setelah berhasil membenahi letak gelang rantai berlian dengan benar. Mengulas senyum.

"Mwo? Tampak cantik di pergelangan tanganku? Dulu kau mengatakannya jika gelang ini jelek di pergelangan tanganku dan aku tak boleh memakainya," interupsi Diana seraya melepas sentuhan tangan Chanyeon.

Chanyeon malah monoton mengurvakan bibir. Lesung pipitnya tampak sekali. Tanpa hasrat menjawab apa pun.

"Sudah. Sana kau berangkat. Nanti kau telat!" perintah Chanyeon tiba-tiba.

Diana mendengkus. "Baik. Aku berangkat sekarang." Mencoba apatis, ia langsung berbalik tubuh dan melangkah lebar-lebar dengan wajah masygul. Dengan perasaan dan pikiran rancu atas perlakuan Chanyeon yang sekejap menjadikannya bunek.

"Anna."

Suara bass Chanyeon berhasil membuat Diana menghentikan langkah lagi dengan kesal. "Mwo?" sahutnya tanpa menengok.

"Mulai sekarang aku meluaskanmu memakai mobil SUV itu, Anna. Kau boleh memakainya sepuasmu." Bibir Chanyeon menggerak cakap.

Diana tertegun sesaat. "Jinjja?" selidiknya setelah akhirnya menengok ke belakang dengan muka masih menanggung masygul. Ia masih berpikir Chanyeon hanya mengerjainya. Bualan semata.

"Serius. Kau boleh memakainya sesukamu. Yang penting jangan sampai kau jual mobil SUV itu," sahut Chanyeon lagi. Menyeloroh.

Diana tertegun, sebelum akhirnya kelereng mata cokelatnya berbinar cerah, lupa dengan kesalnya. Bibirnya meliuk cakap. "Gomawo."

***

Pulang kuliah, Diana langsung pergi ke Busan tanpa pulang ke rumah Chanyeon. Entah, setelah percakapan di sarapan paginya bersama Chanyeon yang menjadi membahas perihal keluarga, ia menjadi rindu ayahnya. Harapannya untuk bersua tak pernah pupus walau berkali-kali gagal dan ini adalah yang ke 52. Sudah 102 telur ayam yang telontar pecah ke tubuhnya, tapi ia tak gentar. Ia tetap kembali ke Gamcheon dengan asa yang sama. Mengupaya bertemu ayahnya. Tak bisa digadaikan dengan apa pun.

Nekat sekali memang. Diana sampai ke Gamcheon malam hari. Kini dirinya sudah berdiri di depan gerbang kayu cat putih dengan rumah bercat warna-warni di dalamnya. Sudah familiar sekali rumah itu, tapi agak terasa berbeda karena balutan malam yang ada.

Ini adalah kali pertamanya Diana berkunjung di waktu malam. Entah, apakah akhirnya keberuntungan datang kepadanya atau justru telur ke 103 dan 104 akan terlontar lagi mengenai tubuhnya, seperti biasanya.

Diana menghembuskan napas panjang. Dua tangannya yang mengambang di udara mengepal, sebelum akhirnya ia memberanikan diri melangkahkan kakinya yang terbalut sneakers putih ke arah bel video interkom yang ada di pinggiran gerbang.

Dengan cemas Diana menunggu timpalan jawab. Dadanya bergemuruh resah. Hatinya terus berdoa agar malam ini adalah malam keberuntungannya. Bertemu ayahnya.

"Annyeong, Yuri," sapa Diana setelah gadis remaja berambut pirang baru saja menggeser pintu gerbangnya sedikit.

Yuri mengurvakan bibirnya penuh masam. Sebelah tangannya sudah memegang dua butir telur. Siaga.

Diana meneguk ludahnya melirik ke arah butiran telur itu yang tergenggam dalam sebelah tangan Yuri. Hatinya tersenyum kecut.

"Apa kabarmu, Yuri?" Diana mulai membuka cakap basa-basi mendapati Yuri tidak langsung garang menerornya dengan melontar telur--mungkin efek sudah malam, baru pulang dari sekolah SMA-nya, sudah mengantuk. Bibirnya mengulas senyum.

Yuri tersenyum masam. "Kau menggangguku. Kurang kerjaan sekali kau malam-malam memencet tombol bel interkom rumah kami," decaknya.

"Mianhae," singkat Diana.

"Cepat kau pergi. Kami mau beristirahat. Jangan ganggu kami!" Suara Yuri mengeras, tapi tak sekeras biasanya--lagi, mungkin efek malam, jadi pikir-pikir untuk teriak-teriak, bisa diomel tetangga.

"Biarkan aku menemui beliau sebentar, Yuri," pinta Diana.

Yuri menyeringai. Napasnya menderu kesal. Tetap membisu, tubuh rampingnya keluar sempurna dari dalam gerbang yang ia buka sedikit. Sebelah tangannya yang tak memegang telur menjorog tubuh Diana hingga berhasil terseret ke belakang sekitaran tiga langkah.

"Pergi!"

Diana meneguk ludah seraya mencoba menstabilkan tubuhnya agar tetap memijak dengan baik. Rambut hitam panjangnya yang tergerai, sebagian beringsut ke depan wajah.

"Sebentar saja, Yuri." Diana masih saja kukuh. Manik matanya dalam gelap malam menyendu asa. Sebelah tangannya membenahi rambut semrawutannya.

Lagi. Yuri menyeringai. Sebelah tangannya mulai meraih sebutir telur ayam di sebelah tanganya lagi. Mulai mengangkatnya, melempar.

Seiring dengan sebutir telur ayam yang mulai melesat di udara dingin malam, Diana memejamkan kedua netranya, menanti cemas benturan bulatan lonjong telur itu yang sebentar lagi mendarat ke wajahnya.

Diana pasrah. Paling tiga detik lagi, telur ayam yang tengah mengudara itu mendarat di wajahnya betulan.

Tiga detik itu pun berlalu. Namun, tak ada telur ayam yang mendarat ke wajahnya. Sungguh tak ada telur ke 103 apalagi ke 104 yang pecah membentur bagian tubuhnya. Tak ada. Namun, ia merasakan sentakan di tubuhnya dan remasan di kedua lengan atasnya.

Perlahan, Diana membuka netranya yang langsung tersuguhkan sosok lelaki jangkung berdiri di hadapannya mengenakan jaket hitam, masih meremas kedua lengan atasnya untuk mundur paksa selangkah barusan. Lelaki itu masih menunduk dengan poni panjang yang menutupi keningnya dengan napas tersengal dan sebagian wajahnya tersamarkan masker hitam.

"Gwaenchanha?" tanya lelaki itu yang mukanya masih belum tampak jelas akan keremangan malam yang ada. Namun, Diana sudah langsung paham siapa itu dengan hanya mendengar nada bassnya.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro