Life Problems

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa saat lalu Chanyeon terundung kesal. Mendengkus dengan pikiran-pikiran emosional yang berkelebat di otaknya sampai-sampai hidung mancungnya kembang kempis. Sepasang iris mata cokelatnya mengilat sebal ke arah ponsel di sebelah tangannya.

"Dasar!" Bibir kenyal Chanyeon bersungut.

"Ya! Ada apa denganmu, Chan?" interupsi Bae Hyun yang merasa terusik dengan laku Chanyeon di sudut ruang rumah. Tepatnya di samping jendela kaca yang mengarahkan ke taman bunga samping rumah Bae Hyun yang masih terhampar putihnya salju.

Chanyeon tak acuh. Mimik wajahnya terus saja fokus pada arah ponsel di sebelah tangannya. Bibirnya manyun.

"Ya! Ada apa, Hyeong?" Kini Sehan mulai membuat perhatian, duduk bersilanya di sofa beludru ia lerai, melengok ke arah Chanyeon di belakang.

Sesaat kemudian, Kyung Seo dan Key pun ikut menoleh ke arah Chanyeon. Seketika permainan tebak lagu tak lagi menarik.

Mendapat banyak perhatian itu, Chanyeon melirik. "Tidak ada apa-apa. Lanjutkan permainan kalian. Aku hanya tengah kesal pada seseorang." Nada bass itu menjelaskan.

"Seseorang? Siapa?" Kyung Seo cepat tanggap.

"Yang jelas manusia menyebalkan, Kyung," balas Chanyeon dengan malas.

Kyung Seo tetap bergeming pikir dengan mengarah tatap ke arah Chanyeon yang kini fokus lagi ke ponselnya.

"Seseorang itu bukan Diana, 'kan?" lanjut Kyung Seo. Dan pertanyaan ini membuat Bae Hyun, Sehan, juga Key mengilat tatap ke arahnya.

Chanyeon melirik, mengernyit perihal bagaimana sosok Kyung Seo langsung berasumsi jika ini menaut Diana.

"Bukan. Ada apa denganmu? Kau perhatian sekali dengannya, Kyung?" Iris mata cokelat Chanyeon mengilat penuh selidik.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mendapat kesan kasar kau kepadanya di hari itu," sahut Kyung Seo.

"Saat kau akhirnya membantu dia dengan memasak salmon teriyaki?" Dahi Chanyeon mengkerut.

Kyung Seo menggangguk pelan. Bae Hyun menginterupsi, "Chan hanya tengah menjailinya, Kyung. Jangan terlalu dibuat serius." Tertawa kecil.

"Tapi tatapan Chan kemarin bukan tatapan jail." Kyung Seo masih saja mengelak. Menguatkan asumsinya. Sepasang mata bundar jernihnya kini mengilat ke arah Bae Hyun yang bersebelahan dengan Key.

"Kau saja yang terlalu kaku. Sedikit-sedikit dianggap serius, Kyung," elak Bae Hyun yang langsung terkena sikutan Key. "Ya! Diana? Siapa dia, Hyeong?"

Bae Hyun memberingsutkan tubuhnya, maju ke arah Key, membisiki sesuatu.

"Oh," timpal Key kemudian.

"Sudahlah. Aku harus bergegas ke suatu tempat. Teruskan permainan kalian. Dan jangan pikirkan Anna lagi, Kyung!" tukas Chanyeon seraya memasukkan ponsel ke saku jaket puffer-nya, lalu melirik ke arah Kyung Seo yang masih mengedar pandang ke arahnya.

"Anna? Siapa lagi, Hyeong?" sela Key lagi kepada Bae Hyun, menyikut.

Seperti sebelumnya, Bae Hyun langsung membisiki Key dan mendapat sahutan, "Oh."

Dengan cepat Chanyeon berlalu dari rumah Bae Hyun. Ada sesuatu yang mendadak harus diurusnya.

***

Chanyeon membelah jalanan ramai kota Seoul dengan cepat di ujung musim dingin bulan Februari. Dalam benaknya ia banyak merutuk selama perjalanan. Kenapa harus peduli dengan ketegasan Juna Hyeong?!

Chanyeon mendesah mendapati kenyataan itu bahwa selama ini dirinya terkungkung akan sikap peduli itu. Merutuki akan ketegasan Juna yang mengungkungnya, tepatnya di letak harus menjamin keamanan dan kesehatan Diana yang mengharuskannya siap siaga jika gadis bawel itu bertingkah, termasuk melanggar "larangan menjejak Busan".

Sepasang netra cokelat Chanyeon menatap tajam ke arah jalanan Seoul, tapi pikirannya tetap melanglang hingga lokatraya.

Barusan dirinya mendapat kabar dari Juna, jika keponakannya itu ke Gamcheon lagi dan meminta dirinya untuk mencegahnya. Ini sungguh mengesalkan. Untung saja dirinya sedang ada waktu santai.

Menenggak ludahnya, pada akhirnya Chanyeon pula menemukan sebab kenapa ia peduli di luar konteks ketegasan Juna. Adalah perihal sebuah keluarga bersebut orang tua, tepatnya ayah. Inilah alasannya.

Juna pernah mengatakan obsesi keponakannya ke Korsel bukanlah untuk menuntut ilmu, tapi lebih ke arah bertemu ayahnya yang sudah lama sekali tak pernah bersua, alih-alih perceraian yang mengambruk dalam rumah tangga orang tuanya. Sebuah perceraian pelik akibat sebuah keyakinan agama yang akhirnya tidak bisa selaras antara kedua insan yang pada awalnya saling mencintai, membuat komitmen. Pada akhirnya hancur karena satu pihak tak bisa menjaga keutuhan komitmen itu.

Awalnya ayah Diana itu adalah penganut Yesus seperti dirinya, tapi karena sangat mencintai sosok wanita Muslim yang mengharuskannya masuk Islam agar bisa mendapatkannya lahir batin, ia keluar dari zona keyakinannya dengan tergesa-gesa, menjadi mualaf, menikah, hingga mempunyai dua anak.

Ini sungguh keputusan gegabah. Demi cinta pada sosok hamba hingga rela menggadaikan Tuhan.

Ayah Diana diam-diam masuk agama sebelumnya, kembali ke arah penganut Yesus, perlahan-lahan ketahuan, akhirnya bercerai setelah mempunyai dua anak perempuan. Ia pergi dengan menorehkan luka yang mengaga dalam perasaan mantan istrinya dan rasa pedih kedua anaknya yang masih umuran 3 SD dan umuran TK.

Luka itu semakin lama bukan malah semakin sembuh, nyatanya malah bertambah menganga. Kebencian akan sebuah pengkhianatan itu semakin membesar hingga merambah mengambil tindak tidak membolehkan anaknya untuk bertemu, bahkan mantan istri itu sangat melarang keras anaknya akan laku dekat lagi dengan sosok ayah kandung mereka. Apalagi ditambah perihal sosok lelaki itu dengan cepat menikah lagi dengan wanita Gamcheon.

Chanyeon merasa lelah dengan pikiran itu yang pada akhirnya ia pula teringat akan laku sosok ayahnya sendiri. Laku sosok ayah yang terlihat baik di mata khalayak umum, tapi menjijikan di matanya. Sosok ayah yang seharusnya ia tahu haruslah dihormati, tapi nyatanya ia justru ingin sekali menenggelamkan sosok itu dalam dunia yang rawan kejam ini.

Chanyeon mencoba keluar dari lokatraya imajinya, ia tak lagi mau mengingat-ngingat perihal keluarga bersebut orang tua, apalagi ayah, ia sangat membencinya. Itulah alasan kenapa dirinya peduli kepada Diana untuk tak usah peduli kepada sosok ayah yang memberi luka kepada ibunya. Karena perihal ini sama dengan apa yang telah terjadi pada keluarga dirinya. Bukan perihal cinta dan beda keyakinan agama yang menjadi buah permasalahan, tapi perihal sebuah pencintraan dan keegoisan, lebih rumit lagi.

Benar. Kisah keluarga Chanyeon lebih rumit lagi. Inilah yang membuat pemilik suara bass di EXE itu banyak frustrasi. Sebuah beban hidup yang terus dirinya tutup-tutupi.

***

Chanyeon mampir ke rumahnya dulu untuk mengambil masker untuk menyamarkan wajahnya nanti ke Gamcheon, benda kecil yang sangat dibutuhkannya kemana-kemana saat berjalan cuma-cuma di khalayak umum setelah dirinya menjadi sosok idol. Ini memang ribet dan menjemukan, tapi bagaimana lagi sudah menjadi tuntutan. Wajahnya, tubuhnya, tidak bisa diekspos sembarangan seperti orang kebanyakan. Apalagi di Gamcheon nanti adalah sebuah desa wisata.

Melangkah tergesa beralih ke kamarnya untuk mengambil masker, tapi nyatanya dengan cepat laju langkahnya tertahan, mendapati Diana masih di dalam rumah.

Sepasang mata Chanyeon menyipit lagi. Benar. Di pojokan ruang rumah, perempuan ras melayu itu mematung dengan menggeret sebuah kursi ke samping jendela kaca dengan tirai terbuka, menyanggahkan pantatnya di kursi itu seraya menarik kedua kakinya ke atas bangku, menekuknya, beralih memeluk kaki terbalut celana wol dengan kedua tangan.

"Anna ...."

Suara bass Chanyeon itu berhasil mengusik lamunan Diana, tatapan kosongnya ke luar jendela beralih paksa ke muara suara bass itu.

"O-oppa ...." Suara Diana patah-patah karena masih terkejut, pasalnya sosok jangkung itu kini sudah berada di sampingnya radius satu meter. Chanyeon melangkahkan kakinya perlahan mendekatinya.

"Kau tidak jadi pergi ke Gam ...." Suara bass Chanyeon mengambang, ia sengaja mengatupkan dua belah bibirnya lebih cepat, menyembunyikan ketahuannya akan polah Diana, pula sikap perhatiannya.

Diana menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan, maksudku ...." Suara bass Chanyeon mengambang lagi, ia kehabisan kebendaharaan kata untuk berdalih.

Masih dengan mimik bingung, Diana beringsut melerai pelukan tangannya pada kedua kaki, bersegera enyah dari bangku, berdiri menghadap Chanyeon.

"Ada apa?" Diana masih menuntut akan jawaban kebingungannya.

Sial! Ini membuat Chanyeon bertambah gugup, hingga menggeleng pelan dengan bodohnya. Ia sungguh kehabisan kebendaharaan kata untuk berkilah.

"Lalu?" Masih menuntut, Diana hingga menaikkan sebelah alisnya lagi. Wajah khas ras melayunya sangat terlihat bingung.

Bermonoton menggeleng pelan lagi, dalam benak Chanyeon merutuki dirinya, "Pabo!"

Sesaat kemudian, mimik wajah Diana berkelok masygul. "Dasar aneh!" cibirnya.

Diawali dengan membodohi dirinya, akhirnya Chanyeon membuat dalih yang lebih bodoh, kebendaharaan katanya sungguh hancur.

"Aku mau memesan samyetang halal, apa kau mau aku pesankan juga, Anna?" Bibir kenyal Chanyeon akhirnya melekuk, menuai volume suara bass demikian dengan penuh kecanggungan.

____________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro