Mianhae

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Anna ...." Bibir kenyal Chanyeon meliuk menyuara dengan lirih. Sepasang netra sipitnya terus mengilat ke arah ruang tengah rumah hanok.

Ada perasaan terkejut, tapi pula bangga yang meraup hati Chanyeon kini. Terkejut karena sosok gadis yang dirinya tahu hanya sebatas sebutan nama ternyata Diana. Bangga kerena sosok itu pula adalah Diana yang banyak membahagiakan wanita berwajah teduh pemilik rumah yang sangat disayangi dan dihormatinya, bukan orang lain.

Bukan orang lain? Kening Chanyeon mengerut mendapati asumsi dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya justru bangga mendapati Diana adalah gadis yang hanya dirinya tahu sebatas sebutan nama itu; Nana. Lalu ia tergelak dalam benak. Membodohkan dirinya jika benar-benar sudah tidak lagi waras.

Chanyeon meneguk salivanya. Ia sungguh malas dengan perasaan menjadi baik di mata Diana. Toh, Diana justru tak begitu suka kepadanya. Pertama; jelaslah karena dua opsi yang diberikannya dulu sebagai wujud balas budi dan asuransi kakinya yang keseleo. Kedua; Diana kerap apatis jika sedang bersamanya. Ketiga; perempuan itu kurang sopan santun dan selalu berbuat seenaknya kepadanya tanpa ada rasa rikuh. Benar, tanpa rasa rikuh, bahkan kemarin pagi dirinya hampir diguyur satu teko air dingin karena sulit dibangunkan.

Sorotan mata sipit Chanyeon berubah sinis ke arah Diana yang masih saja bercerita riang dengan lawan bicaranya. Ia mengerucutkan bibirnya, tapi perlahan malah memudar mengurva. Dan itu berhasil membuat dirinya merutuki diri sendiri dalam benak, bodoh dan tidak waras.

Jangan sampai tersenyum! Chanyeon mengomandokan bibirnya dengan mengerucutkannya lewat sebelah tangan. Mendadak merasa kacau dengan perilakunya sendiri yang ambyar. Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama, harus segera pulang agar tidak menambah dosis ketidakwarasan.

Chanyeon menitah dirinya untuk bersegera pulang, melangkahkan kakinya pelan-pelan nian di lantai kayu untuk keluar rumah hanok.

Setelah pulang dan sampai di rumah, nyatanya Chanyeon masih saja kepikiran. Hatinya sungguh rancu antara riang dan pula masygul dengan sikap riangnya. Lagi-lagi, ini sungguh mengesalkan, sampai-sampai dirinya melakukan menonton acara televisi sebagai bentuk pengalihan, tapi tetap saja gagal.

Chanyeon mendesah. Ia memukul kepalanya sendiri dengan sebelah tangan. Ini pula sungguh melelahkan. Benar. Melelahkan karena dirinya menjadi membohongi dirinya sendiri, tak mau jujur jika dirinya memang tengah senang mendapati sosok yang selama ini dipenasarankan adalah Diana. Sungguh meresahkan!

Hingga akhirnya keresahannya teralihkan sesaat kemudian. Saat melirik ke lain arah, Chanyeon mendapati Diana yang tengah berjalan mengendap-endap seraya sebelah tangannya menenteng wedges yang dilepasnya agar tak melangkah derap, agar tidak membuat perhatian dirinya, tapi nyatanya sungguh atensi yang salah.

Langkah Diana tertahan, lalu senyum dipaksakan, alih-alih aksinya tak melangkah derap supaya tak ketahuan akan polah pulang di atas jam 11 malam, sungguh gagal total. Kini sosok lelaki bongsor berwajah oriental yang duduk di sofa sudah menatapnya jeli, memeluk kedua tangannya di depan dada, menyilangkan sebelah kaki dengan angkuh, penuh tuntutan penjelasan.

"Annyeong. Kau belum tidur?" Diana yang masih berada dalam radius 10 meter dari arah Chanyeon mulai membuka tanya.

Tampak Chanyeon malah tetap bergeming, lalu melambaikan sebelah tangannya, memberi wangsit. Kemari!

Dengan malas juga takut, Diana melangkah berat ke arah Chanyeon dengan iringan lenguh lesu.

"Mianhae, aku melanggar peraturan lagi." Tidak membuat alibi untuk berkilah, Diana langsung meminta maaf akan lakunya seraya menunduk dalam di depan Chanyeon.

"Aku juga menggunakan mobil itu. Mianhae." Masih tetap berdiri dan menunduk dalam, Diana jujur lagi setelah mendapati tak ada tanggapan apa pun dari lelaki jangkung yang tengah duduk di sofa depannya.

Chanyeon masih saja membisu. Dan sebenarnya dirinya masih tetap diam karena ia bingung mau mengatakan apa, selain sebenarnya ingin sekali mengatakan "Gomawo, Anna".

"Aku tidak bisa tidur karena kau membuang pil zolpidem-ku tadi pagi. Ya! Ada apa denganmu? Kenapa kau kerap berlaku tak sopan kepadaku? Bahkan kau beberapa kali melanggar peraturan yang kubuat. Sudah berapa kali kau pulang bermain ke rumah teman di atas jam 11 malam, hmm?" Akhirnya yang muncul malah kata-kata cukup sarkas dari mulut Chanyeon. Berdalih dengan dusta.

Diana menggigit bibir bawahnya, lalu mencoba melirik ke arah Chanyeon yang kini sudah melerai pelukan tangan dan silangan kakinya.

"Aku membuang pil zolpidem-mu begitu saja tanpa izin kepadamu karena aku tak mau kau ketergantungan dengan obat-obatan macam itu. Kau harus bisa tidur dengan normal dan sehat. Mianhae, jika selama ini aku meresahkanmu dengan berlaku kurang sopan, aku akan memperbaikinya. Lalu, sudah tiga kali aku melanggar aturan batas pulang bermain saat malam. Mianhae. Jeongmal mianhae," jelas Diana. Meminta maaf dengan khidmat. Membungkuk dalam.

Chanyeon tertegun mendapati kesaksian dan permintaan maaf itu. Kenapa mendadak so' menurut dan jujur? Dih!

"Aku akan membelikanmu teh kamomil besok." Tetiba Diana membuat janji.

"Teh kamomil? Buat apa?" Chanyeon mengernyit.

"Untuk meredakan insomniamu. Meminum teh kamomil dapat memberikan efek mengantuk. Itu jelas lebih sehat dari pada menguntal pil zolpidem," papar Diana. Senyum mengembang.

"Oh, baiklah. Tapi untuk malam ini bagaimana? Aku sudah berkali-kali mencoba tidur di kamar, tapi gagal, jadi aku nonton televisi saja. Huh, semua ini gara-garamu!" kilah Chanyeon. Dusta lagi.

Raut ceria barusan langsung pudar, teralih murung akan masgyul. "Hmm, mianhae .... Tapi jika kau tidak bisa tidur, sebaiknya jangan menonton televisi. Lebih baik baca buku yang sedikit membosankan menurutmu, itu lumayan jitu menjadi perangsang jemu, lalu mengantuk."

"Oh, iya?" Raut muka Chanyeon meremehkan dengan senyum masam, dahi melipat samar.

"Jika aku seperti itu, Oppa." Diana menggigit bibir bawahnya.

Chanyeon tetap bergeming, kehabisan bahan kilah lagi, hingga dirinya memalingkan muka ke lain arah menghindari tatapan Diana yang masih berdiri di depannya.

"Baiklah. Pilihkan aku sebuah buku bacaan yang bisa membuatku mengantuk!" titah Chanyeon kemudian.

***

Chanyeon membuntuti Diana hingga kamar. Menyimak Diana memilah buku-buku di sebuah rak kayu model tangga. Koleksi bukunya dominan novel.

"Aku tidak mempunyai buku bacaan membosankan, Oppa. Semua novel yang aku punya di sini sangat bagus-bagus, jadi tidak akan membuatmu mengantuk." Diana mengatakan itu dengan kedua tangannya terus memilah buku bacaan di rak kayu model tangga, tanpa menyempatkan melirik ke arah Chanyeon di sebelahnya yang juga tengah melihat-melihat.

"Jika menginginkan buku bacaan yang membosankan, kau bisa membaca buku materi kuliahku saja, Oppa," seloroh Diana. Kini seraya melirik ke arah Chanyeon. Tersenyum geli.

"Jangan bercanda. Ini sudah malam, Anna. Hampir dini hari. Dan jangan senyum terlalu lebar, nanti bibirmu bisa sobek," cicit Chanyeon dengan suara bassnya. Menimpal pula lirikan Diana yang di sampingnya itu dengan sinis dan malah membuat Diana bertambah senyum geli.

Berselang sesaat, Diana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sungguh bingung mau merekomendasikan buku bacaan apa karena adanya buku-buku kuliah. Koleksi lengkap novel yang punya jelaslah berada di apartemen.

"Anna," panggil Chanyeon yang kini malah sudah beralih duduk di pinggiran kasur kamar Diana. Netranya mengilat ke arah sebuah bingkai foto yang terpajang di nakas.

Diana menyempatkan mengeluh lesu mendapati tak ada buku apa pun yang bisa direkomendasikan, lalu melengok ke belakang. "Mwo?"

"Seberapa berharga keluarga bagimu, hmm?" jawab Chanyeon, sepasang netranya tetap angkuh mengilat bingkai foto yang tak lain berisi foto Diana, Kakak perempuannya, dan ibunya dalam satu potret. Pula terselipkan sebuah foto ukuran saku dengan potret lelaki paruh baya yang diyakini Chanyeon adalah ayah Diana, di letakkan dalam satu bingkai itu.

"Seberapa berharga sebuah keluarga?" Seperti belum maksud pertanyaan itu saja, Diana mengernyit melontar tanya itu lagi.

Tanpa ada komentar, Chanyeon mengangguk, lalu berpaling menatap Diana untuk menuntut jawab.

"Jawabannya sangat berharga, Oppa, melebihi apa pun," lanjut Diana, menjawab tegas, raut mukanya riang.

"Jika salah satu dari keluarga justru menjadi kekutu dalam hidupmu, apa yang akan kau lakukan, Anna? Kau akan menghilangkan kekutu itu, apa akan tetap membiarkannya menyakitimu, terus membuat masalah? Apalagi jika kekutu itu justru berasal dari orang tua. Apa yang akan kau lakukan, hmm?" Entah ada angin apa, bibir Chanyeon justru menggerak menyuara topik demikian dengan rapal ragam tanya.

Masih bergeming pikir perihal kekutu, Diana langsung teringat akan sosok ayah dan ketidakharmonisan dalam keluarganya. Dari sisi keluarga ibunya, sosok ayahnya memang kerap menjadi sorot permasalahan karena penceraian itu, karena tidak bisa konsisten dalam komitmennya. Menjadikan sosok ayahnyalah yang paling bersalah dan disalahkan di sini. Namun, menurutnya ayahnya tidaklah bersalah, hanya saja khilaf.

Benar. Semua ini kekhilafan ayahnya, seharusnya bisa lebih dimaklumi. Bukan malah dibenci sedemikian, hingga dirinya tak boleh mengenal ayah kandungnya sendiri. Wajah Diana mendadak meraut sendu.

"Anna," sebut Chanyeon, tetiba dirinya merasa rikuh mendapati raut muka riang Diana pudar perlahan. Tatapan ganasnya yang menuntut perlahan menjinak.

Diana tetap bergeming, melamun dalam lokatraya imajinya.

Ayahnya jelaslah hanya khilaf, Diana memahami jika gairah nafsu ayahnya dalam mencintai ibunya mengalahkan akal akan sosok hamba kepada Tuhan yang dianutnya sebelumnya. Di mana gegabah berpindah agama demi menikahi ibunya karena cinta yang begitu besar. Membuat komitmen yang semula dirinya sanggup jalankan dengan penuh yakin, tapi nyatanya justru sebaliknya. Laku ini bukankah sungguh sebuah kekhilafan, di mana kesalahannya tidaklah disengaja? Bukan "salah" dalam konteks murni, disengaja itu, 'kan? Tepatnya sebuah kekeliruan.

Apakah ayah adalah kekutu? Diana bertanya dalam benaknya.

"Anna ...." Suara bass Chanyeon menyebut panggilan khasnya untuk Diana lagi. Tidak lagi duduk di pinggiran kasur, melainkan sudah beringsut berdiri berhadapan dengan Diana yang masih termenung di area rak kayu model tangga.

Perlahan, Diana sedikit mendongak untuk menatap Chanyeon dengan iringan aroma parfum leather yang menempel pada kulit tubuh lelaki itu tercium. Menatap iris mata Chanyeon dan menemukan sebuah iba di sana.

Mungkinkah mendadak sungguh terlihat menyedihkan? Kenapa mendadak tampak peduli? Diana bertanya dalam ruang kedap suara batinnya, menatap kosong Chanyeon, menerka-nerka sikap lunak itu.

"Tidak apa-apa. Jangan dipikirkan lagi. Mianhae ...," gumam Chanyeon seraya menepuk sebelah pundak Diana, mengurvakan bibir kenyalnya hingga lesung pipitnya tampak.

Mianhae? Diana lebih-lebih tak percaya lagi dengan pendengarannya barusan.

____________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro