Mrs. Jung's Secret

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam menggulung siang musim dingin. Lesap berubah kelam. Pula tengah tiada gemintang. Hitam legam di atas sana terbentang.

Di sebuah rumah hanok di desa tradisional Bukchon, tampak sosok wanita paruh baya tengah mengencangkan penggesek biola--bow. Jemarinya memutar skrup yang ada pada bagian ujung bow. Memutarnya hingga tercipta jarak antara rambut dengan tangkai bow sekira lebar lingkaran pensil. Lalu, menggosokkan bulu bow dengan rosin secara lembut dari ujung ke ujung, menyetem senar biola dengan putar pasak tuning yang berada pada ujung leher biola hingga mendapatkan nada yang tepat. Selesai.

Seulas senyum baru saja terulas dari bibir wanita paruh baya itu yang telah berhasil mengurus biola di pangkuannya sebelum ia mainkan. Keningnya terlihat mengerut sesaat setelahnya, memikirkan lagu apa yang akan ia bawakan kini untuk menemani malamnya.

Setelah mendapat inisiatif lagu apa yang hendak ia bawakan, wanita paruh baya itu segera membenahi posisi duduknya di bantal. Tepatnya meluruskan posisi punggungnya. Dan sesaat kemudian, mulailah ia memegang leher biola dengan tangan kiri dan meletakkan pantat biola pada tulang bahu, menempel ke leher, menjepit biola dengan tulang rahang.

Wanita paruh baya itu menghembuskan napasnya, memulai memainkan sebuah instrumen. Menggesekkan bow pada senar biola dengan penuh pengkhayatan. My Heart Will Go On, Celine Dion.

Every night in my dreams.

I see you. I feel you.

That is how I know you go on.

Dengan melodi itu yang terus mengalun apik memenuhi ruang rumah hanok, seseorang baru saja membuka pintu rumah berangka hanji, menapakkan kedua kaki telanjangnya yang sudah terlepas dari sepatu boots, masuk menyentuh lantai kayu, melangkah ringan.

Sosok itu sudah hapal sekali tata letak rumah hanok ini layaknya rumah sendiri, hingga dengan mudah ia menemukan muara suara apik gesekan biola itu. Ruang tengah.

"Annyeong, Ahjumma ...." Sosok itu menyapa dengan langsung memeluk wanita paruh baya. Tak lain si pemilik rumah yang tengah duduk bersila di bantalan tipis khas dudukan orang Korea dengan sebuah biola yang masih terpangku di atas bahunya.

"Akhirnya kau datang tepat di instrumen lagu ini habis, Nana," timpal wanita paruh baya itu dengan sebelah tangan yang masih memegang bow, memaksa menyentuh kepala sosok gadis yang tengah merangkulnya dari belakang, menenggelamkan wajah ke sebelah wajahnya hingga pipi mereka saling mengapit.

"Kau harus memainkannya lagi untukku, Ahjumma," manjanya, tertawa kecil.

Wanita parah baya itu mengurvakan bibirnya. "Kau memang senang sekali membuatku repot, Nana."

Melerai pelukannya, gadis yang disebut Nana itu mengalih laku membantu wanita paruh baya yang duduk membelakanginya itu melepas biola, meraih bow, lalu beringsut meletakkannya pada meja di hadapan wanita paruh baya itu.

"Untuk kunjungan malam ini aku berbaik hati tidak akan membuatmu repot, Ahjumma. Karena aku membawa ini ...." Gadis itu tersenyum lebar seraya sebelah tangannya memamerkan dua kantong plastik putih berisi jajanan Tteokbokki dan Kkochi Eomuk yang sengaja dibelinya sebelum berkunjung.

"Kita harus memakannya selagi masih hangat, 'kan?" Meletakkan dua kantong plastik putih itu ke atas meja depannya.

Bibir wanita paruh baya itu mengurva lagi. Ia selalu bahagia sekali di setiap kunjungan tak terduga gadis satu ini. Gadis yang berasal dari negeri si pemilik pulau dewata Bali, Indonesia.

Gadis yang tengah berkunjung ke salah satu rumah di desa tradisional Bukchon itu tak lain adalah Diana. Bergelar sebutan Nana oleh wanita paruh baya pemilik rumah.

"Baiklah," simpul si pemilik rumah.

***

Setelah habis memakan Tteokbokki dan Kkochi Eomuk, Nyonya Jung--wanita paruh baya itu--menceritakan kisah legendaris asal usul kali Tancheon kepada Diana.

Ada sebuah legenda berkisah Samcheongabja Dongbangsak, seorang lelaki yang telah hidup 180 ribu tahun, dan menjadi masalah besar untuk bumi dan langit. Ia tidak berhasil ditangkap dengan berbagai cara dan taktik.

Raja langit pun akhirnya mengirim utusan ke daerah kali Taechon untuk membersihkan karang dengan melakukan penyamaran pula. Dan saat utusan membersihkan karang, saat itulah Samcheongabja Dongbangsak berada di air kali Tancheon yang mengalir menghitam. Mendatangi utusan yang sedang membersihkan karang di tepi kali dengan heran.

Samcheongabja Dongbangsak bertanya tentang mengapa karang dicuci di kali. Dan tertawa saat mendapati jawaban kurang logis untuk membersihkan karang hingga putih. Dengan cerobohnya Samcheongabja Dongbangsak pun mengatakan jika dirinya sudah hidup 180 ribu tahun, tapi belum pernah sekalipun melihat karang menjadi putih.

Lalu si utusan pun menyadari bahwa orang itu adalah Samcheongabja Dongbangsak. Kemudian segera ditangkap, dibawa ke raja langit. Berakhir diakhiri kehidupan panjangnya.

"Jadi, pada dasarnya kita tak akan pernah bisa lari dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan, Nana," rangkum Nyonya Jung seraya sebelah tangannya mengelus rambut kepala Diana yang terebah dalam pangkuannya, sepasang mata teduhnya mengilat kosong ke arah teko dan cangkir teh jujube di meja depan.

Tak mendapat jawab, Nyonya Jung melirik ke arah pangkuannya, lalu melengkungkan bibirnya mendapati gadis dalam pangkuannya itu malah tertidur lelap.

Nyonya Jung menatap lamat wajah Diana yang terpejam itu. Banyak ucap syukur dalam batinnya, jika dalam kenyataannya masih ada orang lain yang bisa menghabiskan waktu bersamanya, sejenak menggantikan posisi anak yang kerap tak bisa menjenguk.

"Gomawo. Kau menghapus kesedihanku akan putraku," gumamnya. Dadanya mendadak terjejal sesak akan sebuah rasa rindu. Terjejal sesak akan sebuah masa lalu kelam yang membelenggu. Terjejal sebuah penyesalan terpukul pilu.

"Mwo? Putra?" Pertanyaan itu mendadak melesat dari bibir Diana dengan kedua mata yang masih memejam dalam nyaman pangkuan paha Nyonya Jung.

Nyonya Jung, wanita paruh baya itu sudah seperti ibu kedua bagi Diana. Berawal dari pertemuan Diana yang ditolong Nyonya Jung saat dirinya kebingungan mencari restoran halal di Myeongdong saat bulan-bulan pertama menjejak kuliah di negeri ini. Yang mana, Nyonya Jung justru membawanya ke rumah hanok ini, memasakkan dongtae jjigae, lalu membawanya berkeliling desa tradisonal yang memiliki banyak gang sempit. Menikmati keasrian desa ala perkotaan pada masa Dinasti Joseon yang sengaja dilestarikan oleh pemerintah Korsel sampai masa sekarang.

Hingga kini, hubungan mereka semakin erat, bahkan sudah seperti ibu dan anak. Saling percaya satu sama lain, hingga Diana bahkan diberitahu letak kunci rumah rahasia yang Nyonya Jung simpan di selipan gerbang kayu mungil rumahnya.

"Mwo? Ahjumma mempunyai sosok putra?" Kini Diana membuka matanya, langsung berbinar antusias, kantuknya lepas sudah. Katanya 'kan Ahjumma tidak mempunyai anak satu pun?

Nyonya Jung masih bermonoton geming. Raut mukanya terlihat diam penuh kejut. Ia sungguh berpikir gadis dalam pangkuannya sudah tidur lelap.

Diana beringsut dari rebahnya, beralih duduk bersila cepat di atas kasur lantai. Keningnya melipat. Keingintahuannya memuncak.

"Selama ini Ahjumma menyembunyikan sesuatu padaku, ya? Siapa anak lelaki itu? Di mana dia sekarang?" Diana mengamat selidik penuh.

Nyonya Jung tetap bergeming. Diana menangkap aura enggan pada wanita paruh baya di hadapannya. Namun, ia tidak peduli, ia egois ingin tahu, akan mendesak untuk mendapati itu.

"Aku bukan orang lain bagimu, 'kan, Ahjumma?" Mulai mendesak. Kedua tangannya meraih kedua tangan Nyonya Jung, menggenggamnya. Mata cokelat tuanya mengilat penuh aura bahwa dirinya bisa dipercaya jika itu memang sebuah rahasia.

"Mungkinkah ini waktu yang telah digaris takdir untuk mulai memberi tahu hal ini pada orang lain?" Nyonya Jung malah mengucap lirih begitu. Gamang.

Diana mengangguk perlahan. "Katakanlah, Ahjumma. Aku sungguh bukan orang lain bagimu. Aku bisa tetap menutup perihal itu jika kau memang membutuhkannya. Apakah ada rasa sesak saat kau menyimpan sendirian kenyataan ini di hatimu, hmm?"

Nyonya Jung tetap bergeming. Sebelah tangan Diana beralih mengelus punggung tangan Nyonya Jung.

"Mungkin inilah saatnya kau mulai melepaskan rasa sesak yang menjejal itu, Ahjumma. Tidak apa-apa. Melalui suatu kebetulan yang kau kira aku sudah tidur, lalu bergumam hal itu sampai aku dengar, mungkin memang inilah garis takdirnya. Mungkin memang melalui jalan inilah Tuhan memberi kelonggaran agar kau mulai melepas tekanan di batinmu itu." Diana mengakhirinya dengan mengurvakan bibir.

Sesaat kemudian dalam temaram lampu tradisonal yang berbentuk seperti kotakan enam sisi dari kayu dengan kombinasi hanji sebagai kisi, Nyonya Jung beralih memeluk Diana begitu saja, lalu membisik tepat di telinganya. Takut-takut ada yang menguping barang satu nyamuk pun yang melintas tak sopan.

Kedua mata Diana membulat setelah sesaat lalu mendapat serangkai nama dalam bisikan Nyonya Jung. Rasanya kini beralih dirinya yang terjejal sesak dalam ruang dadanya. Terkejut tak kepalang.

Iya, sebuah rangkai nama yang sudah sangat familiar di telinganya, Diana belum bisa percaya kini.

Bagaimana bisa? batin Diana, belum saja bisa menerima bongkaran rahasia Nyonya Jung itu.

_____________________

Translate:
Ahjumma: bibi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro